Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

THIO - Jessica & Unyil 13.3



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Kristina langsung kabur memasuki kamar mandi dan kini tempatnya duduk digantikan oleh Olivia yang sudah kinclong dengan rambut yang tidak lagi dikucir satu. Rambut lurusnya menjuntai indah melewati bahu. Wajahnya juga sudah dihiasi riasan. Pakaiannya membuatku memiliki bentuk V dalam di antara alis yang hampir menempel.

"Baju lo nggak salah? Ke panti pakai blus tanpa lengan dan belahan dada lo diumbar ke mana-mana gitu?"

"Gue nggak bawa baju lain. Mana gue tahu kalau lo tiba-tiba ngajak ke panti buat ketemuan sa—" Tanganku bergerak cepat menutup bibir Olivia sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Jantungku sudah naik dan berdetak di tenggorokan. Kenapa ini terdengar aku seperti melakukan sebuah perselingkuhan?

"Pakai baju yang gue punya aja."

Olivia memukul tanganku yang masih menempel di bibirnya. Euh, aku baru dapat merasakan minyak-minyak yang menempel di sana.

"Kalau-kalau lo lupa, ukuran gue sama lo beda." Sahabatku itu manyun lalu mengeluarkan lipstik dan cermin dari dalam tasnya. "Toket lo dua kali lipat dari punya gue," terang Olivia dengan lirikan ke dadaku.

Mataku otomatis melotot dan menoleh kepada Jesse yang kini ikut melihat ke arah tubuhku yang menjadi bahan pembicaraan Olivia. Aku mendengus untuk menarik perhatian Jesse kembali ke wajahku dan semakin membuka lebar bola mata ketika berhasil. Cowok itu hanya membalas dengan cengiran dan gedikan bahu.

"Pakai jaket."

"Panas!" tolak cewek itu lagi.

"Gue nggak mau tahu. Lo ganti baju, pakai jaket atau apa pun. Jangan ke panti dengan pakaian kayak gitu," putusku yang dibalas dengan gerutuan oleh Olivia.

"Okay, Mommy."

Bibir manyun Olivia kini sudah dipulas lagi dengan lipstik berwarna hot pink, tidak berminyak seperti pertama. Perhatiannya fokus pada Jesse yang tengah terkekeh setelah memberikanku tatapan sinis dan membuka mulutnya hanya untuk memberikanku penyakit jantung. "Lo ikutan ke panti?"

"Enggak. Gue mau pergi juga sebentar lagi. Makanya gue tanya kalian nginep apa enggak, supaya ada yang temenin Ali di rumah." Jesse menjawab dengan senyuman yang tidak tahu kapan akan dihapus cowok itu dari wajahnya. Apa tidak pegal tersenyum terus-terusan?

Jika ada yang bertanya apa kemampuan termutakhir Olivia apa, jawabannya adalah bagaimana cewek itu bisa menempatkan orang lain dalam posisi tidak nyaman dalam hitungan detik seperti sekarang. "Ali nggak diajak aja kalau takut pulangnya kemalaman?"

Aku tahu itu adalah pertanyaan yang sengaja dilontarkan oleh Olivia hanya karena ia ingin tahu bagaimana Jesse menjawab. Sahabatku itu juga ingin menggali bagaimana hubungan kami. Dari ekor mataku, aku dapat melihat Jesse sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Olivia, tapi toh cowok itu tetap menjawab.

"Mungkin lain kali." Tiga kata itu keluar dari mulut Jesse, otomatis mata Olivia mencariku dengan satu alis terangkat.

"Kita juga mau pergi," kataku singkat yang terdengar kekanakan di telingaku sendiri. Seakan aku tidak mau kalah dari cowok itu.

"Kalian pesan makanan aja. Tadi nggak sempat masak karena aku pikir kamu nggak pulang." Jesse menggerakkan jari telunjuknya untuk memanggilku. Gelengan kepalaku tidak dihiraukannya, terlebih rusukku kini menjadi sasaran siku tajam Olivia yang mendesakku untuk menyambangi Jesse.

Dengan langkah gontai dan malas mengikuti Jesse yang memasuki kamarnya. Setelah pintu tertutup, cowok itu berjalan ke arah meja di kamar tidurnya dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah dilaminating dari dalam laci. "Nyil, ini beberapa restoran dekat sini yang enak serta menunya," kata Jesse lalu selembar kertas itu sudah berpindah tangan kepadaku. "Sudah saya urutkan dari makanan fav—"

"Favorit Andini," selaku. Jemariku menunjuk pada makanan teratas. "Andini suka truffle." Jemariku menelusuri listnya dan melihat seluruh makanan kesukaan Andini ada di sana; foie gras, sampai jenis pasta favorit Andini—cavatelli—juga ada di sana. Kertas itu kini berada menutupi setengah wajahku. Jesse mengalihkan pandangan dari tatapanku yang fokus padanya.

Jesse berdeham kencang. "Saya pergi dulu. Kalau kamu takut sendirian di sini malam-malam, minta teman kamu menginap aja. Saya usahakan pulang maksimal tengah malam."

Anggukkan kepala menjadi jawaban singkatku yang masih memperhatikan Jesse tanpa mengatakan apa pun. Jesse kini terlihat ingin mengambil langkah seribu di bawah tatapanku yang tidak lepas darinya. Deheman kembali keluar dari cowok itu.

"Kartu debit dan kreditnya kamu pegang, kan? Pakai itu aja buat beli makanannya." Aku hendak menolak saat Jesse lanjut berbicara, "Sekarang giliran saya masak, tapi nggak sempat. Kamu pakai itu aja gantinya. Jesse mengeluarkan dompet dan disusul dengan beberapa lembar uang ratusan ribu, "Saya titip ini buat anak-anak di panti."

Kini tanganku tidak hanya ada selembar kertas, lembaran uang juga memenuhinya. Untuk yang ini aku tidak mungkin menolak. Anak-anak di panti perlu berbagai macam hal dan harganya tidak murah karena jumlah mereka yang tidak sedikit. Uang yang diberikan oleh Jesse setidaknya cukup untuk membawa tawa mereka hari ini.

"Ayo keluar," ajak Jesse. Aku buru-buru memasukkan lembaran uang ke dalam kantong celana dan mengekori Jesse. Kristina sudah keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Olivia, tempat semula aku duduk. "Aku pergi dulu, ya?" Jesse bersuara lagi di sebelahku, satu tangannya berada di pinggang tepat di atas bokong. Terlalu berbahaya.

"Okay."

Tangan Jesse menuntunku untuk berjalan mendekati sofa tempat dua sahabatku duduk dengan intensitas tatapan ke arah kami yang tidak pernah surut. Aku bahkan tidak pernah melihat Olivia menaruh perhatian sebesar sekarang saat kuliah dulu.

"Hubungin aku kalau perlu apa-apa," lanjut Jesse lagi. Kali ini bibir cowok itu kembali menempel di hidungku sedangkan ujung jarinya membentuk pola abstrak di sekitar tulang ekorku. Telingaku menangkap kikikan genit dari Olivia saat bibir Jesse menjauh. "Gue pergi dulu, hati-hati di jalan." Kali ini Jesse melihat ke arah Olivia yang tengah mesem-mesem sendiri, lalu ke Kristina yang sedikit mengangkat alisnya.

Aku teringat pada ucapan sahabatku itu lalu menarik lengan Jesse yang sudah setengah berdiri. Bokong cowok itu kembali ke sofa karena tarikanku yang tidak disangka olehnya.

"Ka—" Aku berdeham karena suaraku parau, "Kabarin kalau sudah sampai."

Jesse terlihat bingung hanya untuk sepersekian detik sebelum kedua sudut bibirnya ditarik ke atas dan berbicara dekat telingaku dengan suara beratnya. "Okay, Mommy." Kemudian ditutup dengan kecupan di pipi yang terlalu dekat dengan ujung bibirku.

Jesse menirukan ucapan Olivia tadi, tapi dengan efek yang membuat sahabatku itu K.O. di sofa, sedangkan aku ingin mempertemukan wajah cowok itu dengan pantat teflon.

3/10/22

wkwkwkwk mommy. Thank you yang udah jawab pertanyaan kemarin. ini aku apdet cepet.

Hayoooo Jesse ke mana? tebak-tebakan~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro