1
Rianti menggandeng tangan Sasi, menariknya masuk ke dalam masjid Al-Azhar dengan langkah terburu-buru. Sedikit terhuyung, Sasi mengikuti langkah Rianti.
"Jangan cepet-cepet kali?" protes Sasi yang baru saja tersandung.
Rianti nyengir. "Sori, kalau nggak buru-buru suka nggak dapat tempat. Ayo!"
Mereka masuk ke dalam masjid yang sudah dilengkapi dengan panggung kecil di bagian depannya. Rianti benar – walaupun kajian baru dimulai setelah isya, bahkan sebelum masuk adzan isya pun sudah banyak orang yang memadati tempat itu. Sasi melihat bingung ke sekelilingnya.
"Ini selalu ramai kayak gini?"
Rianti mengangguk. "Iya. Ustadz ini termasuk favoritnya pengunjung masjid Al-Azhar. Kadang-kadang kalau ustadznya ada dua orang, bisa jauh lebih ramai lagi."
Sasi melongo. Ternyata orang Jakarta pikirannya tidak hanya seputar uang saja.
"Nah, kalau kata Ibu gue, cari jodoh yang baik itu harus di tempat yang baik," kata Rianti.
Sasi mengerenyit. "Maksud lo?"
"Ya, siapa tau lo ketemu jodoh lo di sini," Rianti tertawa.
"Ah. Gue kan bukan elo," kata Sasi datar. Rianti memang pertama kali bertemu dengan suaminya saat sedang mengikuti kajian di masjid ini. Sasi bertemu Rino di pesta ulang tahun seorang temannya. Kalau pesta ulang tahun bisa dibilang kurang baik, itu mungkin bisa sedikit menghibur Sasi.
"Lo masih suka mikirin si Rino?"
Sasi memasang wajah jijik. "Bleh. Buat apa? Buang-buang tempat di otak aja."
Rianti menyeringai lagi. "Tapi jujur, ya, menurut gue lo masih jauh lebih baik daripada si Tania itu. Lo layak menerima yang lebih baik daripada Rino."
"Ya kalo emang ada..." gumam Sasi pesimis. "Ngomong-ngomong gue salah kostum nggak sih?"
Sasi merujuk ke blus longgar lengan panjang, skinny jeans dan kerudung maxmaranya dibandingkan dengan Rianti yang mengenakan gamis dan jilbab panjang. Rianti hanya nyengir. "Selalu ada ruang untuk perbaikan."
Adzan isya mulai berkumandang, tanda mereka sebentar lagi akan melaksanakan sholat isya dan mendengarkan kajian setelahnya.
***
Pukul sembilan malam, jamaah yang selesai mendengarkan kajian mulai menyemut keluar dari masjid. Tidak disangka ternyata jamaah yang hadir sebagian besar masih muda – rata-rata karyawan kantoran yang menyempatkan diri untuk datang setelah jam kerja. Perut Sasi mulai keroncongan.
"Laper nggak lo? Makan dulu yuk!" Sasi menyikut Rianti yang sedang sibuk dengan ponselnya, mencari keberadaan suaminya.
"Ayo. Biasanya gue sama Mas Dani juga makan dulu, kok," mata Rianti masih melekat di ponselnya. "Nah. Mas Dani bilang dia nunggu di tempat nasi goreng, dia lagi sama temennya. Yuk?"
Tanpa perlu menjawab lagi, Sasi mengikuti langkah Rianti menuju deretan pedagang kaki lima di seberang jalan. Rianti masuk ke dalam tenda yang agak besar bertuliskan 'Nasi Goreng Bang Mamat', dan menemukan suaminya sedang mengobrol dengan tukang nasi goreng.
"Ti, mau pesen apa?" tanya Dani yang menyadari kehadiran Rianti.
"Hmmm... Nasi goreng ikan asin. Sas?" Rianti menoleh ke arah Sasi yang sedang membaca daftar menu.
"Samain aja," jawab Sasi singkat.
Rianti duduk lebih dulu di kursi untuk mengamankan tempat mereka diikuti Sasi. Dani menyusul duduk di hadapan Rianti.
"Eh, Ryoma. Minggu lalu kenapa nggak datang?" tanya Rianti.
"Iya, hujan deras banget dari sore dan gue lupa bawa jas hujan soalnya," kata suara itu. Sasi menoleh sekilas. Itu pasti teman Dani yang dimaksud Rianti.
"Oh iya, kenalin, ini Sasi, temen gue dari kecil. Dia baru pertama dateng hari ini," Rianti menunjuk Sasi. "Sas, Ini Ryoma, teman SMAnya Mas Dani."
Sasi tersenyum ke arah Ryoma. Namun Ryoma hanya menatapnya dengan dahi berkerut. Sasi yang tadinya mau mengulurkan tangan untuk bersalaman mengurungkan niatnya. Sepertinya orang ini tidak terlalu bersahabat terhadap orang baru, pikir Sasi. Ya sudahlah.
Seiring dengan datangnya piring-piring nasi goreng dan gelas-gelas minuman, pembicaraan mulai bergulir di atas meja. Sasi lebih banyak mendengarkan. Ryoma dan Dani lebih banyak mengobrol soal rencana futsal alumni SMA mereka yang akan dilaksanakan hari Sabtu, sementara Sasi dan Rianti lebih banyak membicarakan novel baru yang sedang dibaca Sasi. Tanpa terasa piring nasi goreng berubah kosong dengan cepat, dan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tanpa diduga, Ryoma dengan sigap membayarkan semua makanan ke tukang nasi goreng – membuat Dani agak kesal karena merasa kecolongan.
Mereka berempat berjalan bersama-sama menuju tempat parkir. Dani dan Rianti berjalan lebih dulu di depan, meninggalkan Sasi dan Ryoma di belakang mereka. Sasi merasa gelisah – walaupun Ryoma terlihat tidak terlalu ramah, tapi ia baru saja membayarkan makan malam Sasi. Ia melirik Ryoma sekilas, nampaknya orang ini tidak berminat untuk diajak bicara. Tapi rasanya tidak sopan kalau ia tidak mengucapkan terima kasih.
"Ryoma?" suara Sasi agak serak saat memanggil namanya. Yang dipanggil hanya mengangkat alisnya sambil melirik Sasi.
"Thanks ya udah dibayarin makan malam," akhirnya kalimat itu keluar juga dari tenggorokan Sasi. Setidaknya ia bisa pulang tanpa harus merasa berhutang apapun kepada orang ini.
Ternyata Ryoma tersenyum tipis. "Sama-sama."
Suasana hening kembali. Perjalanan menuju tempat parkir jadi terasa lama bagi Sasi. Entah mengapa aura orang di sampingnya ini membuatnya merasa kikuk. Sasi membenahi posisi kunciran rambut yang mulai longgar di dalam jilbabnya.
"Kok kamu pakai kerudung punuk unta gitu sih?" tanya Ryoma tiba-tiba.
"Hah?"
"Itu. Ada punuknya," Ryoma memberi isyarat ke arah gelungan rambut Sasi yang menonjol di balik kain penutup rambutnya.
Sasi membenahi kerudungnya dengan salah tingkah. "Emangnya kenapa?"
"Jangan pake puntel-puntelan gitu. Nanti nggak bisa nyium bau surga."
"HAH?" suara itu keluar dari mulut Sasi lebih keras daripada yang ia rencanakan. "Apa sih? Berlebihan banget deh."
"Bukan kataku. Kata Nabi," kata Ryoma. "Ada hadistnya kok. Tanya aja sama Rianti. Dia tau."
Sasi melotot ke arah Ryoma. Orang ini walaupun baru saja mentraktirnya makan malam, ternyata sangat menyebalkan. Baru kenal sudah menuduh orang tidak bisa mencium bau surga, memangnya dia siapa?
"Kerudung itu harusnya menutup sampai ke dada," kata Ryoma lagi, tidak mengacuhkan Sasi yang memelototinya. "Terus, telapak kaki itu termasuk aurat lho. Besok-besok coba pakai kaos kaki."
Sasi melirik kakinya yang tidak berkaos kaki dan mengenakan sandal bertali. Rasanya ia ingin berteriak, APA SIH MASALAH LO? Tapi mengingat orang ini adalah teman baik suami dari sahabatnya, Sasi memutuskan untuk mencoba lebih merentangkan kesabarannya.
"Emang masalah ya buat lo?" tanya Sasi dengan suara pelan.
"'Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemahnya iman'," jawab Ryoma panjang dengan wajah yang masih datar "Jadi, ya, masalah, dong."
Sasi manyun. Ia teringat pernah mendengar hadist itu di sebuah pelajaran di sekolahnya dulu. Siapa sih orang ini, baru kenal sudah bilang dia mungkar. Eh, tapi kan Ryoma hanya mengatakan kenyataannya...
"Dan! Motor gue di sini," kata Ryoma agak keras ke arah Dani sambil menunjuk ke arah motor yang terparkir di bawah pohon.
Dani membalikkan badannya. "Oke! Hati-hati, bro!"
Ryoma melambaikan tangannya ke arah Dani dan Rianti yang sudah agak jauh di depan. Sasi mempercepat langkahnya menyusul Dani dan Rianti.
"Cassandra?"
"Ya?" jawab Sasi ketus sambil menoleh ke arah Ryoma. Sudah bikin orang kesal, ngapain lagi dia manggil-manggil?
Sekilas ekspresi Ryoma berubah – dalam sepersekian detik Sasi yakin ia baru saja melihat ujung bibir Ryoma tertekuk ke atas, seperti tersenyum puas. Apa dia puas sudah menceramahi pendatang baru pengajian seperti Sasi?
"Kenapa manggil-manggil?" tanya Sasi lagi. "Ada kemungkaran apa lagi di depan mata?"
Ryoma hanya nyengir lebar. "Nggak. Nggak ada apa-apa. Hati-hati di jalan."
Sasi mengerutkan keningnya, lalu berbalik arah mengejar Dani dan Rianti, setengah berlari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro