Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab II : The Boy Who Hides His Feeling

Seekor kuda hitam bersurai gelap melesat lincah mengelilingi pagar pembatas yang tidak terlalu tinggi. Di atas pelananya, tampak seorang remaja berbadan tinggi tengah mencari posisi yang tepat untuk menyeimbang- kan tubuh, mengatur punggungnya agar tidak terlalu membungkuk dan tidak pula terlalu membusung. Setelah cukup nyaman dan dirasa aman, tangannya menarik tali kekang untuk mempercepat laju kudanya. Saat berada di belokan, sang penunggang kembali melakukan hal yang sama untuk memberi sinyal pada hewan bersurai itu agar segera berbelok.

Tepat saat mencapai lintasan lurus, remaja itu menegakkan tubuhnya secara perlahan. Kakinya menjejak sanggurdi untuk mempertahankan posisi, mengangkat busur panah di tangannya, dan mencoba fokus pada target di tengah lapang yang terlihat kecil dari jaraknya. Matanya memicing mencari angka sepuluh lalu menarik busur itu tanpa ragu. Membiarkan anak panahnya melesat ke arah yang sudah ditargetkannya.

Binggo!

Anak panahnya mengenai tepat di pusat papan target, membuatnya menarik senyum sekilas sebelum tangannya kembali menarik tali kekang, menegakkan tubuh, menarik anak panah dan kembali membidik sasaran. Beberapa kali dia melakukan gerakan serupa sampai empat anak panah yang dia bawa tertancap sempurna.

Tersisa satu anak panah lagi. Targetnya kali adalah papan target berbentuk manusia yang posisinya cukup jauh dari papan sebelumnya. Dia mengincar bagian dada, salah satu titik vital favoritnya. Diketatkannya pegangan tali kekang, tubuhnya menegak kaku agar keseimbangannya tidak goyah. Pandangannya fokus pada titik incarannya, tali busurnya mengetat saat targetnya terkunci. Tepat di detik terakhir dia akan melepas anak panahnya, terdengar suara keras yang membuat konsentrasinya sempat terganggu.

"Apa yang Kakek katakan tentang pelindung, Zach?"

Jangan bilang kalau kau lupa, karena itu mustahil."

Anak panah itu sudah terlanjur dilepaskan. Keraguannya di detik-detik akhir membuat remaja yang dipanggil Zach itu tidak terlalu yakin dengan hasilnya. Dia mengurangi kecepatan laju kuda tunggangannya sambil terus memperhatikan anak panahnya yang melesat. Benar saja, bukan di dada, ujung anak panah itu justru menancap pada leher papan target sasarannya. Memang sama-sama vital, tetapi hal itu membuatnya berdecak sebal karena bukan titik yang dia incar sebelumnya.

Dengan tetap berada di atas kuda hitamnya yang mulai melambat, Zach mencoba meraih anak panah di punggungnya lagi. Namun, nihil. Lima anak panah setiap kali berlatih, padahal dia sudah tahu itu, tetapi dia tetap mencoba dengan harapan bahwa Sam, asisten sang kakek yang sekarang juga bertugas menjaganya, menambah satu saja jatah anak panah untuk latihan kali ini.

Zach mendengkus. Sama sekali tidak puas dengan hasilnya hari ini. Dia mungkin bukan jenius dalam segala hal, tetapi jika menyukai sesuatu, dia suka kesempurnaan. Hasil latihannya kali ini cukup untuk membuatnya menggerakkan dengan lesu kuda jantan kesayangannya itu menuju dua orang laki-laki paruh baya yang berdiri di pinggir lapangan. Keduanya memberikan tatapan yang berbeda, Pak Tua dengan pengeras suara di tangannya memandangnya marah, sedang laki-laki yang memegang handuk tampak menegang.

Remaja berambut hitam gelap dan bermata besar itu menuruni kudanya dengan pelan ketika sampai di depan keduanya. Bukannya langsung menyapa, dia justru mengulur waktu. Bermain-main sebentar dengan Hero, kuda kesayangannya, mengelus sayang kepala dan surainya lalu menciuminya gemas. Saat seorang laki-laki lain datang dan memegang tali kekang Hero untuk dibawa kembali ke istal, mau tidak mau Zach berbalik untuk menghadap sang kakek dan Sam.

"Pagi, Kakek!" sapanya ceria. Menunjukkan deretan giginya yang rapi dengan dua yang paling depan tampak lebih menonjol dari yang lain, berharap dapat mengendurkan gurat kaku di wajah kakeknya. Kakeknya marah, dia tahu.

"Coba perhatikan dirimu. Kau tidak lihat Sam sudah pucat pasi karena khawatir? Sengaja melakukannya atau bagaimana?"

Zach melihat sekilas ke arah laki-laki paruh baya di sebelah kakeknya. Sam tampak pucat dengan buliran keringat di sekitar dahi. Cukup membuatnya iba, tetapi tidak mengurangi kekesalannya pada asisten kakeknya itu. Sam bertanggung jawab untuk segala kebutuhannya, tetapi pria itu tiba-tiba pergi dan menghilang selama dua hari dan baru kembali tadi malam. Membuatnya kelimpungan dan harus berinteraksi dengan pelayan lain yang tidak terlalu dia kenal. Sesuatu yang sangat tidak dia sukai.

Zach mengangkat bahunya acuh. Lalu menunduk memperhatikan tubuhnya sendiri. Dia sudah memakai t- shirt dan celana ketat yang pas dengan kaki jenjangnya, dia juga sudah memakai boot ramping favoritnya, sarung tangan yang menyerap keringat dan helm untuk melindungi kepala.

Namun, dia tidak memakai pelindung siku dan betis yang sama pentingnya itu. Sesuatu yang pasti membuat kakeknya marah sejak tadi. Padahal bukannya lupa, dia sengaja tidak ingin memakainya. Zach tergesa ingin menaiki kudanya setelah sebelumnya melirik dan membaca sekilas tajuk berita di Harian Ibukota pagi ini. Membuat perutnya bergejolak tidak nyaman. Tentu saja kakeknya tidak perlu tahu tentang itu saat ini.

"Aku lupa," jawabnya santai sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas rumput. Berjengit sedikit saat rumput yang tajam menusuk kulitnya, tetapi dia mengabaikannya. Dia lelah, sangat. Padahal kegiatan berkudanya tadi tidak lebih dari satu jam, tetapi bahkan itu sudah menguras tenaganya.

Zach memejamkan mata, merasa sedikit pening akibat teriknya matahari. Tora di musim kemarau adalah siksaan untuk kulitnya yang sensitif, bahkan sekalipun mereka di Zerka sekarang, tempat paling sejuk dari seluruh wilayah di negara Tora. "Sam, aku haus," lanjutnya.

Suaranya yang terdengar lirih membuat dua orang dewasa yang berdiri di atasnya terlihat khawatir. Bahkan wajahnya yang terlihat mulai pucat membuat gurat kaku di wajah kakeknya mengendur. Sang kakek berjongkok di sebelah Zach yang masih memejamkan mata. Pandangannya memindai seluruh tubuh cucunya dan menemukan apa yang dicarinya. Siku bagian luar Zach terluka dan mulai mengeluarkan darah. Sang kakek memegang lengan yang terluka itu dengan hati-hati lalu menarik tubuh Zach untuk naik ke atas punggungnya.

"Kita ke dalam. "

Zach hanya menggumam singkat tanpa berniat protes. Badannya sangat lemas sekarang. Dia bergerak pelan mencoba mencari posisi lebih nyaman di punggung kakeknya. Matanya terasa memberat dan sulit untuk membuka. Zach mengantuk.

***


"Sudah membaca berita hari ini?"

William Lautner, kakek Zach dari pihak ibu dengan siapa dia tinggal selama ini, bertanya. Membuat Zach yang sedang membaca novel misteri sambil merebahkan diri di atas karpet berbulu di bawah kakeknya duduk, menoleh sekilas. Mereka sedang berada di ruang baca saat ini. Setelah insiden kecil tadi pagi, Zach tertidur seharian dan baru terbangun saat matahari mulai tenggelam.

"Hmmm, sangat konyol. Undang-undang untuk melegalkan pernikahan selir untuk raja katanya. Apa tidak ada hal lain yang bisa mereka urusi?" jawab Zach tanpa mengalihkan pandangan lagi. Usianya mungkin baru akan menginjak 15 tahun, tetapi terbatasnya orang- orang yang ada di sekitarnya membuat cara berpikir Zach tidak seperti remaja seusianya. Dia bergaul dengan kakeknya, dengan Sam sang asisten, juga para pengawal yang rata-rata berusia dewasa. Mau tidak mau, Zach juga harus mengimbangi jenis obrolan mereka jika tidak ingin selamanya kesepian.

"Kau tidak khawatir tentang ayahmu karena undang-undang itu?" tanya William lagi.

Dia senang menghabiskan waktu berdua dengan Zach, membicarakan banyak hal dan mencari tahu bagaimana isi kepala cucu bungsunya itu bekerja. Zach terkadang usil dan sangat mengganggu, tetapi anak itu tidak banyak bicara jika dia tidak ingin. Oleh karena itu, waktu berharga seperti ini sangat William sukai.

"Tidak," jawab Zach cepat sambil menutup novel di depannya.

Zach memutar tubuhnya, menarik bantal lembut yang sejak tadi mengganjal dadanya dan menjadikannya alas kepala. Dia kemudian menoleh menatap William yang sedang meminum teh herbal dengan santai. Tepat di samping teko teh herbal itu ada segelas susu hangat yang menjadi minuman wajib Zach sebelum dan setelah bangun tidur. Namun, untuk saat ini dia memilih untuk mengabaikannya sejenak karena obrolan dengan kakeknya kelihatannya cukup menarik.

"Posisi Ayah cukup kuat karena sudah punya pewaris. Tidak ada situasi yang akan membuatnya didesak untuk mencari selir. Lagi pula, Ibu akan membuatnya jera bahkan sebelum Ayah selesai bicara. Aku lebih khawatir dengan raja-raja setelahnya. Tidak semua ratu seperti ibuku. Dan pelegalan pernikahan selir hanya akan membuat masalah baru. Perebutan tahta dan perang saudara misalnya. Apa itu benar-benar sudah disahkan?"

"Ya, sudah sampai DEPARA. Tapi jika demo terus berlanjut masalah ini pasti akan dibawa ke MAGUNG. Hak uji perundangan ada di tangan mereka."

"Seharusnya begitu. Mereka harusnya lebih memikirkan pertahanan negara ketimbang membuat peraturan yang justru bisa memunculkan mosi tidak percaya pada pemerintah seperti ini. Bahkan kudengar banyak kasus terjadi yang tidak ditangani dengan benar, kan? Entah berapa banyak organisasi masyarakat yang mulai muncul sekarang karena kekecewaan mereka."

Zach senang membaca apa pun termasuk koran yang datang setiap pagi. Bukan karena dia rajin, lebih karena dari sini dia tahu apa saja yang terjadi di luar sana. Tempat tinggalnya sekarang memang dilengkapi dengan jaringan internet, tetapi aksesnya dibatasi. Dia tidak tahu apa alasan kakeknya melakukan itu dan tidak ingin mencari tahu.

"Berita apa saja yang menarik perhatianmu?"

Zach mengerutkan keningnya berusaha mengingat. Ada berita tentang seorang penyanyi yang dilaporkan ke pihak berwajib atas kasus pelecehan verbal yang membuat kata larangan "mampus" keluar dari mulutnya, berita tentang demo dan mogok masal di ibukota, berita tentang orang-orang hilang yang sempat membuat pusing kepolisian, cuaca ekstrem yang membuat para nelayan susah melaut dan sempat membuatnya khawatir sebagai pecinta seafood, atau berita tentang teknik bercocok tanam yang baru.

Tidak ada berita yang dia yakini bisa jadi bahan diskusi dengan sang kakek. Karenanya, Zach hanya mengangkat bahu dan bilang, "Tidak ada. Tidak ada yang menarik."

Zach sempat terdiam. Namun, beberapa saat kemudian dia kembali bersuara setelah mengingat berita yang tadi pagi sempat membuat mood-nya berantakan.

"Ah, ada satu yang menarik. Berita tentang Ibu yang bertemu dengan anak emasnya ada di halaman utama, apa Kakek membacanya juga? Wah, hebat sekali. Juara Taekwondo tingkat nasional, ya? Ibu terlihat bangga sekali."

William tidak langsung menjawab. Laki-laki itu menunggu perubahan di wajah cucunya. Berita tentang keluarga kerajaan dan anak yang ada dalam koran itu selalu menjadi topik sensitif untuk Zach. Namun, tebakannya keliru. Wajah itu tetap datar seperti saat pertanyaan itu terlontar keluar. Membuat William mau tidak mau mengakui bahwa Zach semakin pintar menyembunyikan perasaannya. Itu justru membuatnya khawatir.

"Ya, Kakek juga membacanya. Tidak biasanya kau setenang ini, kenapa tidak berulah?"

Zach yang awalnya sedikit mengangkat kepala untuk berbicara pada kakeknya kembali merebah. Matanya yang bulat dengan iris berwarna coklat terang itu beralih menatap langit-langit ruang baca. Tidak. Dia tidak akan berulah kali ini. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan dan itu butuh persetujuan seluruh keluarganya, terutama sang ibu. Dia akan menahan diri sampai saat itu. Bahkan, dia akan jadi anak baik jika perlu.

*******

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro