THIO - Kompromi 7.1
Hei, thank you buat teman-teman atas doanya. Kami sekeluarga sudah jauh lebih baik, tapi masih perlu istirahat. Kegiatan menulis masih akan terhambat sampai menunggu kami semua pulih yaa. Aku juga sekarang jadi lebih lama buat nulis rasanya huhu
semoga kita semua sehat selalu!
🌟
Mataku menatap baris demi baris kata yang berjejer rapi, tapi tidak ada satu pun yang mengendap di dalam otakku lebih dari sepuluh detik. Tangan kanan meremas kertas yang semula tanpa cela dengan alis yang berkerut setiap aku mencoba membaca ulang dari paragraf pertama. Entah kenapa kata per kata yang kubaca kini seperti rumus matematika.
"Nomor satu; saya harus membersihkan rumah?" kataku. Mataku sudah tidak tertuju ke kertas putih, tapi ke manusia yang tengah menyeruput entah apa pun dari mug berwarna hitam di tangan kanannya.
"Selama tinggal bersama kita harus punya kontribusi kan? Saya membangun rumah ini dan kamu yang bersihin. Adil." Kata cowok itu enteng dengan gedikan bahu.
Rahangku jatuh ke lantai.
"Nomor dua; saya harus membeli isian kulkas?"
Jesse mengangguk. "Sekali lagi. Kontribusi." Telunjuk cowok itu terangkat. "Saya akan kasih kartu kredit untuk kamu belanja keperluan rumah." Jesse lalu meletakkan gelas kopinya dan menggunakan kedua tangan untuk menunjukkan bagaimana setaranya posisi kami. "See? Kontribusi. Saya kasih uang dan kamu yang belanja isian kulkasnya."
Emosiku sudah hampir berada di puncaknya, tetapi aku menahan diri untuk tidak memuntahkan amarah sekarang juga karena lis yang ada di depanku masih panjang.
"Nomor tiga; harus tampak baik-baik saja dan seperti pasangan pada umumnya saat ada acara keluarga atau ketika saya diajak ke acara kantor kamu."
Sekali lagi Jesse mengangguk. "Ini juga kontribusi. Kamu yang memaksa pernikahan ini dan karena saya setuju, kamu harus menerima konsekuensinya. Tentu saya juga akan melakukan hal yang sama saat ada acara keluargamu juga." Jesse menghela napas seakan seluruh lis ini memberatkan hidupnya. "Meskipun berat, saya juga berkontribusi."
Salah satu ujung bibirku berkedut dan terangkat tanpa perintah. Jika ini kartun, sudah pasti telingaku berasap. Aku melupakan lis tidak masuk akal yang ada di depanku dan mengambil bolpoin. Mencoret di sana-sini untuk hal yang tidak perlu. Dan itu berarti 80 persen dari kalimat tidak masuk akal yang cowok itu berikan kemudian memasukkan versiku. Sesudah selesai, aku mendorong kertas itu ke hadapan Jesse.
Aku memerhatikan perubahan ekspresi cowok itu dengan tangan terlipat di dada.
"Nomor satu; pembagian pekerjaan rumah. Nomor dua; pembagian tugas masak dan belanja. Nomor tiga tetap dan selebihnya dicoret." Jesse membaca dan menatapku menuntut penjelasan.
"Pertama; kamu membeli rumah ini bukan dengan saya. Isian rumah ini pun bukan hal-hal yang saya suka. Saya nggak merasa harus berkontribusi karena toh nama saya tidak ada di aktanya. That being said, kamu juga harus melakukan pekerjaan rumah. Kamu bisa pilih apa saja yang mau kamu lakukan asal jumlahnya sama dengan pekerjaan saya. Kedua; saya bukan asisten rumah tangga yang memasak buatmu. Saya punya pekerjaan juga dan itu berarti kamu juga perlu melakukan pekerjaan dapur. What are you? Five? Cooking and cleaning are basic skill needed for every human being," cemoohku. Padahal kemampuanku di dapur juga nol besar, tapi Jesse tidak perlu tahu sekarang kan? Dia bisa menikmati bagaimana enaknya makananku nanti.
Untuk nomor tiga aku tidak mengusiknya karena aku memerlukan bantuan Jesse di acara ulang tahun Ibu nanti. Mau tidak mau aku harus memasang wajah senang berada di sisi cowok sialan ini.
Aku sudah siap untuk berperang kalau-kalau Jesse menolak gagasanku, tetapi yang kudapatkan adalah cowok itu yang mengangguk dengan mudahnya.
"Okay. Saya setuju dengan lis ini."
Aku sedikit kikuk dengan Jesse yang tidak memberikan banyak perlawanan, tetapi aku membahas hal lain yang perlu untuk kami bicarakan mumpung cowok itu tengah mudah diajak bicara. "Kamu ada ide kapan kita bisa mengakhiri pernikahan ini?"
"Oh, iya itu." Jesse kembali mengangkat jari telunjuknya lalu menggerakkan ke kanan dan kiri dua kali. "Never," jawabnya enteng dan kembali rahangku menggelinding di lantai.
"Apa yang disatukan oleh Tuhan, tidak dapat dipisahkan oleh manusia." Jesse mengulang kalimat yang pendeta katakan di hari pernikahan kami dan aku tidak pernah sebenci ini terhadap cowok itu karena kini wajahnya tampak bangga terhadap apa yang diucapkannya sendiri. "Saya nggak pernah berencana menjadi duda di kepala tiga. Dan memangnya kamu ini hidup di sinetron yang kalau nikah dan mau cerai itu segampang balikin tangan? Makanya kalau punya otak itu dipakai." Telunjuk Jesse kini mengetuk pelipisnya sendiri.
Aku mengurut dahiku kencang. Tidak pernah bisa memahami jalan pikiran Jesse dan bagaimana Andini bisa-bisanya mau menikahi cowok ini. Siapa yang mau tetap menikah dengan alasan nggak mau jadi duda di kepala tiga?!
"Kamu memangnya nggak memikirkan kemungkinan Andini kembali? Atau suatu saat kamu ketemu dengan cewek lain?"
"Jadi...kamu lebih milih suamimu selingkuh dibanding setia?"
Aku menggigit bibir sejenak lalu mengangguk. "Itu karena saya nggak pernah bayangin kalau penrikahan ini bakalan berlangsung lebih dari satu tahun. Kamu tahu sendiri bagaimana Andini itu. Keputusannya dapat berubah secepat kilat dan tidak sampai setahun pasti sudah kembali ke sini. Saya berpikir kalau kalian akan kembali bersama lagi," akuku jujur.
"Kamu kira saya credulous?"
"This is not 16th century," kataku sembari memutar bola mata.
"Kamu pikir saya senaif itu? Kembali ke orang yang meninggalkan saya? Saya cukup jadi bulan-bulan dengan menikahi adiknya karena kepepet dan harus bercerai untuk naik ranjang sama kakaknya yang kembali? Memangnya saya piala bergilir?"
"Kayak menikah denganmu itu sesuatu yang harus dibanggain aja sampai punya piala," gerutuku, tapi aku memastikan kalau Jesse dengar karena pria itu melotot.
"Intinya, suka atau enggak kita bersama di pernikahan ini tanpa jangka waktu. Dalam kamus saya kalau bukan karena abuse atau hal-hal krusial, segala sesuatu masih bisa diusahakan."
Aku menujuk kertas yang berada di depan Jesse. "Kertas yang kamu kasih itu abuse. Berarti saya bisa ajukan cerai kan?"
Jesse tiba-tiba saja menarik kedua ujung bibir hingga matanya sedikit menyipit. "Nice try, Shorty." Lalu ekspresinya kembali ke menyebalkan seperti semula. Sedangkan aku perlu waktu untuk menyadari panggilan menyebalkan yang cowok itu sematkan di akhir kalimat.
26/7/22
Aliyah si badass hahaha
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro