CHAPTER 011
TIDAK MUNGKIN BISA menunggu lebih lama lagi. Harding meremas paha terbukaku karena hanya mengenakan mini skrit, saat mobilnya terpaksa berhenti di lampu merah dan itu terasa menyiksa bagi kami berdua.
Aku menoleh ke arahnya, ingin sekali duduk di pangkuan Harding saat itu juga. Namun, mustahil dilakukan karena bercinta di tempat umum merupakan tabiat orang tidak beradab dan kebetulan kami bukan bintang film porno.
"Sial! Aku ingin masuk ke dalam dirimu saat ini juga," ucap Harding, sambil membalas tatapanku. Dia mencondongkan sedikit wajahnya ke arahku, membuatku mendekat dan kami saling berciuman lagi sebagai menuntas hasrat yang tertahan.
"Hold on. Jangan di sini," kataku setelah menarik diri dari ciuman tersebut. Semakin lama melakukannya, membuatku khawatir akan bercinta di persimpangan brengsek ini. "Apa apartemenmu masih jauh?"
Mengambil lengan kananku, Harding mengarahkannya ke bagian tubuhnya yang mengeras. Dia benar-benar keras kepala.
"Dua belokan lagi dan kita akan sampai."
"Baiklah, kita bisa menunggu dan kau harus mengendarainya dengan sangat cepat," bisikku menahan birahi, hingga meninggalkan senyum menggoda di wajah Harding.
"Tapi tidak secepat kita mengakhirinya, Barbie." Harding mencium leherku, membuatku mendesah pelan dan semakin menginginkan Harding.
Oh, sialan kau Harding!
"Just ... Barbara," ucapku pelan sebelum Harding menjalankan kembali mobilnya dengan kecepatan penuh.
Selanjutnya, ini adalah menit-menit paling menggelisahkan dalam hidupku. Aku bersumpah rasanya lebih mendebarkan, daripada ketika Mrs. Jones memanggilku ke ruangannya saat aku melakukan kesalahan mengajar. Percayalah, aku ingin sekali membenamkan wajahku di selangkangan Harding lalu menghisapnya seolah esok adalah kiamat.
Sesampainya di apartemen Harding, kami berciuman lagi sebelum keluar dari mobil. Ia mengumpat berulang-ulang karena ingin segera memasukiku.
"Kita lanjutkan di dalam lift, Barb." Harding menarik tanganku menuju lift apartemen. Kami menunggu dengan gelisah, hingga tangan kanan Harding tidak bisa berhenti meremas-remas bokongku.
Aku menoleh ke arahnya dan melihat ekspresi paling seksi se-alam semesta itu. "Harding, tahan dulu. Kita akan segera memasukinya dan melakukan sedikit pemanasan di sana."
"Goddammit, kau sudah menciptakan hal panas itu di awal pertemuan kita."
"So crazy."
"Yeah, tapi kau malah meninggalkanku."
"Asal kau tahu," bisikku tepat di telinga Harding saat pintu lift terbuka, "aku juga merasakan hal yang sama." Segera kutarik tangan Harding dan dengan sigap lelaki itu menekan nomor berapa kita akan pergi.
Harding-lah yang menyentakku ke dinding lift, merapatkan tubuhnya di tubuhku lalu menciumiku seolah kami sedang kecanduan satu sama lain. Bibir Harding begitu manis, perpaduan antara rasa maskulin dan juga red wine. Aku menyukainya bahkan seolah tidak bisa lepas dari bibir itu.
Ciuman kami terputus saat pintu lift terbuka. Harding mengerang kemudian secara tiba-tiba mengangkat tubuhku, hingga membuatku memekik kaget. Tentu saja aku melingkarkan kedua kaki di pinggang Harding yang seketika itu pula, mengingatkan bagaimana sensasi seks pertama kami.
"Kuncinya di saku belakang sebelah kanan. Bisa kau ambil, Barb?" tanya Harding, tapi tidak membiarkanku menjawab karena ia kembali menciumku.
Aku meraba bokong Harding dan jangan tanya bagaimana sensasinya karena itu sama saja menanyakan bagaimana rasanya surga. Tidak bisa dibayangkan, sebab sekarang darahku berdesir kencang.
Aku ingin merasakan kebesaran Harding sekarang.
Menggunakan tangan lainnya, aku membuka pintu apartemen Harding, yang mana Harding langsung membawaku masuk ke dalam lalu menutupnya menggunakan kaki. Masih dalam posisi berciuman dan kini, Harding menciumi leherku serta memberikan gigitan kecil di sana. Aku mengerang pelan, sentuhan Harding begitu membakar diriku hingga membuatku meleleh tak berdaya.
"Tidak bisa menunggu lagi, Barb." Harding menurunkan tubuhku, mulai menjejalkan tangan besarnya di balik mini skirt-ku dan mengusapnya. "Wow, sangat basah."
Sial! Bagaimana bisa kalimat itu terdengar begitu erotis di telingaku.
"Lakukan di mana saja, Hard. Aku ingin ... dinding, sofa, atau karpet, di mana pun itu," ucapku di sela desahan akibat pijatan Harding di antara pangkal pahaku.
"Sofanya nyaman," ujar Harding kemudian melucuti semua pakaianku.
"Jangan lupa pengaman." Aku membuka kemeja Harding, tidak peduli bahwa aku telah telanjang lebih dulu dan melakukan pekerjaan ini, sambil berjalan mengikuti Harding.
Sedangkan lelaki itu, dia merogoh dompet untuk mengambil kondom yang masih terbungkus. Membukanya menggunakan gigi dan aku langsung merebut benda tersebut ketika sukses menurunkan celananya.
Ya Tuhan, aku suka melihat kejantanan Harding. Besar, keras, dan menggoda untuk dihisap, tapi sekarang tidak ada waktu sebab Harding langsung merebahkanku di atas sofa setelah pengaman tersebut terpasang dengan baik.
Tanpa menunggu lama, aku langsung membuka kakiku merasakan bagaimana Harding memasukiku, dan mencari-cari titik kenikmatan tersebut. Rasanya besar, begitu gagah hingga ....
"Ya Tuhan, kau besar, Hard."
"Bukan, tapi kau yang sempit, Babe," ucap Harding, sambil terus memompanya. "Aku ingin melakukannya dengan sangat keras."
"Yes, please."
Melingkarkan kakiku di pinggul Harding, lelaki itu memompa dengan sangat keras dan cepat. Napas kami saling berderu dengan tatapan yang saling mengunci, hingga ketika aku membuka bibirku, Harding kembali mencium serta memasukan lidahnya di dalamku.
Demi Tuhan, aku menggila di buatnya.
"Harding, aku ...."
"Jangan sekarang," kata Harding tepat di telingaku, dengan terus menggagahi lubang kenikmatanku. "Tunggu aku."
Aku mendesah kuat, melingkarkan kedua lenganku di tengkuk Harding dan kurasa, kami berdua mulai berkeringat. Aku menggoyangkan pinggul, mengikuti ritme ciptaan Harding hingga satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah ....
... aku benar-benar tidak bisa menunggu.
"Harding, kumohon, lebih keras," pintaku dengan sangat memohon, sambil terus menggoyang pinggulku.
Harding yang berada di atasku, mengikuti perintahku. Ia menusukku dengan sangat keras dan kuat. Aku melenguh kenikmatan, napasku naik-turun, dan kurasa cairan hangat membanjiri liang kenikmatanku.
Yang mana diakhiri dengan Harding menyembunyikan wajahnya di leherku, lalu menghisapnya kuat-kuat—mungkin—meninggalkan tanda di sana. Tidak masalah, aku menyukainya dan puas akan servisnya. Selalu.
Demi apa pun itu.
Harding menggigit kecil telingaku. Napasnya masih terdengar menderu di sana, bersamaan dengan miliknya yang masih terbenam di dalamku.
"So ... Barbara, di mana lagi kita akan melakukan perjalanan ini?" tanya Harding, sambil meremas lembut payudara kiriku.
Aku mengusap punggung gagahnya. Belum mampu mengatakan apa pun, akibat sentuhan luar biasa Harding.
Ia membenamkan wajahnya di antara kedua dadaku, membuatku mengusap rambut cokelatnya. Aku mengembuskan napas panjang, seolah pelepasan luar biasa ini, telah menguras seluruh tenagaku. Namun, seperti manusia serakah, aku masih menginginkannya.
"Di mana saja selama itu kau," kataku yang membuat Harding mengangkat kepalanya untuk menatapku.
Ia menyeringai dengan begitu seksi. "Meja makan dengan es krim rasa Barbara."
Whoa! Kau sungguh luar biasa, Harding. Aku tersenyum lebar, tanda menyetujui dan saat itu juga ia kembali mengangkat tubuhku, dengan kedua tangan yang menangkup bokongku.
Sialan, bagaimana bisa aku sangat suka Harding? Bahkan tanpa kusadar, telah melupakan Jared saat ia masih di ranjangku dulu.
***
Fine, amatir sudah nulis satu chap yang full ena-ena, gimana menurut kalian? Berdesir gak?
Gimmie ur comment and vote yeah. Dont forget to share this story too.
I love u
Ig. @augustin.rh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro