49. Verlobungsringe
nas's notes: hiii semuaaa! akhirnya aku update lagi <33
well, cerita ini achieve 78k views dan 6k votes?!?!?!?
terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah membaca, berkomentar, dan menunggu update dari cerita ini! mohon maaf juga karena aku makin jarang update karena aku mencicil cerita dan juga kesibukanku menjelang akhir tahun. semoga aku dan kalian semua sehat selalu yaa <333
anyway, untuk sender yang kirim menfess ini, terima kasih banyak yaa sudah menyelipkan ceritaku untuk mencari rekomendasi cerita yang sejenis 🥹🙏🏻 aku senang dan kaget saat lihat menfess-nya 😭😭😭
jangan lupa vomments yaa! kalau kalian suka baca cerita secara offline bisa dinyalakan dulu paket datanya, terus vote, dan matikan lagi.
terima kasih banyak dan selamat membacaa! <3
.
.
.
Jakarta, Indonesia
Mid-July 2026
Raka masih kesal setelah pulang dari kediaman Giandra. Bukannya mendapatkan kepercayaan, bahkan penerimaan, namun ia malah dipermalukan. Setidaknya, Raka sudah berhasil menyiram laptop Giandra, yang ia tahu, laptop tersebut pasti digunakan Giandra untuk menuliskan ragam karya yang dipublikasikan di luar negeri. Setidaknya tindakan yang ia lakukan tersebut akan mempersulit Giandra dalam mengerjakan tulisannya.
Karena itulah Raka memilih untuk mengajak Clara ke rumahnya. Ia tahu bahwa Clara dapat memberikannya pencerahan, meskipun perempuan itu kerap membuatnya kesal.
"Baru saja aku melamar Giandra. Sayangnya dia tak terkesan karena cincin murahan yang kamu belikan itu."
Clara menghela nafas dengan perasaan berat. Ia ingat bahwa Clara diminta oleh Raka untuk membelikan cincin pertunangan. Karena kesal akibat disemprot oleh Raka karena instastory-nya di Singapura tempo hari, Clara pun merasa bahwa ia harus membalas Raka. Wanita muda itu menghiraukan permintaan Raka dan membelikan secara asal dari salah satu toko perhiasan yang ada di Plaza Indonesia. Raka sudah memberikan Clara ukuran jemari Giandra, namun Clara mengambil cincin dengan ukurannya sendiri.
"Mau kamu lamar dia dengan Graff pun Giandra juga tak akan mau—Giandra sudah tidak berminat denganmu sejak awal."
"Setidaknya kamu berinisiatif untuk pergi ke Singapura dan belikan dia Graff. Aku benar-benar dipermalukan oleh Nilam, yang juga berada di sana, karena cincin murahan sialan itu—Nicholas melamar Giandra dengan cincin dari Harry Winston!"
Saat mendengar Raka protes, Clara pun tampak biasa saja dan menyadari bahwa pembicaraan ini semakin seru. "Oh, selera diplomat itu bagus juga," balas Clara.
"Jangan memuji pegawai negeri itu di depan mukaku!" bentak Raka dengan wajahnya yang mulai merah.
"Kamu juga pegawai negeri, Tua Bangka Bangsat. Kau bekerja untuk Presiden!"
Mendengar Clara yang mulai bisa membalas bentakannya. Raka pun mencoba untuk membuka dasinya dan kancing atasnya. Ia merasa sesak karena keberuntungan hari ini tak berpihak padanya. Tangan lelaki berusia empat puluhan awal itu langsung mengeluarkan kotak yang berisi cincin pembawa malapetaka dari saku celana dan menaruhnya di meja.
"Terserah mau kau pakai atau kau jual lagi. Pokoknya tolong enyahkan barang murahan ini dari mukaku."
Clara langsung mengambil kotak tersebut dan memasukkannya ke dalam tas Lady Dior miliknya. "Terima kasih."
"Dan obat tidur yang kamu berikan waktu itu benar-benar tidak berguna."
Mendengar keluhan Raka, Clara hanya mendenyit. Ia ingat bahwa terakhir kali ia memakai obat tidur untuk membuatnya istirahat pun benar-benar berguna. Wanita itu berpikir apakah ada yang salah dengan obat tidur atau orang yang diincar oleh Raka.
"Bukan salahmu, tetapi memang saat aku ingin memberikan teh yang tercampur dengan obat tidur itu kepada Nicholas, Ibu Negara langsung menabrak dan menumpahkan tehnya kepada Nicholas dan Rayan." Raka mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi di kediaman pribadi Andhika Pradana yang membuat Clara mulai mengerti.
"Itu, sih, kau saja yang idiot—mencoba membuat keributan karena membawa seseorang dari pesta." Clara merespon dan ia terpikir dengan Raka yang mulai mengincar Nicholas dengan memberinya obat tidur. "Apa Giandra masih bersama Nicholas?"
Raka mengangguk dengan malas. "Bahkan Giandra akan menikah sama lelaki yang karier saja tinggal mengikuti kakek dan ayahnya itu."
"Setidaknya jangan merendahkan anaknya bersama dengan ayah dan kakeknya. Sudah tahu keluarga Wiradikarta adalah yang terbaik untuk diplomasi internasional. Keluarga mereka selalu menjadi menteri paling waras di kabinet—meskipun presidennya saat itu, kakekmu, adalah orang yang tidak waras," ujar Clara yang tampak mengambil air mineral dari botol kaca dan menuangkan ke gelas kecil, "aku terkejut saat kamu berencana untuk 'menculik' Nicholas dengan obat tidur. Cara seperti itu sangatlah tidak masuk akal."
Raka pun tampak tak tertarik dengan riwayat keluarga orang lain, namun ia tetap mendengarkan apa yang diketahui oleh Clara. "Lebih baik kau berikan aku saran bagaimana cara melenyapkan lelaki yang tidak punya gelar S3 itu."
"Memang kamu sendiri punya gelar S3?" tanya Clara yang langsung meminum air mineralnya.
"Aku sudah S3 di UI dan tak banyak orang yang tahu. Aku hanya mengumbar-umbar soal pendidikanku di Singapura dan Amerika Serikat."
"Sebenarnya aku tidak peduli," ucap Clara yang tak tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Raka, "Nicholas, lelaki yang kamu incar ini, dia memang tidak ingin melanjutkan S3 atau bosnya yang tidak mengizinkan?"
Raka pun tampak mengambil salah satu minuman keras yang baru saja ia beli beberapa hari yang lalu. Ia menuangkannya ke gelas kristal lalu, dengan spontan, lelaki itu mencium bau minuman keras itu sebelum meminumnya. Pikiran Raka tampak ingat bahwa sekretarisnya pernah memberitahu bahwa Nicholas diandalkan oleh Menlu yang sekarang. Menteri Luar Negeri tampak senang dengan cara kerja, etika, pengetahuan internasional, penguasaan bahasa asing, hingga keluarga—sehingga Menlu (menurut pengamatan sekretarisnya Raka) kerap memberikan Nicholas banyak kesempatan. "Sepertinya yang kedua—Menlu banyak melibatkannya dalam pekerjaan yang memberikannya banyak sorotan."
Clara ingat bahwa Menlu saat ini masih bagian dari internal Kemlu. Bukan orangnya Andhika, teman karib Raka, atau siapapun yang terkait dalam peta politik Indonesia. "Maka ajak bicara bosnya. Berikan dia saran supaya Nicholas bisa melanjutkan studi di luar negeri. Bagus jika sekalian mendapatkan penempatan, jadi dia tidak akan terpikir untuk pulang di sela-sela perkuliahannya karena ada sesuatu yang mengikatnya."
Mendengar saran dari Clara, Raka pun berpikir bahwa saran Clara akan menguntungkan Nicholas dari segi pendidikan dan karier. Akan tetapi, saran Clara terdengar masuk akal untuk menjauhkan Nicholas dari Giandra.
"Dan Giandra akan ditinggalkan, lalu aku bisa mendekati Giandra. Ide bagus!" Raka merespon dengan antusias dan mulai duduk dekat dengan Clara yang mulai mengambil tasnya. "Kamu dan ide gilamu memang luar biasa."
Wanita muda itu hanya menelan salivanya. Tangan dan pikirannya tampak mengurungkan niat dari merogoh sebuah amplop putih dari tas Lady Dior berwarna merah itu.
.
.
.
Jakarta, Indonesia
Mid-July 2026
Akhirnya Giandra memutuskan untuk menggunakan kartu debit Nicholas terbitan Jerman dengan memesan kamar hotel di Hotel Indonesia Kempinski. Sura menyarankan agar Giandra menyewa kamar di hotel tersebut supaya bisa pergi ke pusat perbelanjaan yang terkoneksi dengan gedung hotel untuk makan malam.
Bahkan Sura tidak menyarankan Giandra untuk menginap di hotel yang dimiliki oleh keluarga kekasihnya, Fabian Hafiyyan. Tentu saja karena hotel tersebut tidak memiliki akses ke pusat perbelanjaan atau transportasi senyaman Hotel Indonesia Kempinski.
Tentu saja (seperti biasanya) Giandra memilih untuk mengajak Sura menginap bersama. Hanya saja, setelah menyelesaikan satu draft dan lanjut untuk part terakhir, Giandra berusaha menahan dirinya dari menyelesaikan cerita yang ia tulis. Hanya membutuhkan dua atau tiga paragraf untuk menyelesaikan part tersebut, hanya saja, Giandra memilih untuk bergabung dengan Sura yang mencoba untuk tidur.
"Belum selesai?" Sura bertanya dengan suara pelan.
Giandra mengangguk. "Belum. Tinggal tiga paragraf lagi. Aku ingin duduk saja dan mengobrol denganmu."
Mendengar Giandra yang memilih untuk naik ke atas ranjang, Sura langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersandar dengan bantal. "Ayo kita mengobrol saja!"
Tangan wanita muda itu juga tampak menyusun dua buah bantal agar Giandra dapat bersandar di belakangnya. Dengan sengaja, Sura pun langsung menyandarkan kepala pada ujung bahu Giandra yang terekspos. Hidung Sura langsung menangkap wangi parfum teh yang menjadi salah satu kesukaan Giandra.
"Ngomong-ngomong, apakah Kak Nicky sudah menjadi pasangan yang baik untukmu?" tanya Sura dengan perlahan sembari memainkan jemari Giandra.
Giandra menganggukan kepala, lalu ikut memainkan jemarinya Sura. "Yup, dia melakukannya dengan sangat baik."
Mata hijau kebiruan milik Sura pun memandangi cincin berlian yang diberikan oleh Nicholas. Cincin pertunangan Giandra dengan kakaknya itulah yang membuat mata Sura tampak berbinar dengan perasaan antusias. "Aku berasumsi bahwa Kak Nicky membeli cincin ini di Inggris. Ia menanyakan ukuran jemarimu padaku."
"Ah, aku ingat. Kamu menanyakan ukuran jariku saat aku menunjukkan cincin Cartier milik mom," respon Giandra dengan lembut, "jika Fabian tidak melamarmu dengan cincin yang bagus, aku akan memukulnya."
Wanita muda itu merespon ucapan Giandra dengan gelak tawa yang lembut. Ia teringat dengan pacarnya yang selalu berusaha untuk menghubunginya dari Jerman. "Lihat saja tahun ini."
"Kembali ke Nicholas, Mas Andrew bercerita kalau kakakku banyak bertanya saat ia mulai ingin 'memperlihatkan' ketertarikannya padamu agar kamu 'menyadari'. Misalnya ia memikirkan cara mendekatimu dengan menjadi seseorang yang berguna. Aku yakin dia juga bertanya pada ayah bunda." Sura melanjutkan ucapannya.
"Benar, Sura. Kak Nicky benar-benar menerapkannya. Ia berusaha untuk membantuku. Minimal ia akan bertanya apa yang bisa ia bantu. Bahkan ia meminjamkan laptopnya saat Raka, secara sengaja, menyiram punyaku karena menolak lamarannya. Dasar babi air."
Hinaan Giandra terhadap Raka membuat Sura tak bisa menghentikan dirinya agar tidak tertawa. Ia langsung tertawa dengan puas bersama Giandra. "Babi air yang tidak sadar diri. Pantas saja Aqsad lebih banyak mendenyit karena mendengar kelakuan Wamen gila ini."
"Aqsad benar-benar mendenyit setelah membawaku pergi dari Raka saat tak sengaja bertemu dengannya di Singapura."
"Pasti dia menyombongkan bahwa dulu ia adalah warga Singapura." Sura mulai memberikan tebakannya.
"Benar. Ia mencoba untuk mengajakku pergi." Giandra menanggapi dan tampaknya ia mulai teringat sepintas di pikirannya soal Nicholas. "Sura, aku teringat sesuatu. Kakakmu mengizinkan aku untuk melihat isi laptopnya dan tampaknya ia masih berencana untuk mencari beasiswa luar agar bisa mendukung rencana studi S3-nya."
Tentu saja Sura juga mengetahuinya. Sura hampir mengira bahwa Nicholas mengurungkan rencana studi S3-nya karena Nicholas tampak sibuk dengan pekerjaan dan sudah cukup dengan gelar S2-nya yang mendukung kariernya. "Secara sadar kakakku melakukannya. Ia selalu penasaran bagaimana cara kerja dunia ini dari mata hijaunya yang selalu membesar itu. Hanya saja, aku tak yakin. Sekarang ia menjelma menjadi orang penting di Kemlu dan temanku mengatakan bahwa Kak Nicky adalah anak 'emas' atasan."
Giandra mendenyit saat mendengarkan penuturan Sura. "Uh, Sura. Tampaknya konsep anak emas di pekerjaan memang tak selalu menjadi hal yang baik. Sebelumnya, aku juga anak emas di Forest Green dan aku juga yang kena lay off."
Sura mengangguk. "Lebih tepatnya kamu angkat kaki karena perbuatan babi air."
Hampir saja Giandra akan meledakkan tawanya dan, pada akhirnya, ia benar-benar melakukannya.
TBC
Published on November 2, 2024
nas's notes: terima kasih semua yang sudah mampir di part ini! ayooo yuk jangan lupa vomments-nya yaaa :"D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro