CHAPTER 005
AKU TERBANGUN DI SOFA ruang utama dengan kepala berputar. Entah yang kualami ini karena pengar atau karena terlalu malam bergadang. Namun, jelasnya aku bisa mengingat hanya ada satu gelas vodka di dalam tubuhku, sebelum dituntun seorang lelaki bernama Harding ke sudut lorong restoran, lalu berakhir bersama lenguhan penuh rasa nikmat dengan kedua kaki melingkar di pinggangnya.
Mengingat apa yang terjadi semalam, aku yakin bahwa rasa pengar ini adalah efek dari sensasi seks luar biasa yang sudah lama tidak kualami.
Aku menggigit bibirku, ketika rasa Harding masih terasa di dalam diriku dan melihat-lihat di mana aku berada sekarang. Kuharap tidak nyasar ke rumah orang asing, seperti yang Veronica lakukan ketika ia sedang mabuk berat. Namun, ngomong-ngomong tentang Veronica, ke mana perginya gadis itu? Setelah masalah gaunku yang dirusak Harding selesai, aku tidak melihat Veronica sama sekali di pesta Jared.
Menatap sekeliling ruangan, refleks kedua alisku menyatu. Ruangannya memiliki dominan warna hitam putih, terkesan minimalis dengan perabotan yang tak begitu banyak untuk disebut sebagai tempat tinggal. Aku yakin ini bukan apartemenku, bukan pula Veronica yang dengan kecepatan cahaya melakukan renovasi dadakan untuk mengubah suasana apartemen. Jadi setelah mengumpulkan kepingan puzzle tentang kejadian semalam hingga bagaimana aku bisa berakhir di sini, aku menemukan kesimpulan pasti.
Harding membawaku ke tempat tinggalnya.
Kemudian kami melakukannya lagi, karena Harding hanya membawa satu kondom ketika kami melakukan seks di restoran.
Bukan hanya sekali di tempat ini, tapi tiga kali seolah tenaga kami tak ada habisnya. Seolah kami berdua merasa lapar akan seks.
Mengingat kejadian tersebut, aku yakin wajahku memerah. Pasalnya, jika dilakukan berulang kali maka itu tidak bisa disebut sebagai one night stand. Jadi ungkapan apa yang layak untuk kejadian semalam? No idea, aku benar-benar seperti jalang kelaparan dan Harding adalah daging paling lezat sepanjang sejarah. Bahkan jika dibandingkan dengan Jared, dia kalah jauh.
"Geezz! Barbara, kau bahkan membiarkan barang-barangmu berserakan." Aku memijat keningku, setelah beberapa saat mengamati ruangan utama ini dan tidak menemukan keberadaan Harding. Justru yang kulihat adalah barang-barangku tergeletak manis di sana-sini.
Kini aku sadar, hanya mengenakan bra yang menggantung di bahu tanpa pengait. Aku segera beranjak meninggalkan sofa abu-abu tersebut, melangkah lebar mengambil g-string di atas TV, gaun di lantai dekat tangga, dan terakhir ....
... aku butuh kamar mandi untuk setidaknya sikat gigi serta—mungkin—memenuhi panggilan alam, sebelum sang penghuni sesungguhnya menampakkan diri dan aku akan tampil seperti idiot.
"Sudah sadar dari tidur lelapmu, Barbie?"
Aku menoleh ketika mendengar suara dari arah sebelah tangga, ruangan yang memiliki aroma kopi, serta roti bakar dengan selai cokelat—kuyakin itu pasti dapur—dan mendapati Harding berdiri di sana dengan senampan sajian yang kusebutkan sebelumnya. Namun, bukan itu pusat perhatianku, melainkan pahatan roti sobek berhiaskan sedikit bulu halus plus kacamata minus di wajahnya.
Serius. Kuakui Harding terlihat seksi sekaligus manis di waktu bersamaan. Dan lelaki dengan casing sempurna ini telah menjadi partner gila-gilaanku semalam.
"Oh my God, you!" Akal sehatku kembali setelah beberapa saat tercengang—mengagumi Harding—kemudian segera menutupi tubuhku dengan pakaian yang ada di tanganju dan secepat kilat berlari ke toilet lalu menutup pintu. "Apa kau melihatnya?!"
Harding tertawa dan sepertinya ia berdiri di depan pintu toilet karena sebelumnya, ia mengetuk pintu lalu berujar, "Terlambat untuk merasa malu, Barbie. Mau sarapan bersama? Kubuatkan roti bakar dengan selai cokelat seperti kesukaanmu."
Kesukaanku katanya? Lagi-lagi aku mengernyit, sambil menyikat gigi—yang pastinya milik Harding—dan mengingat-ingat tentang apa saja yang kukatakan semalam.
Pertama, aku tidak menyebutkan namaku dan hanya mengatakan Barbie ketika Harding menanyakan namaku ketika ia mulai mencumbuiku di lorong restoran.
Kedua, aku tidak ingat jelas bagaimana Harding mengajakku ke apartemennya. Yang kuingat hanya aku menyetujui ajakan tersebut karena memang masih menginginkan Harding.
Dan ketiga, bagaimana dia bisa mengetahui bahwa aku suka roti bakar dengan selai cokelat? Apa saat kita melakukan seks, kita sempat membicarakan hal tidak penting seperti demikian?
Kurasa itu mustahil.
"Bisa kau pakai bajumu?" Aku mengetuk pintu toilet dari dalam, meyakinkan diri bahwa Harding di sana meski yakin dia pasti memang masih bertahan di tempatnya. "Aku ingin keluar dan pergi dari sini."
"Tidak ingin sarapan denganku?"
"Aku tidak punya waktu."
Kudengar Harding bersiul singkat. "Kau bilang ingin hidup bersamaku."
"Apa?!" Kedua mataku membulat. Harding pasti mengada-ada, mustahil aku mengatakan hal demikian pada orang asing. "Ha-ha, you are fucking kidding me, right?"
"Nope." Harding memutar kenopi pintu yang untung saja aku kunci sebelumnya, sehingga ia tidak bisa menerobos masuk. "Kau mengatakannya saat pelepasan terakhirmu."
"Oh, jika itu yang kau maksud. Percayalah, itu hanya ungkapan kepuasan. Bukan hal serius," kataku sambil merutuki kebodohanku karena meracau saat melakukan seks dan membuatku jatuh ke lubang masalah, karena lelaki itu tampak percaya diri. "Menjauhlah, aku harus segera pergi."
Aku membuka pintu dengan kasar. Sengaja. Ingin membuat Harding terbentur, sehingga aku bisa pergi tanpa rintangan sekali pun. Namun, he's so lucky, ia berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari pintu dengan kaos putih polos tanpa nampan seperti sebelumnya.
Aku meneguk saliva-ku kemudian merasa kikuk dan ... "Hi," sapaku canggung. "Thank you," kataku selanjutnya sebelum segera melangkah pergi, tanpa memberi kesempatan Harding untuk bicara sekali pun. Bahkan saking buru-burunya, aku bisa mendengar bagaimana Harding mencoba mengejarku, tapi pintu lift seolah berpihak padaku karena kami benar-benar berpisah di sana.
***
Duduk di bangku penumpang taksi online yang kupesan cukup jauh dari apartemen Harding, aku melihat jam tanganku. Sekarang pukul sebelas pagi—waktu terlambat untuk sarapan—menandakan bahwa, aku memiliki kualitas tidur terbaik malam ini akibat seks luar biasa bersama Harding. Aku tersenyum-senyum sendirian dengan pencapaian tersebut, setelah lama tidak melakukan seks kemudian menemukan partner yang luar biasa. Sehingga keputusan untuk meninggalkan g-string di toilet Harding, merupakan hal sepadan dengan apa yang kudapatkan hari ini.
Aku tidak menyesal sekali pun. Meski terkesan liar dan menjadi tanda bahwa ada saat-saat nanti kita akan melakukan itu lagi.
Dan beruntungnya lagi, sekarang minggu, waktu di mana aku bisa bersantai ria karena terbebas dari pekerjaan bimbingan belajar. Namun, bukan berarti bermalas-malasan sepenuhnya akan terjadi hari ini sebab tidak lama kemudian Kate—kakak perempuanku—mengirimikanku sebuah pesan panjang berisi rayuan.
Barbara sayang, sekarang hari minggu dan aku tahu ini adalah waktu senggangmu. Jadi aku ingin meminta bantuanmu, karena salah satu pegawaiku sedang berhalangan dan toko sedang sangat ramai. Kami semua di luar kendali sebab kekurangan kurir, aku butuh kau mengantar beberapa barang. Datanglah ke toko sekarang, please. I love you.
Setelah membaca pesan Kate, refleks aku mengembuskan napas panjang. Benar, 'kan kubilang? Hari minggu memang bukan hari kerjaku, tapi bukan berarti aku bisa bermalas-malasan. Alhasil, sebelum supir taksi membawaku lebih jauh, aku segera menyimpan ponsel di dalam tas lalu mengatakan bahwa aku ingin mengganti tujuan ke Restaurant Pizza American Boss.
Beruntung, jarak antara Madison Ave dan 5th Ave tidaklah jauh sehingga hanya butuh waktu sedikit untukku sampai di restoran pizza milik Kate. Bahkan andai aku ingin, aku bisa berpergian dengan berjalan kaki, tapi kutolak pilihan tersebut sebab akan sangat konyol jika aku melakukannya. High heels mengkilap, gaun mahal keluaran Christian's Woman, dan tanpa celana dalam, akan sangat berbahaya jika berjalan kaki sendirian.
Jadi aku tetap dengan taksiku, hingga sampai di tujuan dan tidak sengaja melihat seorang lelaki keluar dari mobilnya yang terparkir di depan toko milik Kate. Demi Tuhan, jika ini film maka sudah dipastikan aku akan menjatuhkan sesuatu saking kagetnya. Namun, aku tidak memiliki apa pun selain handbag dan aku tidak ingin menjatuhkannya. Jadi sebagai gantinya, aku hanya menganga lebar sambil mengucapkan nama Tuhan berulang kali.
Percayalah, saat ini aku dalam masalah.
***
Halo! Mau curhat rada sedih, sih waktu kalian enggak tegur aku kalau ternyata nama Barbara berubah jadi Coraline :(
Apa kalian enggak sadar dengan kesalahan sepele, tapi berbahaya ini? Atau kalian sadar, tapi cuek aja karena mikir 'mungkin saya bakal sadar juga'?
Maaf atas ketidaknyamanannya, ya :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro