Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Last Phoenix

Amara terpaku memandangi abu yang ditaburkan oleh Angelo, sang Nephilim, dari sebuah guci ke dalam alat dupa. Menurut si Anak Malaikat yang menolak disebut cambion, bakaran itu berhasil dia kumpulkan dan telah disimpan selama lima ratus tahun lamanya.

Mereka berdua kini terlihat fokus menanti sesuatu. Mungkin lebih tepatnya, seseorang, keluar dari tumpukan sisa bakaran itu.

Apakah phoenix terakhir itu akan berhasil terlahir kembali kali ini? Jika tidak, tugasku sebagai sang pewaris yang sudah diemban oleh garis keturunan keluargaku secara turun-temurun ratusan tahun lamanya akan berhenti di diriku, batin Amara resah.

Asap mulai terlihat mengepul dari abu di pedupaan. Harum semerbak wewangian asing pun sontak tercium memenuhi ruangan.

Tak lama kemudian, abu berasap itu pun perlahan berkisar-kisar hingga ke udara, lantas berubah wujud menjadi seekor burung cantik berukuran cukup besar, berwarna merah keemasan. Ia memekik, terbang di sekitar ruangan, mengepak-ngepakkan sayapnya sebelum mendarat, lalu menjelma menjadi sesosok gadis berambut merah panjang bergelombang, berkulit putih, berparas elok rupawan.

"Selamat atas kelahiranmu kembali, Tana," sapa Angelo.

Tana, si gadis phoenix, memberinya anggukan dengan gerakan anggun dan senyum elegan. Ia dan Amara kini saling berhadapan.

"Kau sang Pewaris yang baru?" tanyanya dengan suara merdu mendesah.

Amara yang masih merasa takjub dan terpana, segera tersadar dan buru-buru mengangguk. "Ya, aku terpilih untuk bertugas melayanimu sekarang. Mendiang nenekku telah menitipkan buku kehidupanmu dari hasil catatan para pewaris leluhur padaku."

Tana tersenyum sedikit lebar dengan mata biru jeli berbinar. "Baiklah. Aku akan membacanya nanti untuk mengetahui kisah-kisah masa laluku sebelumnya."

"Selain menggali ingatanmu kembali melalui buku itu, yang perlu kau tahu sekarang adalah ... di kelahiran ke lima ratus ini, akan menjadi kelahiran terakhirmu yang memakan waktu seperti sebelumnya, Tana. Kelahiranmu selanjutnya kelak akan butuh waktu lebih cepat, yaitu lima puluh tahun. Itu akan semakin bertambah cepat nantinya, hingga terhenti sama sekali.

"Kekuatanmu pun kini akan mulai melemah, tak sekuat sebelumnya. Untuk itu, kau akan membutuhkan tim pelindung, agar bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sudah membantumu menyiapkannya. Karena, musuhmu mungkin bukan hanya Zireziel, tetapi juga makhluk supernatural lainnya yang belum kau kenal ... dan ... manusia."

"Aku semakin berutang padamu, Angelo." Mata biru jeli Tana yang bulat besar menatap sang Nephilim, mengerjap sendu.

"Ini sudah menjadi tugasku sebagai pengawas dan mantan pelindungmu, Tana. Selain itu, air matamu sebagai phoenix amatlah sangat berharga sebagai sumber penyembuhan."

"Mantan?" Ekspresi wajah Tana berubah muram. "Kenapa kau tak bekerja sebagai pelindung untukku lagi, Angelo?"

Angelo tersenyum. "Tidak menjadi pelindung resmi bukan berarti aku berhenti melindungimu, bukan? Sebagai Anak Malaikat, aku pun memiliki misi, Tana.

"Aku ditugaskan menjadi sang Pengawas. Untuk itu, aku fokus membangun dan melatih para pelindung baru yang bukan hanya kupersiapkan untukmu, tetapi juga untuk membantuku menjaga kehidupan damai manusia di dunia dari para anak iblis dan makhluk-makhluk supernatural yang akan mengancam mereka."

Amara menatap simpati ke arah Angelo yang terlihat bersikap biasa. Padahal ia tahu persis, apa yang menjadi alasan terkuat Nephilim itu selama beratus-ratus ribu tahun mati-matian dan terus setia melindungi, menjaga, serta membantu Tana.

Adakah alasan lain untuk sebuah pengorbanan yang lebih kuat daripada cinta?

***

"Kenapa kau tak memberitahunya, Angelo?" tanya Amara usai mengantarkan Tana ke kamar tidurnya.

Angelo mendesah sembari melepaskan jubah. "Kau masih meyakini bahwa apa yang kulakukan untuknya adalah karena cinta?"

Ia melangkah menuju ranjang, lalu duduk di bagian tepi. Sang Nephilim itu memberi isyarat agar Amara berjalan mendekati.

Amara pun patuh dan menghampiri Angelo dengan wajah begitu gundah gulana. Ia biarkan nephilim itu mengelus rambut dan memberi kecupan-kecupan ringan di wajah, usai dia mendudukkan diri di sampingnya.

"Aku mungkin hanya seorang manusia. Namun, aku tidak bodoh, Angelo. Tatapanmu memperlihatkan terlalu jelas bahwa kau mencintainya. Semua wanita mungkin bisa melihatnya, kecuali Tana. Bagaimana bisa phoenix itu begitu buta, tak mampu melihat jelas tentang perasaanmu terhadapnya?"

Angelo menghentikan kecupan. Ia menjauhkan jarak mereka perlahan. Mata abu-abunya kemudian berubah keperakan.

Amara sontak gugup saat menyadari hal itu, lalu buru-buru berdiri sambil menunduk. "Maafkan kelancanganku."

"Leluhurmu secara turun-temurun terikat perjanjian denganku selama ratusan ribu tahun untuk menjaga dan berperan sebagai keluarga Tana setiap ia terlahir kembali. Namun, tidak ada yang begitu lancang sepertimu."

"Maafkan aku, Angelo. Aku hanya peduli denganmu." Suara Amara terdengar bergetar.

"Apa keserakahan manusia mulai muncul di dirimu, Amara?" Mata Angelo kembali ke warna semula. Suaranya pun melembut.

"Sungguh, aku hanya tak rela kau melakukan begitu banyak hal dan pengorbanan hanya untuknya. Namun, dia sama sekali tak memahami perasaanmu."

Terdengar tawa kecil dari mulut Angelo. "Kau salah, Amara. Tana tahu dan paham. Ia hanya tak ingin hal itu nanti membuat hubungan kami akan jadi canggung dan tak nyaman."

Amara mengangkat wajah perlahan. Dahinya mengernyit. "Jadi, dia paham, tetapi bersikap seolah tak tahu?"

Angelo mengangguk. "Seorang pelindung dilarang jatuh cinta kepada yang ia lindungi, dalam hal ini, phoenix. Kecuali ... jika mereka adalah pasangan jiwa."

"Dan kau ... bukan? Karena itu, kau memutuskan berhenti menjadi pelindung pribadinya?" Mata hijau Amara menatapnya trenyuh.

'Ya, itu sebagian alasan. Alasan lain adalah, aku mulai mendapat misi dari ayahku sebagai pengawas sejak pembakaran diri Tana lima ratus tahun yang lalu. Aku memutuskan membangun Haven Club.

"Klub malam itu hanya sebuah bisnis samaran sekaligus tempat pertarungan liar sebagai jalan mengumpulkan para petarung terbaik untuk masuk ke Klub Fighters Brotherhood.

"Dari klub petarung itulah aku akan memilih yang terbaik dari yang terbaik, lalu membentuk The Immortals, para pelindung rahasia baru, yang akan bisa hidup jauh lebih lama daripada manusia normal ... atau bisa dikatakan ... mereka menjadi setengah abadi.

"Ini agar mereka dapat membantuku mengawasi anak-anak iblis yang bertebaran di bumi. Selain itu, aku juga mempersiapkan satu tim khusus terbaik sebagai pelindung pribadi Tana selanjutnya."

Amara mendekatinya kembali. "Angelo, aku ingin terus hidup bersamamu. Bisakah kau membuatku setengah abadi seperti mereka?"

Angelo mengamati wajah gadis itu yang menatap penuh kesungguhan. "Kau akan menderita jika terlalu mencintai seorang Anak Malaikat, Amara."

"Aku tak keberatan. Sama seperti kau pun tak keberatan mencintai Tana secara sepihak dan diam-diam, bukan?"

Nephilim itu menghela napas. "Kau yakin meski sudah tahu soal kenyataan itu?"

"Yakin," angguk Amara.

"Baiklah. Namun, kau tetap harus berkeluarga agar dapat menghasilkan keturunan sebagai sang pewaris selanjutnya sebelum menghilang dan menyembunyikan identitas aslimu dari keturunanmu untuk selamanya. Kau juga terikat pada sumpah kesetiaan. Ingat, tak ada kesempatan kedua untuk sebuah pengkhianatan. Kau setuju?"

Amara mengangguk tanpa ragu. "Aku setuju."

***

Suara lengkingan dahsyat terdengar dari area pertarungan. Dalam kegelapan malam, debu pasir beterbangan. Dua sosok pemuda memakai cincin rune bercahaya, yang sibuk menghadapi sosok-sosok berkelebat tanpa wujud berbalut jubah merah, mulai terlihat kewalahan.

Menyadari hal itu, Angelo tak mungkin lepas tangan. Ia hendak maju membantu mereka, tetapi tangan Amara dengan cepat menahan.

"Kau sudah mempersiapkan Oscar dan Arthur untuk menghadapi Zireziel, Angelo! Itu bukan urusanmu lagi. Kau harus melakukan tugas yang lebih penting! Katakan pada Tana, ini saatnya membakar diri!" teriak Amara di sela riuhnya suara-suara lengkingan Zireziel.

Angelo mengerang frustrasi. "Oscar dan Art belum siap meski hanya mereka berdua yang berhasil lulus dari ujian pertama dariku! Mereka masih butuh banyak waktu! Aku tak mengerti. Bagaimana bisa Zireziel begitu cepat mengetahui keberadaan Tana? Ini baru lima puluh tahun sejak kebangkitannya!"

"Jika saja Phoenix itu bisa tinggal di tempat lain selain tanah gurun, mungkin tak akan secepat ini diketahui oleh Zireziel, Angelo. Kau tak perlu menyalahkan dirimu!"

Angelo berpaling, memberinya tatapan nyalang. "Tanah gurun begitu luas, Amara! Tidak hanya ada satu di dunia ini! Tak mungkin bisa diketahui begitu cepat!"

"Percuma kau marah padaku, Angelo! Lekas perintahkan Phoenix untuk membakar diri sebelum terlambat!" Amara menentang mata sang Nephilim tanpa rasa takut.

Menatap wanita itu, entah kenapa Angelo sekilas memiliki kecurigaan. Namun, dengan cepat ia menepis semua sangkaan.

Tidak mungkin Amara berkhianat. Tapi bagaimana Zireziel bisa tahu persis tempat aku menyembunyikan Tana?

"Angelo! Kami tak sanggup lagi! Bantu kami!" teriak Oscar sambil terus menebas dan menancapkan gaziel, pedang malaikat di tangannya, ke sosok-sosok bayangan Zireziel.

Sosok-sosok berbalut jubah merah yang terkena tusukan senjata malaikat milik Oscar dan Arthur mulai berguguran menjadi debu pasir beterbangan. Namun, bayangan-bayangan baru dari Zireziel kembali muncul berdatangan. Makhluk-makhluk tanpa wujud itu mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi tanpa henti.

Angelo mengertakkan gigi, menyadari dua pelindung terbaik yang ia miliki, masih belum bisa menghadapi tipuan sihir Zireziel meski masing-masing telah dibekali senjata-senjata yang dia ciptakan dengan bantuan ayahnya. Ia ingin membantu, tetapi tak bisa meninggalkan Tana dan Amara.

Dia pun menyadari kebenaran dalam kata-kata Amara. Mungkin ini saatnya Tana untuk melakukan pembakaran diri sebelum Zireziel yang akan membakar dan menelan abunya.

Angelo segera kembali masuk ke rumah, menemui Tana yang menunggu di ruang utama. Wanita phoenix itu segera bangkit menyambutnya.

"Angelo, perintahkan padaku. Aku siap," ujar Tana tanpa rasa ragu sedikit pun. "Kau tahu, aku tak bisa melawan Zireziel dengan kekuatan apiku. Namun, aku bersedia mati jika itu memang perlu."

Angelo mengepalkan kedua tangan diam-diam tanpa kata. Dia tahu apa jalan satu-satunya. Ia lagi-lagi merasakan sebuah kekalahan. Menjadi Anak Malaikat seharusnya memberinya cukup kekuatan, bukan kelemahan.

Cinta telah melemahkan aku. Ayah sudah memperingatkanku. Itu hal sama yang membuatnya terbuang dan harus berjuang dalam penyesalan ribuan tahun demi bisa kembali ke surga.

Menyesali semua sekarang tak ada guna. Zireziel akan sirna, selama Tana tiada. Ia menguatkan hati seiring cahaya perak bersinar di matanya.

"Baiklah, Tana. Kini saatnya untuk pembakaran diri menuju kelahiran barumu. Lakukan."

***

Angelo melangkah gontai keluar rumah usai menyimpan abu Tana kembali di guci. Ia meninggalkannya sementara di kotak terkunci.

Sang Nephilim mendatangi si dua bersaudara, Oscar dan Arthur yang kini berbaring telentang menatap langit gelap dalam napas tersengal tanpa kata. Mereka menoleh saat menyadari kehadirannya.

"Gee, maaf. Aku dan adiku telah gagal," erang Oscar sambil menekan sisi gagang pedangnya, gaziel, sebelum berubah bentuk menjadi kecil, lalu menekankannya pada kepala sabuk di pinggang dan seketika menempel kuat di sana.

Arthur pun mengerang seraya menegakkan punggung, ikut menekan sisi tombak di tangannya hingga membentuk ukuran kecil. Ia mengarahkan benda itu ke arah kalung yang kemudian segera menempel ke logam pipih di bandulan. "Sepertinya kau butuh pelindung yang lebih tangguh dari kami, Gee."

Angelo menatap cincin rune yang masing-masing ada di ibu jari mereka, menyala kebiruan membentuk simbol bahasa malaikat, bercahaya di kegelapan. "Ya, sepertinya begitu."

"Kau yakin tak ada yang tahu tempat ini selain kita?" celetuk Oscar yang kini berusaha bangkit walau masih dengan napas terengah.

Tubuh Angelo menegang kemudian saat sekilas mendapat sebuah penglihatan. Ia pun mengepalkan tangan. Rahang sang Nephilim mengeras seiring mata bercahaya keperakan.

"Amara!" teriaknya murka.

Angelo berbalik dan berkelebat cepat menuju ruang tempat ia menyimpan guci berisi abu Tana. Oscar dan Arthur saling pandang sebelum ikut lari menyusulnya.

Benar saja, Amara terlihat telah berusaha membawa kabur kotak melalui pintu belakang. Wanita itu segera mempercepat langkah begitu menyadari Angelo kini mengejarnya.

Ia terus lari membawa guci menuju suatu arah sesuai perintah Zireziel. "Maaf, Angelo, aku harus melakukan ini demi dirimu! Kau harus melepaskannya! Seseorang memberitahuku, Tana binasa, Zireziel pun akan tiada! Tak akan ada lagi yang mengancam keselamatan dunia!" Dia meneriakkan itu tanpa berpaling.

"Kau salah! Itu salah satu anak Lilith! Dia menipumu! Jika Zireziel menelan abu Tana, dia akan menjadi makhluk abadi yang memiliki wujud baru seperti manusia! Ia akan menghancurkan dunia dalam sekejap mata!"

Amara sontak menghentikan langkah dengan ekspresi tak percaya begitu melihat Angelo telah berada di hadapannya. Ia gemetar, menatap penuh sesal kepada sang Nephilim yang ia cinta.

"Maafkan aku. Aku ... tidak tahu. Aku hanya ingin membebaskanmu dari cintamu pada Tana," ujar Amara lirih seiring cairan bening mengalir ke pipinya. "Penderitaanmu menyakiti hatiku."

Angelo melangkah pelan hingga tepat di depan wanita itu. "Bukan ini yang kuharapkan saat mengubahmu menjadi makhluk setengah abadi, Amara. Aku sudah memperingatkanmu."

Amara menyerahkan guci ke tangan Angelo, lalu bersimpuh. "Maafkan aku. Beri aku kesempatan untuk mengabdi lagi padamu. Aku bersumpah akan setia!"

"Gee!" tegur Oscar, saat ia dan Arthur tiba bersamaan.

Angelo paham apa yang berusaha disampaikan Oscar melalui teguran. Tak ada kesempatan kedua untuk sebuah pengkhianatan. Itu yang selalu ia tekankan.

"Maafkan aku, Amara. Ikatan kita sampai di sini saja."

Angelo perlahan menyentuh lengan wanita itu yang sontak mencoba memberontak, lalu menarik lepas cincin rune dari ibu jarinya. Hati sang Nephilim seakan tertusuk ribuan pedang saat mendengar jeritan Amara. Ia pun memejamkan mata.

Tubuh Amara segera mengering, perlahan terus mengerut, hingga berubah menjadi laksana mumi puluhan tahun. Angelo mendesah penuh kesedihan melihat wujud wanita itu kini dalam posisi menangkupkan kedua tangan seakan berusaha meminta ampun.

"Cinta harus menguatkan, bukan melemahkan," tuturnya lirih sambil memegang erat kotak berisi guci di tangan.

"Apa yang akan kau lakukan dengan mumi Amara, Gee?" tanya Oscar hati-hati.

"Bawa ia ke markas. Aku akan menyimpannya di peti mati khusus untuk anak keturunannya yang ingin melihatnya kelak."

Angelo mendesah. "Tugas kalian sementara telah selesai. Masih ada waktu untuk kalian berlatih dan mempersiapkan diri lagi. Makhluk-makhluk supernatural dan anak-anak iblis mulai bermunculan. Setidaknya, kalian bisa menggunakan kesempatan menghadapi mereka sebagai latihan, selagi menunggu kebangkitan Tana, dan kemunculan Zireziel kembali."

*** 

Total 2104 kata. 

Akhir dari sebuah awal.

31/01/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro