
11. Your Begonia
13 hari kita tidak bertemu kawands.
*insert evil laugh*
Narunya lagi UAS geng makanya ... gam sempet apdet. Ngejar nilai etc.
Btw, disini muncul banyak karakter aw!
Enjoy.
.
.
.
Your Begonia memiliki makna Kewaspadaanmu.
.
Perpisahan.
Jihoon sebenarnya membenci –dengan sangat akan hal itu. Namun apadayanya saat mengetahui orang tersayangnya saling membunuh. Ia tak paham terlebih dibawah pengaruh bisikan dan tekanan itu. Ia menjadi yakin untuk mengambil langkah ini.
Ia dan Daniel telah resmi putus. Tepat saat hakim selesai mengetokkan palu, Jihoon diam-diam menuliskan pesan pada aplikasi berbalas pesannya. Mengatakan pada Daniel agar menyudahi hubungan mereka yang cukup mengesankan ini.
Berat, namun sekali lagi, dibawah bisikan dan tekanan itu.
Ia menjadi terpengaruhi untuk membuat keputusan ini.
Mendiang Yuju mewariskan restoran ini pada adiknya Umji. Mereka sempat goyah, namun tanpa disangka, Umji bisa melakukannya dengan baik.
Jihoon merasa sedikit canggung untuk menginap, dan Guanlin datang bagai oasis digurun pasir. Dia menawarkan untuk kembali tinggal dirumahnya, dan Jihoon tidak mungkin berkata tidak setelah semua ini.
Dikamar bernuansa putih krem ini, Jihoon menatap langit-langit kamar dengan tidak fokus. Ia mengawang, mengkhayal tak karuan.
“Jihoon?”
Yang dipanggil namanya menggelangkan kepalanya –menyadarkan dirinya kembali pada realita dan membalas pada pemanggil dengan tatapan tanya.
“Ponselmu terus bergetar. Tidak ingin kau angkat?”
Jihoon bangkit dari tidurnya dan menghampirinya untuk mengambil ponselnya –melihat nama Ahn Hyungseob disana.
“Terima kasih, Guanlin.”
Guanlin mendekatkan wajahnya pada leher Jihoon dan menjilatnya sensual namun sekejap, dan berkata, “Kembali kasih.” Lalu pergi keluar dari kamar yang Jihoon tempati.
Bulu kuduk Jihoon meremang semua. Tak bisa ia pungkiri, ia hanya lelaki biasa yang memiliki kelainan jiwa dan itu berkaitan dengan hormon seksualnya, dan perlakuan Guanlin terkadang dapat merangsang dirinya. Ia bersyukur, meski ia bipolar –walau sedikit, ia juga dapat berbohong atau halusnya berakting dengan baik.
Ponsel yang berada pada genggamannya kembali bergetar, menampilkan identitas yang sama, Ahn Hyungseob. Jihoon langsung saja mengangkat panggilan tersebut.
“Ya, ada apa?”
“Eo? Tentu. Aku akan berbicara pada …. Ugh, temanku dan menghubungimu kembali.”
“Mungkin lusa atau akhir pekan.”
“Kembali kasih, Hyungseob-ssi.”
Jihoon menutup panggilan dari Hyungseob, orang yang membantu Woojin karena masalah pembunuhan orangtuanya sendiri. Lelaki muda itu berkata bahwa ia memerlukan bantuan Jihoon untuk menuntaskan masalah Woojin. Tentunya, akan memakan banyak sekali waktu.
Merasa haus, Jihoon keluar kamar untuk mengambil minum. Diruang tengah Guanlin sedang mengerjakan tugasnya. Jihoon sempat melupakan fakta bahwa Guanlin masih pelajar.
“Ingin aku buatkan sesuatu?”
Guanlin melirik ke sumber suara, melihat Jihoon dengan tatapan kosong. Sulit sekali dijabarkan.
“Ahn Hyungseob, lelaki yang kita temui dipenjara …. Siapa dia?”
“Kopi atau jus jeruk?”
Guanlin berdiri dan menatap Jihoon tepat pada matanya, “Park Jihoon,” bisiknya dengan berat.
Jihoon menggigit bibirnya dan berkata dengan teramat pelan, “Dia … pengacara Woojin. Aku diminta membantu mengusut kasus Woojin.”
Guanlin sedikit tersenyum dan mendekati Jihoon lalu menjambak rambutnya.
“Kita lakukan bersama, paham?” Guanlin tidak sekedar bercanda dalam menjambak rambut hitam Jihoon. Ia menjambak hingga kepala Jihoon sedikit tertarik kearah belakang.
Dengan suara penuh getar dan diselimuti ketakutan yang dalam, Jihoon membalas, “I-iya.”
Mendengar hal itu, Guanlin merasa puas dan melepaskan jambakannya. Membuat Jihoon meringis karena kesakitan.
“Jihoon kenapa? Apakah sakit?” ucap Guanlin seraya mengelus rambut Jihoon. “Kemari, aku akan peluk dirimu.”
Jihoon terisak dalam pelukan Guanlin. Ia lama-lama bisa gila jika begini jadinya.
Ya, ia gila. Karena ia kerap kali menikmati rasa sakit yang Guanlin berikan.
.
.
.
Hyungseob melirik jam berwarna khaki yang melingkar kebesaran ditangannya. Ia kerap kali meniup tangannya karena dingin yang menerpa.
“Nak, temanmu itu belum datang?”
Gelengan kecil Hyungseob berikan sebagai jawabannya. Ia menghela napas dan berkata, “Ayah bisa pulang duluan jika kedinginan. Aku sudah besar.”
Lelaki yang menggunakan topi disebelah Hyungseob itu tertawa kecil dan melilikan kembali syalnya agar menutupi wajah penuh bekas lukanya.
“Aku hanya ingin melihat kembali keadaan temanmu.”
Disisi lain, Jihoon dan Guanlin, tentu saja mendatangi Hyungseob sesaat mereka telah memarkirkan kendaraan mereka.
“Halo,” sapa Jihoon dengan ramah. Sedangkan disebelahnya Guanlin tersenyum manis dan membungkukkan badannya.
Hyungseob membalas bungkukkan ramah Jihoon dengan tak kalah ramah. Ia juga tersenyum manis kepada Guanlin. Tak lupa memerkenalkan ayahnya.
“Aku ayah dari Ahn Hyungseob. Panggil saja Paman Ahn. Senang bisa melihat kalian sebesar ini,”suara seraknya mencoba ramah. Memang cuaca sedikit ekstrim ini tak baik untuk orangtua seperti dirinya.
Jihoon tersenyum pada pria tua itu dan membungkuk penuh, “Aku juga senang bisa bertemu dengan paman. Aku Park Jihoon!”
Paman Ahn tertawa lemah dan menepuk bahu Jihoon pelan. Ia memalingkan kepalanya terhadap Guanlin dan membuatnya sedikit tersentak.
“Ah--,”
Guanlin membungkukkan badannya, “–iya, Aku Lai Guanlin.”
“Oh, benarkah?”
Guanlin sedikit mengulum bibirnya dan menganggukan kepalanya.
“Baiklah kalau begitu. Nak, ayah pulang dulu.”
“Hati-hati, yah!”
Dan begitulah lelaki itu pergi dan misi Jihoon dimulai.
Mereka bertiga memasuki Penjara Kogae setelah sebelumnya meregistrasi nama mereka –dengan bantuan Hyungseob tentu. Mereka memasuki sebuah ruangan sempit yang telh berada Woojin yang dengan lesunya duduk dibangku sebrang.
“Woojin …,” Jihoon menatap Woojin dengan rindu. Shabat yang paling tau dirinya dan berbagi pengalaman dengannya kini menjadi narapidana. Menyedihkan.
Lirihan Jihoon tersampaikan dengan baik oleh sang angin pada Woojin. Ia mendongak, menatap Jihoon yang berkaca-kaca. “Hey,” suaranya serak bukan main dan terdengar canggung.
“Guan …, aku mau peluk Woojin,” Jihoon memohon pada Guanlin dan dibalas anggukan ringan olehnya.
Jihoon segera lari menuju Woojin dan berbagi cerita dengannya. Mereka berdua benar-benar menceritakan nyaris segalanya. Guanlin mungkin tak ingin menginterupsi mereka berdua, karenanya ia mengajak Hyungseob keluar.
“Hyungseob-ssi.”
“Ya?”
“Bisa ceritakan sedikit tentang … Woojin?”
Hyungseob melirik cemas dan ragu kearah Guanlin. Karenanya, Guanlin merogoh sakunya dan memerlihatkan ID-nya.
“Tidak … bermaksud untuk meyombongkan diri. Tapi, aku anak kedokteran dan … temenku juga sama seperti Woojin.”
Hyungseob mengerutkan keningnya, “Maksudmu?”
“Kau bisa cek sendiri. Sel nomor 22 dengan nama Kim Jae Hwan. Dituduh membunuh padahal dia sendiri tidak ingat apapun.”
Hyungseob hanya bisa sedikit terkesemi entah karena apa, dan mengangguk.
“Jadi …, Woojin terbangun dengan keadaan berlumuran darah. Ia berada diruang tamunya. Saat akan ke dapur –wastafel lebih tepatnya. Disana ada jejak darah yang sangat banyak. Woojin takut, ia menelepon polisi lalu bersembunyi dikamar.”
Hyungseob menghela napas dan menatap Guanlin, “Selanjutnya polisi datang dan menemukan orangtuanya tergeletak mati dibawah tangganya –diruang peralatan. Mereka menemukan pisau dengan sidik jarinya. Saat dibawa kesini ia pingsan karena syok. Tetapi saat bangun … ia bahkan tak ingat kalau orangtuanya terbunuh atau kenapa ia berada dipenjara.”
“Sangat mirip kasus temanku,” bisik Guanlin pelan.
“Lupa ingatan. Menarik sekali,” seorang lelaki tinggi dan kurus datang menhampiri mereka.
“Rambut klimis, kulis putih, pakaian formal dengan cukup rapih. Syal tua, yang tentu saja bukan milikmu dan lihat sepatu kotor hanya bagian bawah dan tipis –sedikit beku. Terlalu lama menunggu diluar, kurasa. Kau pasti pengacara dari pemerintah. Membosankan,” lelaki itu menggendikkan bahunya lalu melirik Guanlin.
“Rambut klimis tidak berlebihan dan potongannya rapih. Pelajar. Kenapa pelajar ada disini? Teman? Keluarga? Tunggu, keluarga Park Woojin telah terbunuh jadi teman. Tapi bisa jadi temannya teman. Tapi kenapa?”
Guanlin tersenyum melihat lelaki ini.
“Kurasa kau akan sangat membantu. Tertarik pada kasus Park Woojin?”
“Sesuatu yang menarik tidak boleh dilewati begitu saja. Aku ikut.”
Guanlin dan lelaki ini tersenyum lalu lelaki itu mengulurkan tangan dan tersenyu lebar –walau terlihat kaku, “Omong-omong, aku Bae Jinyoung.”
.
.
.
Jihoon telah selesai berkeluh kesah dengan sahabatnya itu. Kini ia lelah dan petugas menyatakan waktu mereka telah habis. Jihoon jalan-jalan saja melihat-lihat. Tak lama, ada lelaki yang tampan dan berwajah seperti aktor terkejut melihat dirinya.
Lelaki itu memanggil Jihoon sehingga ia mendekati pagar berduri yang membatasi mereka.
“Park Jihoon? Astaga! Sudah lama sekali tidak melihatmu,” ucap lelaki itu.
Jihoon membulatkan matanya dan memiringkan kepalanya tak paham.
“Kau … siapa? Aku tak ingat. Sungguh, maaf.”
“Well, tentu kau taakan ingat kita hanya pernah bertemu sekali dikaki gunung. Hanya bersapa sekali dan saat itu kita bersama dengan Edward. Aku Seungwoo, jika kau lupa.”
“Maafkan aku,” Jihoon menggembungkan pipinya.
“Oh ya, apa kau masih bersama Edward? Diakan terobsesi denganmu.”
“Kurasa tidak.”
Seungwoo mengangguk dan tersenyum. Tak lama, ia memasang ekspresi terkejutnya.
“E-edward?”
Guanlin, Hyungseon dan Jinyoung menghampiri Jihoon dan membawanya pergi. Setelah sebelumnya Seungwoo berkata pada Jihoon, “Kau … yakin akan terus bersama Edward? Kau sebaiknya jauhi dia.”
Dan semua hanya bisa menatap Seungwoo dengan tatapan berbeda.
Berbeda makna, berbeda hasrat.
TBC.
Btw gaes minta pendapat buat cover dong.
1.
2.
3. Yang sekarang?
Ayo bantu naru!
Tertanda,
Naru yang lupa kalo micoci ada di mix9 jadinya gak nonton.
Ps. Padahal micoci kesatu hikZ.
(kata adek akusi)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro