THIO - Kabur 12.3
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Dan juga, bukannya gue bisa lupain dia secepat ..." Aku menjentikkan jari. "Biarpun gue berharap bisa kayak gitu. Gimana caranya orang-orang bisa fall out of love dan tiba-tiba hilang perasaan ke orang lain, ya? Gue perlu belajar caranya supaya bisa jadi cold heart lover kayak gi—"
"Fokus, Ali." Olivia menepukkan tangannya depan wajahku, menghentikanku dari ocehan yang keluar setiap aku kebingungan. "Lo juga belum balik ke panti, kan?" Olivia kembali mengorek hhal yang tidak ingin aku bahas.
"Enggak. Gue belum siap kalau ketemu sama Bram," jawabku. Biarpun aku sempat berpikir akan kembali ke sana untuk jadi relawan yang mengajak anak-anak bermain, membantu untuk memperbaiki beberapa hal dan lain sebagainya. Lebih sering mengajak bermain, sih.
"They missed you." Olivia membereskan alat makannya. "Anak-anak dan ibu panti. Termasuk Bram," sambungnya lalu menghabiskan minuman di botol. Semuanya kembali masuk ke dalam totebag bergambar kucing.
Aku meluruskan kaki, membawa kedua tangan berada di belakang tubuh untuk menyanggah. Wajahku menengadah ke langit. Menikmati sinar matahari yang masuk dari antara sela dedaunan. Angin semilir membuat rambutku sedikit beterbangan. Mengabaikan Olivia hingga satu lembar kertas menampar wajahku.
"Jangan pura-pura nggak denger," kata sahabatku itu.
Aku membuat gumpalan dari kertas yang tadi bersarang di wajahku lalu melemparkannya kepada Olivia. "Gue nggak tahu mau jawab apaan," akuku jujur. "Gue juga kangen mereka, tapi gue belum siap ketemu sama Bram."
Gumpalan kertas yang sempat mendarat di wajah Olivia itu kini masuk ke dalam totebag karena tidak ada yang mau bergerak masukkannya ke tempat sampah. "Lo cuma mengulur waktu buat hal yang sudah pasti sakitnya. Why don't you just rip the bandage off."
"Easy for you to say that."
"Ngulur waktu memangnya bikin lebih mudah? Kan enggak juga. Menurut gue malah lebih susah karena lo jadi mikir opsi lain yang mungkin muncul. Padahal, dalam posisi lo, lo nggak punya pilihan lain. It's inevitable."
Apa yang Olivia katakan 100 persen benar. Aku hanya mengulur waktu untuk hal yang sudah pasti. Namun, aku belum siap kalau saat bertemu dengan Bram nanti dan berakhir dengan menangis sepanjang malam. Aku nggak benci menangis, tapi aku lebih suka tertawa. Menertawakan hal malang untuk membuatnya terasa lebih ringan. Tapi aku yakin tidak dapat menertawakan hal ini.
Aku mendengar langkah mendekat dan helaan napas berat yang disusul dengan suara Kristina.
"Gue laper," ucapnya terengah-engah.
Olivia mengeluarkan kotak makan dan minum milik Kristina lalu menyerahkan pada perempuan itu yang duduk di sisi kananku.
"Lo sprint apa gimana? Pergi nggak sampai..." Olivia melihat jam di pergelangannya, "nggak sampai 20 menit, tapi keringetan banget."
"Itu namanya olah raga. Nggak kayak lo," timpalku.
"Kayak lo enggak aja."
"Gue cinta sama lemak-lemak gue," balasku nggak mau kalah, "kehilangan mereka bakalan bikin hidup gue hampa."
Olivia memutar bola matanya sambil mendengkus.
Kristina tidak peduli dengan pertengkaran kecil kami dan memilih untuk menghabiskan bubur serta air mineralnya tidak sampai lima menit.
"Kenapa lo nggak coba aja sama Jesse, sih?" Olivia kembali lagi membahas hal yang aku hindari.
Kristina mengelap mulut dengan tisu setelah menenggak minuman. "Kalian lagi ngobrolin lakinya Ali pas gue lari tadi?"
Olivia mengangguk. "Lo tahu kan kalau cinta ada karena terpaksa?"
"Terbiasa kali, bukan terpaksa." Kristina mendengkus mendengar omong kosong ngawur yang keluar dari mulut Olivia.
"Sejak kapan pepatahnya berubah?" Olivia membalasnya cepat dan kini percakapan mereka seperti permainan ping-pong. Kepalaku bergerak setiap ada salah satu dari mereka yang berbicara.
"Sejak dulu."
Olivia mengibaskan tangan. "Ya kan orang terbiasa karena terpaksa. Short cut-nya berarti cinta ada karena terpaksa." Aku dan Kristina hanya dapat pasrah dengan jalan pemikiran Olivia. "Secara fisik Jesse nggak jelek. He is handsome. Mind you, tapi dia lebih ganteng dari Bram, tapi dia menarik. Definitely eye candy," lanjut Olivia yang kuhadiahi dengan putaran bola mata.
"Enggak, ya! Lebih ganteng Bram!" sangkalku cepat yang dihadiahi dengusan oleh Olivia.
"Cuma lo yang mikir gitu, kita enggak."
Kristina menimpali ucapan Olivia. "Lo jangan jadi jubir gue, dong. Pendapat lo nggak bisa dijadiin suara gue juga."
Olivia memajukan tubuh. Kedua sikunya berada di atas paha dengan kepala menjulur ke arah Kristina. "Jadi, menurut lo Bram lebih ganteng dari Jesse?"
"Ya, enggak," jawab Kristina sedetik kemudian.
Harapanku langsung kandas mendengar jawaban tanpa hati dari Kristina sementara sahabatku itu memasang tampang polos sembari mengedikkan bahu.
Jentikan jari Olivia muncul lalu telunjuknya terarah pada Kristina. "Gini, nih. Cewek-cewek macam gini yang bikin hidup jadi ribet. Tinggal setuju aja kalau sama apa susahny, sih?"
"Ganteng nggak bikin hidup lo jadi lebih mudah," selorohku.
Tidak ada yang tahu betapa menyebalkannya Jesse atau bagaimana mulut cowok itu bisa menjadi setajam pisau yang baru saja diasah. Atau bagaimana tingkahnya membuatku malu tujuh turunan dan tujuh tanjakan. Okay, yang terakhir memang salahku, tapi Jesse bisa berbesar hati dan tidak membahasnya lagi, kan?
Dan juga aku tahu kalau aku harus menikmati keputusan yang kubuat. Menjalaninya secara perlahan-lahan dan langkah kecil. Sangat kecil seperti semut.
"Nggak semua orang fokus ke penampilan kayak lo," sindir Kristina.
"Hei! The force will always be with the good looking one! Nggak ada yang bisa lihat hati sewaktu pertama kenalan. Tapi Ali kan sudah tinggal beberapa lama sama Jesse, jadi pasti tahu beberapa hal yang bikin dia menarik. Apa yang bikin dia menarik?"
6/9/22
Apdet selanjutnya hari minggu atau hari rabu tanggal 21/9/22? :D
Yang kangen Jesse sabar yes :D yuk yuk pencet bintang, komen n share supaay cepet ketemu Jess lagi wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro