Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Jika sebelumnya Aryo jarang sekali punya waktu sendiri, saat dalam masa perawatan seperti ini dia tiba-tiba punya banyak waktu. Dia tidak tahu apa yang diberikan oleh dokter-dokter itu padanya, tapi tenaga dan staminanya pulih cepat. Luka dalam dan luar juga sudah hampir sembuh. Dia tahu dia bisa saja pergi dari tempat ini, tapi entah kenapa dia tidak mau. Rasa penasarannya sudah terusik dengan keberadaan Janice Kaliani. Wanita dingin, kaku, yang pelit sekali dengan kata-kata. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak lagi. Misal, tentang kegiatan Janice sehari-hari, atau kebiasaan wanita itu.

Janice akan bangun pukul empat pagi. Darimana dia tahu, karena dia berdiri di depan kamar Janice sejak pukul tiga dan mendengar ada aktifitas di dalam kamar pada pukul empat. Ada apa sih dengan orang-orang di sini? Jam empat itu masih malam. Selama ini dia pikir Arsyad adalah satu-satunya orang yang mau berlomba dengan ayam jago. Tapi ternyata Edward dan Janice akan mulai aktifitas mereka di jam yang sama.

Wanita itu keluar dari kamar pukul lima pagi. Tubuh Janice sudah dibalut dengan sport bra dan kaus tanpa lengan longgar, serta legging olahraga. Rambut Janice yang panjang di kuncir tinggi. Itu membuat rahang wajah Janice terlihat sempurna. Janice seksi sekali.

Wajah Janice terkejut melihatnya berdiri di depan kamar sambil bersender dengan dua tangan yang bersedekap. Dia sudah mandi dan wangi. Harusnya dia terlihat keren. Refleksnya adalah tersenyum sambil menyapa.

"Pagi. Mau latihan?"

Lagi-lagi Janice diam dan mengunci kamar. Kemudian berjalan menyusuri koridor seolah dia tidak ada. Dia mensejajari langkah Janice. Wanita itu berhenti di sasana. Melakukan peregangan dengan dia yang berdiri diam memperhatikan. Janice benar-benar tidak memperdulikannya. Hah, ini akan sulit sekali. Setelah lima belas menit, Arsyad muncul dari arah dalam. Hadeh, gangguin aja.

"Pagi," Arsyad menyapa.

Kepala Janice mengangguk dan menjawab Arsyad. "Pagi, Tuan."

"Kok lo jawab Arsyad dan nggak jawab gue?" protesnya kesal.

"Saya tunggu di luar," ujar Janice tidak menghiraukannya lalu wanita itu keluar.

Arsyad melakukan pemanasan tidak menghiraukannya. Akhirnya dia melakukan pemanasan juga.

"Syad, Janice itu bisa ngomong. Tapi nggak mau ngomong sama gue. Gimana caranya biar dia mau ngomong sama gue?"

"Ada apa dengan Janice? Kenapa lo penasaran banget?" Arsyad bertanya kembali.

"Lo nggak sadar kalau sekertaris lo itu cakep banget ya?"

"Enggak. Buat kami Janice itu saudara."

"Bagus. Lo sama Sabiya aja sana."

"Ingat, lo masih hutang maaf sama Sabiya. Gue akan pastikan Sabiya nggak akan kasih gampang buat lo."

"Iya iyaa. Sekalipun gue yakin hati Sabiya mah baik, nggak kayak elo."

"Nggak perlu puji-puji istri gue depan gue." Arsyad mulai kesal.

"Ciyeee...gitu aja cemburu."

Kepala Arsyad menggeleng lalu menyudahi pemanasannya. Dia mengiringi langkah Arsyad keluar.

"Kok gue nggak pernah tahu lo punya rumah segede gini?" tanyanya lagi.

"Banyak yang lo nggak tahu, dan nggak perlu tahu."

"Iya juga sih. Kita kan musuh yang benci tapi rindu."

Arsyad memberi tatapan tidak percaya padanya. "How many of my team did you kill, Yo? Dan sekarang lo ngomong kita kayak udah temenan lama."

"Heh, pertanyaan yang sama buat lo. How many of my men did you kill, huh? Menurut lo, lo doang yang bisa bahasa Inggris. Kita sama-sama udah bunuh banyak, Syad. Mereka sudah mati. Nggak bisa di apa-apain. Tapi gue dan elo, itu masih ada harapan." Mereka sudah berdiri berhadapan di pelataran luas rumah Arsyad.

"Harapan? Buat apa?"

"Mau lo itu apa sih, Syad? Kemarin lo mau nyerah. Gue tolong lo..."

"For God's sake jangan bawa-bawa itu terus karena gue nggak berhutang apapun sama lo," potong Arsyad.

"Gue nggak bilang lo hutang sama gue!!" nadanya sudah tinggi. "Gue cuma nggak ngerti mau lo apa? Kalau lo mau musuhan sama gue terus, kenapa lo dan orang-orang lo selamatin gue? Harusnya kalian bisa aja biarin gue mati di sana kan." Tangannya bertolak pinggang makin kesal.

"Sekarang gue udah di sini. Sehat dan Hidup. Gue mau mulai sesuatu yang baru. Tapi lo terus ungkit-ungkit apa yang udah lewat. Jadi gue tanya mau lo apa?" teriaknya kesal.

Mata Arsyad menatapnya dalam. Dia tidak gentar, tidak pernah. Hanya dia bingung tentang siapa dirinya sekarang. Seluruh penolakan Arsyad, juga Janice membuat dia makin bingung saja. Apa dia penjahat? Orang baik? Daud? Atau Kusuma saja? Siapa dia? Apa yang dia mau dan tuju? Dimana rumahnya?

"Lo harus memutuskan dimana posisi lo, Yo. Kasih tahu gue kalau lo sudah memutuskan baru setelah itu gue akan kasih tahu lo apa mau gue," ujar Arsyad dengan suara yang ditekan.

"F*ckk!!" singitnya lagi.

Arsyad berlalu untuk mulai berjalan cepat mengelilingi halaman rumahnya yang sangat luas dengan Janice yang mengiringi. Tubuhnya diam di sana, berhenti. Dia merasa tidak diterima, tapi juga dia keras kepala dan tidak mau pergi. Jika manusia-manusia ini bersikukuh menolaknya, dia akan bersikukuh tinggal.

Sejak dulu, dia selalu suka segala sesuatu yang menantang egonya sendiri, seperti Fayadisa. Dan sekarang, seperti wanita yang sedang berjalan bersama Arsyad itu.

***

Hari-hari Janice terasa seperti di neraka. Bagaimana tidak, Aryo yang sudah membaik saat ini selalu berada di sekelilingnya. Saat dia bangun pagi, Aryo sudah akan menunggu di pintu dengan pakaian olahraga. Aryo selalu menyapanya ramah, lalu berjalan mengikutinya kemana-mana. Lalu kemudian, Aryo akan muncul lagi di dapur mereka satu-satunya untuk sarapan. Sungguh hal itu membuat dia kehilangan selera makan. Persis seperti pagi ini.

"Kaki lo udah nggak apa-apa?" tanya Aryo dari seberang meja.

Matanya melirik sejenak lalu kembali pada tabletnya. Kopi dia hirup sambil berharap dia bisa melempar gelas kopi panas ini ke wajah laki-laki di hadapannya.

Si aneh itu menggeram kesal karena dia sama sekali tidak perdulikan. Kemudian Aryo berdiri dan menggeser mudah meja besar di hadapan mereka. Setelah itu Aryo berjalan ke arahnya. Dia yang masih heran bereaksi sedikit terlambat saat Aryo berjongkok di hadapannya sambil mengulurkan satu tangan untuk menyentuh betisnya yang terluka kemarin itu, refleks satu kaki lainnya adalah menendang kepala Aryo cepat dari samping.

Gerakan Aryo sama cepat langsung menangkap kakinya itu. "Gue bisa plintir dan lo jatuh dari kursi. Serius."

Tangan kurang ajar laki-laki itu dengan cepat menggeser celana pantalonnya dan memeriksa luka kemarin. "Sudah kering tapi..."

Kaki dia ubah posisi lalu salah satunya menendang bahu Aryo kuat hingga laki-laki itu bergeser menjauh. Emosi sudah mulai naik hingga kepala.

"Itu akibatnya kalau belagak bisu." Aryo berdiri setelah menepuk bahu yang tadi dia tendang.

Tubuhnya juga sudah berdiri dan dia menatap Aryo murka.

"Lo bisa jawab pertanyaan gue pakai kata-kata, tapi lo diam aja," ujar Aryo.

Saat seluruh kalimat makian dia ingin lontarkan keluar, ayahnya masuk ke dalam ruangan. Mulutnya langsung bungkam.

"Selamat pagi," ujar Edward menatap mereka berdua.

"Pagi Edward. Mau kopi?" sahut Aryo.

"Tidak perlu. Bagaimana kondisi anda hari ini, Tuan?"

"Sangat baik," senyum Aryo terkembang. Mata Aryo masih menatapnya. "Terimakasih Edward karena sudah berbicara selayaknya orang normal pada saya. Bukan diam dan pura-pura bisu atau gagu."

Tangan dia kepalkan kuat.

"Saya ada perlu dengan Janice." Ayah menatapnya. "Jen..."

Tubuh ayah sudah berjalan menjauh dari area itu dan dia berjalan menyusul. Ketika berada dekat dengan manusia laknat itu, dia berbisik penuh ancaman.

"Sentuh saya lagi, lalu kamu akan saya mutilasi," desisnya.

Aryo terkekeh senang. "Gimana caranya?"

"Saya punya seluruh akses untuk membuat kamu tidur lebih lama."

"Rencana bagus. Gue tunggu realisasinya."

***

Hari yang lain.

Latihan fisik akan segera dimulai untuk mengembalikan seluruh kekuatan Arsyad dan Aryo. Dia dan ayah sedang mempersiapkan segalanya. Tubuhnya sedikit lelah karena seharian ini dia mengawasi para wanita Daud yang sudah mulai bergerak. Mareno dan Niko yang menyusun rencana. Seperti biasa Mahendra sendiri akan memeriksa dan menelusuri setiap detailnya. Memastikan tidak ada yang terlewat. Dia tidak meragukan rencana itu. Tapi segala situasi yang berbahaya membuat dia dan ayah harus selalu siaga.

Ayah sedang ke luar dan baru akan kembali dua hari lagi. Sedang melakukan pemeriksaan cermat tentang Roy Hartono. Jadi dia yang bertugas memeriksa segalanya malam ini. Dia pergi ke ruang kendali dan duduk menatap seluruh layar CCTV. Seluruh koridor aman, pintu depan dan pekarangan juga aman.

Dia berpindah pada kamar Arsyad. Mereka tidak memasang CCTV langsung ke dalam kamar, tapi memasang alat pemindai panas tubuh hingga mereka bisa tahu bahwa Tuan mereka berada di dalam kamar atau tidak. Kamar Arsyad tidak masalah. Dia yakin Tuan-nya itu sedang membaca buku jika kesulitan tidur. Karena titik merah itu ada di sana. Tapi saat dia memeriksa kamar Aryo, laki-laki itu tidak di sana. Dahinya mengernyit heran lalu memeriksa kembali seluruh area.

"Angel, pindai seluruh area. Dimana Aryo Kusuma?" tubuhnya sudah berdiri. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa cemas.

"Memindai." Angel berbunyi bip lalu berujar lagi. "Diduga Aryo Kusuma berada di batas pada area utara."

"Apa ada kamera di sana?"

"Tidak ada, hanya sensor gerak saja" jawab Angel.

Kemudian dia berjalan cepat menuju area yang disebutkan Angel tadi. Kecemasannya hanya karena satu alasan saja, dia takut Aryo membocorkan keberadaan tempat ini pada Herman dan menghancurkan seluruh rencana.

Kakinya terus berlari sambil berbicara pada Angel melalui earphone. Memastikan Aryo masih pada perimeter area. Jika tidak, dia akan segera menghubungi para penjaga untuk menghentikan laki-laki itu apapun resikonya. Dia sudah berada di luar pekarangan saat melihat Aryo berjalan dengan langkah lebar menuju ke arah dalam. Tangan Aryo terluka hingga meneteskan darah. Wajah Aryo terlihat marah.

"Darimana?" tanyanya tegas.

"Kenapa? Mulai perduli?" Aryo terus berjalan tidak menghiraukannya.

"Saya tanya darimana?" dia berjalan mengiringi langkah Aryo masuk ke dalam basement lagi.

"Gue tanya alasan lo nanya. Jawab dulu, baru gue jawab pertanyaan lo." Aryo masih tidak perduli dan terus melangkah.

Mereka sudah tiba di dapur dan Aryo segera membersihkan luka dengan cara mengguyur lengan di bawah keran kitchen sink.

"Saya tanya karena saya harus memastikan keberadaan tempat ini aman. Kalau kamu mau kabur dan bocorkan dimana tempat ini, itu bisa jadi sangat berbahaya dan saya terpaksa harus membunuh kamu."

Keran Aryo matikan lalu laki-laki itu menatapnya dalam. Satu tangan Aryo meraih pisau yang ada di counter dapur dan memberikan pisau itu padanya.

"Silahkan. Nih pisaunya. Atau lo mau pake senjata yang ada di belakang celana lo? Boleh. Pakai yang mana aja."

Tangannya yang menggenggam pisau mengepal erat. Dia marah dan selalu kesal pada laki-laki ini. Tapi niatnya untuk membunuh sedikit terkikis tiba tiba.

"Cepetan gue banyak urusan. Bukan lo doang yang sibuk."

Tidak ada tatapan konyol nan menyebalkan, hanya ada sepi dan luka yang dalam. Juga banyak kemarahan. Tunggu, apa itu pantulan matanya sendiri? Kenapa tatapan Aryo sama dengan pancaran matanya sendiri saat dia bercermin?

Aryo kemudian mulai bergerak lagi mencari-cari sesuatu. Entah apa. Laki-laki itu membuka laci-laci dan tempat penyimpanan, lalu mengambil tang besar, senter, serta satu buah kardus kosong. Karena penasaran, dia berjalan mengikuti kemana Aryo pergi. Untuk memastikan laki-laki itu tidak kabur. Ya, hanya itu alasannya.

Area pekarangan memang tidak semuanya tersorot lampu. Ada bagian-bagian yang gelap karena belum selesai seluruh instalasi keamanannya. Dia baru sadar bahwa Aryo mengenakan kaus, celana pendek, dan running shoes hitam tanpa kaus kaki. Tubuh Aryo juga sedikit berkeringat. Apa Aryo tadi sedang berolahraga?

Kemudian dia mendengar sayup-sayup suara kucing saat mereka berjalan mendekati salah satu pagar pembatas area. Pagar utama sudah berdiri tegak, tapi karena luasnya area, sisa pagar belum terpasang semua. Jadi beberapa bagian masih menggunakan pagar kawat saja.

Senter sudah Aryo nyalakan lalu dia tahu apa yang Aryo berusaha lakukan. Ada seekor kucing kecil yang tersangkut pada pagar kawat itu. Aryo sudah berjongkok dan meletakkan kardus lalu memberikan senter padanya.

"Bantuin. Kalau nggak, pergi dari sini," ujar Aryo.

Dia tidak memperdulikan hal itu dan sudah menerangi area dimana si kucing terjepit. Aryo dengan hati-hati memotong kawat-kawat itu dengan tang yang dia bawa dari dalam. Perlahan hingga kawat tidak melukai si kucing kecil.

"Kalian nggak bisa apa pasang pagar yang benar? Arsyad nggak punya duit atau apa?" omel Aryo tiba tiba. "Gimana kalau kawatnya karatan?..." Aryo terus mengomel sementara dia diam mengamati laki-laki itu heran.

Aryo Kusuma. Satu-satunya lawan seimbang Arsyad Daud. Musuh utama. Dia hafal luar kepala seluruh data laki-laki ini. Tinggi, berat badan, warna mata, seluruh deretan keahlian bela dirinya, juga seluruh latar belakang serta kehidupan masa kecilnya. Dia juga tahu cerita tentang Lia. Gadis pertama yang Aryo cinta, hingga laki-laki ini rela menjual kesetiaannya pada Herman si iblis itu.

Saat pertama kali dia melihat Aryo menyelamatkan Arsyad, dia melihat satu sisi Aryo yang lain. Sekalipun, dia tidak percaya begitu saja. Ya, Aryo sudah banyak melakukan kejahatan atas nama kesetiaannya pada Herman. Karena itu sulit sekali untuk dia percaya pada laki-laki ini. Ditambah lagi dengan seluruh perilaku absurd dan aneh juga menyebalkan selama Aryo di sini. Laki-laki ini adalah berandalan sejati yang tidak punya aturan dan seenaknya sendiri. Tapi, melihat Aryo memaki sambil berusaha menolong kucing kecil yang terjepit, bagaimanapun hal itu tidak bisa dia lupa. Dengan hati-hati Aryo meletakkan si kucing kecil ke dalam box tadi.

"Lo denger gue nggak, Jen?" ujar Aryo.

"Enggak."

"Nona, apa anda baik-baik saja? Kami melihat ada cahaya dan gerakan di area utara?" ujar salah satu penjaga di gerbang depan pada earphone-nya.

"Saya baik-baik. Aman di sini, saya hanya sedang memeriksa," jawabnya.

"Percuma ngomong sama lo," dengkus Aryo kesal sambil berjalan membawa kardus berisi kucing itu.

"Heh, mau dibawa kemana?" tanyanya sambil berjalan juga.

"Ke dalam, lihat tuh kakinya luka. Tadi gue udah bilang dan lo nggak dengerin."

"Nggak boleh. Di dalam harus steril..."

"Janice, ini cuma kucing. Bukan mata-mata Herman. Kalian aja berani membiarkan gue di sini."

"Bukan saya, tapi ayah saya yang membiarkan kamu di sini. Saya nggak pernah setuju," balasnya singit.

"Ya karena ayah lo kayaknya jauh lebih punya hati daripada lo sendiri. Heran gue, jadi perempuan galak banget."

"Saya serius itu nggak boleh dibawa ke dalam."

Aryo terus berjalan tidak memperdulikannya. Dia bingung jadinya. Satu tangannya menahan tubuh Aryo yang sudah akan melangkah masuk.

"Saya serius."

Aryo menatapnya tidak percaya. "Apa alasannya? Kenapa nggak boleh dibawa ke dalam?"

"Binatang peliharaan adalah gangguan, distraksi. Kami tidak mau ada distraksi."

"Lo waktu kecil diapain sama Edward sampai jadi kayak begini?" tanya Aryo tepat pada sasaran.

Saliva dia loloskan. Didikan ayahnya kaku dan keras. Tidak ada waktu untuk bermain-main. Jangankan memiliki binatang peliharaan, dia bahkan tidak memiliki teman kecuali si empat saudara. Segala faktor pengganggu di eliminasi.

"Bukan urusan kamu," desisnya kesal.

"Oke..." Kepala Aryo mengangguk. "Urusan lo, bukan urusan gue. Dan urusan gue, bukan urusan lo. Kucing ini, urusan gue. Paham?" Aryo melangkah lagi.

"Tapi..."

Langkah kaki Aryo panjang-panjang tidak menghiraukan protesnya. Sedikitnya dia juga merasa iba pada kucing kecil itu, tapi aturan dari ayahnya jelas. Aryo sendiri tidak bergeming sama sekali. Sibuk mengambil kotak P3K setelah meletakkan box berisi kucing itu di meja makan. Si kucing kecil yang terus mengeong membuatnya tidak tega juga. Ah, jadi gimana? keluhnya dalam hati.

Kemudian Aryo menghangatkan susu, mengambil biskuit kering dari lemari dan menyiapkan mangkuk. Dia menatap itu semua tidak mengerti. Tubuh Aryo sudah duduk di meja, membelai lembut si kucing kecil sambil memberinya susu hangat yang sudah dituang ke dalam mangkuk.

"Setelah ini, gue obatin luka lo. Oke, jagoan. Lo cowok kan? Coba gue lihat dulu lo cewek apa cowok," ujar Aryo pada kucing kecil itu. "Eits, ternyata lo cewek. Nggak apa-apa, cewek juga bisa jadi jagoan. Tapi nanti kalau udah gede jangan galak-galak ya. Cewek galak itu nyebelin."

Dia mendengkus kesal paham benar Aryo sedang menyindirnya.

"Kok lo bisa nyangkut sih? Mau kemana malam-malam? Cewek kalau udah malam nggak boleh keluar sembarangan. Banyak orang jahat di luar..."

Akhirnya dia duduk di salah satu kursi, melihat bagaimana dengan telaten Aryo memberi makan si kucing kecil itu, kemudian mengobatinya sambil mengobrol tidak menentu. Sama tidak menentunya seperti penilaiannya sendiri pada musuh utama Arsyad ini. Karena yang dia lihat bukan laki-laki jahat si pembunuh berdarah dingin. Aryo Kusuma hanyalah laki-laki biasa, dengan insecurity-nya, dengan sikap jahil dan konyol juga sangat kekanakkan terkadang, atau penuh perhatian pada sesuatu yang dia tidak duga. Dasar manusia laknat yang paling aneh.

***

Kitty-kitty-kitty. Miau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro