Hari ke-29 (2): Selamat Tinggal
"Meski nanti aku harus meninggalkan dunia, tetapi ... setidaknya ... kutelah berkorban demi dirinya. Dia masih layak untuk hidup dan menggapai cita-citanya."
-Syifa-
***
"Ya Allah, UMAIRAHH!!!"
Tanpa berpikir panjang, Salim langsung menggendong Umairah hingga membawanya ke rumah sakit. Sungguh, lelaki itu tak tega ketika harus menghdapi kenyataan pahit yang menyakitkan seperti ini.
"Umairah, Umairah, tolong dengarkan aku. Bangunlah. Aku sangat merindukanmu. Please wake up ...," ucap Salim lirih, yang tentu saja tak digubris oleh Umairah, karena kondisi gadis itu sepertinya sudah sangat kritis alias harus diselamatkan segera kalau tak ingin nyawanya melayang.
Hingga lima menit kemudian, sampailah mereka di rumah sakit. Tubuh Umairah langsung dipindahkan ke atas brankar kosong yang masih tersedia dan kemudian dipindahkan ke ruang Unit Gawat Darurat.
"Salim!"
Tak diduga, Salim bertemu lagi dengan seorang lelaki dan seorang gadis yang terlihat tak asing lagi di hadapannya. Dengan demikian, lelaki itu membalas, "Muklis? Risya?"
***
Di sisi lain, Thariq tak dapat berpikir jernih saat ini. Pasalnya, dia tak bisa menghubungi Risya sedari tadi. Padahal, dirinya merasa ada keperluan dengan gadis berkerudung langsung yang satu ini.
"Duh, ke mana ya si Risya? Mengapa aku tak bisa meneleponnya? Apa perlu kukirimi pesan saja ya?" tanya Thariq pada dirinya sendiri. Maka, untuk mengatasi kegalauan yang semakin meluas, lelaki itu langsung membuka aplikasi WhatsApp dan mengirim beberapa pesan kepada gadis di seberang sana.
0823xxxxxxxx
Assalamu'alaikum, Risya.
Kau ke mana saja? Kok teleponku tak diangkat? Sibuk ya?
Bisakah kita bertemu? Aku ada perlu soalnya.
Ketemunya di rumah sakit tempat Syifa dirawat saja.
Sampai nanti.
Setelah itu, Thariq langsung menutup aplikasi yang sama dan mematikan layar ponselnya tanpa ditunda-tunda lagi.
***
"Iya Salim. Ini kami," sahut Risya kemudian. Lantas, Salim pun langsung bertanya, "Buat apa kalian di sini? Ada sesuatu?"
Kini, giliran Muklis yang menjawab, "Risya ke sini karena ada temannya yang masuk ke rumah sakit. Sedangkan aku juga di sini karena kakakku yang dirawat di sini."
"Teman? Siapa? Tak mungkin nunggu Umairah di sini sebelumnya 'kan?" Masih nampak sekali sifat kepo yang muncul oleh Salim, terlihat dari apa yang dikatakan sebelumnya.
Risya menjawab lagi, "Iya. Di sini, Syifa masuk rumah sakit, dan kami lagi menunggu kakak sepupunya. Kini, Umairah masuk ke sini juga, jadi kami ikut-ikutan kamu untuk menunggu kabarnya selanjutnya."
"Dasar kalian semua." Salim pun memanyunkan bibirnya dan tak berkata apa pun lagi. Setelah itu, mereka bertiga pun menunggu kabar dari dokter mengenai Umairah. Semoga saja gadis itu baik-baik saja.
Hingga beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan UGD dan bertanya, "Ada apa di sini? Kalian keluarganya si pasien ya?" Seddangkan Salim, Risya, dan Muklis hanya mengidikkan bahu masing-masing, pertanda bahwa mereka bukan keluarga dari Umairah.
"Jadi begini. Pasien mengalami koma, sehingga terasa sulit untuk bernapas dan sebagainya. Apalagi darah yang mengucur keluar dari hidung itu terlihat sangat jelas ...."
Lantas, Salim, Risya, dan Muklis pun terkejut bukan main ketika mendapati bahwa Umairah harus mendekam lebih lama di dalam ruang ICU sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan. Alangkah menyedihkannya nasib gadis itu sekarang. Kini, dia tak bisa menyambut lebaran bersama yang lain.
Tetapi, bukan hanya Umairah yang bernasib demikian. Syifa pun juga begitu. Entah apa kabarnya sekarang ini, sampai-sampai Risya berpamitan untuk sementara, buat mengecek kondisi temannya itu.
"Hmm, Salim, Muklis. Aku ke kamar Syifa dulu ya. Nanti aku balik lagi. Hubungi aku saja kalau dia sudah dipindahkan."
"Baik, Risya," ucap Salim kemudian.
Setelah itu, Risya pun pergi meninggalkan kedua lelaki itu dan menyusul kak Ika yang sedari tadi sudah menghubunginya, menuju ke kamar temannya. Mengapa? Karena Risya mendengar kabar bahwa orang yang fobia akan tulisan itu sudah sadar.
Hingga pada beberapa saat kemudian, sampailah Risya di kamar Syifa. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika mendapati bahwa Thariq juga ada di sana saat ini. "Risya?"
"Thariq ... pergi kamu sana!" seru Risya seraya menarik-narik baju Thariq agar segera meninggalkan ruang rawat biasa itu. Namun, lelaki tersebut tak ingin pergi, melainkan berkata, "Risya, apa salahnya kalau aku juga ikutan menjenguknya?"
"Kau salah, Thariq. Kau datang seakan-akan kau adalah tamu yang tak diundang di sini," ucap Risya dingin.
Mendengar ucapan Risya itu, Thariq berujar, "Ah, apa salahku? Aku tak melakukan apa pun. Kan sudah menjadi kewajiban bagi tiap Muslim itu untuk datang menjenguk saudaranya sendiri, sekalipun dia tak masuk dalam silsilah keluargaku."
"Sok-sokan kamu. Aku kesal sama kamu," ujar Risya kemudian, yang sedari tadi menahan kekesalan yang akhirnya terungkap.
Tak pernah terduga sebelumnya, Risya mengeluhkan rasa sakit yang masih terasa di kepalanya. Mendengar rintihan dari gadis yang baru saja tersadar, Risya dan Thariq menghentikan perkelahian mereka dan menghampiri Syifa. "Syif, kau sudah sadar?"
"Risya ... Thariq ...." Begitulah yang Syifa ucapkan saat mendapati bahwa dua orang itu benar-benar berada di sekitarnya. Setelah itu, dia bertanya, "Di mana kak Ika?"
Lantas, Risya dan Thariq terkejut bukan main, namun pada akhirnya mereka menjawab, "Kami tak tahu, Syif."
"Lalu, di mana Umairah?"
Mendengar pertanyaan itu, airmata kedua temannya Syifa langsung pecah. Melihat respon mereka, Syifa kebingungan bukan main, tak tahu akan apa yang sedang terjadi pada Umairah. "Hei, Umairah kenapa? Jawab aku!"
Satu menit, Risya dan Thariq terdiam.
"Risya! Thariq! Tolong jawab aku! Ada apa dengan Umairah?!"
Dua menit, mereka masih dengan respon yang sama.
Hingga tiga menit, Risya mengatakan yang sebenarnya kepda Syifa. "Umairah koma. Barusan kudengar dari Salim bahwa dia kekurangan darah."
"Innalillahi!" Tangisan Syifa langsung pecah seketika. Gadis itu tak dapat berkata apa-apa selain menangis dan terus menangis. Sedangkan Risya dan Thariq terlihat sedang menenangkan Syifa agar tetap tenang.
"Aku akan mendonorkan darahku untuknya!"
Lantas, seruan dari Syifa membuat kedua temannya itu terkejut bukan main. Bagaimana mungkin seorang gadis yang baru saja tersadar dari tidur panjang dapat mendonorkan darah kepada seorang korban lainnya yang sedang berjuang antara hidup dan mati?
"Syif, please pikirkan dulu resikonya kalau kau--"
"Aku sudah memikirkannya, dan aku siap menghadapinya. Jangan pernah membuatku merasa bersalah karena ini, karena aku akan melakukan yang terbaik demi Umairah. Meski nanti aku harus meninggalkan dunia, tetapi ... setidaknya ... kutelah berkorban demi dirinya. Dia masih layak untuk hidup dan menggapai cita-citanya."
"Syifa, tolong, jangan lakukan itu. Kita akan mencari pendonor lain untuk Umairah," ujar Thariq lirih.
Namun Syifa masih kokoh akan pendiriannya. Dia tak ingin mencari pendonor lain, melainkan berkorban demi Umairah. Dirinya merasa sudah tak layak lagi untuk menikmati indahnya kehidupan sesaat di dunia. Gadis penderita fobia langka tersebut siap untuk mendonorkan darah kepada Umairah.
"Syifa, aku tak rela ketika harus kehilangan dirimu ...," ucap lelaki itu lagi, yang takkan mampu meruntuhkan pendirian temannya sendiri.
Hingga pada beberapa saat kemudian, seorang dokter datang ke kamar Syifa untuk memeriksa keadaan pasiennya. Namun sebelum beliau melakukan itu, Syifa berujar, "Dok, saya ingin mendonorkan darah pada si Umairah."
"Yakin?"
"Iya yakin, Dok. Tolonglah saya. Saya ingin dia kembali sadar seutuhnya, tanpa ada masalah sedikitpun," ujar gadis itu lagi, yang mampu membuat semua yang hadir hanya bisa terdiam bisu.
Sebenarnya, Thariq dan Risya tak siap ketika harus kehilangan Syifa sebagai resikonya. Tetapi, kalau memang sudah keputusannya, ya mau bagaimana lagi. Hingga pada saat dokter itu menyetujuinya, Syifa memeluk Risya dengan erat, seraya berkata, "Ris, andaikan ini pertemuan terakhir kita, kuharap nanti kau kasihkan surat ini pada Umairah. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya."
"Syifa ...."
Tanpa membalas sapaan itu, Syifa langsung memberikan surat itu kepada Syifa. Secarik kertas yang masih dinodai oleh darahnya sendiri, namun masih enak dipandang.
"Syif, tapi aku tak rela ketika--"
"Sst. Aku tak mau melihat kalian menangis di hadapanku. Ini keputusanku dan kalian harus menerimanya."
Syifa lalu berbaring kembali di brankarnya, siap untuk dialihkan ke ruang donor darah. Jika ini adalah hari terakhirnya untuk hidup di dunia, maka gadis itu mengucapkan, "Selamat tinggal, Risya, Thariq." Lalu Syifa berlalu meninggalkan ruangan itu.
"SYIFAAAA!!!"
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro