Part 61
Kamar Damar gelap, padahal matahari sudah mulai naik. Arsyad tahu karena tidak ada sinar yang terlihat dari sela-sela pintu kamar. Dia menatap Sabiya yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Damar belum bangun?" tanya Arsyad penasaran.
"Hhhh..." belum apa-apa Sabiya sudah menghela nafas seperti menahan kesal.
"Kenapa?"
"Anak itu terobsesi jadi kamu."
"Maksudnya?"
"Kata Damar dia pingin mempertajam indra yang lain dengan cara mengikat matanya. Ini gara-gara kebanyakan nonton film Kungfu bareng Nanda dan Yara."
Arsyad terkekeh mendengar jawaban Sabiya. "Kamu siapin makan siang di bawah, aku yang ngomong sama Damar."
Setelah mencium pipi Sabiya singkat dia mengetuk pintu kamar. "Assalamualaikum. Apa ayah boleh masuk?"
"Wa'alaikumsalam. Silahkan," sahut Damar dari dalam.
Benar saja, saat dia masuk Damar sedang berjalan menuju pintu dengan kedua mata ditutup dengan kain panjang. Tubuh Damar tidak sengaja menubruk tubuhnya karena memang penglihatan Damar terhalang. Kepala Arsyad menggeleng sambil menahan tawa.
"Maaf Ayah, ada perlu apa?" tanya Damar sambil berdiri tegak.
Dia berputar pada bagian belakang kepala Damar untuk melepas kain pengikat mata.
"Jangan dilepas, Ayah." Damar menahan lengannya.
"Damar akan jauh lebih mengerti apa yang akan Ayah bilang kalau kita bertatapan. Frekuensi kita berdua akan berada pada gelombang yang sama dan informasi apapun akan mudah sekali diingat dan dicerna," jelas Arsyad panjang lebar.
"Ah, apalagi itu frekuensi? Aku sedang melatih indraku yang lain, Ayah. Biarkan aku fokus ini dulu baru Ayah ajarkan yang lain."
Ikat mata Damar sudah Arsyad lepas lalu dia meminta Damar duduk. Damar bertubuh tinggi di usianya yang ke 11. Suara Damar juga sudah berbeda. Selama ini dia sudah mulai mendisiplinkan Damar untuk hal-hal kecil. Tidak ada asisten rumah tangga yang akan melayani Damar, semua harus dikerjakan sendiri. Juga soal solat. Damar wajib solat awal waktu, dan pasti dia bangunkan untuk tahajud. Damar mengeluh pada awalnya, tapi akhirnya menurut juga.
Mereka sudah duduk berhadapan. "Mengikat mata tidak akan membuat panca indra Damar lebih tajam. Kalaupun iya, pelatihannya akan sulit sekali. Fokus dan memusatkan pikiran pada satu hal adalah lebih penting untuk dipelajari. Jadi Damar bisa melatih telinga Damar untuk mendengar lebih jelas, atau lidah Damar untuk merasakan sesuatu lebih banyak, dan itu semua dilakukan dengan mata terbuka. Bukan tertutup."
"Kapan aku diajari itu?"
"Belum saatnya, karena Damar belum perlu berkelahi."
"Yaaah...Ayah. That's not cool," keluh Damar.
Arsyad tersenyum mengerti. "So, you want something cool?"
"Yes, I'm adult Dad. Teach me more," jawab Damar.
Dia berpikir sejenak lalu memutuskan. "Ikut Ayah."
Tubuhnya berdiri lalu berjalan dengan Damar mengiringi. Mereka menuju ke kamar utama di lantai atas lalu ke area ruang kerja. Di dalam area ruang kerja, dia menarik satu buku berwarna biru muda lalu lemari besar pada salah satu dinding terbuka. Ada lorong yang mengarah ke gudang senjata dan satu lift menuju ke lantai basement.
"Wuooooo, this is sick, Dad," wajah Damar berseri-seri karena terkesima.
"Watch your language, Boy."
"I'm sorry."
Mereka sudah berada di dalam lift menuju ke bawah. Dia akan menjelaskan seluruh aturan mainnya pada Damar. Sudah saatnya Damar mengerti apa arti tanggung jawab terhadap keluarga.
"Ayah punya semua ini di dalam rumah? Kenapa aku nggak tahu? Apa Ayah yang rancang ini semua? Om Mahendra pasti membantu kan?" Damar tidak bisa berhenti bertanya sementara dia diam saja dan terus melangkah.
Pintu Black Room berkedip ketika mereka tiba. Dia membuka dengan sandi lalu mempersilahkan Damar masuk ke dalam. Mulut Damar menganga melihat itu semua. Mata Damar terus menelusur ke seluruh area.
"Damar, duduk dulu. Ayah ingin bicara."
Damar segera duduk di salah satu kursi di dalam Black Room. Dia menghirup nafas sebelum memulai.
"Ayah sudah pernah ajarkan Damar soal silsilah keluarga Daud dan Hendrawan. Masih ingat?"
Damar mengangguk lalu mulai menyebutkan urutan keluarga Daud, lalu keluarga Hendrawan atau keluarga Sabiya.
"Sekarang sebutkan nama sahabat-sahabat keluarga Daud dan Hendrawan."
Nama-nama keluarga seperti Darusman, dan Prayogo, Damar sebukan satu per satu, berikut dengan anak-anaknya.
"Bagus. Ingatan Damar sempurna." Dia meletakkan dua lengan di atas meja agar tubuhnya mendekat pada Damar. "Sudah saatnya Damar belajar apa arti tanggung jawab melindungi keluarga."
"Maksudnya seperti pekerjaan Ayah sekarang?"
Dia mengangguk. "Ya. Apa Damar mau?"
Senyum lebar di wajah Damar menunjukkan segalanya.
"Baik. Ayah akan berikan akses untuk Damar pergi ke tempat ini hanya ketika seluruh pekerjaan rumah sudah selesai. Angel yang akan memeriksa itu semua dibantu dengan Om Mahendra dan Ayah Hanif. Tugas Damar adalah menjaga seluruh anak-anak dari generasi ketiga. Misal, Armand dan Reya. Mereka memang masih bayi tapi Damar tetap wajib memeriksa. Lalu Ayyara Daud, kemudian Nanda, Danan dan Dalen anak tante Dara, juga Shahna. Periksa seluruh anak-anak itu setelah Damar selesai mengerjakan kewajiban Damar. Jika ada yang aneh, Damar boleh menghubungi Ayah Hanif dan Om Mahendra. Karena Ayah hanya akan berikan Damar akses untuk melihat dan melapor saja, bukan untuk bertindak. Paham?"
"Bagaimana kalau mereka dalam bahaya? Apa aku boleh menelpon mereka? Atau aku boleh datang dan mempraktekkan jurus-jurus Ayah? Atau..."
"Damar tidak mendengarkan Ayah," nadanya dia naikkan sedikit tinggi. Hal itu membuat Damar diam.
"Hanya melihat dan melapor. Apa Damar mengerti?"
Kepala Damar mengangguk. Nafas dia hirup panjang. Dua tangannya memegang bahu Damar. "Semua hal ini harus Damar rahasiakan. Bahkan dari Nanda dan Yara atau dari semua orang. Paham?"
Damar mengangguk lagi. Wajah Damar berubah serius sekali.
"Ayah dan mama akan pergi dalam waktu cukup lama. Om Hanif dan Tante Faya bersama adik Armand akan tinggal di sini sementara untuk jaga Damar. Damar aman di sini, nanti akan Ayah tunjukkan dimana letak safe room untuk berjaga-jaga." Matanya menatap mata Damar dalam. "Damar harus jadi seseorang yang lebih baik dari Ayah sekarang. Agar Damar bisa menjadi penjaga keluarga. Apa Damar mau?"
"Aku selalu mau, ini yang aku tunggu, Ayah. Aku berjanji tidak akan...."
"Sssst...ingat untuk tidak membuat janji ketika sedang terlalu senang."
"Baik, Ayah."
Saliva dia loloskan. Ada banyak kekhawatiran saat dia dan Sabiya ingin pergi. Lusa mereka sudah harus bertolak menuju tempat yang dia sudah siapkan untuk Sabiya, untuk mereka. Sudah sangat lama dia tidak bepergian dan meninggalkan keluarga. Jadi seluruh perpaduan rasa benar-benar meninggalkan jejak di hati.
Dua tangannya memegang bahu Damar lalu memeluk anak laki-lakinya itu. "Ayah dan Mama sayang sekali dengan Damar. Karena itu Damar harus selalu berhati-hati."
"Danger is real, fear is choice," sambung Damar balas memeluknya.
Kepalanya mengangguk, kemudian mereka saling melepaskan.
"Ayah..."
"Ya?"
Tatapan mata Damar berbeda, ada banyak ragu di sana.
"Ada apa?" tanyanya lagi.
"Opa Janus semalam menelpon, lalu mengajak aku bicara."
"Tentang?"
Ekspresi ragu-ragu Damar belum pergi.
"Nggak apa-apa. Damar bisa cerita apa saja dengan Ayah. Ayah nggak akan marah."
"Kalian selalu memperlakukanku seperti orang dewasa, opa juga begitu." Saliva Damar loloskan perlahan. "Opa bertanya padaku apa aku ingin tahu siapa ayah biologis-ku."
Kali ini dada Arsyad mulai berdebar, ekspresi dia tahan. "Apa Damar mau tahu? Ayah juga bisa ceritakan pada Damar kalau Damar mau."
Kepala Damar menunduk sedikit. "Dulu, aku nggak pernah mau dengar. Karena kalian ayahku, tidak ada yang lain."
Dia diam mendengarkan.
"Tapi, entah kenapa aku penasaran. Apa boleh aku penasaran, Ayah? Apa rasa penasaranku akan buat Ayah sedih?"
Tubuhnya makin mendekat lalu dia tersenyum. "Apa Ayah terlihat sedih sekarang?"
Damar menatapnya lagi lalu menggeleng.
"Ayah Damar...." Dia diam sejenak berusaha menekan seluruh pusaran kenangan yang tiba-tiba datang. "Ayah Damar mencintai Mama. Sayangnya, rasa cinta yang terlalu besar membuat ayah Damar salah arah."
"Mama selalu takut dan sedih kalau aku tanya itu dan yang aku tahu dari ayah Hanif, laki-laki yang jadi ayahku adalah orang jahat. Apa benar begitu, Ayah?"
"Damar, tidak ada orang yang terlahir jahat. Tidak ada." Dia memberi jeda. "Ayah Damar sudah meninggal dunia, jadi buat apa membicarakan keburukannya. Tidak ada gunanya," jawabnya perlahan.
Selama beberapa saat Damar diam saja, menatapnya. Sementara dia memberi Damar waktu untuk mencerna, mengerti, juga mungkin bertanya.
"Kenapa...ayah dan semua om jaga mama padahal mama bukan saudara kandung kalian?" tanya Damar perlahan.
"Karena mama, adalah penjaga kami semua sejak kecil dulu. Mama yang merawat kami kalau kami sakit, mama yang membela kami kalau Kakek Ibrahim sedang marah. Mama yang membujuk nenek Trisa biar kami bisa keluar dan main. Mama selalu ada untuk kami. Tidak pernah tidak."
Nafas dia hirup perlahan sebelum melanjutkan. "Dan karena...Ayah jatuh cinta dengan mama bertahun-tahun lamanya. Mama adalah belahan jiwa ayah, selamanya begitu."
Damar diam lagi lalu meloloskan saliva.
"Buatku..." mata Damar berkaca-kaca. "Ayahku hanya ayah Arsyad dan ayah Hanif saja. Tidak ada yang lain." Lalu air mata Damar jatuh satu.
Tiba-tiba Damar memeluknya lagi, kali ini sambil terisak. "Aku sayang Ayah."
Dia menepuk punggung Damar perlahan sambil tertawa kecil. "Gimana mau Ayah tinggal kalau masih cengeng begini?"
Lalu Damar langsung melepaskan pelukan dan mengusap habis air mata. "Aku nggak nangis."
Rambut Damar dia acak sayang, kemudian dia tertawa lagi.
***
Satu hal terakhir yang harus Arsyad pastikan sebelum dia pergi adalah memeriksa perkembangan ADS. Pembangunan ADS sesuai dengan target waktu yang ditentukan. Sekalipun masih butuh waktu satu tahun sehingga ke empat sayap bisa kembali beroperasi. Tapi tiga bulan ke depan dua sayap Timur dan Barat sudah bisa lebih dulu digunakan.
Mahendra benar-benar serius untuk proyek pembangunan ini. Arsitek-arsitek terbaik di datangkan, teknologi-teknologi baru digunakan, sistem pengamanan terhadap ledakan, gempa, dan bencana lain di antisipasi dan diperbaharui. Dia bahkan tersenyum lebar melihat prototype bangunan ADS yang baru. Semua terlihat luar biasa.
"Saad, kenapa nggak berangkat-berangkat?" sapa Ram sambil mengiringinya masuk ke dalam bangunan.
"Ngusir?"
"Mana berani," Ram tertawa.
"Suasana hati bagus, Naya belum pergi ke luar negeri?"
Ram mengulum senyum saja. "I don't talk personal life."
Dia terkekeh. "You barely talk since the first day I met you, Ram. Sekarang mendingan karena Naya. Begitu?"
"Kenapa lo jadi usil, Saad?"
Mereka melangkah terus menuju sayap Timur yang baru setengah jadi, tempat dimana sasana besar berada.
"Dengar nggak kalau Alex dan Dea mau married?" ujar Ram tiba-tiba.
"Dengar. Gue nggak bisa datang kayaknya," jawabnya.
"Lo tahu juga soal Desmon dan Lidya?" tanya Ram lagi.
Langkahnya tiba-tiba berhenti. "Desmon dan Lidya? Lidya assitennya Alexandra?"
Ram mengangguk. "Mereka ada hubungan kayaknya."
Dahinya mengernyit. "Kok bisa?"
"Martin lagi deketin Lea," Ram melanjutkan tanpa menjawab pertanyaannya.
"Lea? Asistennya Antania?"
"Gue dengar begitu."
"Kenapa lo jadi lapor yang enggak-enggak?" tanyanya heran.
"Itu penting, Saad. Karena kalau mereka tiba-tiba married dan kalian belum selesai bulan madu, siapa yang jaga ADS?"
Mereka berdua mulai berjalan lagi.
"Gampang, tinggal buat peraturan baru, dilarang pacaran selama bos besar bulan madu," sahut Aryo yang tiba-tiba muncul dan berjalan di sisinya. "Kayaknya anak-anak lo telat bandel, Syad. Kesian ya," kekeh Aryo konyol.
"Hey, daripada anak buah lo yang bandel banget nggak sembuh-sembuh."
"Asal jangan bos besarnya ikut bandel juga aja. Nanti gue bilangin Sabiya. Biii...Arsyad nakal Biii..." ledek Aryo.
Ram tertawa juga, sementara dia mendengkus kesal. "Lo ngapain di sini, Yo?"
"Lah, dia insomnia, Ram. Kerja, Syad. Kerja. Ngawasin anak-anak gue biar nggak disiksa sama Leo dan Ram."
"Amnesia..." ralat Ram.
"Demensia sekalian," sahut Arsyad.
"Theresia aja gimana? Resepsionis di depan. Cakep banget, ya ampun," balas Aryo asal. "Nggak secakep bini gue sih. Tapi lumayan lah, daripada insomnia."
Dia hanya bisa menggeleng kesal saat mereka tiba di area sasana. Mereka berhenti di pinggir area, melihat preman-preman asuhan Aryo Kusuma dilatih di sana. Leo dan Elang yang sudah pulih membagi mereka ke dalam tiga kelompok. Lalu berlatih stamina dengan cara mengulang gerakan yang sama berkali-kali.
"Dari semua anak haram Aryo, cuma Dony yang badannya bagus. Lainnya buncit karena minum alkohol," ujar Ram.
"Hidup itu pilihan, Ram," timpal Aryo.
"Ya memang piihan dan lihat kemana pllihan membawa kalian sekarang. Gue harap nyali kalian sebesar mulut kalian, Aryo."
Aryo tertawa kecil. "Mulut kita selalu lebih besar, Ram. Kita anak jalanan, nggak punya aturan."
Beberapa tim Aryo sudah mulai kelelahan, bahkan ada yang sudah duduk di pinggir area tidak peduli. Leo menghampiri laki-laki yang duduk itu lalu mereka mulai adu mulut yang berakhir dengan baku hantam. Arsyad menarik nafas panjang memperhatikan dari tempat dia berdiri.
"Bagaimana persiapan the Black Mamba?" tanya Arsyad pada Ram.
"Bagus. Tapi tolong jangan turunkan mereka dulu kalau para commander bisa bereskan," jawab Ram. Commander adalah panggilan untuk anggota team Black Command.
"The Black Mamba? Apaan tu?" Aryo penasaran.
Ram menatap Aryo tidak percaya. "Lo nggak tahu apa itu The Black Mamba?"
"Itu nama ular, gue tahu."
Kemudian Ram tertawa. "Wow, you need to have a proper communication with your wife."
"Ck...Ram. Ayolah. Lo tahu dia suka tantrum tiba-tiba," decak Arsyad kesal dengan Ram. Tubuhnya berbalik ke luar area sasana untuk memeriksa yang lain.
"My wife?" Aryo terus mengikuti dia dan Ram. "Syad, Mamba itu ada kaitannya sama bini gue?"
Dia diam saja terus berjalan dan memeriksa sampai bahunya di tahan oleh Aryo.
"Apa kaitannya dengan Janice?" tanya Aryo dengan mimik serius.
Nafas dia hela. "The Black Mamba, pasukan elite khusus wanita. Persis seperti Black Command-nya Niko Pratama. Tapi Black Mamba adalah ide dari Janice dan dipimpin oleh dia sendiri."
Ekspresi Aryo makin kacau.
"Janice yang merekrut anggota dan melatih mereka bersama Edward," tambah Ram.
"Gila. Lo harus bubarkan girl band itu atau..." teriak Aryo.
"Silahkan bicara pada pendirinya langsung. Berani?" pungkas Arsyad tenang.
"Syad, itu Janice. Perempuan dan bini gue by the way. Janice hanya akan mendengarkan lo. Tolong bujuk Janice agar batalkan semua."
"Apa alasannya?"
"Berbahaya. Urusan hantam menghantam itu urusan laki-laki. Nggak usah ada perempuan terutama Janice," jawab Aryo.
"Ini ide Janice dan Edward, bukan gue. Dengan besaran saham yang Edward dan Janice punya, mereka berhak."
"Dan lo juga berhak. Lo punya saham terbesar, Syad. Ayolah!" bujuk Aryo.
Arsyad mulai berjalan ke salah satu ruangan. Pembicaraan seperti ini tidak bisa dilakukan di luar. Ram yang mengerti kemudian pamit pergi meninggalkan dia dan Aryo di dalam salah satu ruangan kosong. Ponsel dia angkat untuk menghubungi Janice. Dalam dua deringan Janice mengangkat.
"Ya, Tuan," sapa Janice.
"Arsyad, Janice. Nama saya Arsyad."
Janice hanya berdehem. "Ada apa?"
Ponsel dia alihkan pada load speaker agar Aryo bisa mendengar. "Batalkan inisiasi Black Mamba."
"Alasannya?" tanya Janice.
"Terlalu berbahaya untuk wani..."
"Anda tidak pernah mendiskriminasi wanita. Tidak pernah. Pasti ada alasan lain."
Arsyad menatap Aryo yang berwajah cemas. Bibir Aryo bergerak tanpa suara seolah bilang 'cari alasan lain, Syad!'
"Dana yang ada akan dialihkan pada proses pembangunan. Saya butuh dana proyek itu." Dia melemparkan alasan lain.
Janice tertawa kecil. "Tuan...maksud saya Arsyad, ini tidak seperti anda." Janice diam sejenak. "Anda sedang berada di ADS hari ini, begitu menurut jadwal. Sebentar..." ada suara mengetik di seberang sana. "Aryo Kusuma juga ada di sana. Apa ini permintaan Aryo?"
"Jen, iya saya yang minta. Tolong batalkan girl band yang kamu punya," Aryo bersuara. "Terlalu berbahaya."
"Girl band?" nada Janice sedikit tinggi. "Selamat siang, saya banyak uru..."
"Jen, dengarkan saya," potong Aryo.
Nafas Janice hela di sana. "Kamu yang harus dengarkan saya. Inisiasi proyek ini sudah dimulai dari dua tahun yang lalu. Para Mamba's akan jauh lebih baik daripada para commander atau pasukan elite di negeri ini. Mereka saat ini sudah siap dan tidak ada siapapun yang bisa membatalkan itu."
"Tapi Jen..."
"Selamat siang." Hubungan disudahi.
***
Janice mengetuk-ketuk jari pada meja yang dia duduki dengan ekspresi kesal. Girl band? Kemampuan Mamba's adalah nomor 1, dia yang memastikan itu. Jadi dia benar-benar gusar dengan cara Aryo bicara. Kepala dia gelengkan untuk mengusir kemarahan kemudian dia berdiri untuk memeriksa ruangan tersembunyi Herman di dalam kantor besar miliknya.
Gedung kantor milik Herman ternyata adalah tempat yang sempurna. Herman pintar namun old fashion sekali. Teknologi yang minim, juga pengaturan yang terlalu sederhana dan desain interior yang payah. Hari kedua dia menjabat dia langsung memeriksa blueprint gedung dan menemukan Herman bukan hanya memiliki ruangan tersembunyi, tapi juga bunker dan satu lantai yang seolah tidak ada namun ada. Kelihatan sekali bangunan ini dirancang sebagai salah satu tempat perlindungan.
Bagus. Saat ini Mamba belum memiliki markas besar. Apa yang lebih baik dari gedung ini? Penyamaran yang sempurna karena memiliki prajurit wanita, mereka dengan mudah bisa menyamar sebagai pekerja kantor biasa.
Janice tersenyum kecil lalu masuk ke ruangan tersembunyi di balik salah satu dinding kantor yang sebelumnya digunakan Herman untuk bersenang-senang. Dasar laki-laki. Otak mereka dangkal sekali.
"Semua sudah siap, M?" dia bertanya pada salah satu tangan kanannya yang sedang mengatur seluruh sistem dan teknologi.
"Sesuai dengan timeline. Tapi ruangan ini benar-benar butuh disembunyikan, J."
"Saya yang akan atur itu. Kontraktor sedang mengerjakan desainnya," jawabnya sambil menatap banyak layar pada salah satu dinding.
"Ya, dan kamu sudah memasang ini semua? Benar-benar seperti kamu, J. Nggak sabaran," M terkekeh.
Dia duduk di kursi besar tengah ruangan yang menghadap ke layar-layar itu. "Bisa kita mulai?"
"In 3...2...1, go." M memijit salah satu tombol.
Layar-layar sejenak gelap lalu satu demi satu muncul wajah-wajah para Mamba.
"Good afternoon, J," para Mamba memberi salam serentak di luar sana.
"Good afternoon, Ladies." Dia tersenyum lebar lalu menatap Elena di layar. "The sky is good, L. Please start."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro