Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Arya dan Agha secara serempak maju, bersiap untuk menyerang. Pertarungan tidak dapat dihindarkan. Gayatri menarik tangan Magma dan segera berlari ke ruangan yang dijaga.

"Sialan! Kalian teman-teman monster itu ya?"

Semua Kaditula dikeluarkan oleh masing-masing pemiliknya. Gayatri pun berlari sambil mengarahkan ujung tombaknya.

Bunyi kedua senjata berdeting nyaring. Tombak Gayatri, ditangkis begitu mudah dengan sebuah pedang yang bilahnya menyerupai bilah keris yang berkelok-kelok.

"Menyusup di parlemen. Artinya kalian semua cari mati."

Gayatri tidak peduli dengan seruan tersebut. Ia kembali melakukan serangan tanpa jeda. Berusaha mencari titik untuk melukai lawan. Akan tetapi, seperti namanya. Mereka yang menjadi kesatria bhayangkara adalah orang-orang pilihan. Mustahil untuk dikalahkan begitu mudah.

Pertarungan ini seimbang. Setiap Gayatri ingin menusuk, gerakan bilah pedang bergerak menangkis, lalu berubah haluan memberikan serangan balasan.

Kaki Gayatri, perlahan-lahan dipaksa mundur. Kecepatan dan ketangkasan lawan dihadapannya membuatnya terjebak. Beberapa sabetan Kaditula telah melukai lengannya. Tetapi, bukannya merasa terdesak. Gayatri tersenyum tipis.

"Wanita gila," cibir si penjaga.

"Oh, ya?"

Tombak Gayatri terlepas dari genggaman. Sebagai gantinya, ujung bilah yang tajam menghunus leher wanita tersebut. Dengan sedikit dorongan, leher Gayatri akan tergorok dengan mudah.

Alarm tanda berbahaya berbunyi nyaring. Magma sedang berusaha mengacak-acak lingkaran sihir yang terpasang. Kesempatan tersebut pun dimanfaatkan Gayatri dengan menghantamkan lututnya ke area selangkangan lawan.

"Arghhh! Dasar jalang!"

Gayatri pun menghunuskan ujung tombaknya pada leher penjaga tersebut. "Buka pintu tersebut."

"Lo pikir gue akan mengatakannya? Lebih baik mati terhormat daripada mengikuti perintah musuh."

"Yakin?"

"Menurut lo?"

Gayatri tersentak, sebuah tendangan membuat tubuhnya limbung.  Kemudian lawan pun mengeluarkan sebuah benang merah dan merapalkannya pada Gayatri.

Tidak ada yang bisa Gayatri perbuat. Benang merah itu meredam semua tindakannya dan paling fatal menyerap energi sihirnya.

Agha dan Arya semakin sibuk menghalau ribuan prajurit yang datang. Tidak ada waktu untuk memperhatikan Gayatri. Sementara itu, Magma yang mencoba menyelinap ditarik paksa dengan menjauh dari pintu.

"Beri jalan! Senopati ada di sini."

Keributan jeda sebentar. Semua mata tertuju pada kehadiran seorang pria dengan garis mata yang terluka. Perawakannya tinggi, otot-otot bisepnya tampak mencolok dan kulitnya yang sedikit kecoklatan akibat sering terpapar sinar matahari.

"Senopati Javas." Para kesatria membungkuk hormat. Javas mengganguk, lalu perhatiannya teralihkan pada Agha.

"Lo sudah gila, hah?" Marah Javas. "Apa lo ingin mempermalukan gue?"

"Ini bukan urusan lo," ucap Agha tidak peduli.

"Akan jadi urusan gue karena ini teritorial gue sebagai seorang Senopati, bukan watek seperti lo."

"Berikan Nawasena pada gue. Pemuda itu milik gue."

"Oh, ya? Monster itu? Jangan bikin malu keluarga, Agha. Gue udah cukup bersabar akan tindakan lo selama ini."

Semua orang mendadak tercengang. Mereka silih berganti menatap Agha dan Javas. Bila diperhatikan lebih seksama. Keduanya memiliki proporsi yang sama. Walau wajah keduanya tampak berbeda, mereka memiliki bola mata yang mirip.

"Hmm." Javas menghela napas. Lalu melirik seluruh kesatria bhayangkara. "Kalian semua berjaga di depan ruang isolasi. Biarkan gue mengajari saudara kembar gue ini. Tentang apa konsekuensi dari melanggar aturan dan melawan kemaharajaan."

Arya membulatkan mata, ia menatap tidak percaya pada Agha. Jika Agha dan Senopati Javas saudara kandung. Seharusnya mereka tidak perlu menyelinap. Namun, Arya juga sadar. Tindakan itu percuma, sebab ikatan mereka sebagai seorang saudara tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Agha, apalagi yang lo rencanakan?" tanya Javas. "Yudha udah menegur lo sebelumnya. Mengapa lo malah bersikap kurang ajar seperti ini demi seorang Tucca? Darah kotor seperti itu tidak patut untuk dikasihani."

Agha tidak menjawab. Tapi gerakannya terbilang cepat untuk menghabisi Javas. Belum juga, mendekat. Ia sudah terpental jauh.

"Lihat. Bagaimana Ibu tidak khawatir? Si Bungsu tidak pernah bisa menjaga diri, tidak pernah belajar dari kesalahan. Ayolah, Agha. Berhenti bermain-main. Gue udah paham betul cara lo bertarung."

Tidak mempedulikan ocehan Javas. Agha kembali merapalkan mantra. Cahaya yang seperti arus listrik menari-nari di telapak tangannya. Kemudian, ia melesat cepat untuk menghantam wajah Javas.

"Oh, hebat." Tangan Agha tertahan oleh sebuah medan magnet. Tepat, beberapa senti meter dari wajah Javas. "Rasakan ini."

Agha merasakan pukulan tidak terlihat mengenai perut bagian tengahnya. Lalu hantaman dari tulang pipi bagian kanan.

Arya tercekat. Dia tidak bisa membantu. Level pertarungan ini bukan miliknya. Para kesatria bhayangkara pun berdiri melingkarinya, mengawasi Arya untuk tetap diam di tempat. Lalu ia melirik saat Gayatri dipanggul seorang pria di atas pundaknya dan seorang bocah yang berteriak minta turun dari bawah ketiak.

"Ya, Dewa! Lo membawa anak dan istri lo ke sini?" Javas terbelalak menatap Gayatri dan Magma.

Agha menoleh, binar matanya berubah melihat tangan kesatria bhayangkara yang menyentuh bokong Gayatri. Amarahnya mendadak menyeruak dan tanpa bisa dicegah, dia melayangkan tinju dari bawah dagu yang menghantam kesatria tersebut sampai menubruk platfon hingga hancur.

"Beraninya tangan kotor itu menyentuhnya!!"

Gayatri tersentak. Dia tidak pernah melihat Agha yang semarah ini. Magma sudah melarikan diri untuk membantu melepaskan ikatan Gayatri.

"Agha!" teriak Gayatri. "Tenanglah! Jangan habiskan energi lo. Kita belum membawa Nawasena."

Agha menarik napas, lalu menghembuskannya. Javas, berusaha menahan kesatria yang dibawah pimpinannya untuk balik menyerang. Sebagai ganti, kepala Agha sudah berada di bawah lengan Javas.

"Tangkap mereka bertiga dan bawa ke sel bawah tanah," titah Javas pada anak buahnya. "Kejadian ini akan gue laporkan ke pengadilan dan lo."

Dia melirik Agha yang sedang berusaha melepaskan diri. "Diam atau lo enggak akan bisa melihat wanita itu lagi."

Perlawanan Agha melemah. Dia terkulai menatap Gayatri. Javas tersenyum meremehkan. Agha tidak pernah berubah dan mudah untuk digertak.

Tetapi, tidak ada yang mengira. Bahwa Agha secara mengejutkan, telah menikam perut Javas dengan sebuah keris berwarna keperakan. Semakin dalam Agha mendorong keris tersebut, semakin banyak darah yang tumpah.

"L- lo?" Napas Javas tercekat. Dia melepaskan rengkuhannya pada Agha. Berpikir bahwa Javas akan merintih, kenyataannya tidak.

Dia tersenyum lirih dan menghentakkan Agha sampai kepala pria tersebut menghantam tanah. Wajah Agha perlahan memucat dan membiru.

"Kurung mereka semua dalam sel yang terpisah!"

Titah Javas adalah mutlak. Dia menatap sinis pada Agha yang terkapar seperti ikan yang kesulitan bernapas. Lalu menendang perut sang adik hingga membuat Agha pingsan dalam sekejap.

...

"Kita akan jadi buronan." Magma mengeluh dari salah satu sel. Di ruang sebelah ada Arya yang sedang meringkuk. Tampaknya, dia cukup terguncang.

"Jadi?" balas Gayatri muram. "Lo ingin apa?"

Sel di hadapan Magma ditempati oleh Gayatri. Tempat itu lembab dan berbau lumut. Dindingnya basah oleh tetesan air dari langit-langit.

"Rencana ketiga. Apa lagi?"

Gayatri mengerutkan alis. "Maksud lo apa bocah? Gue masih syok kalau tahu, Javas adalah saudara kembar Agha. Di tambah, level kekuatan Javas yang jauh di atas kita. Yeah, dipikir-pikir. Kekuatan Senopati memang setara 1000 Hero Bhayangkara. Kita bertiga hanya nyamuk."

"Jangan mengeluh." Magma tertawa ringan. Suaranya yang ceria mendadak berubah menjadi berat. Merasa ada yang janggal, Gayatri pun menoleh.

"Apa?" Magma malah bertanya pada Gayatri yang sedang menatapnya.

"Suara lo, barusan terdengar seperti orang dewasa."

"Oh, ya?" Magma malah memasang wajah polos. "Kakak salah dengar mungkin. Tapi, kita tunggu sebentar. Perangkapnya akan aktif saat mereka membuka pintu tersebut."

"Bukannya pintu itu disegel?"

"Memang. Karena tidak bisa dibuka. Magma menaruh perangkapnya. Mau tidak mau, para Senopati akan datang menghampiri. Magma menuang racun Kuping Gaja dan Tanaman Dollar di sana. Cepat atau lambat, racun itu akan menyebar ke seluruh gedung dan membuat mereka kehilangan kemampuan bernapas."

"Apa?" Gayatri terbelalak. "Dasar bocil kematian! Lo akan membunuh semua orang. Kita tidak lagi menjadi pengkhianat tapi pembunuh!"

__//___//____///__
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro