Hari Ke-3: Ada Apa Dengan Syifa?
Segala ketetapan yang dibuat olehNya harus diikuti dengan baik, sekaligus berusaha untuk memperbaiki diri ke depannya.
-Umairah-
***
Syifa masih dirawat di rumah sakit, namun keadaannya kini sudah membaik. Risya dan Umairah pun merasa lega karena kondisi sahabat seiman mereka sudah membaik. Lantas, keduanya memutuskan untuk membelikan makanan enak untuk kepulangan Syifa nanti.
"Bagaimana kalau kita membeli makanan untuk Syifa? Mumpung dia lagi tidur siang nih," usul Risya dengan nada berbisik ke telinga Umairah. Seketika itulah, temannya langsung setuju atas pendapat barusan. Maka, tanpa berpamitan dengan Syifa, Umairah dan Risya langsung meninggalkan ruang rawat tersebut.
***
"Umair, kita mau beli apa nih? Nasi, kue, atau sekedar kurma saja?" tanya Risya seraya mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Pertanyaan barusan membuat Umairah berpikir keras, saking bingungnya mau membeli makanan apa yang cocok.
"Memangnya Syifa suka makanan apa? Kamu tak tahu?" Umairah lantas bertanya balik sambil memikirkan makanan kesukaan temannya yang sakit.
"Heh, malah balik tanya. Astaghfirullah, ampuni dosaku dan dosanya, ya Allah!" seru Risya tanpa menoleh ke arah Syifa yang duduk di jok belakang.
"Yah, kamu lebay amat sih, Ris." Umairah berkata demikian, lalu berucap istighfar di dalam hatinya. Kalau saja dia tak sayang pada Risya, gadis berkerudung langsung itu pasti tak tahan akan sikap Risya. Sedangkan temannya yang mengendarai motor itupun hanya terkekeh geli.
Hingga pada sepuluh menit kemudian, sampailah mereka di depan suatu deretan restoran di mana mereka akan menemukan makanan favorit Syifa di satu tempat. "Jadi Umair, kalau kau lupa akan makanan kesukaannya, dia itu suka makan kimchi," jelas Risya singkat, sedangkan Umairah hanya mengangguk pelan.
"Oh kimchi. Aku juga suka itu sih, tapi tak terlalulah," ucap Umairah kemudian.
"Kalau begitu, ayo ikut aku! Kita beli makanan untuk Syifa, sekalian berbuka puasa," ajak Risya sambil menarik tangan Umairah menuju restoran yang dimaksud. Gadis itu tahu akan restoran yang terbaik demi sahabat-sahabatnya.
Namun alangkah terkejutnya ketika restoran yang dicari-cari mereka masih tutup. Artinya, restoran itu tak buka selama panas masih menyengat kulit. "Astaghfirullah, kenapa siang-siang begini restorannya tak buka?" tanya Risya yang sebenarnya tak perlu ditanyakan, karena mereka sudah harus tahu jawabannya.
Sedangkan Umairah yang sedari tadi di belakang Risya itupun hanya bisa pasrah, karena inilah cobaan yang cukup berat. Ya, lebih parah lagi ketika mereka mendapat telepon dari rumah sakit. Buktinya, nada dering berbunyi di ponsel Umairah.
"Ramadhan ini ... bulan yang sangat indah ...."
"Ya ampun, bunyi apa itu? Umair, coba cek ponselmu!" seru Risya seraya memerintahkan temannya untuk mencari sumber suara. Setelah Umairah melakukan demikian, memang benar bahwa ada sesuatu di ponselnya. Dia pun kebingungan karena yang memanggilnya adalah nomor tak dikenal. Namun di luar dugaan, langsung saja gadis itu menjawab panggilan masuk tanpa mengacuhkan Risya.
"Halo, iya dengan siapa?"
"..."
"Ehm, sebenarnya saya temannya, Dok."
"..."
Umairah menyimak apa yang dibicarakan dokter di balik panggilan telepon, seketika itulah gadis penulis tersebut diam tak berkutik. Sedangkan Risya justru kebingungan akan sikap temannya saat ini. “Hmm, Umair, apa yang terjadi? Kasih tahu dong!” seru Risya, menunggu kepastian akan apa yang terjadi sebenarnya. Sedangkan Umairah hanya diam tanpa berkata apa pun. Hingga yang ada di seberang sana sudah selesai menjelaskan sesuatu, Umairah langsung terkejut bukan main.
“Astaga! Syifa ....” Air mata Umairah mulai keluar.
“Ya ampun, Umair, kau kenapa?” Risya pun juga merasakan apa yang Umairah rasakan. Tangisan mulai pecah di antara keduanya, alhasil suasana pun menjadi semakin sendu. “Ya Allah, Umair, bicaralah sesuatu! Kalau tak demikian, bagaimana aku bisa menenangi dirimu?”
Umairah yang mendengar seruan temannya itupun lantas memeluk Risya bukan main. Mungkin dengan berpelukan, gadis tersebut bisa lebih leluasa untuk menumpahkan semua isi hatinya. Sedangkan Risya tak paham akan apa yang terjadi, karena tak ada cerita yang dikisahkan oleh temannya.
Namun gadis berkerudung yang diselempangkan ke belakang bahu pun hanya bisa membalas pelukan, memberikan kesempatan kepada Umairah untuk meluapkan emosinya.
“Aku tak paham, Ris. Syifa ... dia ... ternyata Allah mengujinya dengan cobaan yang begitu berat huhuhu ....”
“Ada apa dengan Syifa? Tolong beritahukan padaku!” tanya Risya kemudian, saking tak sabar mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh Umairah nanti. Tak berselang lama kemudian, masih di dalam pelukan, Umairah berkata, “Ris, Syifa itu kena kanker di otak. Asal kau tahu, ternyata berawal dari fobia akan tulisan, ternyata malah berdampak ke otak. Kata dokter juga, di antara sel-sel sarafnya, ternyata ada yang rusak.”
“Sel sarafnya rusak? Kanker otak? Berawal dari fobia?” Rentetan pertanyaan dari Risya mulai bermunculan, padahal sebaiknya gadis itu tak perlu menanyakannya. Umairah hanya mengangguk-angguk, dan dirinya tak tahu harus berkata apa lagi.
“Maafkan aku, Umair ... harusnya kutak pergi meninggalkannya,” ucap Risya lirih.
“Tidak, ini bukan salahmu. Ini adalah ketetapan Allah. Segala ketetapan yang dibuat olehNya harus diikuti dengan baik, sekaligus berusaha untuk memperbaiki diri ke depannya. Itulah yang dapat aku ucapkan padamu, Ris,” ujar Umairah seraya memberikan sedikit nasehat kepada temannya.
Setelah mengatakan demikian, Umairah melepaskan diri dari pelukannya dengan Risya, lalu kembali ke rumah sakit yang tadi. Alhasil, mereka berdua tak jadi membelikan kimchi untuk Syifa.
***
“Sumpahlah, astaghfirullah!”
Sebenarnya Risya dan Umairah berniat untuk kembali ke rumah sakit, namun tiba-tiba mereka malah terjebak oleh pertemuan dengan kedua orang ikhwan. Rencananya, keempat orang itu ingin menjenguk Syifa bersama-sama, namun ada suatu konflik yang terjadi secara tak terduga.
“Benar, Salim! Aku—eh maksudku kami berdua baru saja mendapat kabar dari sang dokter. Begitulah kondisi Syifa. Kanker otak dan sel-sel sarafnya ada yang rusak,” ujar Umairah. Setelah itu, Risya langsung menyambungkan kalimat yang diucapkan barusan. “Jadi, kami tak membelikan makanan untuk Syifa, melainkan kembali ke rumah sakit itu lagi. Tapi ternyata tak sampai juga. Ternyata kalian mengganggu perjalanan kami.”
“Afwan, Ris, Umair. Aku tak bermaksud untuk mengganggu perjalanan kalian,” ucap Salim, si ikhwan berkacamata itu, “lagipula, kalian sendiri sih yang tak memberitahukan dulu pada kami. Kalau ada sifat terbuka di antara kita berempat, pasti—“
“Haruskah aku memberitahukan pada kalian, Salim, Thariq?!” seru Risya seraya memotong ucapan Salim.
“Eh, jaga ucapanmu, Ris! Salim dan Thariq kan bertemu dengan kita secara tak sengaja!” sahut Umairah, tak ingin ada pertengkaran yang terjadi di antara Salim dan Risya. Sedangkan Thariq hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat aksi teman-temannya itu.
“Dasar anak-anak zaman sekarang. Ayolah, cabut ke rumah sakit yuk, Ris!” seru Umairah, ingin menghentikan pertengkaran yang masih terjadi di antara Risya dan Salim. Gadis itu langsung menarik tangan kanan temannya kembali ke motor, sedangkan Salim dan Thariq berseru, “Kami ikut, dong!”
“Ayo cepetan!” seru gadis itu lagi, tanpa menolehkan pandangan ke arah Salim dan Thariq.
Maka, Salim, Thariq, Risya, dan Umairah langsung cabut ke rumah sakit itu lagi, untuk memastikan kebenaran yang diucapkan oleh dokter yang menghubungi Umairah via telepon.
***
Umairah, Salim, Thariq, dan RIsya telah memasuki rumah sakit yang sama. Mereka mencari keberadaan Syifa, apakah benar dia dipindahkan ke ruang ICU atau tidak. Setelah mencari-cari ruang ICU, sayangnya, tidak ditemukan orang di sana. Lantas, Umairah mengajak ketiga orang lainnya untuk kembali ke ruang rawat Syifa, dan memang benar, dirinya masih bisa ditemukan di dalamnya.
Seketika itulah, keempat orang itu, baik ikhwan maupun akhwat, langsung memasuki ruang rawat inap biasa, tempat Syifa dirawat.
"Syifa!" seru Umairah, lalu berlari memeluk gadis itu, mendekapnya ke dalam pelukan, dan alhasil, Syifa tak percaya atas apa yang Umairah lakukan.
"Umairah, apa yang terjadi padaku?" tanya Syifa dengan nada lirihnya. Lantas, Umairah tiba-tiba diam terbisu, tak tahu harus berkata apa. Setelah beberapa saat, gadis itu memutuskan untuk menyimpan baik-baik kabar buruk yang didapat, lalu berkata, "Tenanglah, Syif. Semua akan baik-baik saja. Maksimalkan ibadahmu di bulan Ramadhan, oke? Masih ada kesempatan untukmu di bulan ini."
Umairah berkata demikian sambil mengelus punggung Syifa secara perlahan. Namun, temannya itupun tak mengerti, apa maksud perkataan Umairah barusan. "Apa maksudmu, Umairah? Apa kau ingin mengatakan kalau aku akan--"
"Tidak. Aku bukanlah orang yang seperti itu. Maksudku, kau pasti bisa sembuh, Syif. Dokter juga akan mengizinkanmu pulang. Tolong jaga kondisimu, dan tanamlah investasi untuk kehidupan abadi kelak, oke?" ucap Umairah itu lagi, mencoba untuk menenangkan Syifa sambil memberikan siraman rohani.
Sedangkan Risya, Thariq, dan Salim hanya menyaksikan apa yang terjadi, tanpa menyambung kata-kata dari Umairah. Akhirnya, yang ada hanyalah suara isak tangis dari Syifa.
Mungkinkah Syifa sudah tahu semuanya, atau bahkan belum sama sekali?
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro