39
Jatuh dengan pantat lebih dulu adalah hal yang menyebalkan bagi Astrid. Sebelum dia menarik napas lega. Puluhan anak Genderuwa melompat turun ke bawah. Kaditulanya bergerak dengan menebas setiap kepala yang bernasib sial. Hingga percikan koloid berwarna merah memenuhi wajah dan tubuhnya. Kendati demikian, Astrid tetap bergerak ke depan untuk membunuh semua Genderuwa.
Di sela-sela pertarungan tersebut. Dia meneliti dinding tanah yang terpahat dengan baik. Ruangan itu berukuran sebesar tanah lapang. Dengan satu pintu keluar yang terdapat di ujung.
Begitu kepala terakhir Genderuwa berhasil tergeletak di bawah kakinya. Napas Astrid tersenggal-senggal. Merah adalah warna yang mendominasi. Dari atas lubang, debu masih menyelimuti.
Astrid tahu, dia harus pergi memeriksa ruangan di ujung sana. Sisa pertarungan di atas permukaan masih bisa diselesaikan oleh Senopati yang lain.
Dengan langkah waspada akan jebakan. Astrid pun melangkah memasuki lorong gelap di balik pintu. Sejauh mata memandang, tidak ada cahaya matahari yang berhasil menembus.
"Anjana Askara," seru Astrid hingga bilah kaditulanya bersinar terang. Lorong itu sepi, hanya terdengar langkah kaki. Sayup-sayup terdengar erangan dan napas kasar seseorang.
Wanita itu berhenti melangkah. Di arahkan cahaya kaditula pada dinding lorong yang menangkap siluet tubuh Nawasena yang sedang kelelahan dengan keringat di sekujur badan.
"Lo!" seru Astrid yang mengenali wajah Nawasena sebagai buronan kemaharajaan. "Lo dalang dari semua ini?"
Nawasena masih terlalu kelelahan menjawab pertanyaan Astrid. Energinya sudah terkuras habis berjam-jam membantai mayat anak Genderuwa di ruangan lain.
"Jawab!" ketus Astrid dengan sikap mengancam. "Lo dalang dari semua ini? Seorang Tucca yang merencanakannya?"
"Tidak ada hukum yang membuat gue harus menjawab pertanyaan lo."
"Oh, ya?"
Tanpa di prediksi. Astrid berpindah cepat untuk menebas leher Nawasena. Sayang, pergerakan itu dibaca Nawasena dengan memindahkan diri sebelum lehernya bisa putus. "Jangan paksa gue untuk berlaku kasar pada wanita."
"Enggak usah sok bijak."
Dari satu titik ke titik yang lain. Astrid terus mengayunkan kaditula setiap Nawasena berpindah. Seumur hidup, ini adalah pertarungan pertama Astrid melawan seorang Tucca. Dia sendiri juga tidak menduga, bahwa pergerakan Nawasena sangatlah efisien. Akibatnya, keduanya terlihat seperti saling kejar-kejaran.
Astrid tidak memberi jeda untuk berhenti menyerang. Dia terus melesat ke mana pun Nawasena menghindar. Pertarungan ini memakan waktu setengah jam sebelum sesuatu dari arah tidak terduga membuat kaditula Astrid terlepas.
Dari ujung kegelapan. Kaditula hitam Nawasena bersinar keunguan. Dia sudah kehilangan kesabaran untuk tidak membalas Astrid. Hanya sedetik, kaditula itu terlempar. Sebelum kembali di genggaman Astrid.
"Kaditula terkutuk," gumam Astrid dengan mata mengawasi. "Bagaimana lo bisa memilikinya? Membunuh makhluk hidup?"
"Sudah gue bilang. Tidak ada aturan yang membuat gue harus menjawab pertanyaan tersebut. Gue juga tidak punya keinginan melukai lo."
Astrid tertawa mencemooh. Tidak peduli dengan ocehan Nawasena. Kegelapan masih menyelimuti keduanya hingga mendadak, Nawasena jatuh merosot sambil meremas dadanya sendiri.
Di belakang Nawasena. Seberkas cahaya perlahan menyinari dan memenuhi seluruh lorong. Langkah kaki yang tidak terdengar membawa Eril yang sedang meremas sebuah jantung.
"Wah. Ini benar-benar kejutan. Lo udah cukup berubah setahun terakhir."
Nawasena tidak menyangka bahwa ada kehadiran orang lain. Hawa keberadaan Eril tidak bisa ia prediksi. Nawasena merasa masih kalah jauh bertarung dengannya.
"J- Jantung gue," keluh Nawasena.
Eril melirik sekilas ke jantung tersebut. Lalu mengganguk kecil. "Masih terjaga baik."
"Harusnya lo hancurkan jantung itu secepatnya!" sela Astrid yang melangkah lebih dekat untuk mendesak Nawasena. "Tucca tidak boleh hidup di kemaharajaan. Lo terlambat datang."
Diam-diam, setelah mengetahui keberadaan Nawasena. Astrid mengirim pesan lewat telepasti kepada pria itu untuk meringkus Nawasena bersama.
"Gue tahu itu, As. Jangan berteriak."
"Bunuh sekarang juga!"
"Tidak semudah itu."
"Apa lo bilang? Eril, kalau lo seperti ini. Lo bisa dianggap pengkhianat."
Nawasena sama sekali tidak ingin mendengar perdebatan tersebut. Dadanya terasa sesak dan nyeri yang sampai menembus tulang belakang. Rasa sakit itu tidak mampu membuatnya berdiri bahkan menggenggam kaditula.
"Gue jauh lebih tahu apa yang gue lakukan." Eril pun mendekati Nawasena. Seberkas cahaya berkilauan mendadak bersinar terang hingga Nawasena harus memejamkan mata. Saat cahaya tersebut meredup. Dia merasakan sebuah detak jantung dibalik dadanya.
"Kau!"
Astrid benar-benar geram dengan tingkah Eril. Bahkan, Nawasena cukup tersentak saat Eril berdiri di depannya demi menangkis serangan Astrid.
"Ini pengkhianatan," seru Astrid dengan tatapan kecewa. "Lo mengkhianati kemaharajaan."
Bilah keduanya saling beradu dan tumpang tindih. Tidak ada yang bergeser sekalipun. Pertarungan itu cukup seri di penglihatan Nawasena.
"Hey, bocah. Apa lo tahu apa yang terjadi di sini?"
Nawasena agak tersentak, saat Eril berbicara padanya. "Ceritanya panjang dan bukan gue pelakunya."
"Gue tahu itu."
"Apa?" sela Astrid yang masih berusaha menekan kaditulanya untuk melukai Eril.
"Dengar As. Lo lupa? Pembahasan kita beberapa lalu?"
"Aliansi?"
"Binggo."
Astrid pun melompat mundur ke belakang. Memberi ruang agar Eril melanjutkan perkataanya. Melihat itu, anggota paling loyal di antara Senopati ini tersenyum lega.
"Sapta Syam masih menjadi dalang."
"Dan bocah itu," timpal Astrid dengan nada mencibir.
Nawasena memilih diam. Jika kedua orang itu tahu, dia menjadi bagian dari kelompok tersebut. Nawasena yakin, Eril tidak akan membiarkannya melihat cahaya matahari lagi.
"Mereka sedang membangkitkan sesuatu di bawah sini. Gue punya informan yang bisa meyakinkan hal itu. Nawasena hanya berada di tempat yang salah."
"Dan kenapa lo enggak membunuhnya? Seharusnya gue memanggil Yudha tadi." Astrid masih kecewa dan menyesal soal ini.
"Mereka terlibat pertarungan dengan perwakilan Sapta Syam."
Perwakilan yang dimaksud adalah golongan petinggi yang bekerja di dalam organisasi tersebut. Sampai saat ini. Tidak seorang pun tahu dengan pasti sosok Sapta sendiri. Kecuali para perwakilan yang bertugas sebagai tangan kanannya.
"Dua dari mereka yang memimpin kekacauan. Bersyukurlah lo dan gue bisa berhasil ke bawah sini. Sekarang, fokus pada tujuan keamanan."
"Tidak. Membunuh hama di belakang itu termaksud keamanan."
Eril hanya memutar bola mata malas dengan tekad Astrid. Namun, dia sendiri tidak akan membiarkan wanita itu melukai Nawasena.
"Nawa, dengarkan gue," bisik Eril dengan nada suara yang hanya di dengar keduanya. "Sekarang. Pergi ke arah tadi gue dan Astrid datang dan keluar dari sini. Terserah, lo mau ke mana. Yang pasti, jangan terlihat oleh rekan gue yang lain."
"Mengapa?"
"Gue percaya sama lo."
"Eh?"
Nawasena tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Eril. Di tambah, Astrid terus mencari celah melewati pengawasan Eril demi membunuh Nawasena.
"Lo adalah Nawasena Auriga. Lo pikir, gue enggak tahu siapa lo? Jantung lo itu jaminan yang diminta Raksa Auriga. Tugas gue sudah kelar. Sekarang pergi."
Belum sempat Nawasena merespon. Eril sudah mendorong tubuhnya dengan kuat hingga terpental jauh.
Nawasena hanya bisa berkedip saat mendarat di bawah lubang yang memiliki sinar matahari. Dia tertengun, dengan terlibatnya Raksa dalam kehidupannya.
Sejak awal. Kakaknya tahu apa yang terjadi dan mengawasinya diam-diam dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Hal ini membuat perasaan Nawasena bercampur aduk dan tekadnya menghancurkan kemaharajaan semakin bertambah besar.
_///___/____/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro