Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Honeymoon Is Over - Rahasia Ali & Jesse 24.3



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Mata Jesse kini sebesar bola pingpong dan mulutnya terbuka lebar. Dia masih diselubungi keterkejutan hingga aku menunggu. Tapi ini terlalu lama, karena rasanya sudah lewat dua menit dan Jesse tidak juga berbicara. Sebentar? Di saat seperti ini bahkan lima detik saja bisa terasa sangat lama.

"Aneh kalau kamu nggak pernah berpikir itu, sih. Orang-orang biasanya lempar jokes "lo anak pungut, ya? Beda banget sama kakak lo" atau yang sejenisnya." Dan aku suka menaruh mereka di posisi awkward dengan menjawab "iya" lalu memasang wajah masam. Energi di sekitar mereka langsung berubah secepat ekspresi wajah mereka. I love the agony that fall on their faces. Lalu mata mereka akan melirik satu sama lain, tanpa berani melihat wajahku. Aku akan tertawa dengan kencang di dalam kepalaku.

Jesse akhirnya mengatupkan rahangnya. Berbeda dengan orang-orang yang langsung memberikan tatapan mengasihani, Jesse hanya masih terus menatapnya dengan, dengan ... apa arti sorot matanya sekarang? Tatapannya sangat dalam seperti tengah mengalkulasi sesuatu.

"Aku enggak ... dia nggak pernah ..." lalu kembali diam. Ini kali kedua aku melihat Jesse kehilangan kata-kata dan hanya napas yang keluar dari mulutnya. Kepalanya sebentar lagi akan mengeluarkan asap karena dipaksa berpikir keras. Aku tertawa tanpa suara melihat kerutan dalam di dahi cowok itu. Sebentar lagi kerutannya pasti akan bertambah banyak. Senang mengetahui kalau kemampuanku melihat bahan tertawaan di setiap kesempatan masih ada.

Kakiku pegal, jadi aku mengambil duduk di kursi meja rias Andini. Aku harus mengambil jarak dari Jesse karena terlalu banyak emosi yang menyusup masuk ke dalam dadaku. Tidak tahu mana yang harus aku proses lebih dulu. Tapi kecewa adalah emosi yang menyelubungi semuanya dan membebat dadaku paling erat.

Aku juga marah pada diriku sendiri karena tidak melihat hal ini akan terjadi.

In some way, aku merasa Jesse mempermainkanku. Dia memainkan peran dengan sangat baik hingga aku tidak bisa melihat apa niat yang disembunyikannya. Dibesarkan di panti asuhan hingga usia remaja, di tambah dengan aku yang sering berada di ujung ruangan dan mengobservasi, aku mempelajari banyak ekspresi dan mencoba membaca apa yang ada di kepala mereka. Biasanya—biasanya banget—aku cukup cakap dalam hal ini. Tapi sesuai perkiraanku dulu, Jesse memang aktor yang hebat. Dan aku ... aku sudah kehilangan kemampuanku tadi.

"Aries?" tanya Jesse akhirnya.

Aku menjalin jari-jariku dan meletakkannya di atas paha. This situation getting out of hand. Aku menceritakan masa laluku di kamar mantan tunangan suamiku.

"Dia juga. Tapi Ayah dan Ibu adopsi dia sewaktu masih bayi. Dari panti yang sama denganku," aku menggerak-gerakkan jariku, "panti yang biasa aku datangi." Jesse tidak perlu bertanya, tapi aku hanya mengatakan seakan dapat membaca pikirannya. Siapa lagi memangnya yang tersisa untuk ditanyakan? "Cuma Andini yang anak kandung Ayah dan Ibu."

Beranjak dewasa di panti itu hal yang sulit. Kemungkinan untuk diadopsi semakin kecil seiring dengan berjalannya waktu, karena orang-orang mencari bayi atau balita. Bocah-bocah kecil yang masih dapat mereka tempa sesuai dengan cetakan yang sudah mereka siapkan. Bukan remaja tanggung yang sudah mempunya pemikiran sendiri, atau sudah masuk dalam fase 'tidak lucu' lagi bagi mereka. Takut dengan label pembangkang yang tersemat pada masa remaja.

Semakin lama aku di sana, semakin lama aku melihat anak-anak lain mendapatkan orang tua dan akhir perjalanan mereka di panti. Setiap harinya, harapan yang kubentang seperti rumah lambat laun hilang. Satu batu bata setiap harinya, tujuh bata dalam seminggu, tiga puluh dalam sebulan, dan aku kehilangan semua harapan itu saat fase remaja datang. Hingga Ayah dan Ibu datang dan mengembalikan setiap batu bata ke tempatnya semula dan menjadikannya rumah yang tidak pernah kupunya.

I literally will do anything for them. Even that can't repay for what they did for me.

Jesse mengembungkan pipi dan mengeluarkan napas dari mulutnya dalam satu embusan keras dari bibir yang membulat penuh.

Sama seperti Jesse yang baru saja menjatuhkan bom, tampaknya aku juga baru saja melakukan hal yang serupa. Hanya saja aku tidak tahu kalau efeknya akan sama. Jesse looks conflicted. Tapi kali ini aku tidak mau terkecoh, dia pasti hanya kaget karena baru saja mempelajari rahasia Andini. It's not a bad thing, right? Maksudnya, rahasia Andini malah membuatnya tampak seperti malaikat; memiliki dua orang adik angkat, bukan hal yang buruk sama sekali. Mungkin Jesse ... No! Stop, Ali. Don't step into that zone, ever.

Jesse melarikan jari-jarinya ke rambut yang kini sudah mulai panjang. Beberapa helainya jatuh di dahi. "This is a lot to take," kata cowok itu akhirnya. Aku sempat mengira kalau dia tiba-tiba saja bisu.

Aku menahan diri untuk tidak mendengkus, you are telling me.

Aku menepuk pahaku, menjadikannya tumpuan untuk mendorong tubuhku berdiri, lantaran aku baru sadar kalau tenagaku menguap dan hanya tersisa sedikit saja untuk kembali ke kamar Aries dan tidur. "Okay. Aku mau kembali ke kamar Aries dan kamu bisa menyelesaikan ... " Tanganku berkeliling kamar Andini yang sudah lama tidak kupijak.

Pink ada di mana-mana dan berbagai macam foto tertempel di tembok. Lampu-lampu berwarna kuning tertempel di tembok dekat langit-langit. Tempat tidurnya tertempel di tembok yang dekat dengan jendela. Lengkap dengan comforter yang juga berwarna apa tebak? Pink! Tepat sekali. Tanaman dalam pot berada dekat dengan meja riasnya, membuat warna hijau di tengah warna putih, pink dan campuran warna terang lainnya. Tipikal estetik yang bisa kamu lihat di Pinterest atau influencer Instagaram.

Hidungku menghidu udara, mencari sisa-sisa keberadaan Andini di ruangan ini melalui aroma bunga aster yang selalu tercium. Aroma  yang selalu dipakainya seperti guyuran air. Aku sedikit kecewa ketika tidak ada yang tersisa dari bebauan yang biasa membuatku pusing.

Saat aku mau keluar kamar Andini, Jesse seperti tengah mau mengucapkan sesuatu, tapi lagi-lagi apa pun yang hendak keluar dari mulutnya digantikan dengan "Goodnight."

Aku mengangguk dengan ujung bibir yang aku paksakan untuk terangkat ke atas. Aku tidak mau mendengar info baru lagi karena aku sudah merasa terlalu banyak mengolah informasi dalam kurang dari satu jam. Batu yang mengganjal di pangkal tenggorokanku pun di tiap detiknya semakin besar. Aku perlu tidur sambil berdoa kalau semuanya akan hilang di pagi hari nanti dan kami berdua bisa kembali seperti semula; pushing each other buttons.

Aku hanya perlu membereskan perasaan aneh yang mengkristal dan menyumbat tenggorokanku, lalu mengucapkan puji-pujian atas hilangnya sengatan listrik yang akhir-akhir ini aku rasakan. Ingat kupu-kupu yang pernah aku ceritakan sebelumnya? Ternyata itu hanyalah laron yang mengerubungi lampu di malam hari saat gelap menggantung di langit. Mereka mati secepat mereka muncul.

Tidak ada hal besar yang terjadi. Hanya suamiku mencari keberadaan mantan tunangannya, yang kebetulan kakakku, dan aku yang menceritakan mengenai status anak angkatku.

It's not a big deal.

6/1/23

Gimana sama Jessica? Udah balik ke fase sebel lagi belum kayak waktu pertama baca? Atau nggak pernah sebel sama Jesse?

Aku mau apdet Jaja dan Momo dari cerita Six Ways To Sunday dulu ya. Kalau yang mau baca cerita soal duda dan cinta pertama. Atau ke Every Nook And Cranny untuk metropop, Love Or Whatnot untuk perjodohan, Rumpelgeist untuk romance fantasy. Semuanya sudah tamat. Sila mampir ke cerita mereka :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro