Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

THIO - Permainan 20.2



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


"Ogah."

"Bilang aja takut kalah."

Mataku memicing, sedangkan milik Jesse memberikan binar usil di tengah nada mengejeknya. Aku tidak tahu apa lagi yang cowok ini akan lakukan, tapi aku tidak mau dan tidak sudi kalah darinya. "Main apa?"

"20 questions. Kita ganti-gantian tanya satu sama lain. Satu pertanyaan aja setiap gilirannya. Yang nggak bisa atau nggak mau jawab pertanyaan, dia yang kalah."

Aku menimbang-nimbang selama sepuluh detik. "Aku duluan yang mulai," putusku cepat dengan tekad membuat cowok ini kalah.

Jesse mengangguk satu kali.

"Makanan atau buah apa yang nggak bisa kamu tolerir?"

Jesse menggigit bibir dan menatapku cukup lama. "I feel like this is a trap," desisnya.

Bahuku terangkat sekali. Berusaha keras untuk menyembunyikan senyum yang mengancam untuk muncul. Aku perlu memasukkan senjata apa saja selanjutnya untuk membalas Jesse di lain kesempatan. Apa lagi yang lebih tepat dari orangnya langsung yang mengaku? "You still need to answer it truthfully."

"Duren," jawabnya ragu-ragu setelah berdecak.

"Kenapa?"

Jesse menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri. "One question at a time. What is your biggest insecurities?"

Aku tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan ini. "Paha."

"Kenapa?"

"Satu pertanyaan, remember?" balasku.

Jesse menekan telapak kakiku pelan. "Setelah ini kamu bisa tanya dua kali," sahutnya cepat.

Aku meletakkan telapak tanganku di atas paha, melebarkan jari-jarinya yang bahkan tidak dapat menutupi setengah paha. "Nggak lihat ini paha gede banget?" Mau aku berdiet seperti apa pun, menurunkan lingkar paha yang paling susah untuk dilakukan. Mungkin aku belum menemukan olah raga yang tepat, tapi untuk sekarang aku sudah menyerah.

Telapak tangan kiri Jesse kini kembali ke pahaku dengan tampangnya yang serius. "Kamu nggak tahu penyebab kematian yang bikin cowok-cowok iri? Cause of death: suffocated when going down town."

Benar-benar, deh. Yang bisa membalut hinaan sebagai pujian itu memang hanya Jesse. Jadi, aku melakukan hal yang sangat jarang aku lakukan ke orang lain; menendang cowok yang tengah tertawa terbahak-bahak itu. "Die you, die!"

"Tempat favorit liburan sewaktu kecil dulu di mana?" Jesse melanjutkan permainan kami dengan pertanyaan lain karena aku masih memikirkan pertanyaan baru.

Aku perlu diam sedikit lebih lama untuk menjawab pertanyaan ini. Yang benar-benar aku suka rasanya tidak ada, tapi tempat yang dulu sering aku dan keluargaku datangi ada. Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan tempat itu sebagai jawaban. "Rumah teman Ibu dan Ayah di Bandung."

Pandangan Jesse jatuh pada lantai untuk beberapa detik sambil menganggukkan kepala. Aku bisa mendengar roda di dalam kepalanya tengah berputar keras.

"Pernah pukul cewek nggak?" Aku perlu menanyakan hal ini untuk memastikan kalau aku tidak menikah dengan psikopat yang suka memukul pasangannya saat emosi atau sedang kalap. Aku mungkin bisa bersiap-siap dengan pisau lipat di saku jika di sekitar Jesse. Tapi, sejak kapan pelaku mau mengaku?

"Inside or outside of bedroom?" tanya Jesse balik dengan cengiran khasnya yang membuatku ingin mencolok bola matanya dengan pensil. Aku memutuskan untuk tidak mau membahas hal itu karena takut mendengar jawaban yang terlalu vulgar di telinga.

Aku mengangkat satu jari ke atas karena Jesse mau balik bertanya, "Selain hantu, kamu takut apa lagi?"

"Aku nggak takut hantu," kelit Jesse cepat, "itu ... itu karena lagi hujan dan gelap, lalu ..." Jesse diam dan alis yang berkerut ke tengah sembari menatapku yang kini mendapatkan giliran menyengir lebar. "Badut," jawab Jesse seperti bisikan yang membuatku terbahak-bahak.

Aku tertawa terlalu banyak hingga napasku sesak dan kalimatku terbata-bata. "Badan doang gede, tapi takutnya kayak bocah," ledekku yang membuat sedikit warna merah muncul sedikit di pipi dan bibir cowok itu berada di antara giginya. "Enggak apa. Kamu memutus toxic masculinity di kaum laki-laki. Cowok juga boleh kok takut sama hantu dan badut. Biarpun ... " Tangan kananku menyapu dari atas kepala Jesse hingga ke bokongnya yang berada di atas sofa, "tubuhnya segede kamu dan tato-tato yang bikin kamu kelihatan kayak gangster."

Tubuhku terangkat hingga kini aku berada di posisi duduk. Aku menepuk bahu Jesse seakan-akan aku memberikan semangat dan permakluman, tapi sebenarnya lebih ke mengejek. "It's okay. Cowok berbadan besar juga boleh takut hantu dan badut." Usahaku untuk tampak simpatik gagal total karena tawaku kembali menyembur tepat di wajah kesal Jesse yang mendorong dahiku hingga kembali tiduran.

Jesse kini tidak lagi mengurut kakiku. Kedua kaki cowok itu naik ke atas sofa dan terlipat sedangkan kedua tungkaiku yang terbuka lebar berada di atas paha Jesse dan melewati sisi tubuhnya. Tiba-tiba saja aku merasa posisi ini terlalu aneh dan terlalu intim bagi kami, tapi Jesse sama sekali tidak bergeming, malah kedua telapaknya menempel di kulit pahaku yang tidak tertutup celana sambil lanjut bertanya.

"Selain Bandung, kamu suka ke mana lagi waktu kecil dulu?"

Kenangan membanjiri kepalaku. Sedikit dari banyak memori masa kecil yang sering aku datangi. Senyum kecil membayangi bibirku ketika mengingat betapa Aliyah kecil sangat menanti-nantikan perjalanan mereka. Terkadang malah aku dan Ibu berkonspirasi untuk merencanakan liburan dadakan. "Kota-kota yang bisa dijangkau pakai mobil. Kami dulu sering road trip kalau Ibu tiba-tiba bilang bosen dan mau pergi."

"Kamu okay tidur di mobil?"

"Itu bagian menyenangkannya, kan? Bagian belakang mobil ditaruh tempat tidur, bawahnya koper-koper kami. Terus aku tiduran di belakang, atau gangguin sopir-sopir di belakang mobil kami." Senyumku semakin lebar kala mengingat sopir-sopir yang membalas wajah anehku dengan mata juling dan lidah yang terjulur keluar.

Kereta ingatanku berhenti saat tangan Jesse bergerak dari bagian belakang dengkul hingga ke betisku berulang kali. Aku berdeham, "Itu dua pertanyaan, gantian aku tanya dua. Kalau kamu bisa balik ke masa lalu, hal apa yang mau kamu ubah?"

"This is a tough one." Jesse merenung sesaat. "Aku mungkin langsung ambil jurusan Matematika tanpa nunggu setahun kuliah Bisnis."

"Ew, what kind of person are you? Bisa-bisanya lebih pilih kuliah Matematika dibanding Bisnis?" Aku mengira Jesse akan mengatakan kalau bertemu Andini atau membaca tanda-tanda sebelum Andini menghilang atau apa pun terkait gagalnya pernikahan.

Tawa keluar dari bibir Jesse. "Angka lebih mudah dipahami dibanding orang. Angka itu suatu yang konstan di tengah banyak hal yang nggak pasti."

"Whatever you say, nerds," cemoohku lagi yang dihadiahi remasan di betis oleh Jesse.

21/11/22 

Cieee ngobrol normal cieee wkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro