
THIO - Kontak Pertama 16.1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Tawaku masih membekas di bibir ketika aku tiba di apartemen. Sesekali kekehan kecil keluar mengingat ekspresi bodoh ketika Jesse bangun dan bagaimana dia menyadari apa yang sudah terjadi. Aku sudah pasti akan mendapatkan balasan ketika tiba di rumah nanti, tapi untuk sekarang aku mau menikmati kemenangan yang ada di dalam genggamanku.
Begitu membuka pintu apartemen, aku langsung bersin dengan heboh. Mataku dapat menangkap debu yang beterbangan ketika cahaya matahari masuk melalui jendela. "Kotor," keluhku pada diri sendiri sambil mencatat di dalam kepala bahwa aku harus sering mampir ke sini untuk membersihkannya.
Aku mengambil masker yang selalu aku pakai ketika menaiki kereta, tidak menyangka akan menggunakannya untuk bersih-bersih. Tapi satu tarikan napas saja aku sudah bersin-bersin dengan heboh jika tidak memakai masker.
Sapu, pel, dan kain lap sudah berada di tangan. Setiap sudut lemari, kulkas, lantai serta kamar mandi tidak ada yang lolos. Aku membersihkan semuanya hingga mengilat hingga aku tidak memerlukan masker lagi untuk bernapas.
"Yah, kotor," kesahku melihat masker yang sudah lusuh. Aku berdecak. "Nggak mungkin dipakai lagi." Aku memasukkan masker itu ke dalam plastik sampah yang sudah teronggok di lantai dekat pintu. Membersihkan apartemen kecil ini secara keseluruhan ternyata memerlukan waktu lebih dari dua jam, dan sekarang sudah pukul empat sore. Tidak heran perutku sudah memanggil-manggil dengan lagu rock.
Aku memesan dan makan di apartemen. Niatanku hanya istirahat sebentar di atas ranjangku yang sudah diganti menggunakan seprei bersih, angin dari pendingin ruangan di kulitku yang hangat setelah mandi juga sangat nyaman. Ada gunanya juga masih menyisakan beberapa lembar pakaian di sini. "Lima menit," kataku pada diri sendiri, "lima menit aja." Tapi ternyata lima menit itu berubah menjadi lima jam dan ketika aku terbangun, matahari sudah menghilang dari langit. Warna biru digantikan abu-abu dengan awan gelap yang menggantung rendah, seakan hendak memuntahkan sesuatu.
"Sialan, gue ketiduran." Aku mengambil totebag berwarna hijau dengan gambar kucing yang sudah berisikan cetakan dan baju kotorku yang kini berada di bahu kiri, sedangkan di bahu kanan ada totebag berukuran lebih kecil yang memuat dompet serta ponsel. Aku mematikan AC, membiarkan lampu tetap menyala dengan timer, serta mencabut semua colokan yang tidak lagi digunakan.
Pukul sembilan lewat dan ini bukan kali pertama aku menaiki kereta. Arah balik ke tengah kota lebih sepi ketimbang arah ke Depok. Aku duduk di gerbong kedua yang sudah kosong. Hanya ada aku dan beberapa orang lainnya dan duduk terpisah. Kedua totebag berada di atas paha dan aku menggunakan kedua tangan untuk memeluknya erat.
Mataku masih sepet karena tidur terlalu lama dan melewati matahari. Kata orang tua, jika tidur dilangkahi matahari, maka akan susah bangun. Aku sungguh-sungguh merasakannya sekarang. Seperti ada beban ribuan ton di kelopak mataku yang memaksa untuk ditutup. Aku menutup mata secara tidak sadar hingga kepalaku tersentak bangun. Mataku mengawasi sekitar untuk mengetahui keberadaanku. "Masih lima stasiun lagi," gumamku.
Gerbongku sudah kosong tanpa aku sadari dan ada seorang cowok yang duduk dua bangku dariku tengah tersenyum. Aku menggeser bokongku sedikit untuk memberi jarak tambahan di antara kami berdua dan membalas senyumannya dengan anggukan kepala satu kali.
Aku merasa tidak nyaman karena cowok itu tidak berhenti menatapku hingga aku menoleh berkali-kali. Cowok itu bergeser semakin mendekat dan memangkas jarak kami hingga hanya satu bangku yang menjadi pembatas.
"Boleh kenalan?" tanyanya kemudian. Aku tercenung selama beberapa saat hingga cowok itu kini mengangsurkan tangannya dan aku menggigil secara tiba-tiba. Kantuk yang bergelayut erat di mataku tiba=tiba saja menghilang pergi.
Jika hanya melihat dari penampilan, cowok ini masuk ke dalam kategori tampan, tetapi aku sudah banyak menonton serial di TV yang juga menunjukkan serial killer banyak yang rupawan, bahkan memiliki fans. It's always the charming one that turned to be a sociopath. Jadi, aku mengikuti instingku yang berteriak kabur. Aku hendak berdiri, tapi pergelanganku dicekal oleh cowok itu.
"Aku cuma mau ajak kenalan," ucap cowok itu lagi.
Aku menarik pergelanganku dari genggamannya sambil berteriak, "Apaan, sih? Jangan pegang-pegang."
"Sombong banget," lanjut cowok itu, tapi masih dengan senyum.
Aku melipat tangan di depan dada dan mendengkus kencang. Ini orang lebih parah dari Jesse dalam tingkat menyebalkan dan tidak tahu dirinya. Apa nggak pernah ada yang ngajarin konsep personal space? Dikira dengan wajahnya bisa bikin celana dalamku akan melorot seketika apa?
Aku meniup poniku yang sudah terlalu panjang dan menutupi wajah. "Dengar, ya. Saya sudah menikah dan nggak tertarik buat kenalan sama anda," ketusku sambil menunjuk ke arah cowok itu
Mata cowok itu kini terarah pada jariku, "Mana, nggak pakai cincin. Kalau mau nolak jangan bohong lah." Cowok yang memakai kemeja berwarna marun dan pantalon hitam itu ikutan berdiri. Dengan posisi ini, aku dapat dengan jelas melihat kalau tinggi tubuh kami tidak berbeda jauh. Hanya 2-3 senti saja. "Lagian, kamu pakai baju kayak gitu juga," sambungnya.
Otomatis kepalaku mengikuti arah pandangan cowok itu melihat jari manis yang kosong. Bahkan bekas pemakaian cincin pun tidak terlihat di sana. Memang aku tidak pernah memakainya juga, sih. Aku tidak terbiasa memakai perhiasan dan rasanya memakai cincin di jari manis terlalu berat. Bukan hanya karena batu besar yang ada di sana, tetapi aku masih belum rela untuk mengikat diri pada benda bulat itu. Lalu turun lagi ke tubuhku yang mengenakan kaos berwarna putih dan celana cargo. Aku tidak paham masalahnya di mana dengan pakaianku. Kalau pun memakai pakaian yang memperlihatkan banyak kulit, memangnya ada stempel 'silakan sentuh'? Orang-orang dengan pikiran picik seperti ini yang membuat banyak korban enggan mengadu setelah atau bahkan saat ada pelecehan.
"Itu urusan saya," omelku, tapi nyaliku menciut seketika kala melihat ekspresi yang penuh senyum sebelumnya menghilang dalam sepersekian detik. Cowok itu tampak tidak terima dengan ucapan dan menganggapku berbohong dan itu memantik amarahnya. Aku dapt melihat emosi seperti badai menari-nari di bola matanya dan itu membuatku takut. Intuisiku mengambil alih dan menggerakkan kakiku ke arah deresi perempuan. Telingaku menangkap langkah kaki tepat di belakangku yang hanya membuatku berlari lebih kencang.
Lorong itu terasa jauh lebih panjang dan jantungku terlalu kencang hingga menulikan telingaku sendiri. Aku sedikit dapat bernapas lega setelah pintu wagon perempuan dan menutupnya. Tidak ada satpam di sana masih membuatku sedikit ngeri kalau-kalau cowok itu ikut masuk ke sini, sehingga aku memutuskan untuk duduk dekat dengan gerbong masinis. Mataku tidak lepas dari pintu yang menghubungkan dan melihat cowok itu berdiri di sana sambil terus mengawasiku.
20/10/22
Aku masih bingung sama orang-orang yang menyalahkan korban, atau pelaku yang mencari celah untuk otak mesumnya dengan alasan kayak gitu. Semoga kita dijauhkan dari yang jahat-jahat, yaaa.
Btw bab selanjutnya bikin aku yang nulis meleyot. Apdet hari kamis atau minggu tgl 30?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro