Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#4

"Ralin, apa maksud perkataanmu di sekolah tadi siang," tanya Mocca, berjalan menghampiri Ralin yang sedang berkutat dengan catatannya.

Ralin menoleh. "Tidak, tidak ada."

"Benarkah?" Mocca memincingkan mata. "Ralin, jika itu sesuatu yang penting tentang Stevan. Tolong katakan. Aku yakin kau mengetahui sesuatu tentang itu, bukan?"

Ralin menghela napas. "Coba kau tanyakan kepada Edi. Apa yang dia lihat sepulang sekolah saat itu."

"Aku jadi khawatir kasus penculikan yang sekarang sedang marak, terjadi kepada teman kita sendiri menjadi korbannya," gumam Mocca.

"Itu sepertinya memang benar," katanya sambil menulis. "Tapi aku pun tak yakin, jadi butuh kepastian untuk hal tersebut." Ralin bergumam sangat pelan sampai Mocca tidak dapat menangkapnya dengan jelas.

Mocca berseru terkejut. "Hah? Apa maksudmu? Jadi Stevan diculik?"

Ralin menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa menyimpulkan hal tersebut, Mocca. Ini sesuatu yang harus dipastikan."

"Tapi darimana kau dapat dugaan seperti itu?" Mocca mendekatkan wajahnya yang penuh curiga kepada Ralin.

Ralin terpojokkan, diam-diam berkeringat dingin di telapak tangannya. "Ya ... itu, lebih baik kau coba bertanya kepada Edi." Dia membawa-bawa nama Edi agar Mocca berhenti mencurigainya.

"Kenapa harus Edi?"

"Coba saja, kau kan pandai mendapatkan sesuatu." Ralin bergerak-gerak gelisah.

"Hm ... sebenarnya aku masih curiga padamu, tapi baiklah akan kulakukan lagipula kemarin pun kau mendesaknya dengan pertanyaan, 'kan?"

Ralin mengangguk ragu-ragu sebagai jawaban.

Mocca bertepuk tangan. "Baiklah, terima kasih Ralin. Ngomong-ngomong jangan tidur larut malam. Selamat malam."

"Baik, malam juga, Mocca."

Mocca pergi menuju kasurnya, berbaring di sana dan tidur. Sedangkan Ralin, dengan mata yang masih segar kembali menulis catatannya. Sepertinya malam ini Ralin akan sulit tidur, dia menghela napas.

*****

"Edi!" teriak Mocca di koridor sekolah ketika matanya menemukan sosok Edi. Mocca berpamitan kepada Bian, Ralin, dan Evin. Dua lelaki di sana saling bertatapan, ada urusan apa Mocca dengan Edi.

"Ayo kita ke kelas," ajak Ralin yang sudah berjalan lebih dahulu.

"Tapi, ada urusan apa Mocca dengan Edi?" tanya Bian.

"Urusan perempuan."

"Sangat membantu sekali," sindir Evin yang sekarang berjalan bersisian dengan Ralin.

Ralin mengedikkan bahu, tidak menjawab pertanyaan mereka.

"Edi!"

"Eh, Mocca." Pipinya berseru merah, sebenarnya Mocca ingin memutar bola matanya saat itu, tetapi dia urungkan.

"Ada apa?" tanya Edi sambil tersenyum malu-malu, Mocca semakin ingin memutar bola matanya.

"Apakah kau bisa membantuku?"

"Tentu! Tentu saja, aku bisa membantumu. Apa pun itu!"

Mocca berseru senang di hatinya. Bagus, Edi sudah menangkap umpannya.

Mocca tersenyum manis. "Kalau begitu apa kau bisa memberitahuku apa yang terjadi kepada Stevan?" Perempuan itu mengusap sudut matanya. "Aku tahu kalian sangat dekat, pasti kau khawatir dengan Stevan karena dia tidak masuk sekolah. Aku hendak membantumu Edi." Mocca menepuk-nepuk pundak Edi membuat lelaki itu mematung.

"Ah, itu ... ya, aku melihat Stevan bersama seorang pria berjas hitam dan masuk ke dalam mobilnya. Itulah terakhir yang kulihat tentang Stevan." Edi menundukkan kepala berpura-pura menjadi teman baik Stevan. "Ya, kamu benar aku khawatir kepadanya yang tidak masuk sekolah."

"Apa kau melihat ada yang mencurigakan dengan pria itu?"

"Tidak ada, kukira pria itu adalah pamannya."

"Apa Stevan terlihat seperti dipaksa untuk pergi dengannya?"

Edi menggeleng. "Tidak juga."

Mocca berpikir dengan tangan di dagunya. "Baiklah, terima kasih, Edi, atas jawabannya. Kau memang yang terbaik. Ngomong-ngomong aku suka rambutmu hari ini." Mocca berpamitan kepada Edi lengkap dengan senyum manisnya. Edi awalnya terbuai, hingga akhirnya dia tersadar. Gawat jika Jordan melihatnya bisa-bisa dia memberinya bogem mentah.

"Seharusnya aku berada di dekatmu ketika kau bertanya kepada Edi," kata Ralin setelah mendengar perkataan Mocca.

Jika saja Ralin berada di sana, dia bisa masuk ke dalam pikiran Edi yang saat itu pasti membayangkan adegan bagaimana Stevan pergi bersama pria berjas. Mungkin Ralin dapat melihat plat nomor mobil itu dan semakin memudahkan mereka untuk mencari tahu. Ah, Ralin melakukan kesalahan. Dia menempelkan dahi di atas meja dengan frustasi.

"Sepertinya aku butuh bantuanmu lagi, Mocca."

"Apa?"

"Tolong mengobrol lagi dengan Edi, obrolan yang memancing pikiran Edi agar membayangkan kejadian Stevan dan pria berjas itu. Supaya aku dapat melihatnya."

Mocca mengernyitkan dahi tak mengerti. "Melihat apa?"

"Pikirannya."

Mocca tertawa mendengarnya, tetapi Ralin tidak tersinggung sedikit pun. Perempuan itu memilih abai, memakan kembali makan siangnya dengan damai. Sedangkan Mocca diam-diam memikirkan perkataan Ralin, apakah yang dikatakannya kebenaran atau lelucon semata.

*****

Mereka berempat duduk di halte bus pinggir jalan. Bukan untuk menunggu bus yang datang, melainkan untuk membicarakan mengenai Stevan. Topik yang belum surut di antara Mocca dan Ralin. Bian dan Evin mendengarkan cerita mereka dengan wajah tertekuk merasa ada yang janggal.

Evin memulai percakapan dengan decakan kesal. "Kenapa kalian sangat ingin tahu tentang hal tersebut? Bukankah Stevan tidak masuk sekolah mungkin saja karena sakit."

"Anggap saja kami sedang bermain peran sebagai pahlawan," jawab Ralin yang menyodorkan kertas kecil bertuliskan sebuah plat nomor.

"Ini...?"

"Plat nomor mobil yang membawa Stevan." Ralin menjawab pertanyaan Mocca tanpa memberi penjelasan.

"Darimana kau tahu?" tanya Bian yang sedaritadi diam menyimak.

Ralin menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Lagi-lagi masa dia harus mengatakan yang sebenarnya, jika begitu rahasianya sedikit demi sedikit terbongkar. Kejadian saat Mocca tertawa mendengar Ralin melihat pikiran Edi saja membuat Ralin bernapas lega. Karena dengan begitu Mocca menganggapnya itu sebuah lelucon. Apa mereka akan menganggapnya demikian juga? Jika tidak bagaimana? Ah, lagipula Ralin tidak pernah berniat menyembunyikan kemampuanya, dia hanya takut dianggap aneh dan menakutkan lantas kemudian dijauhi karenanya.

"Pokoknya aku melihatnya." Ralin berkata ambigu, sengaja, biar saja mereka menduga-duga.

"Melihat bagaimana? Kau kan tidak melihatnya secara langsung." Evin berbicara sinis.

Ralin menggeram kesal. "Melalui pikiran Edi."

"Apa maksudmu?" Giliran Bian bertanya.

"Aku tahu apa yang tersembunyi sekali pun dalam pikiran."

Evin tertawa sinis mendengarnya. "Kau menyebut dirimu sendiri cenayang?" Melihat wajah Evin, Mocca ingin meninjunya agar dia diam, dan membiarkan Mocca mencerna perkataan Ralin.

"Mungkin tak masuk akal, tapi aku tahu Mocca menyimpan pisau kecil di bawah sepatunya. Aku tahu di sakumu...," tunjuk Ralin kepada Bian. "Ada tiga permen rasa stroberi dan selembar tisu yang dilipat."

"Bagaimana bisa?" Mocca terkesiap dengan bola mata yang menatap takjub kepada Ralin.

"Jadi ... kau selama ini tahu aku membawa pisau di bawah sepatu? Itu luar biasa, sekaligus...," Dengan gerakan cepat Mocca mengambil pisau kecilnya kemudian menodongkannya kepada leher Ralin. "Berbahaya."

Bian mencoba menghentikan apa yang dilakukan Mocca, gawat jika orang-orang melihat bagaimana seorang gadis menodongkan pisau kepada gadis lain. Bisa-bisa nama mereka tenar di internet atau surat kabar.

"Mocca, apa yang kau lakukan." Bian memelankan suaranya dengan penuh penekanan. Evin sudah bergerak menutupi posisi Mocca yang masih menodongkan pisau kepada Ralin.

"Aku tidak akan membeberkan rahasiamu. Biar kuberi tahu sesuatu, aku dapat melihat isi pikiran manusia, mengetahui benda-benda tersembunyi. Sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata."



A/n:
Seperti biasa terima kasih sudah membaca. Hari ini saya ingin curhat saja. Gusi dan langit-langit mulut saya sedang sakit, mengganggu sekali, saya ingin makan dengan enak huhu ( ≧Д≦) (╥﹏╥)
See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro