Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14: Sick

Villa, Dulce 20XX

Cahaya masuk melalui celah kamar, merembes mengenai gorden lantas jatuh pada remaja yang tertidur di atas kasur. Tubuhnya lemah, pucat, bahkan berkeringat dingin. Perlahan tubuhnya tergerak samar, tangan kurusnya nampak jelas ditusuk jarum dan selang infusan bergerak. "Papa .... Mama ...," bisiknya. Tapi, tidak ada yang menyahut, menghela napas dia mulai terduduk.

Di atas ranjang terukir tulisan nama pemilik kamar 'Andrew'. Pangeran yang disembunyikan oleh kerajaan. Andrew ingat jelas kemarin dirinya hanya berjalan-jalan di sekitar villa dan bermain bola. Lantas sesudahnya dia langsung demam tinggi dan dokter dipanggil, kelelahan katanya, karena sesudahnya dia harus beristirahat satu bulan dengan infusan yang menusuk di punggung tangan.

Dia sakit.

Dokter selalu bilang begitu. Tapi, mereka tak bisa menebak penyakitnya. Dia lemah dan terlalu mudah lelah, dokter berasumsi Andrew terkena auto imun tapi kondisinya lebih kompleks dari itu hingga tidak ada dokter yang bisa memastikan penyakit sang pangeran.

Andrew turun dari ranjang, mulai mendorong tiang infusan menuju toilet. Hari ini kunjungan keluarganya ke villa, walau masih sakit senyum tipis rekah, dia segera menyiapkan diri. Pelayan-pelayan datang menghampirinya membantu untuk menyambut raja dan ratu. "Yang Mulia?"

"Apa?"

"Apa kelas hari ini diliburkan saja?" Salah satu pelayan yang memakaikan pakaian bertanya, dia berhati-hati agar pangeran tak terluka karena jarum di lengannya. "Anda masih sakit," ujarnya khawatir.

Andrew hanya terdiam mendengar penuturan pelayan. Itu benar, dia sekolah di rumah dan memiliki kelas, walau dia sakit dia tetaplah pangeran. Dia mau melakukan tanggung jawabnya. Dia ingin diakui berguna, bukan pangeran penyakitan. "Aku akan tetap masuk kelas."

Masih dengan tiang infusan langkah kaki membawanya pergi menuju ruang makan. Pelayan-pelayan jelas sudah terbiasa dengan kondisi majikan mereka, sepanjang jalan mereka menunduk dan melayani penuh hormat.

Andrew mulai makan di ruang makan yang dingin. Rasanya sesak dan sepi, dia selalu seperti ini, sendirian. Hening mengisi ruangan, tatapan Andrew menuju keluar, jendela-jendela besar, terlihat taman yang indah, kicau burung yang berterbangan, senyuman orang-orang di luar sana. Mereka bebas. Tidak terkurung.

"Aku ingin keluar."

"Yang Mulia, Anda tahu-"

"Aku tahu."

Pelayan saling pandang dengan wajah muram, menatap kasihan pada pangeran, seumur hidupnya remaja itu sudah terkurung. Seperti burung rapuh yang dikurung dalam sangkar emas, makanan lezat, mainan menyenangkan, juga pakaian sutra berkualitas dikenakan oleh pangeran, tapi dia tak pernah bebas.

Namun, semua orang tahu kenapa pangeran harus disembunyikan. Selain fisiknya yang lemah, ini berhubungan dengan musuh-musuh dari luar maupun dalam negeri, jika mereka mengetahui kelemahan dari keluarga kerajaan. Maka Andrew adalah sasaran empuk, akan banyak orang yang menargetkannya dan keselamatan Andrew dipertaruhkan.

"Kau mau keluar?"

"Kakak!"

Andrew tersenyum lebar, hanya dua suap dia makan kemudian menarik tiang infusan langsung berlari menuju sang kakak. Senyum tipis muncul dari Putra Mahkota Martin, tampaknya pemuda itu memang merindukan adiknya. Melirik ke piring, Martin menjitak dahi Andrew terkekeh lembut. "Kau harus menghabiskan makananmu."

"Aku sudah kenyang."

"Sungguh?"

"Ya!"

Martin duduk di salah satu kursi kemudian menaikan sebelah alis, kemudian merunduk berbisik di telinga adiknya. "Padahal jika kau jadi anak baik aku akan menyelundupkanmu agar bisa berjalan-jalan." Satu kata itu mampu membuat Andrew membelalakkan mata, sorotnya bersinar cerah. Tanpa basa-basi dia mulai kembali makan, membuat pelayan mendesah lega.

"Kwenapah kakakh datwang lwebih awal?" Andrew bertanya dengan mulut penuh, pipinya menggembung jelas, remaja narsis itu terlihat imut. Tentu saja dia tidak mengatakan dia bahagia, tapi dari reaksinya sekarang dia terlihat jauh lebih cerah.

Martin menarik sudut bibir, meminum air putih kembali menatap sang adik. "Aku berencana untuk pergi ke Festival Tebar Bunga besok. Jadi aku datang lebih awal." Andrew memiringkan kepala, kenapa juga kakaknya harus pergi ke tempat pencarian jodoh itu? Mengerti kebingungan Andrew, akhirnya dia menjelaskan. "Aku merindukan Raihana. Kau tahu, 'kan?"

Andrew jelas tahu, dari tatapan kakak yang mulai suram menandakan kesedihan di sana. Almarhumah Raihana adalah kekasih kakaknya yang meninggal karena pandemi, dia tak mengerti cinta-cintaan. Tapi, dia berusaha mengerti. "Aku tahu."

Martin menatap langit-langit ruangan mendesah panjang. "Aku ingin mengenangnya sebelum perjodohan dengan Putri Mia."

Andrew mengangguk, dia tidak mengerti kenapa kakaknya mengatakan semua ini. Kemudian kembali merunduk Martin berbisik. "Aku akan membawamu ke sana." Andrew tercekat menatap kakaknya yang tersenyum. "Sungguh?"

"Aku tak berbohong."

Andrew merasa jantungnya berdetak cepat. Wajahnya memerah penuh antusiasme. Bahagia, sungguh bahagia dirinya akhirnya bisa keluar dari tempat ini. Sebelum sempat menjawab suara lain menginterupsi. "Yang Mulia, tutor Anda sudah datang."

"Kak-"

"Aku akan menunggu, kau harus ke kelas."

Martin mengedipkan sebelah mata membuat Andrew tersenyum lebar mengangguk. Dia mengeratkan genggaman pada tiang infusan berjalan menuju ruang belajar. Itu hampir beberapa jam hingga pelajaran berakhir, dia tak begitu senang dengan hal seperti belajar, tapi dia mau berguna dan hanya ini yang bisa dilakukannya.

"Sayangku."

Di depan pintu ruang belajar kini berdiri orang tuanya, Andrew di sana terkejut merasakan pelukan yang langsung menyergap, Andrew terkekeh memeluk balik. "Kami merindukanmu." Mereka orang tua yang penyayang, dia menyukainya dan bagaimana selama ini keduanya menunjukan kasih sayang kecuali membuatnya terkurung dalam sangkar.

.

.

.

Sedari pagi Andrew sudah gelisah di kamarnya, dia bahkan tidak tidur semalam. Setelah infusnya dicabut dia hanya menunggu tidak sabaran untuk keluar. Dia menatap jam dinding terus menunggu dan menunggu. Kemudian tepat jam 08.00 kakaknya datang. "Kakak!" Andrew berseru yang dibalas satu jari di bibir Martin.

"Bersiaplah, kita keluar diam-diam."

Senyuman kembali mekar membuat Andrew berlari untuk bersiap. Untuk pertama kali akhirnya dia bisa keluar dari gerbang villa, tak hanya melihat orang lain dari jauh tapi secara dekat. Dia bisa bebas, seperti burung-burung yang terbang di angkasa.

Setelah aksi menegangkan kabur dari rumah, akhirnya dia bisa berada di taman dengan Martin. Andrew memakai jaket tebal berjalan bersama bodyguard. Di sanalah dia berpisah dengan sang kakak dan menikmati dunia luar, memiliki teman pertama, dan berjalan-jalan bersama.

Sayangnya itu tak berjalan lama hingga akhirnya dia menemukan fakta bahwa dia dikhianati. Kakaknya membenci dia perkara menjadi anak laki-laki di keluarga kerajaan yang menghalangi dirinya naik takhta. Itu menyakitkan dan membuat dia putus asa, di tengah kematian itu sendiri lubang hitam membawanya pergi.

Pada saat itulah dia menyadari hal-hal yang tidak diketahui, yang dia lewatkan, tapi kini dia tidak menyesal. Karena untuk pertama kalinya dengan tubuh ringkih, dia sadar bisa mengambil jalannya sendiri. Menyadari dia memiliki kuasa dan pilihan untuk pergi dari sangkar emas untuk selamanya.

Bersambung ....

23 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro