Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

THIO - Ban Bajaj 18.1


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Suara nyaring dari bangku belakang bersaing dengan musik yang kini sudah dikecilkan volumenya oleh Jesse.

"Bang, mau makan jagung bakar!" untuk yang keseratus kalinya semenjak bocah itu menduduki bangku penumpang di belakang. Jesse menjawab masih dengan bersemangat seperti baru pertama kali mendengar permintaan Aries untuk yang pertama kalinya. Satu tangan Jesse nangkir di pahaku. Masih sama seperti pertama kali cowok itu melakukannya. Keempat jari berada di bawah paha, sedangkan ibu jarinya mengelus permukaan celana bahan warna hitamku.

"Okay!"

Aku bingung juga saat tadi kami tiba-tiba berhenti di depan rumah orang tuaku dengan Aries yang sudah berdiri di depan pintu rumah dengan tas punggungnya yang sebesar cangkang kura-kura. Ibu dan ayahku berdiri di belakang bocah itu.

"Ngapain?" tanyaku masih belum menangkap apa yang terjadi di sini.

"Jemput Aries."

"Dia kan sekolah besok."

Jesse mematikan mesin mobil dan melepaskan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. "Kamu ngigo. Besok tanggal merah. Libur sekolah. Saya tadi hubungin Ibu buat ajak Aries menginap di rumah." Tatapan bingungku kini bergeser ke arah Jesse yang sudah membuka pintu lalu mengambil ponselnya. "She misses you. Dan saya kira kamu bakalan lebih nyaman kalau ada orang yang bener-bener dekat sama kamu." Jesse diam sesaat. "Saya juga nggak tahu kontak sahabat kamu, jadi opsi yang paling dekat itu Aries. Saya juga nggak bilang apa-apa ke Ayah dan Ibu," sambung cowok itu seperti dapat membaca kekalutanku. Kepala Jesse bergerak ke kanan, memberikan kode untuk keluar dari mobil.

I was taken aback for sure. Aku tidak tahu kalau Jesse berpikir hingga ke sana dan keterkejutan itu yang membuatku bengong sepanjang jalan hingga kami tiba di puncak pukul tujuh malam. Jesse memarkirkan mobilnya tepat di depan warung makan. Pekikan nyaring terdengar dari Aries yang mengepalkan kedua tangannya karena tidak sabar untuk mobil benar-benar berhenti agar dapat keluar.

Aries membuka pintu begitu mobil tidak lagi bergerak dan aku memanfaatkan kesempatan ini untuk membombardir Jesse dengan hal yang aku tahan semenjak tadi. "Dia tidur di mana? Kamu nggak takut dia mengadu kalau kita tidur beda kamar ke orang tua kita?"

"Aries dan kamu bisa tidur di kamarku. Hanya untuk semalam juga. Hal buruk apa sih yang bisa terjadi dalam semalam?" Mata Jesse tidak lepas dari Aries yang sudah berlari di depan warung sate. Kepala yang kini rambutnya disisir rapi ke belakang itu menoleh ke arahku dengan cengiran. "Oh, atau kamu maunya pergi berdua sama saya aja?"

Aku mendengkus kencang dan memutar bola mata. "Keep on dreaming." Aku hanya tidak mau ada masalah baru yang muncul. Kepalaku tidak akan sanggup untuk memikirkan apa pun sekarang.

Jendelaku kemudian diketuk dengan barbar, pelakunya siapa lagi kalau bukan Aries. "Kak, cepetan turun! Bang!"

"Sejak kapan juga dia mau ngobrol sama kamu? Pakai manggil Bang juga lagi. Little traitor," dumelku yang disambut kekehan oleh Jesse.

Aku menyusul mereka berdua yang sudah memasuki warung. Berjalan lebih dalam lagi dan duduk di meja dekat pagar pembatas. Pemandangan lampu yang bertaburan di bawah sana di antara kegelapan sangat kontras. Jesse tidak mengatakan akan membawaku ke mana di rumah tadi, tapi tadi sempat mengatakan untuk membawa jaket, yang dengan bodohnya aku abaikan dan memilih memakai kardigan tipis.

Jakarta sedang gerah-gerahnya, lagi pula jika hanya berkeliling dan tetap di dalam mobil, kardigan lebih dari cukup. Namun tidak dengan puncak di malam hari dengan angin yang hilir mudik di antara pohon-pohon di bawah sana.

Aries datang dengan tangan kanan yang sudah memegang jagung bakar, di belakangnya Jesse mengikuti sambil membawa nampan yang berisikan tiga gelas dan satu piring dengan jagung di atasnya. Bocah itu duduk di antara aku dan Jesse, antusias memakan jagung seakan tidak pernah sebelumnya. Kapan terakhir kali mereka liburan? Setelah pernikahan yang berakhir dengan bencana itu tampaknya tidak pernah. Tidak heran kalau Aries bersemangat seperti sekarang, bahkan hanya untuk makan jagung bakar saja.

Jesse meletakkan satu gelas di depanku. "Wedang jahe," katanya. Aku melirik gelas yang juga ada di hadapan cowok itu. Warnanya sama. Yang berbeda hanya milik Aries yang aku yakini tidak jauh dari cokelat. "Kamu mau jagung aja atau mau makan sate?"

"Sate dan nasi. Thank you." Aku memang sedang murung, tapi bukan berarti perutku juga ikutan mogok makan. Para naga dalam perutku merongrong minta diberi makan. Mataku lalu turun pada Aries, "Dia juga makan nasi dan sate. Dari saya—" Jesse melotot dan aku buru-buru memperbaiki kalimat yang akan keluar dari bibirku selanjutnya setelah berdeham, "dari aku aja."

Telapak tanganku memangku dagu, mata beralih ke arah pemandangan malam lalu ke Aries yang memakan jagung seperti tupai di kartun. Pernah lihat, kan? Yang suaranya seperti mesin ketik itu. "Kak, nggak makan jagungnya?" tanya Aries saat jagung itu hanya tersisa bonggolnya saja.

Aku pura-pura mencibir. "Kamu kalau mau ambil aja, nggak usah basa-basi." Aries mengambil jagung itu, bibirnya terbuka hingga tempat kosong dari gigi taring yang tanggal dua minggu lalu terlihat. Angin malam menerbangkan rambut panjang Aries, membuatnya menari-nari dan mengganggu makan karena sesekali memasuki mulut. Aku melepaskan scrunchie yang aku pakai dan mengikatkannya di rambut Aries yang tidak berhenti mengunyah.

Berbeda dengan rambut ikalku yang mengembang dan susah untuk diatur, rambut milik Aries sangat halus dan lembut. Serta lurus dengan warna hitam yang sekelam langit malam. Seperti warna matanya.

Tangan dengan tato pink dan hitam muncul di sisi kananku, meletakkan piring berwarna oranye dengan sepuluh tusuk sate. Aku mengenali tato dan warna itu hingga tidak perlu menoleh untuk melihat siapa yang melakukannya. Tubuh besar Jesse menghalangi angin malam di sekitar yang membuatku mulai menggigil.

"Thanks," kataku. Saat aku kira Jesse akan pergi, ujung jemari cowok itu menyentuh leherku seringan bulu, disusul dengan rambutku yang semula menutupi dada, kini terkumpul menjadi satu di belakang. "Ngapain?"

"Memangnya bisa makan kalau rambut kamu kayak gini? Aku bawa scrunchie kamu."

"Ngapain?" ulangku lagi seakan tidak ada kosa kata lain di dalam kepala untuk menanyakan apa yang tengah Jesse lakukan sekarang.

Jesse mengikat rambutku dengan lihai dan lembut seraya menjawab pertanyaan. "Kamu terus-terusan kehilangan ikat rambut, bahkan di rumah. Aku bawa buat jaga-jaga."

Kalimat itu memacu ingatanku yang beberapa kali mencari ikat rambut sebelum makan, atau ketika cuaca sangat panas dan aku tidak menyalakan pendingin ruangan karena ocehan Kristina mengenai global warming, yang dilakukan secara konstan, memengaruhi otakku. Kristina benar-benar harus memikirkan untuk pindah haluan ke sales atau marketing karena sahabatku itu bisa sangat meyakinkan kalau dia mau.

"Sudah," kata suara di belakangku yang membuatku kembali fokus terhadap apa yang terjadi sekarang.

Aku memang selalu kehilangan scrunchie. Ayolah, siapa yang tidak pernah kehilangan ikat rambutnya terus menerus? That thing is bound to be lost every time you need it. Yang aku tidak tahu; Jesse memerhatikan hal kecil seperti itu.

2/11/22

Jesse goes from "Dan kamu duduk di sana dengan riasan wajah serta baju pengantin yang disiapkan bukan untukmu?" to "Kamu terus-terusan kehilangan ikat rambut, bahkan di rumah. Aku bawa buat jaga-jaga."

tapi perlu 30rban kata lebih.  TAPI AKU TETEP DEG-DEGAN.

Thank you untuk doanya. Anak itik masih batuk tapi udah mendingan. Hari minggu atau rabu depan nih apdetnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro