The Honeymoon Is Over - Rahasia Ali & Jesse 24.2
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Jawaban itu membuat jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. Kepalaku kosong selama lima kedipan mata yang jaraknya cukup jauh. Alarm dalam kepalaku sudah nyaring mengingatkan diri sendiri untuk menarik napas agar tidak pingsan konyol di sini. Pokoknya, semua yang novel-novel sebutkan baru kali ini aku rasakan.
"Okay," balasku dengan pelan karena tidak ada kata lain yang mampu otakku proses sebagai balasan atas jawaban Jesse tadi. Aku bahkan tidak yakin dia perlu mendengar ucapanku barusan.
Kakiku berpijak di zona yang tidak aku tahu sekarang. Aku harus memainkan peran sebagai apa? Sebagai teman atau sebagai istri? Aku mengernyit ketika pikiran itu terlintas di dalam kepalaku. Baru kali ini aku benar-benar memikirkan hubungan kami.
Satu kata terlintas dan menggedor-gedor mulutku, meminta untuk dikeluarkan, tapi aku tidak berani melakukannya.
Kenapa?
Baru kali ini aku merasakan kalau satu kata saja sangat berat untuk melewati bibir, jadi aku menelan pertanyaan itu bulat-bulat. Menunggu dalam keheningan kamar Andini, sementara dalam kepalaku sudah seperti angin ribut.
Kakiku masih terpasung, tidak bergerak sama sekali menuju Jesse yang berulang kali melarikan jari-jarinya ke rambut. Kakinya bergerak-gerak, memperlihatkan kekalutan yang tertutup ekspresi wajahnya yang tampak biasa saja. Bahu besarnya menekuk ke dalam, seakan dia sedang membawa sesuatu yang besar di punggungnya dan sudah terlalu lelah. Aku memerhatikan cowok itu lebih dalam dan baru menyadari satu hal; Jesse memang terlihat lelah.
Aku juga tidak kalah kalutnya. Aku tidak tahu apakah aku harus pergi dari sini dan membiarkan Jesse mencari apa pun yang hendak dicarinya, atau aku harus duduk dan mendengarkan cerita cowok itu. Di satu sisi aku tidak mau mendengarnya, di sisi lain aku juga tidak mau kabur dari sini. Dua hal itu berperang di dalam kepalaku dan tidak ada yang mau mengalah.
Kilatan pertemuanku dengan Andini terlintas dan membuatku menggigit bibir.
Jesse jelas cinta mati kepada Andini. Siapa juga yang mau menyiapkan sampai sedetail list makanan jika tidak memiliki perasaan apa pun? Belum lagi dilaminating segala. Aku hanya sedikit terkecoh karena Jesse terlihat jauh lebih tenang dan tidak seemosi saat hari pernikahan. Aku bimbang apa harus menceritakan perihal orang lain yang menjadi pihak ketiga di hubungan mereka sehingga Andini pergi? Aku sedikit kasihan dengan Jesse yang seperti ini. But it's not my story to tell. Aku tidak tahu hubungan mereka berdua seperti apa, tapi yang aku tahu pasti; Jesse mencintai Andini.
Kesimpulan itu membuat jantungku melorot hingga ke perut. It doesn't sit right with me.
Ayolah, ini kan yang lo mau? Cerai dari Jesse, jadi lo bisa balik ke kehidupan lama lo. Suara dalam kepalaku itu terdengar bersemangat memandang prospek masa depan tanpa ada Jesse di sana. Again, it doesn't sit right with me.
Jesse menginterupsi otakku yang sedang berputar-putar dengan dehaman pelan dan kalimat yang meluncur lugas dari bibirnya.
"Aku nemu kertas ini." Dia mengulurkan secarik kertas kepadaku dan aku membacanya dengan kernyitan yang semakin dalam.
"Kamu nemu kertas ini dari mana?"
Jesse mengalihkan pandangannya dariku, dia tampak seperti apa ya? Ah, benar! Seperti bocah yang ketahuan mencuri! Dan kini jantungku sudah berdetak di kaki. Great.
"Waktu pertama kali menginap di sini."
Kepalaku sedikit meneleng saat menemukan kejanggalan. "Kamu nggak nemu kertas ini. Kamu cari di kamar Andini juga," putusku saat menghubungkan berbagai macam hal di dalam kepala. Tidak mungkin dia menemukan kertas ini tergeletak begitu saja di lantai.
Busted! Cahaya lampu membuatku mampu melihat wajah Jesse yang pias.
"Iya."
Aku meneliti alamat itu dan instingku kembali berjalan seperti detektif yang tengah mencoba memecahkan misteri. "Kamu ke Bandung karena alamat ini di kamar Andini?" timeline-nya terlalu pas untuk tidak kupertanyakan. Aku ingat Jesse pergi ke Bandung setelah kami pulang menginap dari sini. Saat aku pergi ke panti asuhan.
Lagi-lagi Jesse menjawab 'ya', tapi dengan anggukan kepala.
"Terus, kamu dapat apa? Nggak mungkin kamu masih cari Andini kalau kamu kayak pencuri di sini."
"Aku nggak dapat apa-apa karena begitu sampai Bandung aku nggak jadi ke sana. Aku mutar-mutar aja. Aku belum siap kalau memang benar dia di sana, lalu aku pulang. Terus kamu kamu bilang kalau kalian dulu sering ke Bandung waktu kecil, jadi aku pikir Andini nggak mungkin ke sana-"
Telingaku tertutup seketika saat menyadari hal lainnya; Jesse mencari tahu Andini melaluiku. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya saat bermain games dulu.
Ludahku terasa terlalu getir untuk aku telan. Jesse belum berhenti berbicara, tapi aku menyelanya untuk pertanyaan lain.
Aku harus melonggarkan tenggorokanku yang tercekat dengan dehaman berkali-kali. "Jadi, kamu ke sini lagi untuk cari tahu hal lain soal Andini?" yang ingin aku tanyakan sebenarnya adalah: "Jadi, kamu ngajak aku menginap di rumah Ayah dan Ibu buat cari tahu soal Andini?" Tapi aku terlalu takut untuk mendengar jawabannya.
Namun, dari diamnya Jesse yang terlalu lama, aku rasa aku tahu jawabannya apa. Meskipun setelah itu dia mau mengucapkan sesuatu, tapi aku mendahuluinya.
"Kalau memang kamu nggak nemuin hal lain, kamu bisa mulai cari dari sini." Aku menyerahkan lembaran kertas itu kepada Jesse, dia hanya menatapku. "Kalau dari sana kamu nggak ketemu lagi, aku punya kontak orang yang bisa bantu cari dia."
Aku menepuk bokongku, tempat biasa aku menaruh ponsel di kantung belakang. "Oh, aku nggak bawa ponsel. Ntar aku kirimin nomornya. Kalau tahu kamu punya clue keberadaan dia, kita bisa cari dia dari lama. Bukan cuma kamu yang perlu ketemu sama Andini." Aku mengoceh tanpa henti. "Aku juga perlu buat jambak dia beberapa kali. Mungkin ditambah beberapa cakaran dan tonjokan. Setelahnya kamu bisa ngajak dia ngobrol atau reunian atau apa pun." Shut up! Teriakku dalam kepala, tapi mulutku tidak juga berhenti berbicara hingga silabel terakhir.
Jesse menatapkau bingung. "Kamu punya nomor private investigator?"
"Punya."
"Buat apa?"
"Buat nyari orang tuaku."
Jesse kini semakin bingung dan mulutnya terbuka dengan alis yang hampir menyatu. Dia ingin mengucapkan sesuatu setelah tarikan napas panjang, tapi mengurungkannya.
"Lho, Andini nggak bilang kalau aku diadopsi Ayah dan Ibu?"
4/1/23
Hayooooooo ada yang bener nggak tebak-tebakannya sampai di sini? wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro