The Honeymoon Is Over - "It's Just a Little Crush" 26.1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Mempertemukan mantan dan suamiku tidak pernah terlintas sama sekali dalam benakku. Apalagi di kandang macannya sendiri.
Alisku mengernyit untuk menyuarakan protes dalam kepalaku, bukannya dia juga peduli.
Aku mengoleskan antiseptik ke sudut bibir Bram yang sudah dibersihkan. Dia mengambil satu tarikan napas melalui sela-sela giginya di setiap usapan membuatku meringis. Luka di lengannya yang mencium aspal sudah aku obati tadi, juga dengan memar di tulang pipi yang aku berikan kompresan makanan beku dan sudah menempel di sana sejak tadi dengan bantuan tangan Bram.
Aku memegangi dagu Bram dan menggesernya ke kiri untuk mengamati luka di wajahnya lalu memberikan tatapan membunuh pada Jesse yang sejak tadi tidak berhenti mengamati kami dari single sofa dengan berpangku tangan. Tubuhnya sangat rileks seakan dia tidak melakukan kesalahan apa pun dan dia hanya mengangkat bahu tanpa rasa bersalah setiap aku menoleh ke arahnya dengan judes.
Bram setali tiga uang dengan Jesse.
Sama tenangnya dan sama-sama tidak terbaca. Yang tampak di permukaan hanya dia yang kesakitan. Selain itu tidak ada. Nada. Betapa aku menginginkan kekuatan untuk membaca pikiran dan mengetahui apa yang ada di dalam kepala mereka sekarang.
Tidak ada keributan yang aku takutkan, tapi ini justru lebih mengerikan dari bayanganku. Seperti sedang ada perang dingin yang membuatku menggigil. Suara dalam kepalaku berteriak untuk menyadarkan sebelum pikiran aneh muncul.
"Sudah," kataku sambil menutup botol cairan berwarna cokelat yang aku pegangi sejak tadi. "Kamu bisa pulang?" Tepat di silabel terakhir aku mendengar dengusan tawa dari arah Jesse dan aku kembali melemparkan tatapanku ke arah cowok itu yang hanya dibalas dengan bahu yang terangkat. Kini mulutnya ditutup dengan jemari besar, tapi samar-samar aku dapat melihat cengiran dari sela jari itu. "Kamu mau menginap aja?" tambahku yang diganjar mata yang membelalak dari Jesse.
Bram menjawab dan membuat pandanganku kembali ke cowok yang duduk di sebelahku itu, mengabaikan Jesse yang memberikan isyarat penolakan dengan gelengan samar kepalanya.
"Enggak. Aku bisa pulang. Luka kecil aja. Kamu nggak ada cerita kalau diikutin cowok mesum di kereta."
Aku tadi memang sempat menceritakan dengan panik alasan Jesse memukul Bram saat memaksa mantan pacarku itu untuk masuk ke dalam rumah. Sementara aku melakukannya, Jesse hanya melipat tangan di dada dengan bahu yang bersender pada tembok pagar lalu melemparkan kalimat permintaan maaf yang tulusnya tidak terasa sedikit pun, "Sorry, istri saya tadi kelihatan ketakutan."
Apa yang aku lakukan saat mendengar hal itu? Hampir lumer dan menjadi air yang menggenang di atas aspal. Istri saya.
Mataku mengerjap beberapa kali guna menghilangkan ingatan atas ucapan Jesse tadi sebelum memberikan balasan. Tapi aku buru-buru menelannya kembali saat yang mau keluar adalah "Kita sudah putus, aku nggak mungkin cerita ke kamu lagi" lalu menggantinya dengan "Kita berdua perlu waktu." Yang membuatku merasa bersalah karena Bram sama sekali tidak terlintas dalam benakku. Aku sibuk dengan rasa takut dan marah lalu dengan Jesse yang sibuk menyempilkan dirinya di antara campuran perasaanku dan membuat fokusku beralih ke dirinya saja. Lalu melupakan Bram sangat natural untukku lakukan.
"Okay. Kalau ada perlu apa-apa kamu bisa kabarin aku."
Aku selalu senang jika mendengar ini dulu, tapi sekarang kenapa aku seperti sedang berselingkuh tepat di depan hidung suamiku sendiri. Aku tidak memberikan respons atas ucapan Bram barusan selain senyum tipis. That's a bold move to say in front of your ex lover's husband. Biarpun hubungan kami tidak seperti suami-istri pada umumnya, tetap saja aku harus angkat topi untuk keberanian Bram.
Bram berdiri dan memberikan anggukkan kecil pada Jesse yang membalasnya dengan anggukkan serupa. Aku dan Bram berjalan beriringan ke depan rumah, sementara Jesse mengekori di belakang lalu berdiri di sebelahku saat Bram sudah duduk di jok motornya. Aku mengucapkan "hati-hati" tanpa menambahkan "kabari aku kalau sudah sampai" seperti biasanya. Aku harus menggambar garis jelas, terutama karena aku sudah dengan sengaja memanfaatkan Bram hari ini, membuatnya berpikir kalau kami memiliki harapan.
Iya, aku tahu aku memanfaatkan Bram. Aku tidak sebodoh atau senaif itu untuk tidak sadar apa yang aku lakukan pun dengan apa yang Bram lakukan.
Canggung mengisi jarak yang tidak sampai satu jengkal di antara kami berdua setelah motor itu melaju pergi. Kami bahkan diam beberapa saat di sana hingga aku mendengar Jesse berbicara dengan suara dan nada mengejek. "Kalau ada perlu apa-apa kamu bisa kabarin aku," katanya mengulang ucapan Bram tadi. Kedua ujung bibirnya tertarik ke bawah dengan bibir sedikit mengerucut.
Seluruh tubuh Jesse meneriakkan defensif. Terutama kedua lengan yang dirajam dan terlipat di depan dadanya itu. Hasrat yang muncul melihat cowok itu adalah menggodanya, meskipun dengan hatiku sebagai taruhan.
"Kalau jealous bilang," ejekku tanpa maksud apa-apa, tapi harapan sedikit muncul juga meskipun aku berusaha untuk biasa saja.
"Ngapain?" tanya Jesse balik dan aku merasa harapan itu diinjak begitu saja, lalu aku mendengar kelanjutannya yang membuat harapan itu menyala dengan laron yang langsung mengerubunginya. "Kamu istriku, kok."
Dan aku kembali lumer seperti es krim. Istriku. That damn word. Tapi aku menguatkan diri agar tidak jatuh ke perangkapnya lagi.
"Ngakuin istri tapi masih nyariin mantan," balasku tanpa jeda dan berjalan memasuki rumah. Aku mendengar suara kekehan dan langkah yang menyusulku.
Ketika langkah kami sejajar, Jesse menggunakan kata-kata persis seperti ejekanku tadi. "Kalau jealous bilang." Yang langsung aku respon dengan dengusan kencang.
Langkahku berhenti dan begitu pula Jesse. Tatapan kami bertemu dengan mataku yang meyipit. "Kepalamu bahkan terlalu besar buat menampung egomu."
Jesse tertawa lebih lepas kali ini. "Enggak. Ada yang lebih besar buat menampung egoku." Mata cowok itu lalu turun ke celana jeans hitam yang membalut kakinya. Dengan bodohnya, lagi-lagi aku mengikuti pandangan Jesse yang sudah pasti tertuju ke satu titik di antara kedua tungkai panjangnya.
Mataku membelalak dan Jesse tertawa kencang. Dia mengambil tangan kananku dan memutar cincin pernikahan yang tersemat di jari manis. "You played too much scenario in your head," ujarnya yang membuat alisku terangkat, tapi dia tidak berniat menjelaskan dan mengalihkan pembicaraan ke hal lain. "Ini jangan dilepas. Nanti hilang," lanjut Jesse, masih dengan memutar cincin pernikahan.
"Cincinnya ada di lemari kok kalau nggak dipakai."
"Bukan cincinnya," Jesse mengelus punggung tanganku hingga ke jari menggunakan ibu jari milik cowok itu, mengaburkan akal sehatku sedikit demi sedikit, "tapi kamu yang hilang."
Kalau tadi aku belum lumer, sekarang sudah pasti aku menguap dan menyatu dengan awan-awan di langit. Tuhan, tolong selamatkan aku dari mulut manis Jesse. Lalu aku mengedip tiga kali sebelum ide ini terlintas di kepalaku. Itu dia lagi flirting, kan? Iya, kan? Apa gue yang terlalu ge er? Enggak-enggak. Ini pasti flirting ... ya, kan? Tapi dia nyariin Andini--
"I can hear the gear running like crazy in your head." Jesse menepuk punggung tanganku lalu mengembalikannya lagi ke sebelah tubuhku yang masih membeku dan menikmati sensasi yang timbul di setiap jengkalnya akibat ucapan Jesse tadi. "Aku mandi dulu. Gerah."
27/1/23
Mampus kelojotan sama mulut manisnya Jesse. Masih sebel nggak ma Jessika? wkwkwkw
Apdet selanjutnya masih sama ya. Bintang 1K dulu atau nunggu setelah aku tamatin Christmas For Keeps. Dilihat dari pace aku ngerjainnya bisa 3 minggu atau lebih. Buat yang mau baca cerita DuRen Berak sila geser ke worksku yang judulnya Six Ways To Sunday. Romcom juga, tapi rada berat. Tipis-tipis.
Follow IG akudadodado buat info mengenai tulisanku yaa :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro