Part 62
Pondok yang mereka tempati adalah pondok satu lantai yang sederhana namun nyaman. Hanya terdiri dari dua kamar. Satu kamar berukuran besar dengan perapian di dalam dan satu lainnya lebih seperti ruang baca. Ruang tengah memiliki satu perapian besar dan sofa besar yang nyaman terhubung dengan dapur apik serta meja makan dengan kursi enam. Untuk Sabiya yang terindah adalah taman yang mengelilingi rumah juga pemandangan dua danau yang tidak jauh dari pondok yang mereka tempati. Semua begitu indah hingga dia terus tersenyum sejak mereka tiba dua hari lalu.
"Selamat pagi," Arsyad mencium pipinya dari belakang.
"Pagi," jawabnya sambil mengaduk adonan pancake. "Mandi dulu, Syad. Kamu habis latihan dan keringetan."
Arsyad malahan tambah mempererat pelukannya dari belakang lalu menyurukkan kepala ke lehernya dan itu membuat dia tertawa. "Arsyaaaad..."
"Apa?" tanya Arsyad sambil terus menghidu.
"Aku nggak paham kenapa kamu bisa keringetan. Suhu di sini 19 derajat," sahutnya sambil masih berusaha melepaskan diri dari suaminya yang tiba-tiba berubah manis sejak mereka tiba.
"Aku latihan lebih berat di dalam ruangan. Aneh rasanya kalau nggak keringetan." Kali ini Arsyad meletakkan dagu di atas kepala Sabiya.
Sabiya mengenakan sweater berwarna abu-abu muda yang sedikit kebesaran dan celana pendek senada. Rambut panjangnya dia gerai begitu saja. Arsyad masih tidak mau melepaskannya sementara jantungnya tiba-tiba berulah. Ya ampun, Bi. Murahan banget sih.
"Aku mau mandi sekarang," bisik Arsyad di telinganya dan itu membuat wajahnya merah.
"Aku belum selesai ini. Kamu nggak lapar?"
Arsyad tersenyum kecil lalu melepaskannya. "Selesaikan cepat. Aku siapkan dulu airnya." Arsyad sudah berjalan ke arah kamar mandi.
Sungguh dia bisa merasakan jantungnya melorot pergi. Mereka sudah menikah lebih dari satu tahun. Tapi karena seluruh insiden dan konflik keluarga membuat waktu berkualitas untuk mereka berdua sedikit sekali. Waktu mereka berdua seolah terlalu cepat pergi dan menjadi buram, samar. Dia tidak pernah mengeluh karena tahu ini adalah hidup Arsyad dan dia tahu Arsyad akan selalu kembali untuknya. Jadi dia akan selalu ada, menunggu Arsyad pulang.
Saat ini, fokus Arsyad hanya untuknya saja. Tidak ada meeting pagi, atau pergi ke ADS, atau latihan fisik, atau berlama-lama di gudang senjata dan black room. Dia pun juga terbebas dari segala urusan butik, meeting dengan klien atau vendor, atau menjemput dan menemani Damar. Mereka seolah seperti dua orang yang sedang menghentikan waktu, menikmati hari, merasakan kehadiran masing-masing sambil melakukan apa yang mereka mau.
Jadi permintaan Arsyad tadi membuat dadanya berantakan dan wajahnya langsung memerah. Paham benar saat ini jika Arsyad mau mereka tinggal di kamar mandi seharian, mereka bisa melakukan itu. Tanpa dikejar waktu.
"Biya..." panggil Arsyad dari dalam kamar mandi.
Dia tersentak dari lamunannya lalu menghentikan apa yang dia sedang lakukan. Berjalan mondar-mandir gugup masih di area dapur.
"Aku belum selesai, Syad. Lagian aku nggak keringetan jadi..."kalimatnya terhenti melihat Arsyad keluar dari kamar mandi hanya berbalutkan handuk yang menutupi bagian bawah tubuh Arsyad saja.
Seluruh tubuh bagian atas Arsyad terekspos. Bahu yang kokoh dan bidang, postur tinggi dengan dada dan perut Arsyad yang...saliva dia loloskan perlahan. Arsyad terlihat....hhh sempurna. Saliva dia loloskan lalu dia mengalihkan pandangan. Sementara Arsyad sudah berjalan mendekat. Mereka berdiri berhadapan.
"Airnya hangat," mata Arsyad menatapnya dalam sambil mengulurkan tangan.
"Aku...nggak keringetan. Gimana kalau..."
Senyum Arsyad mengembang. "Kamu gugup?"
"Enggak," timpalnya cepat. "Dasar GR."
"Wajah kamu merah, Sayang."
Refleks tubuhnya langsung berbalik memunggungi Arsyad. "Kamu mandi duluan aja. Aku siapin sarapan dulu, nanti aku..."
Rambutnya disentuh perlahan lalu digeser ke samping. Dia bisa merasakan hembusan nafas Arsyad ditengkuknya dan itu membuat kakinya lemas.
"Come, I won't bite." Bibir Arsyad menyapu tengkuknya perlahan kemudian terus menelusur. "Hmmm...maybe I will, a bit."
Bibir dia gigit dan matanya terpejam, merasakan sensasi rasa yang sedang bekerja. Arsyad tidak memeluknya, tapi sentuhan bibir Arsyad terasa intim sekali dan itu menghidupkan sensor-sensor rasa hingga sedikit demi sedikit tubuhnya menghangat.
"Hey, Bi. This is me spending forever with you," bisik Arsyad lalu menggendong tubuhnya perlahan dan membawa nya masuk ke dalam kamar mandi.
***
Setelah makan malam dan menghubungi Damar mereka masuk ke dalam kamar. Arsyad menyalakan perapian karena suhu di luar yang turun menjadi 15 derajat. Normal kata Arsyad, tapi Sabiya tidak tahan dingin. Untuknya 23 derajat itu suhu yang pas. Bukan 18 atau bahkan 15 derajat.
Dia berjalan ke koper untuk mengeluarkan buku sketsa karena entah kenapa tiba-tiba kepalanya dipenuhi ide untuk menggambar. Ya, setelah mereka menghabiskan pagi bersama di dalam kamar mandi dan kamar tidur, setelah makan siang Arsyad mengajaknya berbelanja ke pasar basah terdekat. Membeli bahan-bahan makanan dan buah-buahan. Sungguh seluruh pemandangan kota kecil ini benar-benar seperti negeri dongeng di dalam buku. Itu semua menghidupkan seluruh kreatifitasnya.
"Apa sudah cukup hangat?" tanya Arsyad.
Tubuhnya berbalik dan berjalan mendekati perapian dengan buku sketsa di tangan. "Sudah. Terimakasih."
"Mungkin kita satu-satunya rumah yang menyalakan perapian di malam musim panas begini," kekeh Arsyad meledek sambil membuka kaus yang dia kenakan.
"Aku nggak paham dimana musim panasnya? Ini 15 derajat, Syad. Kamu enak beruang kutub jadi tahan dingin," dia mengelak.
Ada satu buah sofa besar dan nyaman berada di sebelah perapian. Arsyad sudah duduk di sana bertelanjang dada dan memegang buku yang ingin dia baca, lalu mengenakan kacamata. Sungguh pemandangan yang langka. Kepala dia gelengkan lalu dia duduk di kursi kerja tidak jauh dari sana. Sayangnya kursi dan meja kerja itu menghadap ke arah perapian jadi pemandangan Arsyad yang sedang duduk membaca dengan segala auranya tidak bisa dia enyahkan.
Buku sketsa mulai dia coret-coret asal. Biasanya dia hanya harus memulai dengan gambar apa saja, sedikit coretan lalu pikirannya akan mulai terbang berkelana dan tangannya bergerak sendiri. Gambar-gambar di dalam kepala akan bermunculan hingga terwujud dalam kertas putih di hadapannya. Tapi matanya tidak mau lepas dari pemandangan Arsyad di depan yang sedang serius membaca.
Arsyaaadd...hrrgghhh. Kamu mengganggu.
"Kamu mau desain baju laki-laki jadi lihatin aku terus?" tanya Arsyad tiba-tiba sambil menatapnya.
"Enggak. Cuma risih karena kamu nggak pakai baju begitu," wajahnya memerah.
"Aku nggak mau pindahin sofa ini dan letaknya ada di dekat perapian. Aku lebih nyaman begini," jawab Arsyad lalu kembali pada buku yang dia baca.
Entah kenapa dia merasa kegerahan tiba-tiba. Kemudian dia bangkit dan mengambil camisole satin dari lemari dan berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
"Kenapa gantinya mesti di kamar mandi?" tanya Arsyad.
"Kamu baca aja deh, Syad."
Di dalam kamar mandi dia gugup sendiri. Ada apa sih dengan otaknya? Arsyad itu suaminya, kenapa kelakuan dirinya sendiri seperti ini? Hrrrghhh...Biyaaa.
Setelah berganti pakaian dia menatap cermin. Apa bajunya berlebihan? Kenapa bibirnya kering? Rambutnya juga berantakan. Akhirnya dia mulai membenahi diri. Merapihkan rambut, memakai lip balm dan juga...perfume? Berlebihan ga ya? Dia memilih aroma musk lembut saja, harusnya tidak berlebihan.
Pintu kamar mandi dia buka lalu dia mengintip sedikit. Arsyad masih asyik dengan bukunya. Aman. Lalu dia melangkah ke luar kamar mandi dan melihat pantulan dirinya di salah satu cermin. Kepala dia miringkan sedikit. Tadi dia hanya ingin menggambar sketsa kan? Kenapa tampilannya sekarang seolah-olah dia mengajak Arsyad untuk... wajahnya langsung merah lagi. Dia merutuki diri sendiri sambil berbalik ingin masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
"Biya, ke sini."
Langkahnya terhenti. Saliva dia loloskan. "Aku kedinginan mau ambil jubah di dalam," elaknya.
"Ke sini, Biya. Bawa buku sketsamu."
Ragu-ragu dia mengambil buku sketsa dan pinsil gambarnya, lalu melangkah mendekati Arsyad yang masih membaca. Arsyad menatapnya sejenak sambil menarik tangannya perlahan.
"Duduk sini. Biar kamu nggak dingin," ujar Arsyad sambil menepuk pangkuan.
Satu tangan Arsyad merengkuhnya karena dia diam saja. Bagaimana tidak, Arsyad terlihat tampan sekali dan jantungnya sudah menari-nari sedari tadi.
Aahhh...BIyaaa. Jangan seperti orang bodoh.
Posisinya sudah duduk dipangku Arsyad menyamping, setengah bergelung dengan satu sisi wajah menempel pada dada bidang Arsyad. Sejenak dia membenahi posisi agar nyaman, lalu dia mulai menggambar dan Arsyad melanjutkan membaca. Dagu Arsyad berada di puncak kepalanya dengan wajah Arsyad yang menoleh membaca buku di tangan kiri.
Entah bagaimana dadanya yang tadi berbunyi nyaring, saat ini sudah mulai tenang. Nyaman. Semua terasa benar sehingga tangannya tidak bisa berhenti mengguratkan apa-apa yang ada di kepala. Warna-warna dia tandai agar besok sketsa ini dia bisa sempurnakan. Detak jantung Arsyad yang dekat telinganya seolah membuat dia terbuai. Jadi setelah dua gambar sketsa, dia mulai mengantuk. Buku sketsa dia tutup lalu dia benar-benar merebahkan kepalanya di dada Arsyad.
"Syad..."
"Hmmm?"
"Aku senang kita punya waktu begini."
Arsyad menjawab dengan mencium puncak kepalanya sejenak.
"Bukunya bagus ya?" tanyanya penasaran.
"Satu buku yang aku punya lama tapi aku nggak pernah baca."
Dia menoleh sejenak melihat apa judul buku itu. Chicken Soup for the Soul. Matanya terpejam tiba-tiba seperti mengingat sesuatu.
"Buku dari Nazmia," bisiknya saat ingatan itu datang.
"Kamu ingat?" tanya Arsyad.
"Bagaimana tidak, buku itu membuat aku cemburu pertama kalinya," nafas dia hirup panjang lalu kepala dia sandarkan lagi di dada Arsyad.
Arsyad terkekeh kecil. "Nazmia yang benar-benar cemburu padamu, Bi. Karena aku selalu memikirkanmu saat kita jauh dulu."
"Nggak percaya."
"Kenapa?"
"Karena kamu dinginnya ngalahin lemari es dua pintu."
"Udah nggak kutub utara lagi?"
"Aktingmu benar-benar bagus dulu. Aku benar-benar percaya kalau kamu tidak punya perasaan padaku. Kamu harusnya jadi aktor," desahnya kesal.
Arsyad menutup buku dan meletakkanya di meja nakas. Lalu dua tangan Arsyad merengkuh tubuhnya hingga dia makin meringkuk mendekat.
"Dulu, aku merasa kamu harus dapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku," ujar Arsyad sambil mencium puncak kepalanya.
"Hey, aku punya Ganesha dulu. Tapi kamu yang tiba-tiba nempel lagi."
"Kamu yang menangis nggak bahagia. Gimana aku bisa lepas kamu," kelit Arsyad.
"Aku menangis karena kesal dengan kebebalan sikapmu. Dasar manusia salju. Kamu itu beneran bisa datar kayak patung perunggu yang ada di tengah jalan. Tahu nggak?"
Suara tawa Arsyad yang besar dan dalam terdengar. "Jadi habis beruang kutub, aku jadi kulkas dua pintu, terus jadi patung-patungan perunggu."
Dia menguap lalu mengangguk. Hidungnya dia surukkan pada dada Arsyad, menghirup wangi tubuh Arsyad yang maskulin sekali. "Iya, dan yang lebih aneh lagi, aku tergila-gila sama kamu."
Arsyad makin merengkuhnya. Dia bisa merasakan tubuh Arsyad yang menghangat.
"Bi..."
"Hmmm?"
"Mungkin sudah saatnya Damar punya adik. Kamu setuju?"
Tiba-tiba dadanya berulah lagi. Selama ini Arsyad memang menahan diri, sangat berhati-hati dan mengikuti jadwal. Arsyad seperti takut jika dia tidak bisa melindungi anak mereka nanti di tengah peliknya situasi.
"Kenapa sekarang? Dari kemarin kemana aja?"
"Kamu selalu mengejutkanku, young Lady," kekeh Arsyad. Nafas Arsyad hembus perlahan. "Karena aku sadar, bahaya akan selalu ada. Kemarin dulu, esok nanti, atau bahkan sekarang. Semua tidak akan ada habisnya." Ada jeda di sana. "Aku nggak mau menunda lagi."
Dagunya disentuh Arsyad hingga kepalanya mendongak menatap mata Arsyad yang hitam dalam. "Delapan?"
Dahinya mengernyit. "Satu,"
"Keluarga Daud keluarga besar, Bi. Enam," mereka mulai bernegosiasi dengan konyol.
"Dua, end of discussion."
"Kamu masih muda, Sayang. Empat, seperti aku dan saudara-saudaraku. End of discussion."
"Aku sibuk, jadi dua aja. Titik."
"Empat."
"Dua, kan ada Damar."
"Aku tahu ada Damar. Jadi empat."
"Arsyad, kamu apaan sih? Satu aja belum, udah empat."
"Deal, empat. Kamu yang bilang," kekeh Arsyad meledeknya.
Dia terkekeh juga saat Arsyad mulai mencium bibirnya dalam.
"Kita nggak akan pulang sebelum ada empat, Bi," bisik Arsyad mesra.
"Syaad...jangan bercanda dong."
"Aku nggak pernah bercanda, Sayang."
Entah bagaimana Arsyad sudah membuka camisole biru muda yang dia kenakan. Lalu Arsyad menggendongnya dan membawanya ke tempat tidur. Malam mereka akan panjang.
***
Wajah Sabiya yang tidur pulas kelelahan sungguh cantik. Tubuh istrinya itu dia sudah tutupi selimut tebal karena tahu Sabiya tidak tahan dingin. Dia bangkit untuk menambahkan kayu pada perapian lalu melihat pakaian mereka yang berserakan di lantai. Sungguh, ini semua surga dunia untuknya. Hanya ada dia dan Sabiya saja dengan rumah nyaman, pemandangan hebat, juga rutinitas baru yang dia suka. Ini terasa aneh tapi menyenangkan.
Celana dia ambil dari lantai dan kenakan, lalu dia beranjak ke kamar mandi saat instingnya bangkit tiba-tiba.
Nggak mungkin, Syad. Kepergian sudah diatur sedemikian rupa. Seluruh jejak sudah ditutupi. Kota bahkan diganti di tengah perjalanan.
Tubuhnya berhenti lalu dia menutup mata. Mencoba mendengarkan kesunyian malam di luar sana.
Ini hanya malam biasa. Normal, tidak ada bahaya. Sabiya aman, Syad.
Entah kenapa kakinya malah melangkah ke arah balkon. Pintu geser balkon dia buka lalu dia keluar dan langsung menutup pintu lagi. Tidak mau mengganggu tidur Sabiya. Benar saja, suara gemerisik pada salah satu tanaman di kebun mereka membuat dia melompat dari balkon dan menuju ke arah suara. Seluruh instingnya sudah siaga, ada sesuatu yang bersembunyi di luar dan menunggunya.
Suara kucing yang mengeong membuat langkahnya berhenti. Dia tersenyum kecil lalu tubuhnya menunduk ketika seseorang mengincar kepalanya dengan tendangan tinggi. Satu tangan sudah menangkap kaki itu saat orang dalam bayangan melompat dan berputar untuk melepaskan diri.
Perempuan.
Bukan Arsyad namanya jika dia tidak bisa mengantisipasi lawan. Jadi dengan dua gerakan, dia sudah menjatuhkan tubuh orang tadi ke tanah dan menguncinya di sana. Nafas perempuan itu tersengal saat dia melepas topi dari kepalanya.
"You want to tell me who you are?" bisiknya dengan suara dalam.
"Wow, you are really handsome," kekeh perempuan itu saat Arsyad melihat tato ular hitam pada leher si perempuan.
Black Mamba. Nafas Arsyad hirup panjang lalu dia melepaskan perempuan tadi. "Go home."
Mereka sudah berdiri berhadapan saat dia dengan cepat mencopot jam tangan yang dikenakan si perempuan. Tombol di belakang jam dia pijit lalu jam berbunyi bip dua kali. Earbud pada telinga si perempuan juga dia ambil dan pasang pada telinganya saat sambungan di jam tadi sedang berlangsung. Dalam lima nada Janice mengangkat.
"Jen, explain to me."
"Kathlyn Suwardi, code name K. I send her to protect you."
"Send her back home. Saya nggak mau buat Sabiya khawatir, Jen."
"She will be in the shadow..."
"I said, send her home, Jen. This is an order."
Diam sejenak di sana. Kemudian dia seperti mengerti kenapa Janice melakukan ini. Potential threat. Janice pasti melihat sesuatu yang tidak dilaporkan padanya. Karena itu Janice mengirimkan seseorang begini.
"Is it a red code?" tanyanya pada Janice.
"No, yellow."
"I can protect myself, Jen."
"Besok anda harus pindah kalau begitu."
"Ya, sementara waktu. Setelah itu kami kembali ke sini. Sabiya suka di sini."
"Oke, saya akan minta Elena atur semua."
"Good. Send this kid home and teach her some attitude."
"Copy that."
Sambungan selesai. Dia mengembalikan dua benda lagi lalu berkata pada Kathlyn. "Go home, kiddos."
Senyum Kathlyn mengembang. "Sometimes Mamba's doesn't need to follow the rules."
"You will not become Mamba's if I said so. Just go home," tegas Arsyad.
Nafas Kathlyn hela lalu tubuh Kathlyn berbalik dan melangkah pergi. Kemudian dia juga kembali masuk ke dalam kamar melalui balkon. Sabiya sudah berdiri di dekat perapian dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Ada apa, Syad?"
"Aku pikir aku dengar sesuatu. Ternyata nggak ada apa-apa."
"Kamu nggak bohong kan?" tanya Sabiya memastikan.
"Aku nggak mau kamu khawatir," dia berjalan mendekati Sabiya dan memeluk tubuhnya.
"Bilang sama aku kalau kamu mau..."
Bibir Sabiya dia bungkam dengan ciuman. Apapun yang ada di luar sana adalah urusannya nanti. Saat ini, dia hanya ingin menikmati waktu dengan belahan jiwanya. Siapapun yang mengganggu dia akan bereskan cepat tanpa Sabiya tahu.
***
Felix dan Martin terkekeh sambil menatap Kathlyn yang ke luar dari kediaman Arsyad. Mereka disediakan tempat dekat dengan kediaman Arsyad dan Sabiya, dan sedari tadi mengawasi Kathlyn yang beraksi mengintai dari balik jendela kamar mereka di lantai dua.
"Anak baru, bukan begitu caranya mengikuti The Master," ujar Felix sambil berdiri menatap Kath dari jendela.
"Hhhh...Daud terkadang konyol juga, kakaknya pergi adik-adiknya ribut. Padahal abang besar bisa jaga diri, dan apa mereka tahu mengintai abang itu susah banget," keluh Martin.
"Ya iyalah. Semua metode pengintaian ADS dia yang buat. Gue hampir ketahuan di pasar kemarin. Tapi lumayanlah, kita bisa liburan kan," timpal Felix. "Yang berani ganggu abang besar itu hanya orang yang benar-benar nekat, atau bodoh."
Martin menatapnya sejenak sambil tersenyum kecil, "K itu termasuk yang bodoh. Belum pengalaman. Sekalipun seksi dan cantik."
"Kebanyakan Mamba begitu. Hati-hati terlena dengan mereka. Mereka seperti ular, berbahaya. Janice dan Edward turun tangan sendiri dan katanya, para Mamba's bisa lolos dari alat deteksi kebohongan. Deana di duplikat jadi banyak dan diupgrade skill-nya. Jadi hati-hati."
"Berita itu dilebih-lebihkan," kepala Martin menoleh lagi memeriksa Kathlyn. "Lix, Kath kemana?"
Felix mendekat juga ke jendela dan Kathlyn sudah tidak ada di jalanan depan rumah Arsyad. Mereka menatap ke sekitar tempat itu, mencari.
"Jangan-jangan dia masuk lagi ke tempat abang," Martin sudah ingin berbalik namun dia berhenti.
Kepala Kathlyn jungkir balik tepat di luar jendela hadapan mereka hingga mereka terkejut. Daun jendela di ketuk tiga kali.
"Hello, Boys." Kathlyn tersenyum kecil. "I'm bored. Do you want to play?"
***
In my imagination, right now it is time for the credit tittle. So, the rolling credit will be for...
MY READERS off course.
Yes, ALL OF YOU whose been with me through all the upside down of my orange life. Gue nggak bisa sebutin nama kalian satu-satu, but I read you, I feel you, I adore how you all so loyal to this story. So, thank you sooo much.
My Family off course. Yang tahan gue cuekin kadang-kadang karena gue sibuk ngayal. Hahaha.
My Bestfriend Jena, the one that always got my back in my orange life.
dan terakhir...buat semua yang menginspirasi gue. Dari mulai penulis yang bikin buku keren dan gue baca during writing this Saga. Atau sutradara film yang kece berat sehingga membangkitkan seluruh imajinasi gue. Dan pastinya penyanyi-penyanyi kece yang lagunya suka gue pake buat OST. ala-ala.
Anyway, Guys. This has been a hell of a ride. I'm super glad that I took this journey with you all. I love you very much.
XOXO
andini_dee
***
***
and this is for you who miss him already. My post credit scene.
Sementara itu di salah satu daerah luar Jakarta.
Janice berkendara cepat menembus malam. Potential threat yang dia temukan sungguh meresahkan. Empat bersaudara sedang benar-benar fokus pada keluarga mereka masing-masing. Sementara Niko belum kembali. Dia tidak mau memberikan kabar yang belum dia pastikan sendiri. Lagian, kalau dia bisa bereskan, kenapa harus menunda. Hhhh...sudah terlalu lama adrenalilnnya tidak bekerja. Jadi pengejaran malam ini sungguh membuat dia bersemangat.
Arsyad baru saja menghubungi perihal Kathlyn. Ya, penjagaan untuk Arsyad adalah mutlak hukumnya. Sekalipun memang itu seperti liburan gratis bagi para penjaga Arsyad.
Bugatti hitam dia pacu melaju, mengincar sedan perak yang terhalang tiga mobil di depan. Ada dua orang yang mengawasi Ibrahim Daud, juga Iwan Prayogo. Salah satunya ada di sedan perak yang sedang dia ikuti. Layar mobilnya berkedip. Nafas dia hirup panjang melihat nama Aryo di sana.
"Jen, dimana?"
"Busy, I'll call you later," sambungan dia sudahi.
Layarnya berkedip lagi. Ada suara geraman Aryo di sana. Kemudian sambungan kembali dia putus. Aryo bisa dia tenangkan nanti.
"Ada beberapa kendaraan mengikuti, Nona," lapor Angel.
"Show me."
Layar menampilkan mobil-mobil di sekelilingnya. Saat ini dia sedang berada di jalan tol menuju luar kota. Ada dua mobil yang ditandai yang memberi jarak namun kecepatan mereka sama dengannya. Ya, dia diikuti. Jarak antar mobil yang lain memang jauh, mungkin karena sudah hampir dini hari. Bagus.
"Periksa CCTV dan ganggu sinyalnya. Saya bereskan ini cepat," perintahnya pada Angel.
"Memproses."
Ada rest area kecil yang ditutup karena sedang diperbaiki. Gelap, tidak ada lampu. Sempurna. Dia meminggirkan kendaraan lalu diam menunggu. Benar saja, salah satu mobil minggir lalu empat orang bertubuh besar turun dengan senjata dan mendekati mobilnya. Dia menatap sepatu yang dia kenakan. Manolo Blahnik.
Sepertinya kita akan berdansa bersama malam ini, Manolo, kekehnya dalam hati.
Belum sempat dia turun, dua dari empat laki-laki sudah ditabrak oleh satu Hummer hitam yang ternyata sedari tadi mengikuti. Aryo Kusuma turun dari mobil itu dan dia yang geram juga turun untuk menghadapi dua lagi.
Perhatian para penguntit teralih karena kedatangan Aryo. Jadi dia dengan cepat menyingkirkan senjata lawan, lalu mulai menghantam.
"Kita harus bicara setelah ini," teriak Aryo marah padanya. Atau pada lawan mereka? Entah.
Dia menghindari pukulan lalu menyerang ulu hati dan leher tiga kali. Lalu laki-laki itu ambruk. Kepalanya menoleh menatap Aryo yang sudah berdiri menodongkan senjata pada tiga yang tidak berdaya di aspal.
"Kamu bisa urus ini? Saya masih ada urusan yang lain," ujarnya.
Satu orang yang berusaha bangkit Aryo tendang keras dan orang itu pingsan. Tubuhnya berbalik ingin pergi dan sudah membuka pintu mobil.
"Manggala dan Rajata sudah kejar sedan perak tadi, Jen," nada Aryo ditekan dalam. "Kami sudah tahu."
Alisnya naik satu. "Oke." Dia berhenti lalu berbalik lagi menatap Aryo yang masih terlihat marah.
"Apa bisa kamu istirahat, Jen? Saya sudah kasih satu perusahaan besar untuk kamu urus. Kamu kurang sibuk?" tanya Aryo sambil menatapnya dalam.
Janice tersenyum kecil lalu berjalan menghampiri Aryo yang terlihat seksi sekali. Hmmm yummy.
"Jangan marah...." bibirnya dia gigit.
Rahang Aryo mengeras karena tahu dia sedang merayu. Dua tangan dia lingkarkan di leher Aryo. Perlahan dia menurunkan tangan Aryo yang masih menodongkan senjata. Kemudian wajah dia dekatkan ke telinga Aryo untuk berbisik.
"We never rest. My father said, because we are the guardian for life," bisiknya mesra.
Senjata dia ambil dari tangan Aryo saat dia mencium bibir Aryo dalam sambil menembakkan peluru di balik punggung laki-lakinya pada salah satu musuh yang masih bangun saja.
'DUAR-DUAR!'
https://youtu.be/WHHkVUaOxe4
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro