The Honeymoon Is Over - Mimpi Basah Jesse 23.1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Di tempat yang penuh dengan orang asing, secara otomatis aku mencari sesuatu yang familier. Entah itu di barang, atau di orang. Berhubung aku tidak memiliki barang yang melekat di tubuhku yang meneriakkan rasa nyaman, aku mencarinya di sosok orang yang berdiri di sebelahku semenjak kami tiba di tempat acara.
Aku bergerak tidak nyaman sepanjang waktu saat kami duduk di kursi transparan. Tempat ini ganjil dan aku seperti potongan puzle yang salah ditempatkan. Acara-acara seperti ini bukan ranahku, bahkan aku tidak tertarik untuk mengikutinya. Aku tidak nyaman berada di tengah orang-orang yang memukau, baik itu cowok atau cewek. Bukan karena rendah diri. Well, itu iya, tapi tidak sebanyak karena aku merasa ini bukan elemenku.
Jesse mendekatkan wajahnya ke arahku. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa," dustaku.
Jesse mengangkat bokong dan juga kursinya hingga kami duduk bersisian. "Relaks, kamu cantik," bisiknya.
Mulutku kaku karena pujian bukan hal yang biasa aku dengar dari Jesse. Kalau ejekan sudah pasti akan aku balas dengan senang hati, bahkan otakku sudah memiliki list ejekan yang dapat aku keluarkan jika dia menyindirku. Tapi sanjungan? Bah, aku tidak tahu harus membalas apa.
"You look like a wet dream," lanjut Jesse lagi.
"Sejak kapan dikatakan sebagai mimpi basah dapat membangun rasa percaya diri?"
Jesse mengangkat bahunya sekali, "Mimpi basah kan identik dengan seksi."
Mataku menyipit ke arah cowok itu. "Mimpi basahmu dulu pasti Pamela Anderson dengan swimsuit a la Baywatch."
Dia tertawa pelan sambil menutup mulut dengan jari untuk menyamarkan dari orang lain. "I wish. Sayangnya mimpi basahku Kate Winslet," balas Jesse dengan kepala yang menoleh ke arahku dan gigi yang menggigit bibir bawahnya.
"Ew, pasti itu sehabis kamu menonton Titanic. Kamu pause waktu adegan Leo ngelukis dia."
Bahu cowok itu kini berguncang dan tangan yang tadinya menutup bibir, kini menutup wajahnya yang menunduk.
"Aku nggak kekurangan majalah dewasa. Dulu nonton Titanic di TV sama Papa dan Mama. Kebayang nggak horornya gimana waktu ada adegan telanjang?" Kali ini aku yang tertawa pelan, Jesse melanjutkan ceritanya. "Suasanya langsung berubah jadi awkward. Aku bahkan nggak sanggup lihat wajah mereka selama dua minggu. Padahal itu bukan pertama kalinya juga lihat cewek telanjang, di majalah yang dibawa teman-temanku banyak, tapi tetep aja aneh kalau lihatnya sama orang tua."
Aku menutup wajah dengan telapak tangan untuk meredam tawaku. Aku bisa membayangkan gimana anehnya. Mau pergi ke kamar, mau tinggal dan terus menonton juga aneh. Serba salah mau melakukan apa juga. Rasanya mau menggali tanah dalam-dalam dan tinggal di sana saja karena malu berat. Padahal bukan aku yang telanjang di layar lebar, atau aku yang melakukannya. Malunya sampai ke ubun-ubun.
"Jadi, itu mimpi basah yang berbalut horor karena aku takut kalau orang tuaku tiba-tiba muncul di sana."
Kami berdua tertawa dan membicarakan mengenai mimpi buruk-slash-memalukan saat kami anak-anak atau remaja.
Tembok berwarna putih teriluminasi warna koral hingga ke langit-langitnya yang tinggi. Meja berbentuk lingkaran diisi oleh orang-orang yang memakai jaket dan dasi kupu-kupu. Beberapa memiliki warna yang lebih berani dibandingkan dengan yang lainnya; hitam. Jesse enggan bergabung dengan orang-orang yang duduk di meja terlalu lama, sehingga kami kini berdiri di salah satu sudut bersama dengan beberapa orang yang tampak akrab dengannya.
Semua yang ada di diri Jesse memberikan rasa nyaman di tengah lautan orang-orang yang tidak aku kenal. Mungkin karena dia satu-satunya manusia yang aku tahu di sini. Iya, itu pasti alasan satu-satunya. Otakku tidak dapat memikirkan alasan lainnya yang lebih masuk akal. Terutama karena Satu tangan Jesse tidak pernah lepas dari pinggangku dan seluruh sirkuit di dalam kepalaku terputus.
"Kamu mau pulang?" Jesse tiba-tiba saja menunduk dan berbisik tepat di telingaku.
Suara musik di ruangan ini tidak kencang, hanya samar-samar menjadi latar obrolan orang-orang yang menghadiri acara ini. Obrolan yang tidak aku mengerti. Yang aku tahu hanya satu kata: asuransi. Setelah itu, aku kehilangan arah obrolan 99%. Selain itu, aku sibuk mempersiapkan diri dengan pertanyaan yang bisa tiba-tiba saja muncul, seperti: oh, ini adiknya Andini? Tunanganmu yang kabur itu, atau Aliyah beda banget ya sama Andini.
Yeah right, kayak aku nggak tahu aja.
Aku tidak sempat menjawab karena salah satu cowok yang mengenakan pakaian serapi Jesse lebi dulu menggodanya. "Mentang-mentang pengantin baru, buru-buru pulang terus."
Salah satu cewek yang ikut berada di lingkar ini sejak awal juga ikut menggoda. Satu tangannya menopak tangan lain yang tengah memegang gelas sampanye. Gaun berwarna merah melekat di tubuh yang membuatku merasa insecure. "Di kantor nggak pernah ikut jalan lagi. Tiap weekend bilang mau di rumah aja."
Cewek lain, yang berdiri tepat di sebelah Jesse, dengan gaun hitam dan belahan yang dalam memegang lengan Jesse. Sejak awal Mariana, nama cewek itu, menyapa Jesse dan berdiri di sebelahnya, aku langsung tahu kalau dia memiliki perasaan terhadap Jesse. Aku tidak buta dan Mariana tidak menyembunyikan ketertarikannya.
"Ikut ke Bali, kan?"
Jesse mengangkat gelas sampanye ke bibirnya tidak lama ketika tangan Mariana menempel di sana. Kurcaci di dalam kepalaku mengangkat pom-pom tinggi-tinggi dan melambaikan rok cheerleader-nya.
"Enggak. Ada rencana lain sama Ali." Kebohongan itu keluar tanpa cela dari bibir Jesse. Sedangkan aku yang berdiri di sebelahnya dengan kepala kosong hanya dapat tersenyum kecil untuk mendukung.
"Kamu nggak bilang kalau mau ke Bali. Kapan?" tanyaku.
Jesse mengalihkan pandangannya dari gelas sampanye dan jatuh ke dadaku lebih dulu sebelum ke mataku. Dia hanya menyengir kuda saat ketahuan melakukannya. "Dua minggu lagi."
Dua minggu lagi kami tidak memiliki rencana bersama. Bahkan kemi berdua tidak memiliki rencana untuk esok hari. Tunggu, kami punya rencana besok; ke rumah Ayah dan Ibu lalu makan es krim dengan Ariel.
"Kalau kamu bilang, kita bisa batalin."
"Nope. I rather spend my weekends with you." Jesse menarik pinggangku hingga bagian samping tubuh kami menempel lebih erat. Bedanya, dibandingkan angle 90 derajat, ini seperti 45 derajat. Dadaku menempel di bagian depan tubuh cowok itu. Si Mesum satu ini pasti sengaja melakukannya.
Lalu hal yang aku takutkan setiap berada di tempat umum atau di depan orang lain ketika bersama Jesse terjadi: bibir Jesse mendarat di hidungku. Aku sedikit berpikir kalau afeksi pura-pura ini tidak akan muncul di lingkungan penuh profesional, tapi tampaknya Jesse tidak masalah dengan PDA. Aku akan mencatat agar tidak pernah pergi ke acara apa pun dengannya. Karena siulan dan ejekan yang mengisi lingkaran ini membuat wajahku panas dan gerah seketika.
Aku harus berterima kasih untuk para pencipta foundation yang menyamarkan warna merah di wajahku.
Lho, kok? Kayaknya ada yang aneh.
Aku terlalu takut untuk menyelidiki apa yang aneh dan fokus pada hal lain; misalnya Mariana yang tampaknya akan mencakarku dengan kuku palsu berwarna merah darahnya itu. Ah, itu lebih baik. Insting membunuh itu sangat familier untukku. Terutama saat aku tunjukkan ke cowok yang kini ibu jarinya mengelus pinggangku.
Tolong! Siapa pun bilang ke Jesse kalau ini berlebihan!
"Keep your hands to yourself." Cowok lain yang mengenakan jaket dengan corak merah marun tertawa sambil mengatakannya.
Aku hanya dapat tertawa kecil, padahal aku ingin berteriak di telinga Jesse hal yang sama.
22/12/22
Jessikaaaaaaaa itu tangan iket ya lama-lama. Gemes banget, pengin kucubit pake tang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro