THIO - Kabur 12.4
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Nggak ada. Minus. Nada," jawabku cepat tanpa pikir panjang. Hell, aku bahkan tidak perlu berpikir sebelum melontarkannya. Au naturel. Seluruh tubuhku tahu dengan pasti bagaimana cowok itu sangat amat menyebalkan.
Kristina menyenggol lenganku dengan tubuhnya yang lengket karena keringat. "Lo nggak bisa bilang gitu. Setiap orang punya sisi plus dan minus. Lo tutup mata dan nggak mau lihat sisi positifnya Jesse. Lo nggak buka pintu sama sekali buat kenal sama dia. Kali aja kalian bisa jadi teman kalau memang lebih dari itu belum ada di wacana jangka pendek."
"Nah, ada juga tuh yang bilang dari temen jadi demen!" seru Olivia bersemangat seolah-olah apa yang diucapkannya adalah suatu yang brilian.
"Olivia, nggak ada yang bilang kayak gitu." Kristina menghela napas panjang. "Gue nggak tahu kenapa kalian masih nikah kalau lonya aja jelas-jelas reluctant kayak sekarang. Lebih mudah kalau tahu kapan ini kelar jadi lo bisa rencanain masa depan lo."
Aku hanya dapat mengesah. Aku tahu itu. Aku juga tidak dapat menjalani hari tanpa tahu masa depanku seperti apa. Aku masih meraba-raba jalan tanpa senter untuk melihat ke depan. Seluruh tembakanku meleset.
"Gue enggak reluctant," sergahku cepat. Tatapan menyelidik dari Olivia dan Kristina sama sekali tidak mengendur mendengar ucapanku.
"But you flinch when he kissed you. Lo kelihatan nggak mau ada di ruangan yang sama dengan Jesse waktu dia nyapa. I don't know what kind of game you are playing but you need to step it up because no one will buy that bullshit." Kalau ini basket, Kristina baru saja melakukan dunk. Aku tidak sadar melakukan apa yang Kristina katakan tadi sewaktu Jesse menge—euh itu pokoknya.
Dara suara dan tatapan yang mereka lontarkan, aku tahu kalau keduanya sama sekali tidak menganggap omong kosongku mengenai pernikahan yang superserius ini. Aku mengabaikan pembicaraan ini. Diamku diartikan sebagai tanda keenggananku yang tidak mau membahasnya dan mereka berdua lebih memilih diam. Mereka tahu kapan harus memberikan tekanan dan kapan harus melepaskan.
Tempat ini sudah sangat ramai dengan keluarga dan suara anak kecil yang bermain kejar-kejaran. Teriakan nyaring yang mengisi udara disusul dengan tawa yang mengalir deras membuatku merindukan panti dan anak-anak di dalamnya.
Salah satu tempat yang ramai sekaligus paling sepi adalah panti asuhan. Memang benar kamu hampir tidak akan dapat menghitung dengan pasti jumlah anak setiap kali datang. Terkadang ada yang berkurang (dan aku selalu berdoa ini setiap harinya), tetapi lebih banyak yang datang dan menetap. Bukannya kasih sayang yang diberikan oleh ibu panti atau orang-orang yang berada di sana kurang, tetapi dengan sebanyak itu jumlah anaknya, sudah pasti kamu akan merasakan kesepian. After all, yang dibutuhkan anak-anak adalah orang tuanya.
Di tempat yang ramai, tetapi kamu merasakan sendirian. Itu ... menyedihkan.
Seperti kata Olivia, beberapa hal memang inevitable. Tidak dapat dihindari.
Terpaan rasa bersalah mendatangiku secara tiba-tiba ketika mengingat seceria apa wajah anak-anak itu ketika aku datang. Bukan hanya karena apa yang aku bawa—ok, baiklah karena makanan yang aku bawa untuk mereka juga—tapi lebih ke sesuatu yang tidak mereka dapatkan secara gratis; kasih sayang dan perhatian. The luxury people often take for granted.
Helaan napas berat keluar dari antara bibirku, menyadari tidak mungkin aku terus-terusan menghindari panti hanya karena tidak ingin bertemu dengan Bram.
I need to dance to this music at some point, didn't I?
Aku perlu membereskan satu per satu dan bertemu dengan Bram menjadi pilihan pertama ketimbang mengibarkan bendera putih ke arah Jesse.
Aku menyenggol bahu Kristina, "Temenin gue ke panti, ya?" Aku berkata dengan ragu. Sebagian tidak ingin pergi, tetapi jika aku melewatkan kesempatan datang ke sana bersama Kristina dan Olivia, sudah pasti aku tidak akan melakukannya dalam waktu dekat. Nyaliku memang secemen itu.
"Kapan? Sekarang banget?" tanyanya seraya menyeka keringat di lengan jaket.
Aku mengangguk. "Tapi mampir dulu ke tempat belanja. Mau beli camilan buat mereka," jawabku lalu siulan Olivia terdengar.
"Pep talk gue kayaknya berhasil, nih. Ada yang mau ketemu sama mantan terindahnya," goda Olivia disusul dengan siulan norak.
Alisku berkerut mendengar tuduhan Olivia. "Bukan, gue mau ketemu anak-anak."
"Sambil menyelam minum air, kan?" sahut Olivia tidak mau kalah. "Olah raga yang bener, dong. Biar habis nikah makin glowing," lanjutnya dengan godaan.
"Gue bisa pura-pura bahagia, tapi nggak bisa pura-pura kurus."
"Nggak mau pulang? Mandi dulu?" tanya Kristina lagi sebelum aku dan Olivia berdebat tidak jelas juntrungannya.
"Gue kalau balik ke apartemen nggak bakalan bisa deh keluar lagi. Kita ke rumah lo aja gimana? Kita belum pernah mampir ke sana juga," saran Olivia yang langsung disetujui oleh Kristina tanpa menunggu jawabanku.
Keduanya sudah menenteng totebag di bahu dan berjalan meninggalkanku seakan suaraku tidak penting sama sekali.
Sekarang aku menyesali keputusan mengajak mereka untuk menemaniku ke sana. Ini sudah terdengar sangat buruk.
6/9/22
Chapter selanjutnya ada Jess tuh buat yang kangen. Tapiii di tanggal 28 September 22 atau 2 Oktober 2022 yes apdet lagi. Aku lagi siapin printilan buat yang mau cetak. Kecuali yang komen, pencet bintang, dan share banyak baru bisa dicepetin :D
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro