Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

THIO - Pagi Setelahnya 17.1



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Erangan kasar meluncur keluar dari antara bibirku. Kepalaku berdentam tak karuan sehabis menangis terlalu lama kemarin. Satu tanganku mengusap wajah dan merasakan permukaannya yang lengket, memantik suara dalam dari tenggorokanku keluar kembali. Tirai di jendela kamarku masih tertutup, pun tidak adanya cahaya dari lampu membuatku tidak tahu sekarang pukul berapa. Aku menggunakan siku untuk menyanggah tubuh bagian atasku yang tidak lagi berada di atas ranjang, hanya untuk jatuh sepuluh detik kemudian karena nyeri yang menghantam di kepalaku yang datang seperti ribuan jarum.

Aku pernah bilang kan kalau aku benci menangis karena apa yang terjadi setelahnya? Nah, ini menambah alasan aku benci menangis; kepalaku yang berdenyut seperti memiliki lebih dari sepuluh jantung di sana. Aku memaksakan diri untuk duduk di ranjang, menyandarkan punggungku pada dipan. Cahaya matahari sama sekali tidak bisa memasuki tirai yang memiliki kegelapan 100 persen itu. Untuk kali ini, aku menyukai pilihan Jesse.

Urgh, memikirkan cowok itu langsung membuat kepalaku dibanjiri dengan ingatan kejadian semalam. Otakku fokus pada tingkah kedua kaki dan lenganku yang tidak berhenti menempel pada Jesse, membuat makian bergaung di dalam kamarku sebelum aku mengingatkan diriku sendiri mengenai betapa memalukannya kelakuanku semalam.

"Lo ngapain kayak gitu, Ali? Lo sadar nggak, sih, kalau ini bakalan jadi bulan-bulanan lagi?" Aku mengambil bantal kepalaku untuk menutup wajah. Berusaha meredam panas yang kini mengisi leher dan meledak di pipiku.

Aku hanya sempat berenang dalam rasa maluku selama satu menit penuh sebelum ringisan keluar dari antara gigiku yang terkatup rapat. Gerakan kepalaku ketika kedua tumitku menendang ranjang membuat ratusan paku kembali mendarat di kepalaku.

"Nyil, sudah bangun?"

Suara berat yang menyebutkan namaku itu menyempil masuk di dalam kepala dan meminta perhatian lebih sekarang. Malu yang tadi sempat K.O karena rasa nyeri, kini kembali meluncurkan serangan balik dan menjadi juara untuk babak kedua.

"Nyil?" Suara yang tadinya berupa bisikan itu kini sedikit lebih besar dengan langkah kaki yang mendekat, menandakan kalau cowok itu tidak lagi berada di daun pintu kamarku. "Makan dulu kalau sudah bangun," sambung Jesse setelah yakin kalau aku tidak akan membalas ucapannya.

Suaraku, yang memang semenjak bangun tidur tadi serak, sekarang lebih parah lagi karena hanya cicitan yang keluar dari bibirku. Aku berdeham berkali-kali agar tenggorokanku lebih lega sebelum kembali membuka suara. "Sebentar lagi. Kepala saya pusing. Berangkat kerja aja sana," kataku. Aku hanya ingin sendirian dan berendam dalam rasa malu yang rasanya tidak akan hilang dalam waktu dekat.

Ujung ranjangku bergerak, menandakan ada tambahan beban di sana. "Ngapain?"

"Kerjalah."

"Sudah lewat tengah hari, lagian saya juga cuti hari ini."

Balasan Jesse membuat bantalku jatuh ke pangkuan dan mataku langsung tertumbuk pada Jesse yang duduk dekat kakiku. Kedua tangannya berada di belakang tubuh, sedangkan kakinya terjulur, menyilang di pergelangan. Jesse tidak mengenakan pakaian kerja satu warnanya, atau pun batik. Cowok itu menggunakan kaos dan celana rumahan, rambutnya juga tidak tersisir ke belakang dengan gel anti badainya itu. Rambutnya yang mulai panjang menyentuh dahi dan sedikit menutupi telinga.

Fokusku bergeser pada kalimat yang tadi diucapkan oleh Jesse. Lewat tengah hari? Berarti aku tidur lebih dari 12 jam? Tapi perutku belum terasa la—pikiranku terhenti saat naga-naga di dalam sana ingat untuk memberikan protes lantaran belum diberi makan.

"Makan dulu," Jesse memukul pelan kakiku yang masih tertutup comforter, "habis itu kalau mau tidur lagi bisa." Jesse berdiri. "Ayo, bangun."

Pintu kamarku dibiarkan terbuka lebar oleh Jesse. Suara samar-samar terdengar dari arah ruang tengah. Aku mendengar beberapa kata seperti; ekonomi, pembangunan, dan lain sebagainya dalam bahasa inggris lalu mengambil kesimpulan bahwa Jesse tengah menonton berita. Channel berita luar negeri favoritnya.

Indraku yang lain kini ikut bekerja. Hidungku kembang kempis ketika mencium aroma masakan yang juga melewati pintu. Berbeda denganku yang memasak dengan bahan-bahan yang sedikit, Jesse menggunakan banyak rempah-rempah sehingga aromanya selalu menguar dan mengisi seluruh ruangan. Menggoda perutmu yang tadinya tidak lapar hingga berbunyi, atau air liurmu yang akan keluar tanpa kamu sadari.

Sekarang aku melakukan keduanya dengan nyeri yang kembali hadir saat cahaya jatuh menimpa mataku. Aku memaksakan diri untuk membuka kelopak mata ketika suara piring beradu dengan permukaan kayu terdengar. Tarikan napas panjang kembali aku ambil dan berjalan dengan satu tangan memijat pelipis. Berharap dengan melakukannya rasa nyeri itu akan berkurang.

Tanganku membuka kulkas dua pintu dengan kedua tangan. Niatku tadinya mengambil air mineral dingin, atau jus, atau apa pun yang ada di sana, tapi mataku menangkap hal lain di sisi kiri kulkas, tempat freezer berada. Beberapa pint warna merah dan putih yang sudah sangat aku kenal berjejer rapi dengan berbagai rasa. "Ada es krim?" tanyaku bingung. Lebih kepada diriku sendiri, tapi aku mendengar suara lain yang menjawab.

"Tadi saya beli sewaktu belanja isian kulkas. Saya nggak tahu kamu suka rasa apa aja, jadi saya beli beberapa." Jesse kembali ke dapur untuk mengambil satu pitcher air mineral dan dua gelas.

Aku bengong seketika. "Kamu beliin saya es krim?" Di rumah ini tidak ada yang memakan es krim selain aku. Lebih tepatnya mungkin aku tidak tahu apakah Jesse memakannya atau tidak. Aries masih enggan mengajak cowok itu untuk makan es krim bersama.

Jesse berhenti di depan pintu kulkas, kepalaku masih mengarah kepadanya sehingga aku dapat melihat kerutan yang muncul di alis cowok itu. Matanya menunjukkan keraguan untuk sesaat, tetapi suara cowok itu yang membuatku yakin kalau emosi itu memang ada di sana meskipun untuk beberapa detik.

"Kamu makan es krim kalau lagi bad mood, kan? Muka kamu selalu carut-marut kalau lagi makan itu. Atau cokelat, atau roti, atau chips."

Apa aku mengharapkan jawaban itu? Tidak.

Apa aku pernah berpikir kalau Jesse akan membelikanku es krim? Lagi-lagi tidak.

Apa aku seharusnya marah kalau mukaku dikatakan carut-marut? Itu sudah pasti iya. Namun aku tidak dapat menemukan si pemarah itu dalam daftar emosiku sekarang. Aku menyalahkan pusing yang tidak henti-hentinya memukul kepalaku dengan palu milik Thor.

"Saya nggak tahu kalau kamu seperhatian itu sama saya." Aku juga tidak pernah tahu kalau Jesse melihat semuanya karena cowok itu selalu sibuk mengerjakan sesuatu.

Jesse lanjut berjalan menuju meja makan dengan dengusan. "Saya belajar dari pengalaman: harus tahu emosi perempuan jika tidak ingin berakhir menjadi potongan di dalam koper."

"I'm a stress eater, okay?"

Jesse memutar tubuhnya dan menatap mataku sebelum turun dan berhenti di dada. "Not that I'm complaining."

Aha, itu dia emosiku yang sempat susah aku cari tadi; si Pemarah.

Apa yang ada di otakku semalam? Kenapa aku bisa berpikiran kalau cowok ini bisa dijadikan teman? That moment of weakness really messes with my mind.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil satu pint es krim rasa cokelat dengan taburan chocolate chip serta satu sendok, lalu mengikuti Jesse ke meja makan. Di atas piringku sudah ada french toast yang aku yakini menjadi asal mufasal aroma cinnamon yang sempat aku hirup tadi.

27/10/22

Cerita Ali & Jess rank #2 di romance yeeii. ini hadiah perayaannya aku apdet cepet bet.

Apdet lagi Selasa atau Kamis depan,nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro