2. Kehilangan
"Ingat kata kakak! Tidak boleh bangun sebelum petang hari!" lalu Aksari mengecup kening Aksara dan berlalu pergi untuk mengorbankan diri.
Belum juga selangkah ia pergi. Tangan kecil Aksara memegang pergelangan tangan Aksari.
"Hiks...Hati-hati Kakak. Aksa tunggu di sini."
"Hemm." Aksari mengangguk yakin. Lalu melepaskan pergelangan tangannya dari Aksara, Adiknya.
"Selamat tinggal Aksara." Ucap Aksari dalam hati
*****
Aroma ketakutan tidak lagi ketara pada wajah bocah lelaki yang berpipi merah dan tembam yang tertidur lelah di balik malam yang berawan tipis. Kulit wajahnya yang putih, serta jejak air mata yang mengalir membuat malam bersedih. Rambutnya yang ikal berwarna hitam kemerahan, membuat ia nampak kasihan.
Kala itu, Aksa menggenakan baju berwarna coklat kusut. Itu bukan kaos tapi lebih mirip seperti kemeja kebesaran, hanya saja tidak berkancing. Lebih seperti kimono dengan ikat berupa kain. Seperti itulah gaya pakaian di era itu, setidaknya di wilayah tempat Aksa berada. Sebab setiap tempat memiliki budaya yang berbeda. Begitu juga cara berpakaian mereka.
Aksa tertidur karena lelah menangis, menunggu sosok yang diharapkan tetap hidup untuk menyuapkan makanan ke mulutnya ketika ia bertemu lagi. Tetapi meski ia lelah menunggu. Aksari tidak juga kembali.
Tubuh si kecil Aksara masih terbungkus kain goni serta beberapa kayu rapuh di atas tubuhnya, karya dari kakaknya untuk melindungi dirinya. Hari sudah petang. Angin malam berhempus pilu. Seolah tau rasa layu di dalam jiwa anak itu.
Aksara mengeliat hingga membuat beberapa kayu rapuh juga ikut bergerak dari atas tubuhnya. Aksara terbangun di tengah malam yang pilu.
"Kakak..." kata pertama yang keluar dari mulut Aksara ketika terbangun.
Suaranya sangat lirih dan kecil. Ia mengucek matanya. Aksa kemudian bangun dari posisinya tidur terlentang menjadi duduk. Kemudian menyingkirkan kayu-kayu rapuh dari tubuhnya dengan tangan munggilnya.
"Kak Sari..." panggil Aksa yang ke dua kali.
Aksara terbiasa ketika membuka mata, selalu ada Aksari di sampingnya. Jika tidak, cukup dia berteriak sekali. Lalu Aksari selalu menghampiri. Begitulah hubungan Kakak dan Adik yang begitu harmonis. Mereka berdua saling menjaga. Aksari selalu memprioritaskan adiknya lebih dari segalanya. Begitu pun sebaliknya, Aksa selalu membenci apapun yang membuat kakaknya menangis. Tapi Aksa selalu merasa menjadi pihak yang merepotkan kakaknya. Ia bertekad menjaga air mata Aksari. Tetapi ia pun tidak mampu menjaga air matanya sendiri.
Tapi kali ini berbeda Aksa. Siapa yang akan kamu jaga air matanya? Dia belum kembali. Kakakmu tidak berada di sisimu. Kamu sekarang sendiri.
"Kak Sari belum kembali?" ucap Aksa dalam hati.
Aksa baru menyadari bahwa ia ditinggal sendiri berselimutkan kain goni. Dalam-dalam bersiul rasa was-was dalam hati Aksa. Was-was itu hanya terasa tanpa ia dapat mengambil arti. Takut... setidaknya simpulan itu yang ia cerna sedangkan yang lain hanya menduga-duga.
Aksara lalu bangkit. Berteriak memanggil nama kakaknya.
"KAK SARI...!" Teriak Aksara sambil menggunakan telapak tangan yang dibentuk seperti pelantang suara ke arah utara. Aksari tadi pergi ke arah utara, masuk ke dalam Desa Adas.
Maaf Aksa. Kakakmu belum kembali. Suaramu tidak sampai padanya. Melainkan hilang diterpa dinginnya angin malam.
"Kakak pasti selamat."
Kini Aksa mulai gelisah di kepung kegelapan. Bukan karena takut gelap. Ia sudah terbiasa dengan gelap. Tapi ia mulai berpikir macam-macam. Hatinya was-was. Kini sudut bibirnya memincing dan melengkung. Ia seperti hendak mengambil ancang-ancang untuk menangis.
"Kakak...aku menunggumu." ucapnya sambil menunduk ke arah debu-debu yang menempel di sepatu.
"Kak Sari sudah janji akan kembali...kakak belum mati kan? Aksa takut sendiri. Kakak kalau mau mati, ajak Aksa juga pergi. Biar kita bersatu di alam lain." ucap Aksa sesenggukan.
Aksara tidak percaya, dirinya kini sendiri. Air matanya mengalir terus tanpa henti. Hatinya sesak dan ketakutan. Takut akan kakaknya yang belum kembali. Takut akan kehilangan yang bertubi-tubi.
Ayahnya suda lama mati, lalu ibunya, tetangganya, sanak saudara, dan teman-temannya. Ia bahkan melihat bagaimana teman bermainnya meregang nyawa karena satu tembakan. Meskipun belakangan ini, ia telah sering melihat orang mati. Tetapi itu bukan alasan untuk membiasakan diri mati rasa atas kehilangan orang yang disayangi.
Kini Aksari pun belum kembali. Aksa serasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ia takut sendiri. Bocah kecil yang malang berdiri dikepung kegelapan.
Hari sudah petang, namun Aksari belum juga kembali. Padahal sebelumnya sudah berjanji untuk kembali sebelum kakaknya pamit pergi.
"Kak... hari sudah petang. Kembalilah!" ucapnya bernada lirih dan hampa.
Aksara bingung harus bagaimana. Ia ingat, Kakaknya memintanya untuk pergi, jika petang hari masih belum juga Aksari kembali. Batin Aksara berkecamuk. Apa yang harus dilakukan? Hari sudah lebih dari petang. Pikir Aksa, Kakaknya akan kembali. Barang kali masih dalam perjalanan atau Keadaan genting. Jadi tidak bisa cepat-cepat kembali.
Aksara mencoba menghibur diri dengan berpikir positif.
"Kakak Pasti kembali. Aksa harus berani! Mungkin kakak sedang dalam perjalanan. Aksa akan tunggu sampai Kakak kembali,"
Aksara mulai menegarkan hati. Menghapus air mata dan mencoba menghentikan tangis.
Menunggu adalah hal yang paling menguras emosi. Jika yang ditunggu adalah orang yang disayangi. Sudah jelas hati akan gelisah dan was-was. Begitu pun yang dirasa si bocah kecil Aksara. Setiap detik, menit, dan jam ia habiskan menanti dalam kegelisahan.
Aksa masih menanti, meski beberapa kali ia tertidur lalu bagun lagi. Setiap ia bangun, ia selalu berharap kakaknya telah kembali. Tapi sayangnya harapannya kandas.
Malam telah mencapai puncak tengah malam, satu jam lagi hari sudah berganti. Aksa berdiri di tengah kegelapan, menghadap utara. Tangannya satu dengan yang lainnya saling bertautan. Padangannya mencoba menembus kegelapan tapi tidak bisa. Ia masih menunggu. Tetapi apa yang ditunggu belum juga kembali. Jelas bagi Aksa bahwa waktu sudah cukup menjawab, bahwa dirinya telah sebatang kara. Ia sudah lelah menitihkan air mata. Ia sudah lemas kehabisan tenaga karena menangis.
Kini Aksa tak lagi mampu menangis. Ia seperti dehidrasi karena cairan tubuhnya habis karena menangis. Terlalu banyak untuk hari ini air mata yang dilepaskan. Itu membuat lututnya gemetar ketika berdiri. Suara tangisnya memang sudah tidak terdengar lagi. Tetapi ada suara lain yang yang hadir mengusik. Suara dari perutnya yang bergemuruh tidak kalah pilu.
"Aksa lapar." ucap Aksara sambil menunduk melihat perutnya. Sedangkan tangan kirinya memegang perutnya yang lapar. Tidak ada makanan di sekelilingnya. Tidak ada apapupun. Belalang atau jangkrik pun tidak ada. Tidak ada apapun yang bisa dimakan.
Kakaknya tidak kembali dan ia kelaparan. Cukup lengkap derita anak kecil. Baru sejenak suara perutnya terdengar oleh telinganya. Kini Suara gemuruh kilat juga melengkapi keadaan malam itu.
Angin mulai berhembus lebih kencang dan dingin. Cahaya rembulan ditutupi awan yang bergumul hitam sehingga malam menjadi lebih gelap. Padahal sebelumnya, cahaya bulan cukup terang meski diiringi awan tipis. Tapi alam punya keinginan yang berbeda. Sekarang lebih gelap dan awan lebih menjadi-jadi.
Gelagar dan cahaya kilat di sela-sela mega mendung yang bergumul-gumul, cukup memberikan pemahaman Aksa untuk berlindung. Tapi dimana? reruntuhan kayu ini tak cukup. Saat-saat seperti inilah Aksara semakin merasa nelangsa dan menderita.
"Aku benci Kak Sari. Kenapa aku ditinggalkan di tempat ini?"
Aksa sepertinya lupa bahwa Ia sempat meminta Aksari untuk meninggalkannya. Bahkan ketika Aksari menawarkan gendongan kepadanya, Aksa menolak. Tapi bukan ini maksud Aksa. Bukan! Aksa ingin Kakaknya selamat. Tetapi sepertinya yang terjadi kebalikannya. Ia tidak ingin menjadi beban Kakaknya.
"Aksa gak jadi sayang Kakak! Aksa sangat-sangat benci Kakak. Aksa menyesal bilang sayang. Aksa menyesal nurut sama Kakak. Kak Sari meninggalkan Aksa pasti karena Kakak menganggap Aksa sebagai beban. Aksa memang beban untuk Kak Sari. Aksa beban. Tapi Aksa gak tau kalau Kakak setega ini. Kak Sari Jahat. Aksa benci,"
Aksara mencoba menyalahkan api kebencian terhadap kakaknya sendiri. Mungkin segala yang terjadi telah membolak-balikkan perasan Aksa. Hati Aksara sakit. Ia merasa kakaknya telah tidak adil membiarkannya sebatang kara. Ini memang tidak adil. Bukan hanya untuk Aksara. Tetapi untuk Aksari juga. Tidak! Tetapi untuk seluruh manusia di dunia. Peperangan adalah nama lain ketidakadilan.
Aksa benci. Ia benci, benci, dan benci. Napasnya sesak menahan nelangsa. Namun dia mencoba untuk tegar walau sudah runtuh pertahanannya. Ia harus membenci kakaknya. Ia harus benci. Ia menganggap Kakaknya pasti suda mati. Cukup dia menunggu. Kakaknya pasti sudah mati.
Aksara tidak ingin mengingat lagi kakaknya. Itu hanya membuat ia semakin sakit dan merasa kehilangan. Ia harus benci. Hanya itu jalan keluarnya. Ia harus benci. Aksara berusaha membenci Kakaknya. Sebab dengan cara membenci ia anggap dapat dengan cepat melupakan kakaknya yang sudah mati.
Aksara benci kakaknya karena tidak membawanya mati. Ia benci hidup sendiri. Berulang kali Aksara mengatakan benci. Sebenarnya hanya sekadar menghibur diri dan membiarkan orang yang disayang hilang dari memori dengan cara membenci. Semakin benci semakin tidak sayang. Semakin benci semakin malas mengingat. Semakin benci semakin...rindu.
Bukankah rasa sayang dan rasa benci ibarat dua ruangan satu pintu? Rasa sayang lahir dari cinta yang terpelihara. Sedangkan benci lahir dari rasa cinta yang tersakiti. Dua-duanya berasal dari satu kata "cinta". Semakin dalam kebencian, semakin dalam mencintai. Semakin dalam kebencian, semakin sering terjebak dalam bayang-bayang. Semakin dibenci...semakin kelam kerinduan. Hukum rasa yang kontradiksi dan membingungkan untuk dimengerti. Rasa benci itulah yang kini berusaha di bangun Aksa. Hanya saja pikiran Aksa tidak serumit itu sebagai anak kecil. Ia tidak paham perbedaan cinta dan benci.
Aksara menundukkan kepalanya. Matanya memandang kaki kecilnya yang masih nyeri. Di dalam sepatunya bersembunyi kaki yang lebam dan lecet. Terasa perih. Tapi tidak lebih perih dari kehilangan saudaranya.
Aksa masih berdiri dan menundukkan kepalanya. Angin mendung di kegelapan menerpa tubuhnya. Dingin. Sensorik pada kulitnya memberikan stimulus pada otaknya untuk merespon rasa dingin yang hanya memberikan kesan perih pada luka yang masih mengangah di dalam hati. Aksa harus kemana? Aksa hidup sama siapa? Berulang kali pertanyaan itu berkeliling di kepala Aksa. Lalu setetes air mata jatuh lagi.
Satu tetes air mata Aksa jatuh ke bumi. Dua tetes air mata jatuh lagi. Tiga tetes hingga tidak terhitung dan tidak terlihat lagi karena ribuan tetes air dari langit telah menyamarkan air mata Aksa yang sekecil biji sawi. Hujan yang cukup deras diiringi kilatan di sela-sela awan menghujani tubuh Aksa. Setiap tetesan terasa perih menjatuhi tubuh aksa. Hujan terasa bukan hujan air, tapi hujan duri. Setiap tetesan yang terguyur serasa sembilu yang tidak terhitung.
Aksa lalu kembali bersembunyi di reruntuhan bangunan kayu yang lebih mirip gubuk ambruk yang sebagian kayunya telah lapuk. Ia duduk meringkuk dan ia menggunakan koin goni sebagai mantel dengan cara menutupkanya di kepala hingga sebagian badan.
Ia meringkuk seperti burung hantu yang kedinginan. Sayangnya, kain goni dan tempat berlindungnya tidak cukup untuk melindunginya dari derasnya hujan. Kasutnya kini basah, luka lecet pada kaki Aksa pun menjadi perih karena air yang merembes ke kasutnya. Ia meringis menahan perih. Tetapi Aksa tidak begitu peduli. Aksa menengadahkan tangannya ke arah hujan. Ia menjadikan kedua telapak tangannya seperti cawan. Lalu ia menampung air di cekungan telapak tangannya. Setelah di rasa airnya cukup banyak. Lalu ia meminumnya. Setidaknya air itu bisa memberikan tenaga dan juga menganjal perutnya yang keroncongan.
***
Aksa berjalan kedinginan. Meski hujan telah berhenti, tapi dinginnya tetap tidak mau pergi. Bibirnya kini pucat dan sedikit kebiruan. Kedua tangannya meringkuk dan memeluk tubuhnya sendiri. Hujan tadi membuatnya menggigil. Ia berjalan tanpa alas kaki. Sepatunya ia tinggal karena basah dan membuat kakinya semakin sakit karena sepatunya basah. Lebam-lebam biru dan goresan berada beberapa bagian kakinya, termasuk punggung kaki dan lecet di mata kaki.
Aksa berjalan ke arah utara. Ia kembali ke Desa Asad. Kakaknya belum juga kembali dan Aksa tidak mau tenggelam dalam kegelisahan. Jika kakaknya belum kembali, maka Aksa yang harus mencari. Begitu pikirnya. Sempat Aksa merasa putus asah dan merasa Kakaknya telah pergi ke alam baka. Tapi kembali Aksa tidak percaya. Ia harus melihat dengan matanya sendiri.
Aksa berjalan memasuki Desa Asad. Desa yang beberapa jam lalu ia tinggalkan. Tapi kini ia berjalan ke arah sana. Susah paya Aksa dan Kakaknya berlari dan hampir tertembak mati, Aksa malah kembali lagi. Aksa seolah tidak menghargai pengorbanan Aksari untuk menyelamatkannya. Tapi Aksa tidak peduli lagi. Itu sudah tidak berarti tanpa keberadaan saudarinya.
Beberapa Jam lalu ketika dalam pelarian, tubuh Aksa bergetar ketakutan. Tapi kini, Aksa tidak lagi peduli. Ia tidak peduli apakah Desa Asad masih penuh dengan kumpulan orang bengis atau tidak. Ia hanya ingin bertemu saudarinya. Jika beberapa waktu lalu tubuhnya selalu bergetar karena takut dan trauma, tetapi kini ia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk sekadar bergetar. Langkahnya gontai dan tanpa ekspresi. Pipinya yang tembam tidak lagi merah. Tapi sudah kehilangan warna. Ia berjalan dalam kegelapan malam.
"Tunggu Aksa Kak Sari!" kata Aksa tanpa ekspresi.
Puing-puing bangunan menjadi pemandangan utama. Asap tipis dari arang-arang sisa benda terbakar masih bergemul walau sempat terguyur hujan. Masih sangat amis. Bau darah di mana-mana. Genangan darah yang melarut dengan air hujan menjadikannya nampak seperti kolam merah.Siluet kecil Aksa melewati itu semua.
Desa Asad nampak sepi. Bukan nampak lagi tapi benar-benar sepi. Jangankan manusia. Bangkai manusia pun tidak ada. Kemana bangkai sisa pertempuran tadi? Aksa tidak melihat bangkai satu manusia pun di sana. Tidak ada. Bagaimana mungkin? Kemana perginya mayat-mayat tadi? Apa semua mayat-mayat itu berdiri lalu pergi? Tidak mungkin.
Hanya sisa-sisa kebengisan dan juga bau anjir yang ada. Genangan darah juga masih ada. Tapi semua mayat tidak ada.
"Kak Sari...." panggil Aksa dengan merintih.
Aksa menoleh ke arah kanan dan kiri. Menyisir setiap reruntuhan yang ada. "Kak Sari. Aksa di sini. Tolong jangan tinggalin Aksa sendiri!" kata Aksa sedikit menjerit, meski suaranya tidak begitu lantang.
Aksa masih berjalan menyusuri puing-puing. Beberapa kali meringis karena kakinya yang perih menginjak batu dan permukaan bumi yang sedikit melancip. Aksa mencari dan mencari. Berharap menemukkan keberadaan Aksari. Terkadang ia berjongkong melihat kolom-kolom reruntuhan seolah menganggap Aksari tertimbun di dalamnya.
"Apa Kak Sari benci Aksa ya? Aksa bohong tadi. Aksa tidak benci Kakak. Aksa bohong kok. Sekarang Kak Sari keluar ya....?Aksa lapar. Hiks " ujar Aksa.
Sayangnya panggilan Aksa tidak menemui jawaban. Tidak ada siapapun. Di saat seperti itu. Aksa mendengar sesuatu yang sedang mendengus dan bergerak di balik reruntuhan yang berada di radius kurang dari lima meter darinya.
Sejenak Aksa takut hendak berlari. Tapi Aksa mengurungkannya. Aksa berpikir, bisa jadi itu adalah Aksari, kakaknya. Lalu dengan langkah ragu, Aksa mencoba mendekati. Perlahan suara di balik reruntuhan itu semakin jelas. Setiap langkah Aksa mendekati sumber suara membuat jantung Aksa was-was. Ia berharap di balik reruntuhan itu adalah Aksari. Tetapi Aksa juga takut, apabila di baliknya adalah musuh. Meski tadi seolah dia merasa tidak peduli. Tetapi jiwanya masih belum stabil. Ia juga masih takut.
Perlahan Aksa mendekati reruntuhan itu. Suara dengusan terdengar jelas. Kemudian Aksa mencoba mengintip apa yang ada di balik reruntuhan itu. Ternyata itu adalah seekor anjing liar berwarna hitam.
Suara dengusan itu berasal dari anjing itu. Aksa hanya melihat bagian belakang anjing itu, tubuh dan ekornya. Bulunya tipis berwarna hitam legam, badanya terlihat panjang, dan kurus sampai-sampai tulang-tulang rusuknya terlihat. Binatang itu membelakangi Aksa. Anjing itu nampaknya sedang memakan sesuatu dengan lahap. Hanya saja tidak dapat terlihat oleh Aksa karena posisi anjing yang membelakanginya.
Aksa bersikap hati-hati dan bersembunyi dari Anjing hitam itu. Bisa jadi anjing itu berbahaya dan berbalik menyerang Aksa. Ia hendak pergi tetapi sebelum ia pergi ia tercengang, tidak percaya karena anjing hitam itu merubah posisinya, tidak lagi membelakangi Aksa.
Anjing itu tidak mendegus tanpa alasan. Binatang itu sedang menikmati makanan. Hanya saja yang dimakan anjing itu adalah... POTONGAN KEPALA MANUSIA. Aksa menutup mulutnya karena tercekat. Ia tidak percaya. Kepala manusia itu adalah kepala seorang gadis dengan rambut di kepang dua. Meski bentuk wajahnya hancur. Tapi kepangan rambut itu menjadi tanda pengenal bagi Aksara.
"Kakak...." Pekik Aksara sambil berdesir pilu hatinya.
Bersambung....
Apa pendapat kalian tentang part ini? Trasgis ya? Jangan lupa vote ya.... Btw kalau ada typo segera Author perbaiki. Hhhhhhh. TOUCH SCREEN author kecil. Jadi agak jelimet.
Rasa sayang lahir dari cinta yang terpelihara. Sedangkan benci lahir dari rasa cinta yang tersakiti. Dua-duanya berasal dari satu kata "cinta". (MH. Ainun Najib)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro