Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#2

Siang itu matahari bersinar begitu keras seolah-olah hendak menghancurkan setiap lapisan atmosfer bumi. Hari yang berat bagi Mocca, dia harus mendengarkan tangisan Emi yang begitu nyaring hingga rasanya Mocca ingin mencopot telinganya jika ia bisa. Emi menangis karena mainannya hilang, dan Mocca memiliki tugas untuk menghentikan derai-derai air mata Emi.

"Kak Mocca, Emi menangis karena mainannya hilang," lapor seorang bocah laki-laki yang sudah Mocca anggap sebagai adik--sebenarnya semua anggota panti asuhan sudah seperti saudara bagi dirinya.

Mocca sedang mengelap pisau kecilnya, menjaga benda berharga tersebut agar tetap mengilap. "Pram sudah mencoba mencarinya?"

"Sudah, Kak Mocca. Dan, Pram juga yang lain tidak dapat menemukannya."

Mocca berdecak pelan dengan tugas dadakan yang ia terima. Ingin Mocca melemparkan tugasnya kepada Evin, tetapi percuma saja mereka akan memulai percakapan dengan adu mulut, terlebih Evin pasti meminta bayaran, mungkin dapat dihitung jari kapan saja Evin menolongnya tanpa pamrih. Meminta tolong kepada Bian? Emi tidak begitu akur dengan Bian, dia senang membuat Bian sengsara seperti yang terjadi pada satu bulan yang lalu. Hari itu Bian bertugas mengawasi Emi yang sedang bermain pasir-pasiran. Emi berkata ia haus dan meminta minum kepada Bian, Bian pergi ke dapur dan ketika sudah kembali Emi menghilang. Bian panik luar biasa, bagaimana pun Emi adalah tanggung jawabnya dan ia harus menemukannya. Hari itu, Bunda mengerahkan semua anggota panti asuhan untuk mencari bahkan sampai ke luar. Masalah terselesaikam oleh Mocca yang menemukan Emi tertidur di kolong kasur. Semua akhirnya dapat menghela napas lega, terlebih Bian yang sampai terduduk lemas.

"Emi...," kata bunda Eva, mengusap kepala Emi. "Nak, lihat Kak Bian ketakutan dan panik saat Emi hilang. Minta maaf, ya."

Mata bulat Emi menatap bunda Eva dengan bibir yang mengerucut. Sorotnya mengatakan tidak mau, tetapi Emi tidak dapat menolak pancaran sorot mata Bunda yang lembut seakan-akan berkata, "Ayo, minta maaf kepada Kak Bian." Anak perempuan itu berjalan pelan ke arah Bian sambil menunduk malu.

"Emi minta maaf, ya, Kak Bian. Habisnya Kak Bian lama sekali mengambilkan minum untuk Emi. Emi kan bosan," kata Emi tanpa menatap Bian.

Bunda Eva menoleh. "Eh? Emi meminta Kak Bian untuk mengambilkan minum?"

Emi segera menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Iya, Bunda, tapi Bian tidak keberatan. Saat itu tangan Emi kotor dengan pasir," kata Bian menjelaskan.

Bunda berdecak pelan. "Baiklah, Bunda maafkan, tapi lain kali lakukan dengan sendiri, ya? Belajar mandiri."

Cengiran terbit di wajah Emi. "Iya, Bunda." Emi berbalik kepada Bian. "Terima kasih juga, ya, Kak Bian."

Masih banyak lagi kejadian Emi yang membuat Bian lupa cara bernapas lega ketika mendapatkan tugas menjaga Emi. Mocca sendiri heran, mengapa Emi lebih anteng bersama Evin ketimbang Bian.

"Hm, tadi kulihat bunda sedang menidurkan Ren," gumam Mocca, "baiklah." Mocca meletakkan pisaunya kembali di tempat penyimpanan rahasia, di bawah sepatu, yang sengaja ia pinta desain sepatu tersebut kepada Bunda Eva.

Disinilah Mocca berada, di teras sambil memainkan boneka yang disarungkan pada tangannya, menghibur Emi dengan kisah karangan Mocca sendiri.

"Tuan Putri pun tidak bermimpi buruk lagi. Tamat," kata Mocca setelah menyelesaikan pertunjukan boneka dengan kisah "Tuan Putri dan Mimpi Buruknya".

"Ayolah, Emi. Berhenti menangis, ya?" kata Mocca dengan lembut sambil mengusap kepala Emi yang tangisannya semakin keras.

Mocca menghela napas sambil berkacak pinggang. Kepala Mocca sudah panas ditambah Emi yang tidak mau berhenti menangis. Sungguh di saat seperti ini Mocca menginginkan kemampuan teleportasi Bian, agar dia dapat kabur dari tugasnya. Namun, Mocca segera menggelengkan kepala, itu bukanlah ide yang bagus, Mocca tidak tahan dengan sensasi mual dan pusing setelah melakukan teleportasi. Pengalaman pertamanya bahkan tidak menyenangkan dan itu membuat Mocca kapok tidak ingin melakukannya lagi, kecuali pada saat genting. Mocca menatap Emi sambil menutupkan kedua telinganya, di dalam batinnya ia menyebut-nyebut nama kak Leya, berharap anggota tertua urutan ketiga di panti asuhan itu segera pulang.

Sebuah ide melintas di kepala Mocca. Bukan ide bagus sebenarnya untuk menghibur anak lima tahun, tapi apa boleh buat jika hal tersebut mampu membungkam tangis Emi, itu menguntungkan bagi Mocca.

"Bagaimana jika Emi menonton pertunjukkan Kak Mocca?" kata Mocca, matanya yang berbinar semangat menatap mata bulat Emi.

Tangis Emi berhenti sejenak. "Per-pertunjukkan apa?"

Mocca segera mengelap air mata Emi dengan punggung tangannya, sedikit mengenai ingus Emi. "Pertunjukkan luar biasa," kata Mocca dengan semangat, dalam hal memamerkan kemampuannya Mocca sangat antusias.

Di lantai dua tepatnya di dalam kamar laki-laki, Evin bermalas-malasan di atas kasur dengan kipas angin yang menyala. Tidak ada siapa pun lagi di ruang tersebut, kecuali dirinya. Panti asuhan memiliki anggota laki-laki berjumlah enam orang: Ilyas, seorang mahasiswa di sebuah universitas dengan bantuan beasiswa; Bian; Evin; Pram, bocah delapan tahun yang punya bekas luka di sisi kepalanya karena terjatuh pada sudut ubin; Theo, si ompong yang menggilai coklat; Ren, bayi berusia 8 bulan yang berusaha mengatakan "Susu", tetapi Ren tinggal di kamar lain, khusus untuk bayi.

Evin merasa sangat bosan. Seharian ini dia habiskan waktu dengan mengisi teka-teki silang dan membaca kumpulan cerpen yang ia gunting dari koran dan dengan sengaja ia bukukan. Evin turun dari ranjang tingkatnya yang berada di atas. Telinganya mendengar suara benda yang menghantam sebuah papan dari luar. Evin menebaknya itu pasti ulah Mocca.

Dari jendela, kedua mata Evin menemukan Mocca yang sedang memberikan pertunjukan kecil kepada Emi yang tertawa sambil bertepuk tangan, dan berteriak-teriak kepada Mocca untuk menunjukkan lagi kemampuannya. Tentunya, itu membuat hidung Mocca semakin terbang. Mocca kembali mencabut pisaunya yang tertancap pada papan bulat kemudian melemparkannya kembali, kali ini meleset sekitar lima centimeter dari titik pusat.

Evin melompat pada pohon yang tingginya mencapai jendela. Tangannya bergelantungan di dahan pohon, persis monyet jika Mocca berada di sana dan melihatnya.

"Kau menghibur bocah lima tahun dengan pisaumu? Yang benar saja, Mok," ejek Evin yang baru saja tiba membuat Mocca memutar bola mata malas.

"Berisik," kata Mocca singkat tidak mau memperpanjangnya.

Evin duduk di atas dahan pohon dan memperhatikan Mocca dari sana. Mocca berdecak keras.

"Apa yang kau lakukan di sana? Sana! Kembali ke kamar, kehadiranmu mengganggu, tahu!"

Evin tidak mendengarkan Mocca, ia balas menjebikkan bibir. "Terserahku, dong."

"Evin, tolong, hari ini kita libur dulu untuk adu mulut, oke?" kata Mocca berusaha sabar, ingin sekali Mocca melemparkan pisaunya kepada Evin.

"Sejak kapan kita membuat kesepakatan tersebut?"

Mocca mendongakkan kepala, batinnya sudah sangat gatal sekali ingin meledakkan amarah. Akan tetapi, Mocca tahan dan memilih mengeluarkan karbon dioksida dari paru-parunya. Emi memperhatikan kedua kakaknya itu sambil menyesap jempol gembulnya, air liurnya keluar dan menetes. Suatu kebiasaan Emi.

"Eh ... Emi tidak boleh mengulum jari, nanti bunda marah, lho," kata Mocca sambil berusaha melepaskan jempol Emi dari mulutnya yang keras kepala tidak mau.

"E--." Perkataan Mocca terhenti tatkala mendengar suara dari roda-roda gerbang yang belum mendapatkan pelumas digeser oleh pak Wira penjaga keamanan mereka.

"Kita kedatangan tamu?" gumam Mocca, pertanyaan yang tidak ditujukan kepada siapa pun.

Mata Mocca menangkap sosok tak asing. Sosok kurus dengan rambut hitam panjang menarik kopernya, berjalan beriringan dengan seorang wanita yang Mocca tebak ibunya.

"Lho, Ralin?" gumamnya lagi setelah dapat mengenali wajah yang tertutupi masker.

Emi mendongakkan kepala kepada Mocca. "Ralin? Siapa itu Kak Mocca?" tanyanya penasaran.

"Teman Kak Mocca di sekolah. Ah itu Kak Leya akhirnya pulang, Emi bersama Kak Leya dulu, ya! Kak Mocca harus mengerjakan tugas sekolah," kata Mocca sambil berjongkok, mensejajarkan diri dengan Emi.

Evin mendengus kasar. "Alibimu," kata Evin kemudian melengos pergi, Mocca diam-diam mengepalkan tinju kepada Evin.

"Ralin!" Mocca berteriak memanggil Ralin, membuat Ralin dan ibunya berbalik.

"Eh ... Mocca?"

Mocca melambaikan tangannya sambil menyunggingkan deretan giginya.

"Selamat siang, Ibu Ralin. Saya Mocca,  teman satu kelas dengan Ralin," kata Mocca memperkenalkan diri sambil mengangguk singkat.

"Oh, rupanya kamu ada teman, Ra." Ibu Ralin menyenggol lengan Ralin. "Ibu jadi senang dan tidak khawatir."

"Memangnya ada apa, Ibu Ralin?"

"Ralin saya titipkan disini untuk sementara waktu. Pemilik panti ini, Eva, dulu teman karib saya sewaktu SMA."

Mocca membulatkan mata setelah mendengarnya, terkejut. Ia kira Ibu Ralin berniat mengadopsi salah satu anak dari panti. Ia sudah bertanya-tanya siapa gerangan yang akan mendapatkan keluarga baru. Akan tetapi, nyatanya merekalah yang kedatangan anggota baru, meski hanya untuk sementara. Mocca tersenyum senang dengan mata berbinar, akhirnya dia memiliki kawan seumuran dengannya, perempuan itu tidak sabar memperkenalkan Ralin kepada anggota panti asuhan lainnya.

"Mohon bantuannya, Mocca," kata Ralin, mengulurkan tangannya untuk berjabat.

A/n:
Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa beri dukungan vote atau silakan berkomentar jika terdapat typo.
See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro