Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Hidden Pearl

Nyanyikanlah aku senandung sendu
Agar rindu kan menemukan jalannya
Meski desir angin menghapus jejaknya

===

Tidak ada yang menyangka bahwa turnamen Sekolah Venroth yang ke tiga puluh tujuh akan berubah menjadi mimpi buruk.

Sebut saja kecelakaan. Seandainya cuaca buruk di hari pertama turnamen sudah dapat diprediksi, kecelakaan yang membuat Garda terluka parah tidak akan terjadi dan turnamen dapat berlanjut dari hari ke hari seperti biasa.

Tidak ada kesibukan di antara wajah-wajah antusias yang biasanya terlihat saat turnamen. Atau gelombang semangat yang terasa di seantero sekolah Venroth. Yang ada hanyalah kesibukan di tengah kecemasan dan kekhawatiran. Adapun golongan yang paling sibuk tentunya tim penyembuh berikut guru-guru bidang ramuan dan pengobatan serta murid-murid yang secara sukarela bergabung dalam tim penyembuh.

Para murid yang tergabung dalam tim tersebut tentu tahu apa saja yang harus mereka lakukan. Satu kali rapat kilat saja dan mereka langsung bergerak sedemikian gesitnya. Mereka juga tahu tumbuh-tumbuhan apa saja yang harus dikumpulkan untuk diramu, ramuan apa saja yang harus digunakan, dan lain sebagainya.

Luka yang mereka tangani kali ini termasuk yang terparah. Di samping fakta bahwa memang hampir selalu ada korban cedera di balik turnamen, belum pernah ada luka yang membutuhkan begitu banyak ramuan, penyembuh, dan sihir (mengingat luka dalam Garda membutuhkan sangat banyak ramuan sehingga disepakati penggunaan sihir sebagai biusnya).  Ditambah, baru kali ini ada seekor naga terluka di hari turnamen. Dan naga yang terluka itu bernama Garda.

Flynn, salah satu guru penanganan satwa masih tidak percaya dengan apa yang terjadi terhadap Garda. Masih jelas di ingatannya peristiwa yang ia saksikan sendiri empat hari yang lalu. Petir menyambar. Banyak kali. Membuat Lyan, naga yang sedang terbang di ketinggian menjadi panik dan kehilangan keseimbangan. Garda yang saat itu berada tidak jauh dari Lyan malangnya harus tertabrak oleh Lyan dan mengakibatkan tubuh Garda menabrak bangunan menara sekolah. Hewan itu bisa saja kembali terbang seandainya tulang di salah satu sayapnya tidak cedera akibat hantaman. Kekacauan. Pertandingan pun dihentikan bahkan sebelum Garda dan penunggangnya, Nolan, terhempas ke tanah. Ditambah Nolan tak sadarkan diri setelah terjatuh. Keadaan pun semakin kacau. Kalau saja waktu itu Flynn tidak menjadi pengawas pertandingan, ia tidak harus menyaksikan kejadian buruk yang menimpa satwa kesayangannya itu, pikir Flynn.

Tapi bukan berarti Flynn lebih mengkhawatirkan sang naga dibandingkan dengan Nolan. Tentu saja Flynn mengkhawatirkan pemuda itu—terlebih Nolan adalah teman baik Garda karena keduanya juga begitu akrab mengingat hubungan di antara mereka lebih akrab dari sekadar ‘sang naga dan penungggangnya’—sehingga kabar bahwa Nolan yang kini merasa lebih baik juga membuat Flynn merasa lega.

“Garda pasti akan sembuh, Flynn.” ucap Nolan pada pria bermata sayu itu. “Tim penyembuh pasti akan melakukan yang terbaik untuknya.” Nolan bicara tanpa mengalihkan pandangan dari tim penyembuh yang sibuk bekerja di sekitar Garda. Bagian leher, kaki depan bagian kanan, dan bagian tulang pada sayap kiri Garda. Sejak empat hari yang lalu, bagian-bagian itulah yang kerap dirawat tim penyembuh.

Flynn tersenyum. ”Kau benar. Aku…aku hanya tidak ingin Garda menjadi ketakutan setelah kejadian itu. Aku mengerti kalau ia enggan untuk terlibat dalam turnamen selanjutnya, tapi aku berharap Garda benar-benar sembuh,” tutur Flynn. Tentu saja. Tidak ada yang mengenal para naga lebih baik daripada Flynn. Sulit baginya untuk bersitatap dengan mata Garda karena ia tidak ingin mendapati sorotan terluka di sana untuk yang kesekian kali. Itulah kenapa ia memilih untuk mengamati Garda dari jauh.

“Psst! Pssst,””
 
Hylda merasa seseorang mendesis padanya. Ia pun menoleh ke arah samping.

“Nolan sedang memerhatikanmu!” bisik gadis yang Hylda kenal sebagai Ana. 

Hylda yang tengah mengaduk-aduk ramuan guna menyembuhkan luka dalam pada tubuh Garda tentunya tak peduli. Di samping ia memang tidak terlalu suka diperhatikan, ia harus mengaduk ramuan dalam mangkuk besar itu sampai benar-benar tercampur kalau tidak mau berlama-lama mencium bau anyir bercampur bau telur busuk yang menguar dari isi mangkuk itu. Kalau saja ‘mematikan fungsi indera penciuman’ tidak akan berpengaruh pada jalan pernafasannya, mungkin Hylda sudah melakukannya sejak tadi.

 “Biar aku saja,” ucap Helena, guru ramuan sekaligus Kepala Tim Penyembuh. Wanita berparas jelita itu kemudian membuka mulut sang naga untuk kemudian memasukkan cairan dalam mangkuk besar ke dalam mulut Garda. Terdengar suara menelan yang diikuti helaan nafas lega dari Helena. “Semoga itu bisa membantu.” katanya.

Hylda hanya tersenyum. Barulah ketika ia secara refleks menoleh, pandangan Nolan dan Hylda bertemu.

Teduh. Itu yang bisa disimpulkan Hylda terhadap pandangan Nolan melalui iris cokelatnya. Tidak lebih. 

Candu. Sejak awal Nolan menatap mata Hylda, ia merasa ada sesuatu di balik warna biru dan hijau pada mata gadis itu. Sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti,  membuatnya ingin tenggelam di sana demi mencari sebuah arti.

Atau bahkan Nolan lebih memilih untuk tetap tenggelam dalam pandangan itu…

Terjadi lagi. Hylda mengakhiri kontak mata dan berpaling pada apapun selain pemuda itu. 

"Kau sadar tidak sih, dia selalu memerhatikanmu?" Ana bertanya pada Hylda setelah mereka selesai bertugas.

"Aku tidak suka diperhatikan, Ana. Kau tahu itu. Membahasnya sama sekali tidak akan membantu," tukasnya. Kenyataan bahwa Nolan memang memesona dan dikenal sebagai sosok-populer-yang-murah-senyum tidak begitu berpengaruh bagi Hylda. 
 
Suara Helena menyela pembicaraan mereka berdua. "Waktunya makan malam. Jangan lupa, besok Garda masih akan membutuhkan kita lagi." Tak lupa ia tersenyum pada murid-muridnya dan mempersilakan mereka untuk berjalan mendahului.

"Baik, Bu." Ana, Hylda, dan beberapa siswi lainnya mengangguk sopan pada wanita berparas jelita itu sebelum bergegas menuju aula.

“Hylda?” Helena memanggil Hylda sebelum gadis itu menghilang di balik lorong yang mengarah ke aula.

“Ya, Bu?” Hylda bertanya sambil menghampiri Helena.

“Bukankah besok kau harus mengikuti lomba di Danau Mysil? Ibu mengerti kalau besok kamu tidak bisa berkumpul dengan tim.”

Hylda menggeleng cepat. “Tidak, Bu. Saya sudah mengundurkan diri sebagai peserta lomba itu.”

“Karena Garda?”

“Untuk Garda, Bu.” Hylda mengoreksi.

Mendengarnya, Helena tersenyum. “Aku mengerti.” Kemudian keduanya kemudian berjalan menuju aula bebarengan.

 
===

Malam itu aula ramai seperti biasa. Para murid dan jajaran pendidik menikmati makan malam di meja masing-masing. Riuh rendah terdengar dari beberapa tempat dan suasana menjadi hening ketika sang Kepala Sekolah, Profesor Lauryn, berbicara untuk menutup jamuan makan malam dan memberikan sedikit pengumuman.

Tentu saja turnamen dilanjutkan, hanya saja dengan perubahan jadwal. Terdapat perbedaan yang mencolok ketika perlombaan balapan naga itu dihapuskan dari daftar turnamen tahun ini mengingat kecelakaan yang menimpa Garda. Keputusan yang mengundang kontroversi tak berujung, memang. Itulah kenapa pada akhirnya Kepala Sekolah memutuskan untuk menghapus perlombaan itu dari daftar perlombaan dalam turnamen. Atau mungkin selamanya, karena menyelenggarakan turnamen besar pada musim gugur pada kenyataannya sangatlah beresiko. Dan kini musim gugur tak hanya sebatas musim, melainkan telah menjelma ke segala penjuru Sekolah Venroth.

“Hylda, apa besok kau memang tidak akan mengikuti lomba?” tanya Ana.

“Tidak, Ana.” Dan Hylda sudah benar-benar yakin akan keputusannya. Hylda rela untuk meninggalkan perlombaan yang sudah ia persiapkan dengan baik itu.

Di luar pengetahuan Ana, Hylda sebenarnya sudah merencanakan sesuatu.

===

Jam raksasa di menara utara Sekolah Venroth berdentang sebelas kali. Hylda tahu seharusnya saat ini ia berada di kamar asrama namun sesuatu dalam dirinya memaksa gadis itu untuk menyelinap keluar. Bagi siswi yang menduduki tahun keempat di Sekolah Venroth seperti Hylda, menyelinap keluar tentu bukanlah tantangan besar.

Sesampainya Hylda di tempat Garda 'beristirahat', ia hanya bisa mematung di tempat. Hewan itu tidak sedang tidur; Garda sedang memakan daging ikan yang telah disediakan untuknya dengan lahap meski tubuh hewan itu tidak banyak bergerak. Yang membuat Hylda tidak bisa menahan senyum adalah santapan Garda yang meluncur begitu saja dari mulut menuju kerongkongan hewan itu tanpa dikunyah, membuat Garda terlihat seperti bayi reptil.

Seingat Hylda, Flynn memang pernah mengatakan bahwa Garda bukanlah jenis naga yang berukuran raksasa. Hylda tidak dapat mengingat persis jenis naga tersebut, tapi ia ingat habitat asal Garda. Norwegia.

"Hei," Hylda menyapa sang naga dan mendekati hewan bermata kuning itu. Garda yang menyadari kehadiran Hylda pun memiringkan kepala seolah bertanya 'sedang apa kau di sini?'

Hylda tertegun. Apa yang kulakukan di sini? Tanyanya pada diri sendiri. Bahkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik saku mantelnya kosong. Hylda menelan ludah.

"Entahlah, Garda.." Gadis pemilik rambut gelombang itu menyempatkan diri untuk mendekati Garda dan menyentuh cakar sang naga dengan lembut. Garda pun kembali menyantap makanannya dan membiarkan Hylda membelainya.

"Kau pasti kesepian." gumam Hylda. "Kau tahu, aku juga kesepian." Kedua warna iris mata Hylda mulai  bersinar muram. "Aku sering memikirkan tentang ibuku bila kesepian. Bagaimana denganmu?" kali ini jemari Hylda menelusuri sisik-sisik di sekitar leher Garda yang tidak terluka.

Lama, Hylda memilih untuk tidak bicara. Ada rasa kehangatan yang ia rasakan mengingat keberadaan Garda di sampingnya. Kalau biasanya setiap malam ia hanya bisa menatap ke arah tirai langit gelap berbintang, malam ini ia memliki sosok 'teman' yang bisa menjadi tempat untuk berbagi kesepian. Setidaknya kesepian yang Hylda rasakan kali ini tidak begitu menyesakkan.

"Kau tidak keberatan kan, aku menemanimu di sini?"

Garda menatap Hylda sejenak sebelum berkedip dengan perlahan; Hylda menerjemahkan bahasa tubuh Garda sebagai persetujuan.

Hylda tersenyum lagi. "Aku bisa bersenandung untukmu. Mungkin kau mau mendengarnya?" Kali ini Garda menanggapi dengan dengkuran halus.

Kedua mata Hylda terpejam. Perih. Terlalu perih bagi Hylda untuk menyanyikannya. Sebagai gantinya, ia hanya bersenandung.

Haaa...aaaaa aaaaaaaaaa

Haaa...aaaaa aaaaaaaaaa
 
Dalam benak Hylda, kata-kata yang terkandung dalam nyanyian itu bergema dengan jelas. Nyanyian yang selalu dinyanyikan untuk Hylda dari sang ibunda. Sosok yang dulu selalu ada untuknya hingga Hylda hafal persis isi nyanyian itu hingga sekarang.

Percayakah kau pada sang senja
Yang menjemput asa dengan lentera
Sinar mentari bagai sayapnya
Hangat menjelma; memeluk jiwa

Nyanyian yang selalu Hylda senandungkan setiap kali ia merindukan sang ibu.

Percayalah, percayalah
Restu alam akan menuntun jalan

Betapa gadis piatu itu berharap seandainya sosok yang ia cintai itu masih ada di sampingnya.

Bayang-bayang musim takkan pergi jauh
Tak perlu kau ratapi biru yang memilu
Nyanyikanlah aku senandung sendu
Agar rindu kan menemukan jalannya

===  

Hanya ada satu hal yang membuat Nolan meninggalkan ruang kesehatan; sulit tidur. Nolan akhirnya menyempatkan diri untuk berjalan menuju perbukitan yang tidak jauh dari bangunan sekolah.

Tempat Garda berada.

Sebisa mungkin menjaga pergerakan lengan kanannya yang divonis patah, dengan perlahan namun pasti Nolan bergegas menghampiri Garda. Kedua kaki Nolan bergeming sejenak ketika sesuatu menarik perhatiannya. Adalah wajar bila Nolan mendapati Garda sedang bersama dengan Flynn. guru penanganan satwa lain, atau Bu Helena pada waktu larut malam seperti ini namun mendapati Garda sedang bersama seorang gadis membuat Nolan bertanya-tanya.

Dan tidak butuh banyak waktu bagi Nolan untuk mengingat siapa pemilik rambut berwarna serupa daun-daun musim gugur itu.

Hylda. 

Akhirnya Nolan bergerak maju dengan kaki telanjangnya yang menyentuh rerumputan basah. Baru saja ia hendak menyapa gadis itu, pendengaran Nolan menangkap suara yang ia yakini miilik Hylda.

Haaa...aaaaa aaaaaaaaaa

Haaa...aaaaa aaaaaaaaaa

Gadis itu ternyata tengah bersenandung. Sungkan keberadaannya akan menganggu gadis di hadapannya, ia pun bergeming dan mendengarkan alunan senandung itu dengan seksama.

Kedua mata Hylda yang terpejam cukup menjelaskan bagi Nolan bahwa gadis itu tengah menikmati senandungnya. Hylda tenggelam dalam syahdu. Sayangnya cairan bening yang kemudian mengaliri pipi gadis itu menyangkal anggapan Nolan tersebut. 

Tapi Hylda tampak tak peduli. Ia tetap bersenandung dengan suaranya yang tetap terkendali.

Begitu merdu, begitu sendu. Nolan sempat berpikir siapapun yang mendengarkan senandung Hylda pasti akan menangkap kesedihan di sana. Tatapan kagum Nolan pada gadis itu kini berganti menjadi tatapan iba.

Karena selama ini sebenarnya Nolan menyimpan perasaan pada gadis itu. Gadis yang begitu istimewa di mata Nolan. Betapa Nolan berharap ia dapat mengusir rasa sedih Hylda…

Nolan tidak tahu apa yang membuat Hylda tiba-tiba membuka kedua matanya. Yang ia tahu, ia belum siap untuk bersitatap dengan gadis itu, begitu juga sebaliknya. Atau memang itu hanya perasaaan Nolan saja karena mungkin Hylda tidak pernah suka bersitatap dengan kedua mata sewarna kayu basah milik Nolan.

Keduanya sama-sama terpaku di tempat untuk waktu singkat yang terasa lama.

“Hylda…maafkan aku.” ucap Nolan penuh sesal. “Aku tidak bermaksud…mmm mungkin aku harus pergi,”

Gerakan Hylda lebih cepat. Ia segera bangkit untuk berdiri sambil sibuk menyeka air matanya tanpa menyadari sesuatu yang menarik perhatian Nolan.

Kedua mata Nolan sontak melebar. Tanpa ia sadari ia menelan ludah.

“Hylda! Luka itu…” ucap Nolan tidak percaya. 

Hylda yang sebelumnya berjalan dengan menundukkan kepala tiba-tiba menoleh ke arah Garda. Naga itu tengah mencoba untuk bangkit; pandangan hewan itu terarah pada luka di kaki depan yang sebelumnya tertutupi dedaunan yang kini berjatuhan.

Luka yang kini…menghilang. Tidak berbekas. Seolah tidak pernah ada luka di sana.

Hylda menutup mulut dengan sebelah tangan. Di hadapannya, Garda mencoba menggerak-gerakkankan kaki depan bagian kanannya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Hylda,” ucap Nolan ragu. “Air matamu…”

Air mata? Ulang Hylda dalam hati. Ia tidak mengerti maksud perkataan Nolan.

Astaga! Hylda baru teringat sesuatu. Ia tadi sempat menangis di dekat Garda. Seingatnya ia memang menangis di dekat kaki depan Garda yang terluka…

Begitu Hylda menoleh, tatapannya bertemu dengan mata berwarna kuning milik Garda. Rasanya sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa Garda tidak terlihat terkejut; kedua matanya terbuka lebar dan ia bergeming ketika menatap Hylda. 

“Ada apa ini, ada apa?” Flynn tiba-tiba muncul dan menatap Garda penuh tanya. Sementara itu, Hylda beranjak untuk menghampiri Garda. Mengikutinaluri-nya.

“Flynn! Tolong aku. Aku ingin menjangkau lehernya!” pinta Hylda, menunjuk luka di leher hewan malang itu. Flynn yang sebenarnya masih tidak mengerti akhirnya meminta Garda untuk merundukkan leher dan kepala dengan instruksi tangan.

"Baiklah." Hylda menghampiri leher Garda dan kemudian memejamkan mata, memikirkan apapun yang dapat mengundang tangisnya.
 
Tidak ada pilihan lain selain senandungnya...

Bayang-bayang musim takkan pergi jauh
Tak perlu kau ratapi biru yang memilu
Nyanyikanlah aku senandung sendu
Agar rindu kan menemukan jalannya

Yakinilah, yakinilah
Meski desir angin menghapus jejaknya

Hylda bahkan masih ingat persis seperti apa dan bagaimana ibunya menyanyikan lagu itu. Lagu untuknya yang selalu menjadi ninabobo Hylda, dulu. Ia ingat pula bagaimana paraunya suara sang ibu di akhir nyanyian.
 
 Yakinilah, yakinilah
Meski desir angin menghapus jejaknya

Tes...tes...tes... air mata Hylda kembali berjatuhan tepat di daerah luka pada leher sang naga. Mengamati bagaimana luka pada leher Garda kembali menutup dengan sempurna dalam waktu singkat membuat Flynn mengerjapkan mata tak percaya. Semudah itu. Semudah itu Hylda dapat menyembuhkan luka Garda. Keduanya masih terpaku di tempat. Tidak ada yang berucap kata karena baik Nolan maupun Flynn masih belum dapat mencerna kenyataan yang terjadi.

Begitu pula dengan Hylda. Kalau saja Hylda menyadari bakat itu sejak dulu, mungkin Hylda sudah menyembuhkan Garda dari awal. Tidak pernah ia merasa seperti ini—benar-benar merasa seperti penyembuh sejati. Kini Hylda bisa merasakannya di setiap sel-sel tubuhnya, di setiap tarikan nafasnya. Naluri itu ada, terasa nyata dan kentara bagi Hylda. "Satu lagi." gumam Hylda. "Aku harus menyembuhkan satu luka lagi " Hylda mendaratkan pandangannya pada tulang di tepi sayap kiri Garda.

"Ba—bagaimana kau akan menyembuhkan luka itu?" tanya Nolan.

Ketika Garda hendak bangkit berdiri, Flynn terpaksa harus membuat Garda kembali tenang dengan sebuah mantra. Mantra yang harus diucapkan berkali-kali agar sang naga berhenti menggeram dengan lirih. Tentu saja Flynn paham—Garda ingin Hylda juga menyembuhkan luka pada tulangnya yang patah—namun membuat Garda tenang sesegera mungkin adalah yang terpenting. Belum lagi Flynn juga tidak ingin Garda membuat orang-orang terbangun di saat-saat seperti ini. "Dia benar-benar ingin segera disembuhkan." tutur Flynn. "Kau...juga pasti bisa menyembuhkan luka pada sayap Garda, kan?" tanya Flynn penuh harap.

Hylda tersenyum dan sinar muram dalam matanya digantikan dengan pancaran keyakinan. "Aku akan mencoba untuk memasukkan air mataku dalam ramuan yang akan diminum Garda."

===

Nyanyikanlah aku senandung sendu
Agar rindu kan menemukan jalannya

Yakinilah, yakinilah
Meski desir angin menghapus jejaknya

Ada jeda singkat di tengah bisikan senandung yang dilantunkan wanita itu.

Sekalipun rindu ini hanya sebatas...doa 

Wanita itu menyandarkan kepalanya pada tepian jendela. Arah tatapannya tak lepas dari Garda yang terbang membelah udara dengan begitu anggun di sana. Lebih tepatnya pada si penunggang yang tampak menikmati 'penerbangannya' bersama Garda.

Pandangan wanita berkulit pucat tersebut tetap terpaku pada gadis berambut panjang itu. Gadis yang tersenyum penuh binar tanpa melepaskan pegangan pada pemuda di depannya.

"Sampai kapan kau mau terus seperti ini, Helena?" perkataan seseorang membuat Helena terkesiap.

"Ah, profesor," gumam Helena kemudian ia menggelengkan kepala. Wajahnya berubah muram.

Lauryn mendesah berat. "Dengar, Helena. Aku juga seorang Ibu...dan juga seorang anak. Dalam kasusmu, kurasa kau telah melakukan yang terbaik untuk Hylda." Lauryn pun mengikuti arah pandangan Helena dan mendapati Hylda dan Nolan tengah beranjak turun dari tubuh Garda di bawah sana. "Oh, Helena. Berapa kali harus kukatakan padamu? Tidak ada kata terlambat untuk menjelaskan yang sebenarnya pada anak itu." Lauryn mengusap lengan Helena, bermaksud menenangkan wanita yang tengah menangis itu. "Hylda adalah gadis yang istimewa... sangat istimewa. Dia juga anak yang cerdas. Aku yakin Hylda pasti akan mengerti kenapa kau melakukan semua ini." tuturnya.

Helena terisak. Betapa ia juga ingin mengakhiri semua ini. Mengakhiri luapan kepedihan yang selalu ia tahan. Mengakhiri rasa rindu yang kian menggerogoti. Kembali bersama Hylda, gadis kecilnya yang sangat ia cintai. Di luar itu, bayangan Hylda yang kelak membenci Helena karena dulu terpaksa meninggalkan Hylda selalu menghantui Helena. Tidak. Ia tidak ingin Hylda merasa tidak nyaman dengan Helena. Ia lebih memilih tertawa untuk menahan rasa sakit.

"Aku tidak tahu kapan aku siap untuk memberitahunya." isak Helena. "Aku tidak tahu,"

"Tapi Hylda sudah siap." ucap Lauryn mantap. "Aku bisa melihatnya."

Bukan hanya kejujuran, Helena juga bisa melihat keyakinan dalam pandangan Lauryn.

"Tidak ada yang harus kau takutkan. Percayalah." Lauryn tersenyum penuh makna.  "Aku juga yakin Hylda pasti akan merasa bangga memiliki sosok ibu sepertimu." Lauryn pun berlalu meninggalkan Helena yang masih bimbang.

Isakan pilu Helena pun selanjutnya berganti menjadi isakan haru. Sosok Lauryn yang begitu bijaksana selalu dapat menghangatkan hatinya. Kini Helena dapat merasakan musim semi di udara menyusup ke hatinya, bersemi atas nama harapan.

Hanya saja kali ini harapan tersebut sama besarnya dan sama membaranya dengan tekad yang selama ini telah terkubur. Begitu membara hingga Helena dapat merasakannya. Di seluruh tubuhnya.

Sejak saat itu, tidak ada lagi sinar muram dalam pancaran mata Helena setiap kali ia menatap anak semata wayangnya, Hylda.

-TAMAT- 

(A/N): Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Cerbul Kasfan Februari 2015  -> https://www.goodreads.com/topic/show/2215410-lomba-cerbul-kasfan-februari-15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro