Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 8

Siap-siap ketawa gegara Tuan gadungan.

***

Malam Aryo panjang karena terus memikirkan luka merah kebiruan serta goresan yang meneteskan darah pada betis kiri Janice. Apa yang terjadi? Dia bertanya-tanya sendiri. Apa Janice terlibat pada misi? Tapi Janice bilang...

"This is what you do to me."

Apa itu karena dia? Karena absen Janice dan kondisi dirinya yang memburuk kemarin akhirnya Janice dihukum? Oleh siapa? Dahinya mengernyit nyeri. Edward? Apa Edward tega? Janice anak perempuannya, anak satu-satunya. Matanya menatap jam di dinding. Pukul empat pagi. Dia tahu dia harus bertanya ke siapa.

Tubuhnya bangkit perlahan dan menarik tiang infus. Sebenarnya dia bisa saja membuka infus itu. Tapi dia tidak mau kondisinya memburuk lagi karena entah kenapa dia yakin Janice akan dihukum karena itu.

Arsyad adalah manusia paling pagi. Seperti ayam jago yang sudah bangun dan berkokok lebih dulu daripada binatang lainnya. Jadi satu tangan mengetuk pintu ruangan Arsyad yang terletak di sebelahnya.

"Spada?" bisiknya sambil mengetuk lagi.

Pintu sudah terbuka dengan sosok Arsyad dengan pakaian rapih dan rambut setengah basah.

"Lo mandi pagi-pagi ya?" tanyanya heran.

"Kenapa?" tanya Arsyad singkat.

"Mau nanya. Sebentaaar aja." Dua tangan mendorong pintu kamar Arsyad hingga terbuka dan dia masuk.

Ada sajadah yang terhampar di sebelah tempat tidur Arsyad.

"Hehehe, iya gue lupa. Lo kan malaikatnya ya. Gue nggak solat bukan karena nggak bisa. Tapi kayaknya gue udah kebanyakan dosa, Syad." Entah kenapa tiba-tiba dia terusik dan merasa harus menjelaskan pada Arsyad.

"Bukan urusan gue. Ada apa?" tanya Arsyad datar.

Tubuhnya berbalik menatap Arsyad yang sedang berdiri dengan jarak tujuh langkah.

"Oke. Pertama, lo hutang budi sama gue jadi lo harus bantu gue." Kalimat pembuka yang bagus.

"Gue nggak berhutang sama siapapun," sahut Arsyad datar.

"Syad, lo udah gue selametin waktu ADS meledak. Jadi lo hutang nyawa sama gue."

"Gue nggak merasa gue hutang budi. Hidup mati gue bukan di tangan lo. Jangan buang waktu gue, ada apa?"

"Ck...pokoknya lo harus bantuin gue." Dia menatap Arsyad tegas dan manusia robot di hadapannya ini tidak bergeming. Dia merasa Arsyad dan Janice serupa, cuma berbeda jenis kelamin. Ini akan sulit sekali. Ah, sial.

"Soal Janice. Semalam dia datang periksa gue, dan kakinya berdarah. Gue khawatir. Ini serius, Syad. Apa lo tahu kenapa?"

"Lo tembak Sabiya, lo lukai Faya. Sekarang Janice?" Mata hitam gelap Arsyad menatapnya dingin.

Sh*t. Kalimat Arsyad menikam dadanya. Saliva dia loloskan. "Gue salah, semua itu gue salah. Tapi sumpah gue nggak bermaksud melakukan itu semua. Dulu, terlalu banyak emosi yang akhirnya gue kayak gila sendiri."

"Jadi lo masih merasa gue berhutang sama lo?" ujar Arsyad. "Satu-satunya alasan gue nggak bunuh lo sekarang adalah karena itu..." Arsyad menunjuk sajadahnya.

"Ah, siaaal. Iya gue salah. Jangan bawa-bawa Tuhan dong, Syad. Gue lebih pilih dimaki-maki." Rasa bersalah membanjiri dadanya hingga terasa sesak. Dia merasa sangat berdosa, lebih berdosa daripada sebelumnya.

"Nggak perlu, buang-buang energi."

Nafas dia hirup panjang. "Oke, oke. Gue akan perbaiki kesalahan gue...ah siaaal. Kenapa jadi gini sih topiknya? Gue ke sini karena mau tahu soal Janice. Lo harus tolongin gue."

Arsyad diam menatapnya.

"Please?" dahinya mengernyit kesal. Dia bersumpah jika Arsyad menolak memberi tahu dia akan mulai menghantam Arsyad dengan tiang infus yang dia genggam.

"Gue akan jawab apa yang gue mau jawab. Dengan satu syarat."

"Hrrrghhhh...brengsek lo. Oke, oke. Apa?"

"Setelah ini, lo minta maaf pada orang-orang yang pernah lo sakiti. Istri gue, Sabiya. Fayadisa dan Hanif suaminya..."

"Haaaahhh!! Oke dengan Sabiya dan Faya. Tapi gue pass soal Hanif the brengsek."

Kepala Arsyad mengangguk dengan ekspresi wajah datar. "Oke. PIntu keluar ada di sana." Pintu ruangan Arsyad tunjuk.

"Hanif yang rebut Faya dari gue. Dia emang adik lo, tapi..."

Arsyad mengacuhkannya dengan cara melangkah mengambil kitab suci di atas meja dan duduk di pinggir tempat tidur untuk mulai membaca.

"Syad, Syad. Stop Syad. Nanti gue kebakar."

Satu tangan Arsyad membuka buku tebal itu lalu dia menyerah. "Oke, oke. Iya. Gue minta maaf sama mereka setelah ini. Tolong jawab gue."

Mata Arsyad menatapnya tidak percaya. "Lo beneran takut sama ini?" Arsyad menunjuk kitab suci di tangannya.

"Bukan, gue takut sama yang bikin. Sumpah kalau lo mulai baca terus gue kebakar, terus masuk neraka gimana? Lo mau cariin dan tolongin gue nggak?"

Arsyad menghirup nafas panjang seperti berusaha bersabar. Memangnya ada yang salah dari kalimatnya?

"Silahkan bertanya. Tiga pertanyaan saja."

"Hidih, dasar pelit. Tiga pertanyaan satu hari. Besok gue balik lagi dan gue tanya lagi." Dia berpikir cepat untuk pertanyaannya hari ini.

Kemudian dia tersenyum konyol. "Sebutkan ibukota dari negara Myanmar?"

Dahi Arsyad mengernyit aneh. "Naypyidaw."

"Salah...Yangon. Nah gue nambah dua pertanyaan lagi ya."

"Angel, apa ibukota Myanmar?" tanya Arsyad pada sistem A.I yang diinstal di sini.

"Ibukota Myanmar sebelum tahun 2005 adalah Yangon. Saat ini, ibukota negara Myanmar adalah Naypyidaw atau Nay Pyi Taw." Angel menjelaskan.

"Lo salah, hanya satu pertanyaan untuk hari ini," ujar Arsyad sambil menggelengkan kepala tidak percaya padanya.

"Yaaah... Syaaad. Tega banget." Dia diam sejenak berpikir keras. "Oke, ini pertanyaan beneran. Menurut lo kenapa kaki Janice memar merah kebiruan terus seperti tergores sesuatu dan berdarah?"

Arsyad menatapnya masih dengan ekspresi datar yang menyebalkan. "Kenapa lo nggak makan dan minum, Yo?"

"Lo nggak jawab pertanyaan gue."

"Karena tingkah kekanakkan lo besar kemungkinan Janice dihukum," jawab Arsyad dengan ekspresi kesal padanya.

"Edward yang hukum Janice? Tapi Edward ayahnya. Itu luka nggak main-main, Syad," sahutnya khawatir.

"Satu pertanyaan saja dan waktu lo habis." Tubuh Arsyad berdiri lalu membukakan pintu kamar.

"Syad, gue penasaran dan khawatir. Serius." Dia berdiri masih di tempatnya.

"Sudah adzan, gue mau sholat dan lo nggak mau kebakar kan?" Arsyad memberi jeda. "Keluar."

"Hrrrghhh...ccckkk. Curang." Dengan terpaksa dia melangkah keluar.

Tubuhnya berbalik menatap Arsyad yang akan menutup pintu.

"Berpikir sebelum bertindak. Karena tingkah kekanakkan lo Janice dihukum dan terluka," kata Arsyad sebelum pintu tertutup.

"Lo nggak membantu, rese! Dasar Tuan Besar menyebalkan," sahutnya kesal.

***

Matanya nyalang hingga pukul delapan. Perasaan bersalah seperti merayap dan menggerogoti dirinya sendiri. Bayangan apa yang dia lakukan pada Sabiya dulu, atau Fayadisa datang tanpa diminta. Lalu orang-orang lain yang dia bunuh dan lukai karena permintaan Herman. Ini bukan yang terburuk, karena terkadang hantu-hantu itu datang. Berdiri di seberang ruangan dan menatapnya diam. Seperti menunggu kapan mereka bisa menariknya dalam kegelapan.

Tenang, Yo. Ada Arsyad yang sering ngaji dan solat di sebelah ruangan. Hantu-hantu itu nggak bisa sentuh lo sekarang. Tenang.

Dia menghirup nafas panjang dan memejamkan mata sejenak. Satu hal yang dia benci adalah kesepian, dan sepi selalu datang ketika dia sendiri. Ada banyak orang yang bisa hidup sendiri tanpa merasa kesepian. Tapi tidak dengannya. Karena saat dia sendiri, seluruh dosa-dosanya akan datang. Hantu-hantu itu bergentayangan. Kemudian seluruh kata-kata Arsyad pagi tadi berulang.

Entah kenapa dia sendiri merasa dia memiliki jalinan tak kasat mata dengan Arsyad. Sebagai musuh pastinya. Mereka saling membutuhkan dengan cara yang aneh. Karena tanpa Arsyad dunianya akan sepi. Seluruh lawan yang lain bisa mudah dia jatuhkan. Tidak menantang sama sekali. Mungkin jika Arsyad mati dia bisa gila sendiri karena tidak ada yang cukup baik untuk menandinginya. Mungkin karena alasan itu dia menyelamatkan Arsyad saat insiden ADS terjadi. Mungkin? Entahlah.

Saat ini keberadaan Janice benar-benar mengusiknya. Seluruh pesona, daya tarik, aura kuat dan percaya diri sudah memicu keinginannya untuk mengenal Janice lebih jauh. Janice berbeda. Bahkan jika dibandingkan dengan Fayadisa.

Faya istimewa. Tapi Janice sangat seksi dan menarik karena misterinya.

Pintu kamarnya diketuk dan dibuka. Janice masuk dengan baki makanan. Wanita itu mengenakan celana resmi warna abu-abu longgar dan kemeja satin putih tulang. Luka di betis Janice tertutup oleh celana. Wanita itu diam saja seperti biasa. Meletakkan baki makanan dengan tenang tanpa ekspresi sama sekali. Dia bersumpah dia akan menghabiskan seluruh makanan agar Janice tidak dihukum lagi. Sungguh kemarin itu dia hanya ingin bertemu.

"Jen. Maafin gue." Dia memberi jeda sambil menatap punggung Janice yang sudah berada di dekat pintu. Langkah Janice berhenti tapi wanita itu tetep memunggunginya. Oh, dia layak dihukum lebih jauh dari itu.

"Apa kaki lo udah nggak apa-apa?" tanyanya perlahan.

Janice diam.

"Gue akan habiskan makanannya. Tapi tolong datang, Jen. Sekalipun lo nggak ngomong, yang penting lo datang."

Janice masih diam. Dia tidak mengerti bagaimana cara menghadapi wanita ini. Setelah beberapa saat mereka berada dalam suasana yang aneh, Janice keluar ruangan dan menutup pintu.

***

Siangnya.

Setelah pagi tadi, dia tidak melihat Janice lagi. Makan siang diantarkan oleh satu perawat. Dia bertanya pada perawat itu tentang keberadaan Janice dan jawabannya adalah nihil. Si perawat tidak tahu. Sistem A.I yang ada di ruangan tidak bisa dia gunakan. Segala rasa bersalah membuat dia bingung sendiri. Setelah menghabiskan makanan dengan cepat, dia berdiri dan menarik tiang infus ke luar ruangan. Dia butuh udara segar.

Setelah beberapa minggu dia tahu bahwa tempat ini adalah rumah Arsyad Daud. Mereka semua berada di basement bawah dengan fasilitas lengkap dan canggih, Tidak heran, dia berurusan dengan Daud. Tubuhnya menyusuri koridor panjang. Beberapa ruangan berderet di samping kanan kiri. Kamarnya dan Arsyad, ruang operasi darurat, ruang kendali, ruang meeting, kemudian di ujung koridor terdapat sasana berukuran lumayan luas. Kamar Edward dan Janice berada di sisi lain area. Pada area pinggir sasana terdapat alat-alat gym lengkap, dan di bagian tengah ada matras besar tempat fighting combat.

Di dalam sasana ada pembatas ke arah dapur kecil dan ruang makan. Juga pintu ke arah garasi besar yang dia yakin isi dalamnya pasti memukau. Keluarga Daud pelihara tuyul apa ya? Bisa kaya raya begini.

Tanpa sengaja dia mendengar suara orang berjalan di koridor belakangnya. Dia sendiri sudah sampai di area sasana. Tubuhnya berbalik dan sosok Edward ada di sana. Tubuh Edward tinggi. Mungkin sedikit lebih tinggi darinya. Padahal dia sendiri sudah tinggi. Wajah Edward yang lonjong dan aristokrat dengan mata hitam gelap menguarkan aura kaku, disiplin, tegas, dan serius. Mungkin jika Arsyad sudah tua nanti, wajahnya akan seperti Edward. Kemudian dia teringat pada luka di betis Janice lagi.

"Edward..."

"Ya?" Edward berhenti sambil berdiri dengan tongkat di depannya. "Mau kemana, Tuan?" tanya Edward lebih dulu.

"Cari udara. Lo punya rokok? Gue benar-benar butuh satu."

"Tidak ada."

"Edward, apa lo yang pukul Janice jadi betisnya luka?" tanyanya lagi.

"Itu bukan urusan anda."

"Ya, sekarang. Tapi gue penasaran apa alasannya?"

"Janice tidak menjalankan tanggung jawabnya dengan baik."

"Tanggung jawab atas gue?"

"Ya."

"Lo pikir umur gue tujuh belas?"

"Tidak, mungkin lima belas. Sikap anda kekanakkan sekali. Apa selalu begitu?"

"Enggak." Dia berdehem canggung. "Oke, Edward. Lo nggak bisa timpakan kesalahan orang lain pada Janice. Janice itu perempuan."

"Menurut anda apa saya tidak tahu dengan jenis kelamin anak saya sendiri?"

"Edward, lo nggak bisa pukul perempuan."

"Hanya anda yang boleh?"

"Aahhhh...siaaaal. Kalian semua benar-benar mengingat dan meledek kesalahan gue dulu. Gue nggak pukul perempuan sekarang, Edward."

'DUAK!' Tongkat dihantamkan ke lantai oleh Edward.

"Urusan Janice adalah urusan saya. Anda tidak perlu ikut campur. Pastikan saja anda bersikap lebih dewasa dan bertanggung jawab pada diri anda sendiri."

"Edward, kalau lo mau pukul. Pukul gue! Iya gue yang salah. Kenapa lo pukul Janice?" nadanya sudah tinggi.

"Pintunya ada di sana. Anda bisa pergi jika tidak suka dengan cara saya di sini." Edward menunjuk dengan tongkatnya.

"Gue akan tetap di sini dan jangan pukul Janice lagi. Gue serius, Edward. Lo tahu gue bisa jatuhkan lo mudah..."

Entah sejak kapan Edward sudah melesat mendekatinya dan memukul betis kirinya keras sekali hingga dia berlutut di lantai.

"Saya kabulkan. Setiap anda berbuat kesalahan, saya akan pukul Janice lebih keras lagi dan juga saya akan pukul anda. Paham?"

Emosi membuat matanya gelap. Tubuhnya berdiri cepat ingin menyerang Edward. Lalu Edward melangkah ke samping lebih cepat dan memukulkan tongkatnya lagi pada punggungnya sendiri.

"Latihan fisik sebentar lagi. Anda ingin mulai lebih awal?" nada dan ekspresi Edward yang datar membuat dia benar-benar kesal.

Selang infus dia lepas kasar hingga darah menetes di lantai. Kemudian dia berdiri menatap Edward yang bersikap tenang saja. Kemudian ponsel Edward berbunyi.

"Ya, Jen?" ujar Edward. Sepertinya Janice yang menghubungi.

Edward menatapnya dingin kemudian berlalu masih dengan ponsel di telinga. "Bersihkan darahnya atau saya akan buat Janice berdarah lagi," ancam Edward sambil melangkah menjauh dan masih mengangkat sambungan itu.

Dasar orangtua gila.

***

Cast nya Janice di bawah yaaa. Nggak suka bayangin sendiri seperti biasa. Cari cewek mukanya galak tapi cantik susah juga.

Si Tuan Gadungan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro