Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

Tahun baru terburuk bagi Nawasena. Dia diikat di sebuah kursi dengan seutas tali tambang. Tidak ada seorang pun yang membersihkan darah dari wajahnya. Perban ditubuhnya pun bernoda merah.

Tidak jauh dari tempat Nawasena berada, ada Agha yang sedang duduk menatapnya.

"Lo akan tetap gue ikat sampai lo bisa memahami apa yang terjadi."

Kata-kata Agha dianggap angin lalu oleh Nawasena.

"Ini sudah tengah hari." Agha mengingatkan. "Lo tidak akan bertahan sampai malam. Kutukan di mata lo akan merenggut napas kehidupan lo. Rasa sakit yang hilang timbul akan terus terjadi. Apa lo mau terus seperti ini?"

Nawasena masih tidak memberikan tanggapan. Tetapi, kata-kata Agha membuatnya tersadar. Semua hal tidak masuk akal yang terjadi adalah sebuah mimpi buruk. Seberapa keras Nawasena menolak percaya. Semua itu benar-benar nyata.

"G- Gue akan mati?" tanya Nawasena dengan lirih. "Kematian karena mata gue?"

Luka-luka ditubuhnya sudah terbuka sejak tadi. Tetapi rasa sakitnya tertutupi oleh nyeri di dalam matanya. Sekarang, ia mulai merasakan seluruh tubuhnya remuk. Nawasena tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan menderita seperti itu.

"Gue ingin mata gue tetap utuh." Kalimat Nawasena, membuat alis Agha naik satu. "Gue tidak mau sakit-sakitan seperti ini terus. Pasti ada cara lain, daripada harus cacat."

Agha termanggu. Dia melirik ke arah Arya seolah meminta pendapat. Tetapi pelayan tersebut tidak memberikan respon apa pun selain wajah kebingungan.

"Kutukan Ahool seperti sel kanker." Agha menjelaskan. "Itu akan menyebar dan menggerogoti tubuh kita. Satu-satunya cara adalah menghilangkan bagian terinfeksi. Tapi ...," Agha menjeda kalimatnya. Dia menatap wajah Nawasena lamat-lamat. "Lo harus mampu mengendalikan kutukan tersebut, sebelum dia mengendalikan lo."

"Akan gue lakukan!" Nawasena menyahut cepat dan Agha malah tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras dan bergema di seluruh cafe.

"Itu mustahil. Tidak ada seorang pun yang bisa." Agha berkomentar sambil menyeka pelupuk matanya yang basah. "Tapi lo akan jadi orang pertama yang mencobanya."

"Apa Master akan mendidik Anomali ini?" sela Arya penasaran. Dia hampir tidak bisa menahan diri. Buru-buru, dia menunduk karena merasa bersalah.

"Bukan gue," sahut Agha. "Tapi, Magma. Dia orang yang cocok untuk itu."

"Bocah aneh itu?" seru Nawasena tidak percaya. "Jika dari awal dia menolong, gue enggak akan seperti ini."

"Dia sudah memperingatkan lo sejak awal. Bukan begitu?"

Ingatan Nawasena seperti bumerang untuk dirinya sendiri. Dia ingat, sebelumnya, Magma sudah memperingatkannya di dalam lorong. Tetapi dia sendiri yang membantah dan berjalan keluar. Rasa penyesalan itu terlambat untuk datang.

"Arya akan melepaskan ikatan tersebut. Tapi dengan satu syarat, lo harus meninggalkan kehidupan lama lo dan mengabdi pada apa yang terjadi."

"Gue tidak mengerti," balas Nawasena pada Agha.

"Lo akan hidup dalam bayang-bayang. Sulit bagi lo, kembali ke kehidupan normal lo yang sebelumnya. Lo akan mengerti seiring berjalannya waktu."

Nawasena mulai memahami ini. Toh, kehidupannya tidak terlalu begitu bagus. Satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah kakak laki-lakinya. Bahkan Nawasena tidak pernah tahu ke mana pria itu pergi dan apa yang terjadi padanya sekarang.

Nawasena akhirnya mengganguk. Dia menyetujui usulan Agha. Maka dengan begitu. Arya mulai membuka ikatan tambang di tubuh Nawasena.

"Lo bisa tidur sekamar dengan Arya di sini. Tapi tidak gratis. Lo harus bekerja untuk membayar sewanya di cafe." Agha bangkit dari kursi lalu mengulurkan tangan pada Nawasena. "Perkenalkan, gue Agha. Watek di Jakarta pusat. Selamat bergabung di dunia Anomali."

...

Penutup mata berwarna putih telah menutupi mata kiri Nawasena. Ia sudah membersihkan diri dan mendapatkan beberapa baju lama kepemilikan Arya. Untung saja, Arya memiliki proporsi tubuh yang tidak berbeda jauh dari Nawasena.

"Lo baik-baik saja?" tanya Arya yang duduk di tepi ranjang. Kamar tersebut memiliki satu ranjang tingkat. Arya menempati ranjang bawah dan biasanya di ranjang atas ditempati tamu-tamu Agha yang kebetulan menginap.

"Gue masih enggak mengerti. Apa orang-orang seperti kalian sudah ada sejak awal?" Nawasena menoleh, mendapati Arya mengganguk.

"Anomali udah ada sejak dulu. Awalnya semua orang hidup saling berdampingan. Maksud gue dengan hal-hal yang bersifat magis. Tapi, semakin berkembangnya zaman. Hal-hal seperti itu menghilang dan bersembunyi. Ada banyak hal yang terjadi, di tambah ... dengan sikap para Sudra. Kalau lo mau tahu tentang masalah ini. Gue punya buku yang bisa lo baca."

Belum sempat Arya berbicara lebih lanjut. Pintu kamar telah diketuk dari luar. Arya pun buru-buru membuka pintu.

"Ikut gue," titah Agha. "Sebentar lagi senja. Sebelum kami melatih lo. Kami perlu tahu, seberapa bagus pertahanan dan fisik lo. Kaditula lo harus bisa dipanggil."

Alis Nawasena bertaut. Dia melirik Arya dan pemuda itu hanya menghendikkan bahu. Kendati demikian, mereka berjalan mengikuti Agha. Pemilik Master Cafe itu, sebelumnya telah memberikan Nawasena sebuah minuman yang tidak disebutkan namanya. Nawasena dipaksa meminum minuman tersebut, jika ingin meredam rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Dari lantai dua ruko tersebut. Nawasena diajak Agha menuju sebuah ruang bawah tanah yang pintunya terdapat di dalam dapur.

Mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga yang di sinari cahaya lampu remang-remang. Di bawah, Nawasena mendapati ruangan yang sangat luas dengan tanah lapang terbentang lebar.

Dindingnya dari bebatuan yang tampak dikeruk dan digali. Di salah satu sudut, tertumpuk beberapa kardus yang terbuka dan berserakan. Ruangan itu tidak gelap, seluruhnya diterangi oleh sebuah batu permata berwarna putih terang.

"Tempat apa ini?" ujar Nawasena. Tempat tersebut lebih mirip arena tarung. Dari pada ruang bawah tanah.

"Tempat berlatih. Sekarang, coba keluarkan Kaditula," balas Agha sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Gue tidak tahu," sahut Nawasena. "Pedang itu mendadak muncul."

"Coba ingat lagi. Buruan!"

Nawasena hanya bisa berdecak kesal. Dia memejamkan mata. Berusaha berkosentrasi, dia mengulang ingatannya tentang rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang menusuk-nusuk dan membuatnya lebih memilih mati daripada menderita.

Gejolak panas mulai menjalar dari jari-jari kaki. Kemudian merambat ke seluruh tubuh. Panas itu seperti membakar Nawasena. Tidak tahan dengan momentum tersebut, ia pun membuka mata dengan napas tersenggal-senggal.

Mata cokelat Agha menyipit. Kaditula berwarna hitam dengan bilah berkelok-kelok itu, sangat memancing rasa penasaran Agha.

"Bagaimana cara lo membuat Kaditula itu berwarna hitam?"

"Ap—" Kalimat Nawasena terputus. Ia tercekat melihat Kaditula di telapak tangannya. Benda itu terasa seperti sebelumnya, nyata dan sangat ringan.

"Kaditula pada umumnya tidak berwarna hitam," seru Agha yang tampak sangat waspada. "Kaditula seorang kesatria bhayangkara berwarna perak atau kuning keemasan."

"Kesatria bhayangkara? Maksud lo seperti di Majapahit?" Alis Nawasena bertaut bingung.

"Ya. Bisa aku lihat benda tersebut?"

"Silakan." Nawasena tidak tampak keberatan. Namun, sebelum Agha menyentuh Kaditula tersebut. Dia mendadak berjalan mundur. Lalu sorot matanya berubah tajam menatap Nawasena. "Lo ini siapa sebenarnya?"

__///___/_///__
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro