Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hari ke-5: Ujian di Saat Puasa

Kalau saja kita berlama-lama meratapi keadaan, maka tak ada satu pun nasib yang bakal Tuhan rubah untuk kita.

-Syifa-

***

Keesokan harinya, setiap siswa sudah memasuki waktu sekolah masing-masing. Namun, sebelum akhirnya pergi ke sekolah, Umairah bingung ketika harus menghubungi Salim atau tidak. Eh, lebih tepatnya, membalas pesan-pesan yang ada. Pasalnya, gadis itu dikontak oleh lelaki yang sejak lama menjadi teman di organisasi rohis.

Alangkah terkejutnya Umairah ketika di ponselnya didapati pesan dari Salim yang berbunyi sebagai berikut. "Eh, Umairah. Kau mendapat sesuatu yang WOW tidak, kemarin?"

Gadis itu tak tahu harus menjawab apa. Sebegitukah keponya si Salim sampai harus mengontaknya via Instagram, setelah membuat suatu Instastory? Akhirnya, dia tutup Instagram sejenak dan kembali berkutat dengan buku-buku pelajarannya.

Hari ini adalah kebagian pelajaran Matematika dan Agama Islam yang diujiankan, sehingga sepertinya Umairah bersikap sedikit santai. Mengapa? Karena kedua mata pelajaran tersebut adalah yang difavoritkan oleh dirinya.

"Ah, lebih baik aku pusing karena hitungan daripada memikirkan balasan yang tak jelas untuk Salim. Bisa-bisanya dia mengacaukan konsentrasiku ...."

Akhirnya, ponsel pintar itupun dijauhkan dari sang pemiliknya yang mulai fokus mengerjakan soal-soal bayangan ujian yang ada di hadapannya. Meski nantinya, Umairah pun membalas pesan dari Salim.

***

Beberapa jam kemudian, Umairah telah sampai di sekolah sekitar jam 9 kurang. Nah, di waktu itu, gadis tersebut dengan mudahnya menemukan seorang teman seperjuangan yang sedang duduk sendirian di taman.

Lebih tepatnya, di suatu bangku di mana mejanya berbentuk lingkaran.

"Hei, Syifa!" seru Umairah ketika melambaikan tangan ke arah teman yang dilihatnya. Lantas, yang dipanggil pun balas melambai ke arah Umairah. Gadis tersebut berlari ke arah Syifa lalu duduk di sampingnya, karena masih ada empat bangku kosong yang mengitari meja bundar.

"Kau sudah baikan, Syif? Siap ikut ujian?" tanya Umairah itu kemudian.

"Kalau saja kita berlama-lama meratapi keadaan, maka tak ada satu pun nasib yang bakal Tuhan rubah untuk kita." Begitulah yang Syifa katakan pada Umairah. Gadis itu tak ingin terlalu sedih di balik cobaan yang merintanginya.

Umairah tahu bahwa sebenarnya lama waktu hidup untuk Syifa di dunia tinggal menghitung hari. Mungkin saja nanti, di akhir Ramadhan, waktunya telah berakhir, atau entahlah. Tuhan yang tahu skenario perjalanan hidup seorang manusia yang sesungguhnya.

Umairah hanya bisa tersenyum miris, melihat kondisi Syifa yang sebetulnya sudah berubah. Muka temannya itu terlihat pucat oleh dirinya, sehingga gadis yang berhijab segiempat tersebut dapat merasakan apa yang Syifa rasakan saat ini.

“Maafkan aku, Syif. Aku tak bisa membantu banyak,” ujar Umairah lirih, yang membuat Syifa terlihat kebingungan akan kata-kata barusan. Lantas, temannya itupun bertanya balik, “Lah, kau kenapa, Umair? Ada masalah sehingga engkau meminta maaf seperti itu?”

“Sepertinya begitu, Syif. Aku benar-benar tidak bisa menjadi teman yang baik bagimu.”

Umairah begitu menyesal karena telah menyia-nyiakan Syifa, itulah yang dapat ditangkap oleh temannya. Namun, Syifa tetap bisa tersenyum. Dia memeluk Umairah dengan sangat erat, seakan-akan dia tak ingin melepaskan pelukan itu dari temannya sendiri. Dalam pelukan yang sangat erat itu, Syifa berujar, “Umair, tak baik kalau kau menyesal seperti itu. Lagipula, akukan diuji oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, jadi kau tak perlu meminta maaf. Semuanya sudah jelas itu datangnya dari Allah, bukan darimu.”

“Tetapi tetap saja, Syif. Aku merasa—“

“Tenang saja, Umairah. Aku bisa menghadapi cobaan ini. Insyaa Allah aku kuat, lillahi Ta’ala, Allahu Akbar!” seru Syifa ketika memotong ucapan Umairah, lebih tepatnya setelah melepas pelukan itu dari temannya sendiri.

Umairah tersenyum bangga. Dia juga membalas dengan ucapan takbir yang sama, lalu berkata, “Begitu. Ini barulah temanku yang paling hebat!” Lebih tepatnya, berseru dengan nada bicara yang lebih tinggi. Mumpung tak ada orang lain di sekitar mereka.

Tetapi, seketika itulah Umairah lupa akan tujuannya datang ke sini. Lantas, dia bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini, Syif? Lagi menunggu siapa?”

“Aku menunggu laptopku datang, Umair. Karena sesungguhnya, sepupukulah yang selama ini meminjam laptopku, dan sampai sekarang, benda itu belum datang juga ....”

“Oh begitu. Yang sabar ya, Syif. Aku ada di sampingmu. Jangan lupa Allah juga ya,” ucap Umairah dengan penuh kasih sayang pada teman satu-satunya, yang ada di hadapannya. Syifa hanya menganggukkan kepala. Namun, teringat oleh Syifa bahwa baterai ponselnya habis dan dia meminjam pengecas baterai.

“Eh, Umair. Baterai ponselku mau habis nih. Boleh minjam pengecas, tidak?” tanya Syifa dengan penuh sendu, berharap Umairah membawa benda yang dimintanya. Untungnya, Umairah membawa pengecas tersebut. “Aku bawa kok. Tetapi, kau mau isi baterai di mana, Syif?”

“Ikut aku yuk. Mungkin di pos satpam ada tempat untuk mengecas baterai ponsel,” ujar Syifa, seraya menunjuk pos satpam yang ada di hadapan mereka. Lantas, tanpa membalas perkataan Syifa, Umairah mengangguk dan mengikuti arah jejak temannya menuju tempat yang dimaksud.

Namun, sebelum sampai di pos satpam, motor Salim berpapasan dengan Umairah dan juga Syifa. Entah karena apa, motor itu hampir saja menabrak tubuh Umairah yang jelas-jelas ada di hadapannya. Maka, lelaki berkacamata itu terpaksa mengerem motornya agar gadis di hadapannya tak jadi ditabrak.

Untung saja, motornya berhenti tepat di hadapan Umairah.

“Eh, Salim. Kalau kau mengendarai motor itu, hati-hati dong! Jangan seperti tadi!” seru Umairah, hampir saja tersulut amarah sehingga jika dirinya tak bisa menahan amarah, puasanya akan batal saat itu juga.

Lantas, Salim langsung menuruni motornya dan menghampiri Umairah. “Maafkan aku, Umair. Aku tadi tak berkonsentrasi saat mengendarai,” ujar Salim, si lelaki berkacamata itu. Tak lupa, dia mengulurkan tangan kanan, sebagai tanda permintaan maaf kepada gadis yang ada di hadapannya.

“Ehm ... kita ini bukan muhrim, Salim,” ucap Umairah secara spontan, sehingga membuat Salim lantas mengurungkan niatnya. “Aku sudah memaafkanmu kok. Santai saja,” lanjut gadis itu lagi. Seketika itulah, perkataan barusan membuat Salim tersenyum manis ke arah Umairah. “Terima kasih, Umair. Engkau adalah gadis multitalenta yang sangat baik. Aku salut padamu.”

“Biasa saja kali pujiannya, Salim. Aku tak ingin semuanya dilebih-lebihkan.”

***

Sambil menunggu waktu ujian tiba, Salim dan Umairah sedang menunggu sesi mereka dimulai. Mereka menunggu di depan lab komputer, mumpung akan berada dalam satu ruangan.

Lalu bagaimana dengan Syifa? Dirinya juga sudah melangkahkan kaki menuju lab komputer yang ada di lantai tiga. Ya, mau bagaimana lagi. Syifa harus menerima nasib yang ada. Maka, tersisalah Salim dan Umairah, berdua di depan lab komputer.

“Maafkan aku, Umairah. Aku tak bisa membalas pesanmu di Instagram,” ucap Salim dengan lirih, di hadapan gadis yang dimaksud. Lantas, gadis itupun hanya tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ucapan Salim. Umairah berkata, “Ah, padahal aku menunggu ada yang kontak aku di Instagram atau pun media sosial yang lainnya. Soalnya aku tak main LINE lagi.”

Lantas, kata-kata dari Umairah barusan membuat Salim terkejut bukan main. Lelaki itu tak menyangka jika temannya itu sudah jenuh ketika bermain LINE. Maka dari itu, dia bertanya kepada Umairah, “Kenapa, Umair? Ada masalah?” Hampir saja air mata meluncur keluar dari mata gadis tersebut ketika ditanya demikian. Dia tak tahu harus menjawab apa pada Salim.

Melihat respon Umairah yang hanya diam tak menjawab apa pun, Salim kembali bertanya, “Ada apa, Umairah? Ceritalah. Insyaa Allah aku bisa bantu mencarikan solusi yang terbaik untukmu. Soalnya aku takut jikalau ....”

“Jikalau apa, Salim?” tanya Umairah itu kemudian.

“Jikalau ada info penting di organisasi Rohis, tapi kau tak buka LINE. Sayang juga, ‘kan?”

“Ah, palingan grup itu lagi sepi-sepinya, Salim. Asal kau tahu, aku tak—“

“Tak boleh bicara seperti itu, Umairah. Aku tahu grup tersebut lagi sepi, tapi aku tak tahu kenapa kau bisa malas bermain LINE. Sekiranya kau bisa menjelaskan apa yang terjadi, aku mengerti, sehingga kita bisa saling komunikasi di mana pun, baik di Instagram maupun WhatsApp."

“Aku lagi tak ingin bercerita, Salim. Aku mau fokus dengan ujianku. Kau fokus saja dengan pelajaran Sejarah dan Agama itu ya,” ucap Umairah pelan, seakan-akan tak ingin menceritakan semuanya pada lelaki itu. Padahal, Salim adalah teman yang paling bisa dijadikan idaman bagi teman-temannya. Setelah mengatakan demikian, Umairah langsung berbalik badan meninggalkan Salim yang masih berdiri kaku di belakangnya.

“Iya, Umair. Insyaa Allah aku bisa fokus. Semangat juga untuk ujian Matematika dan Agama-nya ya,” balas Salim itu pada akhirnya, yang membuat langkah kaki Umairah terhenti sejenak, namun beberapa saat kemudian, gadis itu kembali melangkah menuju tempat duduknya, setelah dipersilakan masuk ke lab komputer oleh guru-guru yang mengawas.

“Aku mengerti kalau kau tak mau cerita padaku, Umair. Semoga masalah yang kau hadapi bisa selesai seutuhnya. Aamiin,” ujar Salim dalam hati, lalu duduk di bangku yang tersedia, yang ada di dekat pintu.

***

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro