Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 29 (3): Umairah Kembali

"Terima kasih, Ramadhan. Sampai bertemu lagi!"
-Umairah-

***

Seorang gadis seperti Umairah terjebak di dunia yang entah apa namanya. Pemandangannya biasa saja, tak ada yang spesial. Hanya terdiri dari tanah lapang dan satu pohon yang berdiri tegak. Itupun sudah tua dan hampir menjemput ajalnya.

Kini, gadis itu sendirian di sana. Dia tak bisa kembali ke dunia asalnya dikarenakan sesuatu. Maka dari itu, Umairah memutuskan untuk berjalan-jalan, seraya mencari air yang dapat digunakan untuk diminum olehnya. Hingga pada beberapa saat kemudian, dia menemukan sebuah sumber air di belakang pohon.

"Alhamdulillah, ada air minum juga di sini. Aku minum ah!" seru Umairah pada dirinya sendiri.

DIambilnya satu gelas yang ada di dekat sumber air itu, tetapi sayangnya, tangan Umairah tak bisa menyentuhnya. Yang ada, tangan itu dapat menembus benda yang dijadikan perantara untuk meminum air dari sana.

"Astaga, ada apa denganku?"

Dicobanya berulang kali, tetapi tak berhasil. Tetap saja dia tak dapat meminumnya. Bahkan, mengambil gelas saja tidak bisa. Setelah itu, Umairah melihat tangannya yang terlihat tembus pandang dan silau ketika diarahkan ke cahaya matahari yang begitu menyengat.

"Apakah aku sudah tiada?"

Airmata Umairah hampir saja menetes karena kenyataan ini. Ruh Umairah sudah berpisah dari jasadnya, itu berarti bisa saja gadis itu di dunia telah menjemput ajalnya.

Tetapi, ruh itu ingin kembali ke dunia, bersatu dengan jasad yang terbaring kaku di ruangan ICU, agar dapat berkumpul kembali dengan teman-temannya. Sungguh, jiwa dari seorang Umairah adalah jiwa yang sangat baik, meski ada kurangnya.

Hingga pada beberapa saat kemudian, ada yang memanggil namanya. "Umairah."

"Si-siapa kau?!" seru gadis itu ketika dipanggil namanya oleh sesuatu yang tak dapat terlihat olehnya.

"Pergilah temui Rabbmu, Umairah. Waktu hidupmu sudah berakhir."

Jleb! Alangkah menyedihkannya seorang gadis seperti Umairah. Tiba-tiba saja dirinya diminta untuk pergi menemui Sang Pencipta karena sesuatu yang tak diinginkannya.

"Tetapi aku masih ingin hidup di sana ... tolong izinkan aku untuk kembali ke sana. Berikan aku kesempatan kedua."

***

"Umairah."

Satu panggilan dari Syifa takkan mampu membuat Umairah merespon, sekalipun hanya dengan gerakan tangan saja.

"Aku minta maaf padamu. Aku ingin kau tetap hidup. Makanya, aku akan mendonorkan darah padamu, karena diketahui bahwa kau koma dan butuh banyak darah 'kan? Tenang saja. Golongan darahku sesuai dengan yang ada di kamu kok.

"Tolong nanti pada saat aku sadar, jangan pernah mencariku lagi ya, Umair. Aku mungkin sudah tiada karena semuanya kuserahkan padamu. Kau akan paham nanti, karena sekarang saja kau pasti tidak bisa memahaminya, dikarenakan tak ada respon apa pun darimu."

Hingga pada beberapa saat kemudian, sang dokter sudah menghampiri Syifa yang masih terbaring di brankar. "Siap mendonorkan darahmu, Nona?"

"Iya, Dok. Aku siap."

Jarum suntik mulai disiapkan dengan matang. Alat pendonor darah pun juga sudah dihidupkan mesinnya. Maka, segala persiapan untuk transfusi darah telah dimatangkan. Ditambah lagi, Syifa siap menerima resiko apa pun untuk hidupnya. Maka, sebelum matanya terpejam, Syifa berujar untuk terakhir kalinya, "Selamat tinggal, Umairah. Aku akan merindukanmu."

Mata Syifa sudah terpejam. Alat pendonor darah juga sudah dipersiapkan. Telah ada suatu selang yang menghubungkan lengannya Syifa dan juga Umairah. Mereka terpisah oleh suatu sekat yang tentu saja merahasiakan siapa pendonor yang sebenarnya, sehingga Umairah takkan bisa melihat dengan jelas siapa yang telah berbuat demikian.

Ya, itu juga karena keinginan Syifa, sehingga dirinya takkan dapat diketahui oleh temannya yang sedang berjuang antara hidup dan mati.

***

"Kesempatan hidup kedua seperti apa yang kamu maksud, Umairah?"

Lagi-lagi, seorang makhluk cahaya tak kasat mata bertanya pada Umairah, sebelum pada akhirnya beliau memutuskan sesuatu, apakah gadis itu diizinkan kembali ke dunia atau tidak.

Lantas, Umairah pun berujar lirih, "Aku masih ingin meraih cita-citaku, dan aku merasa tak enak hati ketika tinggal di padang luas nan gersang ini."

"Tetapi di sini ada oase, sumber air yang dapat kau gunakan untuk dijadikan air minum."

Namun lagi-lagi, Umairah mengeluh. Dia berkata, "Aku tak bisa meminum air itu ... tanganku saja tak bisa menggapai gelas, apalagi meminumnya dengan cara yang tak biasa."

"Inilah gambaran padang yang akan menjadi tempat dikumpulkannya semua manusia yang telah mati. Sungguh, kehidupan akhirat akan menantimu dan yang lainnya, Umairah."

Umairah pun menangis tersedu-sedu, meskipun ini rasanya tak mungkin terjadi karena dirinya juga sudah dianggap telah mati, dengan bukti ruhnya telah terpisah dari jasad.

"Umairah, ketika kehidupan yang abadi akan terjadi, kau takkan pernah mati untuk selamanya. Lalu, padang ini juga takkan ada sumber air dan pohon ketika hari dikumpulkannya seluruh manusia yang pernah lahir di dunia.

"Kalau saya diizinkan untuk memilih kehidupan yang baik, saya lebih memilih kehidupan yang abadi daripada hidup di dunia yang hanya sementara saja."

Lagi-lagi Umairah masih mengeluarkan airmatanya, merasa menyesal karena tak dapat melakukan apa pun untuk kembali bersatu dengan jasadnya.

***

Sementara itu, proses transfusi darah sudah selesai. Umairah sudah menerima sekantung darah dari Syifa, sedangkan gadis yang lain itu sudah dinyatakan tiada karena tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam dirinya. Maka, tubuh Syifa akan segera dibalut oleh beberapa lembar kain kafan yang tersedia.

Tanpa mengetahui pendonor yang telah berbaik hati untuk kehidupan Umairah yang takkan jelas akhirnya, gadis itu dipindahkan ke ruang rawat biasa, tanpa mengetahui apakah jasad akan kembali bersatu dengan ruhnya.

Hingga pada beberapa saat kemudian, Salim berujar lirih sebelum akhirnya pergi meninggalkan gadis itu dalam waktu yang lama, "Umairah, aku minta maaf kalau misalnya aku ada salah sama kamu. Tetapi tolong, sadarlah ... kami merindukanmu."

Namun, Umairah tak menjawab. Tubuhnya masih kaku, tak ada respon apa pun yang ditunjukkan olehnya.

***

"Sekarang engkau siapa? Mengapa engkau tiba-tiba datang dan menghalangiku untuk kembali ke dunia?!" seru Umairah seraya ingin menangis histeris gara-gara sesuatu makhluk yang tak kasat mata.

"Sekarang berjalanlah ke arah pohon di hadapanmu. Bacalah sesuatu yang tertera di sana."

Maka, tanpa membalas apa pun lagi, Umairah langsung melangkah menuju pohon, meski terasa sangat pelan. Hingga pada akhirnya, gadis itu mencapai kertas yang ditempel di batang pohon. Lalu, muncul lagi perintah dari sesosok makhluk yang sama. "Bacalah. Suarakanlah apa yang tertulis di sana."

Lantas, Umairah pun berkata sesuai yang ada di kertas itu, "Selama dua puluh sembilan hari, engkau berpura-pura menyambutku dan sedih ketika aku ingin berkelana selama sebelas bulan ke depan."

"Sekarang kamu mengerti, 'kan?"

Umairah pun mengernyitkan dahinya, merasa tak paham akan apa saja yang telah dituliskan melalui secarik kertas kecil itu.

"Akulah sesuatu yang kalian sia-siakan. Aku hanya bisa mengadu ke Rabbku mengenai kondisi umat yang sekarang ini. Sekarang, engkau terdampar di sini, dan aku sedang meminta keputusan dariNya soal dirimu, apakah engkau bisa kembali ke dunia atau tidak."

Lantas, Umairah hanya bisa bertanya secara to the point, "Engkau Ramadhan?"

"Ya."

Umairah pun kemudian menangis tersedu-sedu. Tak disangka, dirinya akan berpisah dengan Ramadhan. Sudahlah berpisah dengan teman-temannya, Ramadhan pun akan pergi meninggalkannya. Sehingga kini, tersisalah gadis itu sendirian di padang yang cukup luas dan hampir tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

"Aku membawa kabar dari Rabbmu, mau tahu?"

Umairah pun mengangguk-angguk, dia pun tahu apa yang akan dikatakan oleh sesuatu yang disebut Ramadhan itu.

"Engkau diberikan kesempatan kedua. Sekarang kembalilah."

Sebenarnya, Umairah merasa berbahagia karena telah diizinkan untuk hidup kembali di dunia. Tetapi, dia bingung akan caranya pulang, sehingga responnya hanya diam dan tak mengerti apa-apa.

"Di sebelah kananmu, ada suatu pintu yang akan mengantarkanmu kembali ke dunia. Di mana kau akan langsung bersatu dengan jasadmu yang terbujur kaku di rumah sakit dan banyak yang menangisimu. Masuklah."

Lantas, Umairah mengikuti apa yang dikatakan oleh "Ramadhan" itu. Gadis tersebut telah menemukan sebuah pintu yang hanya berjarak tiga jengkal darinya.

"Kembalilah. Temui mereka termasuk keluargamu, tetapi jangan pernah lupakan Allah ya."

Umairah pun menangis terharu. Tak disangka bahwa dia akan diberi kesempatan kedua oleh sesosok makhluk yang tak dapat dilihatnya. Maka, gadis itu berujar, "Terima kasih, Ramadhan. Sampai bertemu lagi!"

"Insyaa Allah, kalau engkau diberikan umur panjang ya."

Setelah itu, Umairah tak lagi terlihat di padang luas itu.

***

Setelah menunggu beberapa jam bahkan hampir sampai tengah malam tiba, Umairah tersadar dari tidur panjangnya.

"Umairah!!" seru Salim, Risya, Thariq, dan Muklis yang sedari tadi menantikan Umairah itu. Lantas, gadis tersebut hanya melongo diam sambil menatap teman-temannya satu per satu. Setelah itu, dia bertanya, "Di mana aku? Di mana Syifa?"

"Umairah ...."

Salim menghampiri Umairah yang telah mengubah posisi tubuhnya menjadi menyandar ke dinding. Lelaki tersebut menatap lekat-lekat mata gadis itu, yang baru saja tersadar setelah koma.

"Salim, kau tak jadi pergi?"

"Pesawat delay sampai seharian, sehingga aku sempatkan diri untuk ke sini."

Maka, Umairah pun mengerti akan kondisi yang menimpa Salim saat ini, bahwa sebentar lagi, inilah saatnya bagi lelaki berkacamata itu untuk meninggalkan kota tersebut untuk sementara. Tetapi anehnya, Salim tak lagi memakai kacamata, seolah-olah dirinya menganggap bahwa matanya sudah sehat seperti sedia kala.

"Salim, maafkan aku ya."

"Kenapa kau minta maaf? Kau tak pernah melakukan kesalahan padaku."

"Ini lebaran, 'kan? Lalu aku mungkin melewatkan hari pertama di saat-saat Lebaran, ya?" tanya Umairah kemudian.

Salim pun mengangguk, pertanda bahwa dia mengiyakan apa yang ditanyakan barusan. Lebaran hari pertama memang sudah lewat, tetapi masih ada hari-hari berikutnya.

"Umairah, mengenai keberadaan Syifa itu ...," ujar Risya, "aku ingin memberikan suatu surat padamu. Dibaca ya." Kemudian Risya memberikan secarik kertas yang tak dibungkus amplop kepada Umairah. Setelah menerima surat itu, gadis tersebut langsung membaca isinya.

To: Umairah

Assalamu'alaikum, Umairah. Kalau kau baca ini, jangan pernah mencariku ke mana-mana karena aku takkan mungkin bisa ditemukan di manapun. Asal kau tahu, fobia yang kualami, beserta segala efek samping yang kudapatkan. Jadi, kuputuskan untuk membagi sekantong darah padamu. Ini semua demi kebaikan kita bersama.

Ingatlah, aku sudah siap menerima resiko apa pun. Jadi, salah seorang di antara kita berdua akan mati. Jadi, jangan pernah mencariku lagi, Umair, oke?

Oh ya, satu lagi. Aku ingin mewasiatkan kepadamu satu hal. Jangan pernah menyerah dalam meraih cita-citamu, maka kau akan berhasil. Bisakah kau melakukan itu? Aku harap ketika kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya, aku merasa bahagia karena kau telah melakukannya untukku juga.

Tetap bertahan ya, Umairah. Selamat tinggal.

Tertanda,

Syifa

Setelah membaca surat itu, Umairah meremas-remas kertas tersebut. Gadis itu tak menyangka jika sedikit demi sedikit fobia yang dialami Syifa telah musnah, seiring dengan waktu hidupnya. Tangisan pun pecah, membuat Salim dan yang lainnya langsung menghampiri Umairah untuk menenangkannya.

"Syifaaa. Kenapa kau pergi?! Sampai kapan?!"

Umairah pun melempar kertas ke sembarang arah, sekarang pun dia takkan pernah menerima kenyataan bahwa Syifa telah tiada.

"Syifaaa ... kenapa?"

***

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro