Prolog | Mendatangkan Musim Semi
Vestrad semakin membosankan, sekelam wajah kelabu Raja yang berkerut-kerut saat mengawasi pagi ini.
Tidak heran jika salju yang terumbar dari langit tak lagi berkelip kemilau saat ditimpa pancaran sinar matahari. Penyebabnya adalah asap kelabu yang membumbung dari pucuk atap-atap yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Udara juga tidak lagi beraroma pepohonan segar dan tanah basah seperti saat sang raja masih belia. Waktu itu pepohonan rimbun, rerumputan segar tumbuh liar, dan sesemakan meranggas perkotaan dari arah bukit hutan. Sekarang musim dingin lebih panjang daripada sebelum-sebelumnya, salju berwarna kelabu, dan aroma busuk pembuangan gorong-gorong begitu pekat menggelayut di udara.
Beruntung, jadwal berkeliling taman di sekitar istana sudah ditiadakan. Raja tidak lagi menanti masa-masa menghirup paduan manisnya aroma gardenia dan lavender. Bunga-bunga itu sudah lama layu, terperciki debu dan kotoran asap hasil peleburan metal. Semenjak musim dingin pertama kali tiba, jadwal bersantai di taman telah berganti dengan berbagai alternatif untuk meringankan pusing berkepanjangannya.
Raja lebih suka menggerutu akan kejelekan Vestrad dari balkon tertinggi di istana, sembari menikmati basuhan dan pijatan lembut Roland, tabib istana termuda. Ah, Roland, bocah yang baik. Raja suka sekali dengan segala obat racikan Roland. Tidak terlalu pahit dan menyiksa. Ia tidak pula seketat tabib-tabib tua yang lebih suka menjauhkan gula-gula dari Raja. Ia juga ... ah, sebentar.
"Airnya mulai dingin." Raja mengernyit masam. Mulutnya yang penuh dengan kunyahan pai daging sedikit kesulitan berucap. Roland harus mendongak dan memperlambat pijatannya pada kaki Raja untuk memohon pengulangan.
Dengan susah payah sang lelaki tua menelan sebagian isi pai. Namun, beruntung baginya, suara lain menyahut dengan lebih santun di balik punggung sang raja. "Airnya mulai mendingin, Roland. Segera selimuti kaki Yang Mulia dan bergegaslah mengganti air."
"Baik—baik. Saya memohon maaf, Yang Mulia!"
Raja hanya mengibaskan tangan, memaklumi dengan mudah kesalahan kecil sang tabib muda. Roland buru-buru membungkus kedua kaki berkeriput itu dengan dua jenis handuk lembut, menarik dengan hati-hati bak air agar tidak menggores kaki sang raja, lantas menyelinap pergi dari balkon.
Raja baru saja akan memberi isyarat ketika air minum disodorkan dengan sigap kepadanya.
Ini dia, pemuda kedua yang Raja bangga-banggakan, sang penasihat baru.
Sembari raja membasuh kerongkongan dan mulutnya yang penuh dengan sisa-sisa pai daging, pemuda itu berkata dengan teramat lembut. "Bagaimana keadaan kaki Anda, Yang Mulia?"
"Ahhh, tidak lebih baik." Raja membiarkan sang pemuda mengusap bulir-bulir air yang tersangkut dari janggut lebatnya. Ia berdeham. "Semalam aku menggesek kakiku pada permukaan kasur dan rasanya kasar sekali."
"Saya akan menyampaikannya kepada Tabib Owen."
"Anak yang muda itu saja." Raja mengerang. "Tabib tua itu selalu menggosok kakiku dengan keras."
Jika penasihat kerajaan yang dahulu masih ada di sini, Raja akan terus dibombardir dengan berbagai pertanyaan mencekik, membuat sang lelaki tua akhirnya menyerah dengan saran untuk dirawat oleh Tabib Owen. Tetapi penasihat lama itu sudah tiada, dan meninggalkan jabatan mewahnya pada sang putra sulung yang, sayangnya, kendati sangat dibangga-banggakan raja akan kelembutannya, selalu dipanggil sebagai Putra Wymond. Raja tidak ingat betul namanya yang sukar diucapkan lidah seorang tua.
Putra Wymond mengangguk. Tidak ada perdebatan, atau penghasutan untuk menuruti keinginannya. Raja puas, kendati ia sedikit mulai khawatir dengan situasi ini. Ironisnya sang raja mulai terbiasa dengan metode penuh hasut Penasihat Kerajaan terdahulu, dan agaknya cemas jika Penasihat Kerajaan saat ini lebih mudah dipengaruhi.
Raja harus memastikan bahwa Penasihat Kerajaan terbarunya siap.
"O Putra Wymond yang santun," kata Raja, jemarinya saling mengetuk di atas pangkuan. "Apa engkau melihat apa yang kulihat?"
Putra Wymond dengan sangat bijak tidak segera menjawab. Bagus. Pemuda selalu tergesa-gesa, sebagaimana Tabib Roland yang tidak cukup pandai untuk terus siaga akan perintah dadakan atau sikapnya yang panik saat menyingkirkan bak air. Namun Putra Wymond tidak. Sebagai keturunan satu-satunya mendiang Wymond, sang putra seharusnya mewarisi segala kebaikan ayahnya—dan bukan segala kelihaiannya yang mahalicik—untuk mendampingi Raja di usia senja.
"Vestrad yang mendamba musim semi, Yang Mulia."
"Aku pun mengharapkannya," Raja tanpa sadar bergumam. "Sampai kapan musim dingin ini akan berlangsung?"
Raja seharusnya menanyakan itu kepada Peramal Kerajaan. Sayang wanita itu sudah terlalu lama mendekam di puncak menaranya, melakukan entah apa yang bahkan tidak bisa ditembus oleh Putra Wymond sejak pengangkatannya di istana. Atau, jangan-jangan sang peramal sudah tewas, membusuk di antara buih-buih ramuan yang dipakainya seorang diri tanpa ada yang tahu.
Tidak ada yang bisa menerka kapan musim dingin bisa beranjak dari Vestrad. Pertanyaan itu sudah lama menjadi teka-teki yang merebak di antara rakyat, sekadar lelucon payah atau penambah kegetiran pada mangkuk bubur yang hambar, dan sekarang telah merambah pada sang raja sendiri.
"Dengan izin Yang Mulia, saya akan membentuk pasukan untuk mendatangkan musim semi ke negeri ini."
Jawaban Putra Wymond, kendati memercik harapan sang raja, membuat lelaki tua itu terperangah. Untuk pertama kalinya ia menoleh ke balik kursi berpunggung tinggi, sekadar ingin memastikan wajah Putra Wymond yang menatapnya dengan teduh.
"Apakah itu mungkin?" tanya Raja, sedikit tergesa-gesa. "Apakah memungkinkan untuk mendatangkan sepasukan Budak Iblis ke negeri yang terisolir oleh pegunungan pembelah langit ini?"
Budak Iblis! Putra Wymond bahkan tidak berpikiran untuk sejauh itu merekrut sepasukan makhluk mengerikan. Selalu ada alasan mengapa mereka disebut sebagai para budaknya iblis. Memikirkannya saja membuat Putra Wymond sedikit tegang. Keberadaan satu atau dua orang Budak Iblis di tanah Vertrad saja sudah mengguncang negeri ini, bagaimana dengan sepasukan?
Dengan bijak, Putra Wymond menyimpulkan bahwa Raja mulai kehilangan pijakannya. Ini adalah kesempatan penasihat kerajaan itu untuk menunjukkan kepiawaiannya memastikan keputusan Raja.
"Jikalau Yang Mulia memperkenankan Budak Iblis untuk hadir di tanah Vestrad, saya akan mengusahakan kedatangan mereka secepat mungkin."
Seolah sadar dengan macam responnya tadi, Raja berdeham sekali lagi. Suaranya sedikit gemetaran. "Bodoh," bisiknya tertahan. "Rendahkan suaramu yang terlampau angkuh itu, Putra Wymond. Tidak ada yang mengundang makhluk-makhluk mengerikan di tanah ini. Tidak, jika namanya saja menggetarkan jiwa rakyatku!"
"Tetapi Anda tahu." Suara Putra Wymond yang mendekat pada pendengaran Raja membuat sang lelaki tua terhenyak. "Anda tahu bahwa satu atau dua Budak Iblis saja mampu membawa perubahan besar di mana pun mereka berada, baik atau tidak, dan tak ada yang mampu mengangkat musim dingin mencekik ini selain kehendak Tuhan atau ulah tangan mereka."
Ketika Putra Wymond berhenti sejenak, sang raja menelan ludahnya dengan susah payah.
Putra Wymond lantas menambahkan dengan begitu lembut, menekan, dan ucapannya menghantui Raja selepas itu. "Namun, Tuhan nampaknya tak akan menggeser musim dingin dari Vestrad dalam sekejap mata, Yang Mulia."
"Begitu?"
"Jika Anda berkenan," ulang Putra Wymond, kali ini dengan suara yang lebih ringan dan jauh dari telinga sang raja, "maka saya akan mengupayakannya. Ada pilihan-pilihan yang sama baik dengan para Budak Iblis, bahkan dengan kasta yang lebih tinggi."
"Kita tidak punya emas yang cukup," Raja nyaris kehilangan suaranya saat menjawab. Ia semakin gemetaran. Mulut keringnya hampir menghentikan sang penasihat kerajaan, tetapi ada tekanan yang tak bisa disingkirkan lelaki tua itu.
"Segala hal tidak selalu membutuhkan emas atau perak, Yang Mulia," jawab Putra Wymond dengan perlahan, memastikan setiap patah katanya merasuk sempurna ke ubun-ubun Raja. "Dan, tidak semahal itu."
"Bagaimana?"
"Apakah Yang Mulia menyetujuinya?"
Raja membuka mulut, namun alih-alih menjawab, ia berdeham keras-keras. Tenggorokannya sangat kering, dan kedua kakinya kesulitan untuk saling menggosok di dalam lilitan handuk yang tebal.
"Mana bak airku? Aku menggigil!"
"Bak airnya, Roland!"
Terdengar suara gesekan yang terburu-buru, lalu pintu dibuka oleh kedua penjaga di luar balkon. Ada gumaman-gumaman pelan antara Putra Wymond dan Tabib Roland. Hanya obrolan biasa. Sekadar omelan nyaris tak terdengar akan keburu-buruan dan keanggunan yang tidak sepatutnya. Obrolan itu berakhir dengan hela napas Tabib Roland yang memohon pengertian.
Pemuda berambut legam itu lantas berlutut di samping Raja. "Air hangat untuk Anda, Yang Mulia."
Raja mengangguk lemas. Kibasan tangannya cukup untuk mengisyaratkan tabib muda itu untuk segera bergerak. Dengan penuh kehati-hatian Roland melepaskan lilitan handuk yang mengikat sepasang kaki ringkih.
Selama sesaat tidak ada suara selain desah kelegaan Raja saat jemari Tabib Roland memijat kakinya dengan sedemikian lembut. Sedikit terlalu keras maka ia akan kehilangan jatah makan satu kali. Ia mengurutnya bagai tukang pijat terbaik yang mengalahkan tabib-tabib handal dari Negeri Luar Utara. Memang, Roland adalah kelahiran Negeri Luar Utara yang terbaik, dilahirkan oleh sepasang tabib termasyhur yang bergelimang harta, bahkan disebut-sebut sebagai pangerannya Negeri Luar Utara. Kedatangannya ke Negeri Vestrad bagaikan pancaran sinar matahari yang menyibak gumulan awan kelabu di langit yang pucat pasi. Sudah lama Negeri Vestrad tidak kedatangan tabib yang benar-benar baik lagi muda. Apalagi yang kaya raya, dan mau mengabdi pada raja tua dan negeri usangnya yang hampir tak lagi dipertimbangkan sebagai tempat singgah para saudagar kaya.
Negeri ini memang sudah menua.
"Usulan yang tadi," Raja tiba-tiba berkata, memecahkan keheningan lazim yang meliputi balkon tertinggi di istana. "Lupakan itu."
Putra Wymond membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk meresapinya. Ia membasahi bibir. "Dengan segala hormat, dan untuk memperkaya pengetahuan saya yang begitu sedikit, mengapa Yang Mulia memutuskan demikian?"
"Sejak awal itu adalah ide yang konyol." Raja mendesis. Roland sempat berhenti sesaat untuk memastikan sang raja tidak bersikap demikian karena ulah jemarinya. Roland menunduk dan mengambil segenggam racikan dari salah satu kantongnya, lalu menabur ke bak air. Sembari merapal doa dengan lirih, seberkas cahaya redup menggelayut dari ujung jemarinya. Roland melirik sedikit-sedikit, memastikan bahwa Raja tidak tahu apa yang sedang terjadi di bawah sini.
"Barangkali saya tidak lebih berpengetahuan daripada Yang Mulia, tetapi itu adalah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk membangkitkan Negeri Vestrad."
"Apa kau mengatakan bahwa negeriku sudah tidak punya harapan?" Raja menggeram. Namun, pijatan Roland dengan sangat cepat membuat emosinya kembali menguap. Raja menghela napas lega saat Roland menekan-nekan dengan lembut titik di telapak kakinya yang selama ini sering berdenyut nyeri. Raja bersandar pada punggung kursi dengan nikmat, nyaris saja melupakan perdebatannya dengan Penasihat Kerajaan baru.
"Saya akan menemukan cara yang lebih baik untuk memperbaiki taraf hidup negeri kita Vestrad, Yang Mulia," kata Putra Wymond akhirnya. Tak pernah sekali pun nadanya meninggi sejak pertama kali bertukar cakap dengan sang raja.
Lelaki tua itu dengan mudah mengangguk. "Ya, sana. Bergegaslah."
Putra Wymond membungkukkan badan dengan hormat. Roland kembali berhenti memijat untuk sesaat, menyaksikan Putra Wymond yang akan pamit diri dari balkon. Untuk kali ini Raja sadar akan pijatan yang terhenti di telapak kakinya. Ia memercik air ke wajah sang tabib muda.
Tabib Roland memohon maaf dan kembali memijat. Saat itu Putra Wymond hanya melirik kepadanya. Tak ada teguran, bahkan sekadar lewat tatapan. Sang penasihat kerajaan lantas berbalik badan dan menghampiri para penjaga di luar pintu.
Di antara pijatannya pada telapak kaki Raja, Roland menyaksikan Putra Wymond membicarakan sesuatu dengan para penjaga. Tak ada suara yang terdengar ketika para penjaga itu mendadak mengacungkan tombak mereka. Namun percuma. Saat Putra Wymond mengangkat tangan, kedua penjaga itu seketika tergeletak tak berdaya. Tombak-tombak mereka jatuh bergerincingan.
"Apa itu?" Raja terkesiap. Saat sang pria tua beranjak, kedua tangan Roland mencengkeram kakinya erat-erat. Raja tergagap panik, namun belum sempat suaranya menyentuh telinga siapa pun di luar balkon, seberkas cahaya hitam memancar dari tangan Tabib Roland, melahap jiwa tuanya yang malang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro