THIO - Si Paling Nggak Tahu Balas Budi 21
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Oliv, you can't pimp me out!" teriakku berang. Tidak peduli kalau Jesse masih ada di depan kami setelah menyampaikan kabar kalau dia harus datang ke gala dinner dari kantor minggu depan. Dan Olivia, sebagai sahabat dajal, menjawab pertanyaan Jesse yang menanyakan kesediaanku dengan entengnya. Dia bilang, "Ali pengangguran, kapan aja juga dia bisa."
Jesse mendudukkan bokongnya pada lengan single sofa, menunggu perdebatan aku dan sahabat sialanku ini selesai dengan muka semringah.
Mata kiri Olivia berkedut. "Dia suami lo, nggak bisa dibilang gue eksploitasi dong. Gue kan nggak dapat apa-apa dari hasil bargaining ini," protes cewek bermata sipit ini dengan cueknya. Tapi, kenal dengan Olivia selama bertahun-tahun membuatku tahu kalau apa yang diucapkannya adalah omong kosong.
Aku melipat kedua tangan di depan dada dan menatap sinis pada Olivia yang melemparkan tatapannya ke arah lain. "Mata lo kedutan. Jangan belagak pilon." Keras kepala Olivia mirip denganku sehingga aku menoleh ke sisi kanan, tempat Kristina yang sedari tadi diam saja. "Dia dapat apa dari Jesse?"
"Nomor handphone Kamal," jawab Kristina tanpa peduli pelototan peringatan dari Olivia, "gue nggak mau bohong buat tutupin akal bulus lo," sambungnya dengan gedikan bahu yang disambut erangan oleh sahabatku yang satunya lagi.
Oh, aku sangat siap untuk mengasah pisau daging hari ini.
Merasakan hawa pembunuh dariku, Olivia memundurkan bokongnya hingga menabrak lengan sofa dan buru-buru menjelaskan. "Gue ikutan gym sudah hampir tiga bulan dan nggak ketemu juga sama Kamal! Investasi gue kebuang sia-sia. Mana membership-nya mahal. Lo mah enak dibayarin Jesse. Kalau pas lagi ketemu di sini juga dia cuekin gue. Gimana gue bisa dapet cara buat deketin dia."
"Terus, gue semurah deretan angka, gitu?" geramku.
Olivia menggaruk pipinya dengan jari telunjuk, "Ya, enggak. Tapi kan sebagai sahabat yang baik, lo harus tolongin gue." Olivia menaikkan bantalan sofa untuk menutupi setengah wajahnya. Aku mendengkus, seakan itu membantu saja. "Lo kan memang nganggur, Ali. Dibanding lo di rumah aja pusingin percintaan lo yang sudah mampus, mending keluar sama Jesse," lanjutnya yang aku ganjar dengan delikan dan dia yang langsung menggigit bibirnya saat melihat ke arah Jesse.
Bisa-bisanya dia membahas itu di sini. Aku dengan senang hati memutus hubungan dengan cewek ini sekarang juga.
Dari sudut mata aku melihat Jesse menutup wajahnya dengan telapak tangan, bahunya sedikit bergetar. Oh, dia juga menikmati aku dipojokkan oleh Olivia? Dia main kotor dengan membiarkan sahabatku melakukan apa yang diinginkannya setelah aku menolak dua kali dalam satu minggu ini.
"Ya pokoknya, gue sudah dapat nomornya Kamal. Jadi lo harus temenin Jesse ke gala dinner. Lo nggak kasihan apa dia sudah nikah, tapi datang sendirian?"
"Iya, sih. Kasihan Jesse datang sendiri. Kalau kalian punya anak baru make sense lo nggak datang. Karena kan mungkin anak kalian sakit atau apa gitu."
Jesse tidak lagi dapat menyembunyikan tawanya yang menggelegar. Tangan yang tadinya menutupi wajah itu kini sudah berada di perut.
"Kamu sengaja kan?" tanyaku kepada Jesse yang masih tertawa tapi mencoba menjawab dengan kedua tangan terangkat ke sebelah kepalanya.
"Aku cuma nanya ke Olivia kalau mau ajak kamu gimana. Aku nggak tahu kalau dia bakalan nembak gini, sumpah. Aku juga kasih nomor Kamal cuma-cuma." Tawa Jesse masih berderai di akhir kalimatnya. "Kalau kamu nggak bisa ikut nggak apa-apa. I just thought third time is the charm. Aku pergi dulu, pulangnya mungkin malam. Oliv sama Kristina bisa temenin kamu katanya." Sisa-sisa tawa tidak lagi berbekas di wajah Jesse. Dia sudah berdiri dan berjalan hingga berdiri tepat di depanku. Badannya membungkuk. "Kalau ada apa-apa hubungin aku aja," katanya lalu mencium ujung hidungku yang disambut pekikan pelan dari Olivia.
"Gue sampai sekarang masih nggak bisa paham kenapa Andini bisa lepasin cowok kayak gitu. Kalau gue jadi dia, sudah gue kekepin." Olivia memandang penuh harap ke arah pintu, tempat terakhir Jesse terlihat.
Kristina yang sedari tadi hanya berbicara sedikit dan lebih banyak jadi kompor sembari memakan kripik singkongnya itu kini mulai berbicara. "Lo sama dia gimana? Akur-akur aja kan? Ini sudah berapa lama dari kalian gencatan senjata? Tiga bulan?"
Aku mengangguk.
"Hubungan kalian gimana?" tanya Krsitina lagi.
"Apanya yang gimana?"
Kristina menarik napas melalui hidung, menghimpun kesabaran untuk menghadapiku, lalu menghelanya melalui mulut. "Hubungan kalian ada perkembangan nggak?"
"Enggak. Soalnya nggak dikasih baking powder," jawabku asal.
Olivia menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Lo salah kalau nanya gitu ke Ali. Harus spesifik, biar dia nggak jawab asal. Lo harus nanyanya gini: Ali, have you visited pound town with your husband?"
"Ew!"
"Lo nikah sudah berapa lama, sih? Enam bulan lebih bukan? Hubungan baik-baik tiga bulannya kebuang sia-sia banget? Dia nggak bikin pergerakan sama sekali ke lo?" Olivia merengut di pojok sofa. Kepalanya yang jarang digunakan itu tengah berpikir keras. "Jangan-jangan dia punya masalah impoten, makanya Andini kabur pas hari H." Olivia melongok pada Kristina. "Impoten ada obatnya nggak, sih?"
"Suruh dia cek ke dokter kelamin aja. Kayaknya bisa diobatin."
"Kalau itu nggak mungkin, deh," timpalku tanpa berpikir lebih dulu.
Rungutan Olivia digantikan dengan cengiran lebar dan muka mesumnya. "Dan lo tahu itu dari mana?"
"Bukan urusan lo!" ucapku gagap. Aku tidak menceritakan seluruhnya pada sahabatku. Termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Untuk masalah yang satu itu masuk ke ranah pribadi, kan? Tidak mungkin aku bilang saat pertama kali menginap di apartemen Jesse aku melihat celananya berbentuk tenda di pagi hari yang disusul dengan teriakan Jesse dan debuman pintu. Firasatku, Jesse juga lupa kalau aku ada di sana pagi itu.
Olivia berdecak. "Pokoknya, kasihan kalau dia sendirian. Itu acara kantornya, kan? Lo bayangin aja; dia ditinggal pas hari pernikahan, terus pas acara kantor datang sendirian juga."
Ucapan itu membuatku teringat pada kalimat Jesse dulu. Dia sempat membicarakan persoalan ini kan? Soal dia yang dijadikan bahan gosip oleh teman-teman kantornya perihal pernikahan yang tiba-tiba saja berubah.
"Itu, sih. Kasihan dia. Dia juga sudah baik banget kan tiga bulan ini. Lo gantian lah bantuin dia. Jangan jadi orang nggak tahu balas budi gitu."
Kristina memang jarang berbicara, tapi sekali ngomong, kalau nggak jadi kompor ya jadi pisau yang menancap tepat di hati lalu diputar-putar dan ditarik hingga berdarah.
Kayaknya aku nggak punya pilihan lain.
1/12/12
Heiho, Sekarang aku boleh tanya lagi, ya. apa yang bikin pertama kali tertarik baca cerita Ali & Jess? Plis ini dijawab karena pertanyaan sebelumnya masih terlalu luas jawabannya, aku perlu spesifik buat yang pertama kali mau baca heheh
Terima kasih buat yang sudah bantu jawab!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro