2
Honda jazz milik Dani menderum perlahan di jalan kota Jakarta. Sasi menyandarkan punggungnya di jok belakang, sementara Dani mulai menyalakan CD murotal Qur'an. Alunan surat Al Mulk mulai mengisi ruang telinga mereka.
"Ti," panggil Sasi pelan. "Emangnya bener ya ada hadist punuk unta itu?"
"Ada," jawab Rianti. "Sebentar gue google-in. Nih," Rianti menyerahkan ponselnya ke Sasi.
Sasi memelototi ponsel Rianti. Ternyata si Ryoma itu tidak mengada-ada.
"Kok lo nggak pernah ngasih tau gue, sih?" protes Sasi. "Temen macam apa lo, membiarkan temennya ikutan berdosa."
Rianti hanya nyengir. Dani mendengus menahan tawa.
"Pasti lo baru 'kena' ya sama Ryoma?" tanya Dani sambil tertawa. "Jangan diambil hati ya, dia orangnya emang gitu. Niatnya sih baik, ngasih tahu yang benar, tapi caranya memang kadang-kadang... Out of the box."
"Oh, jadi ngeselin itu termasuk out of the box, ya," gumam Sasi murung.
"Tapi dia orangnya baik banget lho, lihat kan tadi tiba-tiba dia bayarin kita semua makan?" kata Rianti.
Sasi mengangkat bahunya. "Nraktir makan bukan berarti menganulir omongannya yang ngeselin, kan?"
Dani nyengir. "Tapi percaya, deh. Yang diomongin Ryoma itu, seringnya ada benarnya, kok."
Sasi hanya manggut-manggut sambil manyun.
"Dia kerja di mana sih?" tanya Sasi.
"Jualan," jawab Dani singkat.
"Oh ya? Jualan apa?"
"Sendal jepit anak-anak."
"Hah?" Sasi nyaris meledak karena tertawa. Orang itu tidak ada tampang sebagai penjual sandal jepit.
"Eh, jangan salah, dia pebisnis sukses lho. Sendal produksinya sekarang sudah ada di supermarket besar di Indonesia," Dani kemudian menyebutkan merek sebuah sandal yang terdengar familiar di telinga Sasi. "Hebatnya lagi, dia baru jalanin bisnis ini 2 tahun dan sekarang sudah berkembang jadi besar. Dia juga nggak menyesal keluar dari bank."
"Oh, dulu dia kerja di bank?"
"Iya. Di bagian consumer loan. Begitu mulai ngaji dan ngerti riba, dia langsung resign dari pekerjaannya."
"Oh. Wow." Mendadak muncul rasa hormat di hati Sasi terhadap Ryoma.
"Cie, ada yang penasaran," goda Rianti. "Dia masih single lho."
Wajah Sasi berubah ketus. "Apaan sih!"
Dani tertawa menanggapinya. "Hahaha, iya. Abis keluar dari bank, langsung diputusin sama pacarnya gara-gara dikira madesu."
Sasi tidak menanggapinya lagi. Ia tidak mau Rianti jadi punya bahan untuk mengejeknya – lagipula saat ini Sasi belum berpikir untuk memulai hubungan lagi dengan pria lain setelah Rino. Tidak setelah harga dirinya dicampakkan di hadapannya gara-gara perempuan bernama Tania itu.
***
Rino sama sekali tidak berusaha menutupinya.
Saat ia menerima pesan singkat dari seorang teman kantor Rino, Sasi segera meluncur ke bioskop mall Pacific Place. Membeli tiket film, walaupun film itu sudah mulai setengah jalan, dan duduk di kursi belakang, mengamati dua nomor kursi yang sudah tertera di layar ponselnya.
Mereka duduk di D 1-2. Sori Sas tapi gue pikir lo harus tahu.
Sasi sempat berpikir sepertinya dia gila karena melakukan hal sebodoh ini. Tapi ternyata wanita di depannya menyandarkan kepalanya di bahu pria di sebelahnya, diikuti dengan rangkulan bahu dari pria itu.
Saat lampu menyala dan semua penonton bubar, Sasi bisa melihatnya dengan jelas. Perempuan itu cantik, cantik sekali. Wajahnya sepertinya blasteran eropa – matanya biru terang, entah asli atau dengan bantuan softlens, lipstik merahnya menyala terang, serasi dengan rambut cokelat ikalnya yang tertata rapi dan blus navynya. Ia seperti baru saja keluar dari halaman editorial majalah Vogue. Sementara Sasi... Dengan celana khaki dan blusnya, ia merasa baru saja disulap menjadi manekin yang dipajang di depan gerai toko ITC Kuningan.
Rino menggandeng tangan perempuan itu. Paru-paru Sasi serasa tersumbat.
Pandangan mata Sasi dan Rino bertemu. Namun alih-alih ekspresi wajah terkejut, malu, atau pucat yang biasa ditampilkan oleh orang yang baru saja tertangkap tangan berselingkuh, wajah Rino terlihat tenang. Rino meminta perempuan itu untuk keluar lebih dulu dari bioskop. Perempuan itu, sepertinya memahami situasinya, turun dengan anggun ke pintu keluar dengan sepatu hak tingginya.
"Sasi. Kamu ngapain di sini?" tanya Rino tenang.
"Itu maksudnya apa?" suara Sasi bergetar saking marahnya.
Rino menghela nafasnya. "Sori, Sas. Cepat atau lambat kamu juga harus tahu, kan?"
Sasi hanya menatap Rino.
"Kamu lihat sendiri kan orangnya seperti apa? Dia lebih cantik, lebih pintar daripada kamu. Dan dia yang duluan naksir aku..."
Ingatan kejadian setelah itu samar-samar di dalam kepala Sasi – sepertinya otaknya sudah memodifikasi dirinya untuk melupakan kejadian terburuk dalam hidupnya. Sepertinya Sasi ingat dia sempat menampar Rino sebelum berlari keluar bioskop dengan linangan air mata. Tapi setelah kejadian itu, yang ia ingat adalah ia sedang berada di rumah Rianti, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan tiba-tiba status facebook Rino sudah berubah menjadi in a relationship with Tania Primadhani Dunham. Dari apa yang berhasil Sasi korek dari profil facebooknya ternyata Tania benar-benar setengah bule dan dia satu almamater dengan Sasi dan Rino.
Okelah kalau Rino bilang Tania lebih cantik daripada Sasi, tapi lebih pintar? Sasi tidak bisa terima. Dengan amarah membara, Sasi mendaftar kuliah pascasarjana. Putus cinta, daripada galau, lebih baik menyalurkan amarah ke hal-hal berguna seperti belajar, pikir Sasi.
Satu setengah tahun berlalu, dan Sasi sebentar lagi akan lulus kuliah dengan gelar summa cum laude. Cukup untuk obat sakit hati bagi Sasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro