Part 7
Yak, siap-siap dengan Tom & Jerry.
***
Kediaman Arsyad Daud.
Apa yang kamu lakukan ketika kamu bangun dari tidur panjang? Untuk Aryo Kusuma yang sering terluka, sudah pasti dia akan bangun dan mulai berlatih. Atau memastikan dirinya berada di tempat yang aman, atau berusaha keluar jika dia berada di tempat musuh. Dia melakukan pilihan kedua, sambil menilai situasi.
Matanya memindai dan mulai merasakan apa yang tubuhnya rasakan. Badai nyeri menghantam karena dia sudah sadar. Jadi dia diam berbaring. Seluruh ruangan steril ini dia cermati. Ini bukan di MG, karena seluruh ruangan MG berjendela. Harum ruangan ini juga berbeda. Lalu patient monitor yang beberapa bagiannya masih tertutup plastic, seperti baru. Dia berada di suatu tempat dan orang yang memiliki tempat ini ingin dia selamat.
Lalu langkah-langkah kaki terdengar dari luar. Seseorang datang. Wanita dengan heels yang berdetak-detak menuju ke ruangannya sendiri. Matanya dia pejamkan perlahan, lalu nafas dia atur. Menunggu, siapa yang akan masuk ke dalam ruangannya.
Ketika pintu terbuka wangi segar yang berasal dari bunga dan sedikit lemon, juga musk yang lembut. Sama sekali tidak menusuk atau berlebihan. Membuat hidungnya ingin menghirup lagi dan lagi. Dia bisa merasakan tubuh si wanita yang bergerak-gerak memeriksa alat-alat di sekelilingnya, tapi tidak menyentuh tubuhnya sama sekali. Dugaannya, wanita ini bukan dokter. Entah siapa. Kemudian dia merasakan hening yang aneh. Tidak ada gerakan sama sekali. Padahal dia yakin bahwa sosok itu masih berada di ruangan.
Ponsel sang wanita bergetar dan dia tahu bahwa sejenak tadi, si wanita berdiri diam memperhatikannya. Saat sang wanita keluar, dia tersenyum kecil. Sepertinya ini akan menarik sekali.
***
Beberapa waktu kemudian.
Hari Janice selalu bermula sama. Bangun pukul empat, memeriksa seluruh jadwal keluarga Ibrahim Daud, mengatur ulang jika perlu. Lalu mulai berlatih hingga pukul tujuh. Setelah mandi dia akan memasak sarapan, membuat kopi, kemudian duduk membaca seluruh email masuk dari tabletnya sambil mencocokkan pakaian yang dia akan kenakan melalui tablet itu dengan aplikasi yang dibuatkan oleh Mahendra untuknya. Dia suka segala jenis keindahan. Pakaian, tas, sepatu –terutama sepatu—, aksesoris yang simple dan elegan, juga wangi-wangian.
Oh, jangan lupa kendaraan. Pilihannya selalu pada mobil cepat yang ringkas. Porche adalah favoritnya, atau Mercedes convertible jika dia tidak mau terlalu mencolok. Dia mengendarai motor hanya karena tugas. Dua ducatti adalah pemberian Daud untuknya yang pasti sudah dimodifikasi oleh Mahendra.
Tugas utamanya adalah mengatur semua kegiatan keluarga Ibrahim Daud. Seluruh business meeting, pertemuan kenegaraan yang penting dan rahasia, pertemuan keluarga, jadwal periksa kesehatan, jadwal kegiatan sosial, bahkan dia juga mengelola keuangan pribadi Ibrahim, Trisa, Arsyad dan Mareno Daud. Hanif dan Mahendra Daud mengatur keuangan mereka sendiri.
Bukan hanya itu saja, dia juga bertugas melindungi rahasia keluarga Daud. Memeriksa berita mana untuk konsumsi publik, berita mana yang dia harus simpan. Atau membereskan masalah-masalah yang bisa timbul dan mencuat keluar. Contoh, saat salah satu pacar Mareno Daud berulah dulu karena sakit hati ditinggalkan Mareno, sang pacar mengancam menyebarkan foto-foto mereka di kamar ke media. Saat itu, dia turun tangan. Melakukan negosiasi yang tidak bisa ditolak oleh sang pacar. Negosiasi yang menguntungkan untuk wanita itu, juga diiringi dengan sedikit ancaman. Bagusnya, sejak Mareno Daud menikah dengan Antania Tielman, urusannya jadi lebih ringan.
Apa dia bekerja sendiri? Ya dan tidak. Seluruh urusan yang sifatnya pribadi dan rahasia dia akan tangani sendiri. Tapi, untuk urusan yang melibatkan institusi lain, dia akan mengatur dari atas saja. Seluruh akses dan wewenang diberikan padanya. Jadi dia bisa dengan mudah memberi arahan pada semua karyawan yang bekerja di bawah keluarga Daud jika dia membutuhkan. Bekerja pintar, bukan bekerja keras.
Yang lebih menarik lagi, adalah tugas untuk melindungi keluarga Daud tanpa sepengetahuan mereka sendiri. Kecuali Tuan Arsyad yang bisa dipastikan selalu siaga dan tahu segala hal. Jadi terkadang Tuan-nya itu mengirimkan seseorang untuk membantunya. Sementara dia dengan mudah mengusir bantuan itu pergi. Dia lebih suka kerja sendiri. Ya, posisi puncak keluarga Daud membuat keluarga itu punya banyak sekali musuh. Yang terlihat, juga yang ingin menjatuhkan diam-diam. Entah karena iri, dendam, atau perebutan kekuasaan. Dia tidak perduli, tugasnya hanya melindungi mereka.
Jadi dia sangat mencintai pekerjaannya. Dia juga tergila-gila pada seluruh hal yang terstruktur rapih. Dia tidak suka kejutan. Untuknya kejutan terlalu banyak mengandung faktor yang tidak pasti dan berbahaya. Sampai, laki-laki itu datang dan mengacaukan segalanya. Namanya, Aryo Kusuma.
Insiden runtuhnya ADS, membuat Aryo Kusuma harus mereka rawat karena luka-lukanya. Ditambah lagi dengan kenyataan yang ayahnya –Edward— sampaikan. Bahwa Aryo Kusuma adalah anak dari Herman Daud, dan itu membuat Aryo resmi menjadi Daud. Kenyataan sialan!
Sejak manusia laknat itu bangun dan selamat dari segala luka-luka, laki-laki itu mulai berulah. Mulai dari berpura-pura masih tidak sadar, kemudian mulai rewel dan mengeluh tentang ini-itu, bersikap aneh dengan terus menatapnya penasaran, serta mulai pamer dan menggodanya. Seluruh sikap kekanakkan, usil, jahil dengan tatapan paling menyebalkan dan kata-kata paling sembarangan Aryo lakukan. Resmi sudah, laki-laki itu menduduki puncak tangga manusia terlaknat sedunia. Bahkan mendengar namanya saja sudah membuatnya ingin menghantam sesuatu.
"Jen, kenapa kamu belum datang ke kamar Tuan Aryo?" tanya ayahnya saat dia berada di area makan basement bawah kediaman Arsyad Daud.
"Nanti," ujarnya sambil duduk dan menghirup kopi.
"Jen, kita hanya menyewa satu perawat untuk mereka berdua karena kerahasiaan kondisi saat ini. Tuan Arsyad baru bangun jadi perawat itu sibuk dengan Arsyad. Kamu harus membantu."
"Ayah paling tahu dia akan merusak hariku," matanya menatap tablet yang dia genggam lagi.
"Tidak jika kamu abai dengannya. Ada apa denganmu? Emosimu yang biasanya stabil terjaga lebih meledak-ledak saat berhadapan dengan Tuan Aryo."
Matanya menatap ayah kesal. "Dad, please. Jangan sebut dia Tuan. Paling enggak di depan aku. Bagian mana dari manusia brengsek itu yang membuat dia layak dipanggil Tuan? Darahnya Herman? Bahkan ayahnya juga brengsek."
Edward menghirup nafas panjang. "Herman adalah Daud. Kakek Herman, Ibrahim, Ardiyanto dan Daud lainnya dulu yang sudah menolong keluarga Katindig berkali-kali. Setelah menolong keluarga kita, mereka bahkan memberikan perlindungan penuh dan membiayai..."
Tubuhnya tegak berdiri karena paham benar ayahnya akan mengulang seluruh sejarah keluarganya dulu. "Cukup, oke. Aku sangat hafal apa yang terjadi dulu."
Mata ayah menatapnya tegas. "Kamu dan saya masih hidup hingga sekarang, adalah karena keluarga Daud. Hutang budi keluarga..."
"Ayah, stop. Oke." Dia menggeram dan berjalan menjauh keluar dari area makan.
Ayah selalu seperti itu. Ya, dia tahu mereka hutang budi karena dulu keluarga Katindig adalah keluarga keturunan yang datang ke negeri ini bahkan sebelum negeri ini merdeka. Mendiang buyutnya tiba sebagai insinyur dari negeri Belanda yang akhirnya bertemu dan jatuh cinta dengan wanita peranakan Indonesia-Filipina. Karena keahlian ilmu kakek buyutnya, keluarga mereka aman bahkan hingga Jepang datang. Tapi saat Indonesia merdeka rakyat marah dan benar-benar berbuat anarkis pada kaum pendatang yang ada di Indonesia. Saat itu, keluarga Daud yang memang kaya dan banyak memiliki koneksi di pemerintahan menolong keluarga mereka. Meminta buyutnya untuk mengganti nama keluarga mereka menjadi Katindig –nama keluarga nenek buyutnya—. Kemudian memberi perlindungan penuh, bahkan menyekolahkan, mendidik dan membiayai keluarga mereka tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Seluruh inisiatif melindungi dan melayani benar-benar datang dari keluarganya. Doktrin keras itu sudah berlangsung bergenerasi sekarang.
Jangan salah, dia tidak pernah keberatan. Karena keluarga Daud tidak pernah sama sekali bersikap merendahkannya. Paling tidak keluarga Ibrahim dan Ardiyanto. Sikap mereka baik dan normal saja. Ibrahim, Ardiyanto dan seluruh perkumpulannya bahkan sangat menghormati ayah. Dia tidak masalah. Tapi banyak kejutan datang saat rahasia Aryo mulai muncul, dan dia benci kejutan.
Pintu kamar Aryo dia buka dan laki-laki menyebalkan itu sedang duduk setengah berbaring di sana. Pura-pura masih terluka. Dasar brengsek!
"Ada apa lagi?" ujarnya galak.
Aryo tersenyum aneh menatapnya. "Selamat pagi. Kamu wangi sekali dan seperti biasa sudah rapih."
Baki makanan di atas meja belum disentuh. Mungkin dia akan menaruh racun pada makanan Aryo Kusuma. Ide yang tidak buruk. Matanya berpindah ke Aryo yang masih menatapnya.
"Ada apa? Apa kamu tuli?" pintu kamar sudah tertutup di belakangnya.
"Baki makanannya terlalu jauh, nggak sampai. Tolong ambilkan," ujar Aryo.
Mengambil baki? Emosi mulai merayap naik. Kendalikan dirimu, Jen. Kamu sangat mahir mengendalikan diri. Dia melangkah mengambil baki dan meletakkan pada meja khusus untuk makan yang dia geser ke dekat tubuh Aryo. Selama beberapa saat tubuh mereka berdekatan dan mata Aryo masih lekat menatap matanya sendiri.
"Mata lo coklat dan sedikit hijau. Lo blasteran, sekalipun rambut lo nggak pirang. Gue tahu karena di negara gue, jarang cewek punya rahang wajah seperti lo. Tegas tapi feminine..."
Dia tidak menghiraukan dan berdiri lagi. Kali ini sambil bersedekap tambah kesal.
"Lo cantik banget, Jen. Gue nggak ngerti kok bisa selama ini gue nggak tahu elo ya, dan Daud menyembunyikan lo rapih banget."
Kepalanya menggeleng keras untuk mengusir emosi yang sudah sampai puncak. Kemudian dia membalik tubuh untuk meninggalkan ruangan saat tangan Aryo menahan lengannya. Matanya menatap Aryo yang dengan cepat berdiri untuk menahannya pergi. Bajingan itu sudah bisa berdiriiii....hrrrghhhh.
"Lo pasti nggak mau nyuapin gue kan?" Aryo tersenyum konyol. "Gue bisa makan sendiri. Gue cuma mau lihat lo setiap pagi."
Dua tangannya terkepal. Dia berusaha keras untuk menahan mulutnya agar tidak berteriak dan memaki. Aryo melepaskan lengannya sambil tersenyum aneh. Lalu dia keluar ruangan sambil terus mengutuk laki-laki itu.
***
Hari lain.
Ponselnya bergetar. Panggilan dari kamar 1. Dia memang sudah menyambungkan A.I ciptaan Mahendra Daud ke rumah ini dengan jalur sambungan yang aman hingga bahkan Mahendra sendiri tidak akan curiga. Sambungan itu memungkinkan Tuan Arsyad dan manusia jadi-jadian di sebelahnya untuk menghubungi dia atau ayah jika ada sesuatu yang salah. Kamar 1 adalah kamar Tuan Besarnya.
"Angel, sambungkan." Dia turun dari mobil karena baru tiba. "Ya, Pak?"
"Jen, apa kamu sudah memeriksa Damar dan Sabiya hari ini? Saya belum dapat laporannya. Edward belum memberikan akses saya...hrrrghh."
"Sudah. Mereka aman. Saya akan kirimkan foto-fotonya."
Arsyad memberi jeda. Entah kenapa dia mengerti bahwa Arsyad benar-benar merindukan keluarganya. Ayahnya memang keras sekali pada Arsyad. Seperti dulu ayah mendidik dia.
"Oke, terimakasih," Arsyad memutus hubungan.
Tuan besarnya memang tidak banyak bicara, juga disiplin dan patuh. Sebisa mungkin Arsyad mengerjakan segalanya sendiri. Agar tidak merepotkan dia. Hampir semua keluarga Daud begitu, kecuali Mareno. Ya, kemampuan berbisnis Mareno memang di atas rata-rata. Tapi bahkan dia masih harus membereskan banyak urusan pribadi Mareno.
Kemudian ponselnya berdering lagi. "Ya, Ayah?"
"Ke ruangan saya. Sekarang!"
Kenapa nada ayah seperti marah? Seingatnya dia tidak berbuat sesuatu yang salah. Dia melangkah cepat-cepat menuju ruangan meeting sementara di tempat persembunyian mereka ini. Pintu dia buka dan dia melangkah masuk. Ayah berdiri di tengah ruangan dengan dua tangan menggenggam tongkat kebesarannya.
"Ada apa, Yah?"
"Sudah berapa hari kamu tidak memeriksa kondisi Aryo Kusuma?"
Hrrrghhh...soal dia lagi ternyata.
"Tiga hari," jawabnya pendek.
"Kamu tahu apa yang terjadi hari ini?" tanya ayahnya dengan wajah terlalu dingin dan datar. Ekspresi ketika ayahnya marah.
"Saya hari ini di luar untuk memeriksa semua orang dan mempersiapkan trainer karena sebentar lagi Tuan Besar mulai berlatih."
"Itu bukan pertanyaan saya. Apa kamu tahu akibat dari perbuatanmu?"
Nafas dia hirup panjang. "Tidak tahu."
"Dokter Aryan dan dokter Reyhani sedang tidak bisa berkunjung. Saya sudah memerintahkan kamu untuk memeriksa Aryo Kusuma, Tuan Besar adalah tanggung jawab saya. Kamu absen tiga hari tanpa alasan jelas. Karena tindakan bodohmu itu Aryo Kusuma demam tinggi, hampir kejang dan..." ayah menguraikan kondisi Aryo.
Kenapa nggak sekalian mati aja orang itu? gumamnya dalam hati.
Tongkat ayah yang tiba-tiba melayang ke arah samping tubuhnya dia tangkap. Ayah memukul dengan tenaga penuh, karena tangannya memerah saat menghentikan tongkat itu.
"Kamu tidak mendengarkan!! Sejak kapan kamu menjadi pembangkang?" nada ayah tinggi.
Saat seperti ini untuk menghindari hukuman yang lebih berat, dia bungkam. "Maaf."
"Maaf?" teriak ayah sambil melepaskan tongkat dari genggamannya dan mengayunkan benda itu lagi.
"Maaf, saya tidak akan lakukan lagi."
'BUAK!' Dia membiarkan tongkat itu menghantam betis kiri. Ayah tidak akan berhenti memukul sebelum dia membiarkan dirinya dipukul. Tubuhnya jatuh berlutut di lantai.
"Berdiri."
Dia berdiri menghadap ayahnya lagi.
"Kendaraanmu saya sita. Gunakan motor sampai kondisi Aryo Kusuma pulih, dan gunakan kakimu untuk berjalan ke ruangan Aryo dan memeriksa kondisinya!!" ayah berlalu ke luar ruangan.
Kakinya berdenyut nyeri. Dia yakin pukulan tadi akan membekas esok hari. Dan ini semua karena manusia laknat yang tiba-tiba datang itu. Setelah ayah pergi dia mulai melangkah menuju ruangan si manusia brengsek. Perih dan nyeri dia abaikan. Dia tidak diberikan pilihan.
Pintu ruangan dia buka dan Aryo sedang berbaring dengan wajah lebih pucat. Selang-selang infus sudah dipasang lagi. Dugaannya karena kondisi Aryo yang memburuk. Wajah lemah Aryo tidak sedikitpun menggerakkan hatinya, sama sekali. Karena dia yakin bahwa Aryo sengaja melakukan itu semua hanya untuk bermain-main saja.
Dia melangkah mendekat dan emosinya mulai merayap naik. Kepalanya menoleh pada botol infus yang menggantung. Pikirannya mulai berkelana.
Apa gue kasih obat tidur buatan Mahendra? Atau racun yang dulu Herman berikan pada Ardiyanto Daud untuk membunuh kakaknya itu. Sample racun ada di laboratorium safe house dan Mahendra bilang dosisnya hanya kurang 0.5 cc hingga bisa membunuh seseorang. Dosis yang kurang itu akhirnya membuat Ardiyanto tidur panjang saja. Tidak mati. Ide yang bagus. Paling tidak dia tidak repot sampai beberapa tahun berikutnya. Hmm...
"Jangan khawatir, gue nggak apa-apa kok." Suara serak Aryo ada di sana.
Dengan enggan matanya berpindah pada wajah menyebalkan itu dan benar saja. Senyum usil dan konyol sudah ada di sana.
"Cuma kangen lo aja, dan gue tahu lo akan datang karena Edward jaga Arsyad. Tugas lo jagain gue. Sumpah gue rela lo jagain. Seumur hidup kalau perlu."
Tangannya mengepal berusaha keras agar tidak melayang ke wajah menyebalkan itu. Semoga dia mati, benar-benar mati. Ini tugas yang buruk sekali.
"Muka lo aneh, lo kangen juga sama gue karena nggak bisa datang?" tanya Aryo sambil setengah berbisik.
Mungkin MCE? Oh, langsung aja MM-TNT untuk meledakkan mulut besarnya. Besok gue akan ambil itu semua dari lab di ID Tech.
"Gue maafin, Jen. Tapi serius gue nggak makan dan minum tiga hari lebih karena gue tahu pasti lo akan datang." Aryo tersenyum kecil.
Apa Mahendra sudah selesai mengembangkan dendrotoksin yang baru? Harusnya lebih kuat kan? Berapa minggu efeknya? Gue harus cari tahu besok.
"Jen, gue salting lo lihatin. Ngomong dong, Jen."
Bagaimana caranya agar ayah tidak tahu? Apa dia harus mengganti cairan infus yang ada? Atau cairan pada dosis suntiknya?
"Janice..." satu tangan Aryo menyentuh lengannya perlahan.
Dia sedikit terkesiap lalu menatap tangan besar Aryo di lengannya. Saat manusia brengsek ini tidur nanti, mungkin tangannya gue akan mutilasi karena sudah berani pegang-pegang gue. Jadi ketika Aryo bangun, potongan tangannya akan gue taruh di sebelahnya. Dengan catatan...don't you ever dare to touch me.
Tubuhnya mundur menjauh hingga tangan Aryo lepas. Hatinya sedikit terhibur memikirkan rencana untuk menyingkirkan bajingan ini.
"Oke, oke. Gue minta maaf. Lo marah ya? Kenapa diam aja? Gila lo beneran kayak robot," dengkus Aryo kesal. "Jen, ngomong dong."
Dia berbalik untuk meninggalkan ruangan.
"Jen, kaki lo berdarah. Sh*t. Lo habis ngapain?" nada Aryo panik melihat darah yang dia bisa rasakan menetes dari betisnya ke bawah.
Mungkin ujung tongkat tua ayahnya yang menggores tidak sengaja dan akhirnya terbuka saat dia berjalan menuju ruangan ini. Dia bisa obati setelah ini. Kalimat Aryo membuatnya berhenti sejenak.
"This is what you do to me," dia berdesis marah.
"Jen, tunggu dulu..."
Seluruh selang infus menahan tubuh Aryo di tempat tidur dan dia tidak perduli. Tubuhnya terus melangkah ke luar ruangan dengan pintu yang dia biarkan berdebam di belakang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro