5
Sasi hanya menatapnya dengan mulut ternganga.
"Kamu ngapain di sini?"
Ryoma mengerutkan keningnya. "Lho, kita sering ketemu berapa bulan ini dan kamu masih nggak tahu kita satu almamater?"
"Kamu nggak pernah bilang!"
"Ya kamu nggak pernah nanya."
Sasi memanyunkan bibirnya. Mereka berdua berjalan ke sebuah minimarket 24 jam, dan Sasi langsung duduk di salah satu kursi yang tersedia. Ryoma menghilang ke dalam minimarket, dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa dua cangkir kertas.
"Nih," katanya singkat sambil meletakkan cangkir itu di depan Sasi.
Sasi menatap cangkir itu. "Thanks," gumam Sasi. Ia mengamati isinya – sepertinya cokelat panas.
Ryoma menghirup minuman dari cangkirnya sambil menggeleng. "Gak perlu diterimakasihin."
Sasi terdiam. Mereka duduk bersebelahan di bar stool minimarket yang menghadap ke jendela depan. Gemerlap lampu di dalam restoran masih terlihat dari tempat duduk mereka.
"Aku nggak apa-apa lho ditinggal, kalau kamu mau balik lagi ke dalam," Sasi melirik Ryoma yang memegang gelas kertasnya sambil bertopang dagu, mengamati orang yang lalu lalang di jalanan luar.
Ryoma meliriknya sekilas. "Jangan ge-er ya. Aku nggak di sini buat nungguin kamu, kok. Aku emang lagi pengen aja nongkrong di sini."
Sasi menatap Ryoma. Ini orang minta digetok, apa? Kok kesel, ya?
Alih-alih menggetok Ryoma, ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Dialog ajaib seperti ini sudah berlangsung selama beberapa bulan, dan Sasi sudah menyadari kalau lebih baik mengabaikannya daripada adu mulut dengan makhluk antik ini. Seolah-olah berbuat baik – menyelamatkan Sasi dari momen canggung di dalam restoran, tapi sekarang malah membuatnya kesal.
"Emangnya kamu nyaman ya di dalam sana?" tanya Ryoma.
Sasi tersenyum tipis. Ia menggeleng. Nyatanya, di dalam sana suasananya sudah berubah menjadi nyaris seperti diskotik. Semua orang berpakaian modis dengan baju terkini. Keberadaannya di dalam sana lebih mirip taplak meja berjalan.
"Kamu sendiri?"
Ryoma hanya mengangkat alisnya. "Terus di sana aku mau ngapain, ikut nyanyi-nyanyi sambil joget joget?"
Oh, jadi maksudnya nggak, pikir Sasi. Ia mulai ahli dalam menerjemahkan bahasa ajaib Ryoma. Ia nyaris tertawa sendiri.
"Kenapa nggak bilang 'nggak' aja, sih? Lebih singkat, padat, jelas."
Tak disangka-sangka, Ryoma tersenyum agak lebar. "Gak apa-apa. Soalnya seru liat reaksi kamu."
Eh, sialan. Apa coba maksudnya.
Sasi menatap restoran itu lagi. Pikirannya melayang ke sana. Rino sedang apa ya di sana? Apakah Tania menjawab iya? Melihat reaksinya tadi, sih, kemungkinan besar dijawab iya... Ah, jadi cowok yang keren kayak Rino itu sukanya yang model seperti Tania, ya. Tapi definisi keren itu apa sih? Punya mobil dan banyak uangnya? Tapi nggak pernah sholat? Jangan-jangan wudhunya juga masih salah? Sasi menggaruk pelipisnya. Definisi keren Sasi sekarang menjadi jungkir balik.
'Sekarang jadi orang suci, nih?'
Apakah Sasi harus terganggu dengan komentar itu?
"Ryoma."
"Apaan?"
"Aku salah kostum banget ya di sana?"
"Kenapa nanya gitu?"
"Nggak apa-apa."
"Abis dikatain, ya?"
Sasi nyengir.
"Cuekin aja. Mereka yang saltum."
"Walaupun rasionya satu banding seratus, yang seratus juga saltum?"
"Emangnya kalau mayoritas udah pasti bener?" Ryoma memutar posisi duduknya, menjadi menghadap ke Sasi. Ia menatap Sasi tajam.
Sasi menunduk, mengiyakan kata-kata Ryoma di dalam hati.
"I've been there... Dikatain," Ryoma tersenyum lebar. "Yah, 'sok suci' emang masih merajai klasemen ejekan yang pernah aku dengar sih."
"Munafik," Sasi menambahkan sambil tertawa. "Ini epic, sih."
"'Ini Indonesia, bukan Arab'," Ryoma menambahkan.
"'Nggak usah terlalu ekstrim, biasa aja kali'."
Mereka berdua tertawa.
"Jadi, beneran keluar dari bank buat jualan sendal jepit?" tanya Sasi.
"Oh, Dani cerita? Iya," Ryoma nyengir lebar. "Kamu harus lihat muka papaku waktu beliau tahu aku keluar dari bank... 'MAU JADI APA KAMU RYOMA ZAYN IBRAHIM? PAPA TIDAK MENDIDIK KAMU UNTUK JADI PENGANGGURAN!'"
"Terus?" Sasi bingung mau pasang wajah kasihan atau tertawa.
"Ya udah. Aku jualan sendal jepit. Terus sukses. Alhamdulillah. Ya walaupun untuk ke sini juga nggak mudah, tapi yang orang liat Cuma bagus-bagusnya aja, kan," Ryoma mengangkat bahunya.
"Kenapa sendal jepit?"
"Ibuku orang Jepang. Dia suka sendal."
"Oh, pantesan nama kamu gitu, ya."
"Baru sadar? Emang nggak kelihatan kayak orang Jepang, ya?"
"Nggak sih, tapi emang aku baru sadar kamu itu kayak tokoh film kartun Jepang, ya..."
Sebentar. Ada yang aneh... Kalimat ini seperti sudah pernah diucapkan, kapan ya? Pikir Sasi. Tapi malam ini, ia jadi tahu sedikit lebih banyak tentang Ryoma.
"Aku tadi lihat kejadiannya waktu kamu dikatain, by the way. Itu mantan pacar kamu? Heran kok dulu mau kamu sama dia."
"Kan itu dulu," kata Sasi setengah memelas.
Ryoma tertawa. "Jadi sekarang mau nyari pacar yang kayak gimana?"
Sasi mengangkat alisnya. "Tetot. Pertanyaan jebakan. Dilarang mendekati zina."
"Hahaha, tau aja. Udah pinter, ya sekarang."
Sasi tertawa pelan. Malam ini pertamakalinya ia bicara dengan Ryoma dengan santai. Menyadari minuman di dalam gelas sudah habis, mereka berdua melangkah keluar mini market.
"Jadi mau balik ke dalam atau pulang?" tanya Ryoma.
"Pulang, lah. Ini aku mau pesen grab dulu."
"Nggak ada yang jemput?" Ryoma melirik jam di tangan kanannya. "Sekarang sudah jam setengah sepuluh malam, lho."
Sasi menggeleng sambil sibuk memainkan Hpnya. Ia lupa berpamitan kepada Andin dan teman-temannya. Melihat drama yang terjadi di dalam tadi, semoga mereka bisa maklum kalau Sasi pulang lebih cepat. "Iya, udah biasa, kok."
"Aku anter pulang, deh."
"Hah? Nggak usah, aku bisa kok..."
"TAKSI!" Ryoma sudah terlanjur mencegat taksi yang lewat di jalanan depan rumah mereka. Taksi berwarna biru muda berhenti di hadapan mereka berdua.
"Please, I insist," kata Ryoma datar saat melihat Sasi yang ingin protes. "Ini Jakarta, Neng."
"Okelah. Terserah kamu."
Tangan Sasi menyela tangan Ryoma yang akan membuka pintu belakang taksi. Ryoma terdiam, sesaat pandangannya berhenti di tangan Sasi.
"Kenapa?" Sasi menyadari Ryoma bengong mendadak. "Sori, aku nggak biasa dibukain pintu kalau naik mobil."
"Oh. Bukan," Jawab Ryoma. "Pakai manset tangan? Sejak kapan?"
"Sejak kamu nyuruh pakai cadar," jawab Sasi asal. Tapi memang ia mulai memakainya tak lama setelah kejadian itu, gara-gara Rianti mau beli dan Sasi jadi ikutan demi hemat ongkos kirim.
"Kamu... Beda, ya?"
"Kok kamu terdengar kayak Rino, ya?" Keluh Sasi.
"Nggak, dalam konteks positif maksudnya," Ryoma menahan tawanya. "Aku pikir kayaknya kamu perlu orang yang bisa ngajarin kamu macem-macem, supaya bisa lebih baik. Ikut grup liqo. Udah bagus temenan sama orang yang kayak Rianti. Atau... cari suami yang soleh."
Apa sih, pikir Sasi. Ia bingung kenapa tiba-tiba Ryoma menasehatinya, dan kenapa pula harus dilakukan sesaat sebelum ia masuk ke dalam taksi.
"Thanks?" Sasi tidak tahu apakah ini reaksi yang tepat untuk kata-kata dari Ryoma.
Ryoma nyengir lebar. Entah kenapa malam ini Ryoma begitu murah senyum.
Tiba-tiba terdengar suara batuk yang keras dari kursi pengemudi. "Mas, Mbak, maaf nih. Tapi jadi naik taksinya apa nggak?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro