Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hari ke-2: Pertemuan Tentang Kabar Buruk

Untung teman, kalau sudah jadi musuh, maka takkan ada nasehat-nasehat yang kukatakan secara berulang kali.

-Thariq-

*****

Hari pertama pun berlalu. Seorang ikhwan yang bernama Thariq berurusan dengan seorang akhwat yang bernama Risya. Lelaki berusia tujuh belas tahun tersebut menghampiri Risya yang kini sedang disibukkan dengan ponselnya.

Thariq bertanya kepada Risya saat ini, "Ris, kamu tahu soal Syifa, gak?"

Sebelumnya, ekspetasi Thariq saat itu adalah agar Risya mendengarkannya dan mematikan ponsel seluler yang dimiliki gadis itu. Namun sayangnya, Risya masih tak peduli dengan lingkungan sekitar. Dia lebih memilih memainkan benda pipih tersebut seraya menjawab, "Enggak. Memangnya kenapa?"

"Syifa masuk rumah sakit, Bodoh!" seru Thariq dengan nada bicara yang semakin meninggi.

Risya pun terkejut. Alhasil, ponselnya tiba-tiba terbanting ke lantai. Semuanya terjadi secara tak terduga, sehingga gadis itu tak menyangka jika sesuatu terjadi pada Syifa. "Sumpahlah, Thariq?" tanyanya tak percaya setelah mengalihkan pandangan ke arah Thariq.

Lelaki itu hanya mengangguk kepala secara cepat dan kembali berseru dengan nada bicara yang semakin tinggi, "Bodoh! Kenapa kau tak pernah peka pada temanmu sendiri? Katanya Syifa itu temanmu!"

"Kalau kau mau ngehina, ya hina aja! Tapi ma'af, aku masih waras, bukanlah orang bodoh yang tak tahu apa-apa!" seru Risya tak mau kalah.

Thariq hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku temannya. Untung saja ikhwan tersebut paham akan kondisi sekitarnya. Kalau tidak, bisa-bisanya dia dihujat habis-habisan oleh Risya. Setelah mendengar seruan Risya yang penuh akan amarah, Thariq pun bertanya, "Ris, kenapa kamu jadi gampang emosian?"

"Kau sendiri, kenapa gampang ngehina aku sebagai seorang gadis yang tak tahu apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Thariq, Risya malah bertanya balik kepada temannya.

"Untung teman, kalau sudah jadi musuh, maka takkan ada nasehat-nasehat yang kukatakan secara berulang kali." Begitu yang diucapkan oleh Thariq di dalam hati kecilnya, seraya tersenyum simpul pada gadis yang ada di hadapannya.

Melihat respon Thariq yang hanya terdiam bisu di hadapannya, Risya kembali berseru, "Heh, kok diam saja? Jawab pertanyaanku dong!"

Seketika itulah Thariq tersadar dari lamunannya tentang Risya, lalu menjawab, "Karena aku tak tahu harus menjawab apa. Kau tahulah, sekarang ini kondisinya lagi urgent banget. Paling tidak, datanglah ke rumah sakit itu hanya untuk Syifa."

"Apa untungnya kalau aku datang ke rumah sakit yang kau maksud?" tanya Risya kemudian.

Sungguh, sebenarnya Risya tak tahu harus melakukan apa. Tetapi ketika diminta datang ke rumah sakit, sepertinya dia trauma akan hal itu.

"Sungguh Thar, aku agak trauma ketika diminta ke sana. Ada banyak darah pasti di sana. Takut ...," ucap gadis itu secara lirih.

"Ya Allah, apa yang kau takutkan dari darah? Tenanglah, semua akan baik-baik saja, kok," ujar Thariq, berusaha untuk menenangkan Risya.

Jujur saja, Risya itu penakut akan darah. Mungkin saja dia divonis menderita fobia, sama seperti Syifa. Hanya saja fobia yang diderita Risya lebih umum daripada temannya. Saking takutnya, dia tak ingin ke sana--rumah sakit. Tetapi, Thariq berharap agar gadis yang ada di hadapannya dapat mengunjungi teman yang sakit, seperti pada sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

"Kalau kau tahu soal hadis Nabi, satu di antara beberapa kewajiban seorang Muslim adalah mengunjungi saudaranya yang sakit. Nah, yang dimaksud 'saudara' itu adalah umat Muslim yang lainnya. Jadi--"

"Kayaknya kau masih tak paham juga ya, huh?" potong Risya sebelum ikhwan itu menyelesaikan kata-katanya.

"Bukannya aku tak paham, Ris. Tetapi aku hanya mengingatkan, karena setiap Muslim berhak atas mendapatkan kunjungan ketika lagi sakit," ucap Thariq, berusaha untuk tetap tenang.

Ya, semoga saja usaha Thariq untuk berdakwah kepada teman di hadapannya takkan sia-sia.

***

"Aku tak nyangka. Benarlah Syifa mengalami yang kayak begitu?" Pertanyaan itu diucapkan oleh seorang ikhwan berkacamata kepada Umairah.

Suasana menjadi semakin tegang setelah sepasang ikhwan-akhwat lainnya bertemu di depan Masjid As-Shabirin yang tak begitu luas. Di situlah Umairah menceritakan sedikit mengenai kisah Syifa, temannya yang juga memiliki ikatan pertemanan dengan ikhwan yang bernama Salim.

"Iya, Salim. Aku baru tahu kisahnya dari orang tua Syifa. Maka dari itu, aku mau ke rumah sakit, tapi tak ada yang dapat nebengin," ucap Umairah lirih.

Sebenarnya, Umairah bukanlah berharap dapat berboncengan dengan seorang ikhwan, tetapi ternyata, Salim benar-benar teman yang paling peka. Dia berkata, "Kalau kamu butuh boncengan, aku siap menyediakannya. Pasalnya, tiap hari aku selalu membawa motor sendiri ...."

Yang benar saja, Salim menawarkan tumpangan di motornya?!

"Salim, apa ini serius? Bukankah kita itu sebenarnya tak boleh berduaan?" tanya Umairah dengan nada yang menunjukkan ketidakpercayaannya.

"Asal kau tahu, kita kan bertemu secara ketidaksengajaan, dan kau menceritakan semuanya tentang Syifa, saudara kita. Jadi ... tak ada salahnya 'kan, kalau aku mengantarmu ke rumah sakit?" balas Salim dengan mengutarakan pendapat tentang boncengan itu.

"Mengantarku ke rumah sakit dengan menaiki motormu adalah suatu kesalahan. Aku takut dianggap dosa ketika kau melakukannya," ucap Umairah lirih.

Umairah memang suka membantah setiap omongan orang. Namun, bedanya adalah dari nada bicaranya dengan siapa yang diajak bicara. Jika ada Salim di hadapannya, akhwat itu malah merendahkan volume suaranya.

Beda sekali, pada saat Umairah berbincang-bincang dengan orang tuanya di hari sebelumnya.

Namun tak masalah juga, sebenarnya yang dikatakan Umairah itu ada benarnya. Memang, Allah tak mengizinkan "pacaran" selama kehidupan masih bisa dinikmati manusia, apa lagi saat bulan Ramadhan tiba.

"Terus, bagaimana soal Syifa? Kamu jadi menjenguknya atau tidak?" tanya Salim itu lagi, yang membuat Umairah harus berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang takkan berujung.

"Salim, tenang saja ya. Aku takkan kenapa-kenapa, kok. Lagi pula, aku nanti bisa minta jemput kawanku. Nanti dia yang antarin aku," ujar Umairah lirih. Lantas, Salim pun tersenyum lega karena temannya sudah menemukan solusi yang terbaik.

"Kalau begitu, kita sholat dulu yuk. Soalnya waktu Ashar sudah mau tiba," ajak Salim kepada Umairah dan gadis itu langsung mengiyakan ajakan temannya. Maka dari itu, Salim berpisah dengan Umairah karena langsung memasuki barisan shaf masing-masing, karena shaf ikhwan dan akhwat itu sangat berbeda.

***

"Jadi, bagaimana dengan Syifa? Kamu mau menjenguknya, 'kan?" Lagi-lagi, Thariq meminta kepastian kepada Risya atas kesediaannya untuk menjenguk temannya. "Aku memang bukan temannya Syifa, dan kuyakin dia pasti terikat pertemanan denganmu, jadi kuharap temanmu itu mendapatkan haknya," lanjutnya.

Risya hanya menghembuskan napas beratnya, seraya berkata, "Lihat saja nanti, Thar. Aku mau jemput Umairah di masjid dulu." Setelah berkata demikian, Risya langsung beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan temannya.

***

Waktu untuk shalat Ashar berjamaah sudah selesai. Umairah dan Salim kembali bertemu di depan pintu. Bedanya, lelaki itu yang menghampiri bagian akhwat di pintu belakang.

"Eh, Umairah!" seru Salim ketika berhasil menemui temannya yang baru saja keluar dari masjid. Sedangkan Umairah hanya diam tak berkutik.

"Nunggu kawanmu ya? Aku masih ingin berbincang-bincang denganmu. Asal kau tahu, sebenarnya kita belum selesai membicarakan Syifa," lanjut ikhwan itu.

"Memangnya apa lagi yang mau kau utarakan, Lim?"

"Hai hai hai, aku datang! Maaf mengganggu waktu berduaan kalian!"

Lantas, Salim dan Umairah langsung menolehkan pandangan ke arah sumber suara. Ternyata, yang datang adalah Risya. "Risya?" ucap Umairah tak percaya.

"Katanya kau mau pergi ke rumah sakit. Ayolah! Aku anterin ke tempat Syifa dirawat!" tawar Risya dengan nada yang cukup menggembirakan ... sekaligus memaksa.

Salim yang menyimak pembicaraan kedua akhwat itupun entah mengapa merasa bahagia karena Umairah kini telah mendapat solusinya.

*****

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro