Part 6
Sabtu pagi.
Satu kebiasaan Arsyad yang menular padanya adalah bangun pagi. Benar-benar pagi. Seluruh aktifitas ADS juga dimulai pagi-pagi sekali. Jadi matanya sudah terbuka ketika jam menunjukkan angka empat. Tidurnya kurang nyenyak dan kepalanya masih pusing. Jadi dia menggeser pintu balkon dan memandang langit yang masih gelap di luar sana.
Kamar Audra berada persis di sebelahnya dengan balkon yang lebih luas hingga dia bisa melihat ke sana jika dia menjulurkan kepala. Entah kenapa pintu balkon Audra terbuka dan gordyn yang ada hanya menutup setengahnya saja. Tanpa dia rencanakan matanya sudah mulai mencari melalui jendela besar yang setengah terbuka. Audra ada di atas tempat tidur besar, berbaring miring membelakanginya. Setengah tubuh Audra tertutup selimut dengan rambut panjang yang tergerai begitu saja.
Kenapa pintu balkonnya terbuka? Juga gordyn jendelanya? Apa wanita itu gelisah juga dan tidak bisa tidur semalam? Kenapa? Bukankah semua emosi Audra sudah dilampiaskan padanya? Apa Audra masih kesal?
Bayangan ekspresi marah Audra datang lagi, tapi kemudian berganti dengan ekspresi tawa lepas Audra saat mereka di dalam mobil. Atau bagaimana Audra menyodorkan tiga buah fitbar padanya kemarin.
Matanya terpejam erat dan kepalanya menggeleng kuat. Berusaha menghilangkan bayang-bayang Audra atau kebersamaan mereka yang aneh beberapa hari ini. Memang singkat, tapi entah kenapa terasa berbeda. Karena sungguh dia senang jika melihat Audra tertawa, atau benar-benar khawatir ketika Audra mulai memakai topengnya. Rasa penasaran juga mengusik dirinya, membuat dia berpikir dan bertanya-tanya.
Hhhhh...Niiik. Fokus, Nik.
Kemudian dia memutuskan untuk berlatih agar dia tidak mulai menjadi gila.
***
Pintu teras belakang yang menghadap ke kolam renang dia geser. Dia baru saja menyelesaikan morning run dan latihan ringan saat jarum jam menunjukkan angka delapan.
"Morning!!" Ayyara duduk di kursi tinggi dekat kitchen island, dengan piyama dan sedang menyantap sereal.
"Selamat pagi." Senyumnya pada Ayyara.
Bukan hanya Ayyara, wangi lembut Audra dia bisa baui dari jarak seperti ini. Audra mengenakan kimono satin panjang berwarna cream lembut di atas camisole berwarna senada. Rambut Audra diikat ke atas tinggi dan leher jenjangnya terekspos begitu saja. Wanita itu sedang membuat kopi.
Kunyahan Ayyara melambat sambil menatapnya yang sedang membuka gordyn dan pintu geser lebar-lebar. Satu tangan Ayyara menumpu kepala bagian samping gadis kecil itu.
"Ma, ingatkan aku..." ujar Ayyara sambil masih menatapnya aneh.
"Ingatkan apa?" Audra sedang menuang kopi ke dua buah cangkir.
"Nanti, kalau aku sudah besar aku mau punya pacar kayak Om Niko. Mama harus lihat, Om Niko kalau lagi keringetan ganteng banget. Lihat, Ma," ujar Ayyara polos sambil menatapnya.
"Auw ssshhh...Yara, jangan ngomong aneh-aneh. Tangan mama kena kopi panas nih," omel Audra.
Dia tertawa dan menggelengkan kepala. "Young Lady, kamu belum cukup usia." Tubuhnya berjalan untuk mengambil kotak P3K. "Kerjakan PR mu, dan segala hal sendiri dulu, nanti laki-laki akan mengantri. Jangan khawatir." Tangannya membuka kotak P3K milik Mahendra dan mengambil gel untuk luka bakar ringan.
Kemudian dia menghampiri Audra yang sedang menekan tangannya yang terkena panas tadi dengan tisu. "Jangan ditekan begitu." Satu tangannya mengambil tangan Audra dan membuang tisu tadi.
Kran air sudah dia buka dan tangan Audra yang terluka tadi dia letakkan di bawah pancuran air. "Semua luka harus dibersihkan dulu."
"Kalian cocok sekali. Apa kalian tahu?" Ayyara melanjutkan kunyahannya sambil menatap mereka berdua.
Refleks Audra menarik tangannya cepat dan dia memberikan gel yang dia genggam tadi. "Oleskan di luka tadi setelah dikeringkan dengan tisu perlahan," pintanya.
Kemudian dia membersihkan sisa kopi di counter dapur dengan lap bersih lalu menolehkan kepala pada Audra. "Ini buat saya?" matanya menatap satu cangkir di hadapannya.
"Ayyara nggak minum kopi, jadi ya buat kamu," jawab Audra dengan ekspresi kesal.
"Terimakasih." Dia membawa kopi dan duduk di sebelah Ayyara.
"Om keringetan, tapi tetap wangi." Senyum Ayyara mengembang lagi.
Dia tertawa lalu menghirup kopinya. "Yara mau kemana hari ini?"
"Kata mama aku nggak boleh kemana-mana. Lagi banyak bahaya."
Kepalanya mengangguk setuju setelah dua kali menyesap kopinya. Kopi buatan Audra enak, sedikitnya dia terkejut karena dia mengira Audra tidak bisa membuat kopi.
"Aku pasti bosan banget," ujar Ayyara dengan wajah masam. "Acara Om apa?"
"Om ada urusan nanti siang. Tapi pagi ini nggak ada apa-apa. Yara mau berenang?"
"Aku nggak bisa renang."
"Loh, terus kolam renang di rumah buat apa?" tanyanya heran sambil menoleh ke Audra yang cuek saja.
"Buat mama pesta. Hiasan, biar keren aja. Ya, Ma?" Yara menatap Audra sambil menggeser mangkuk sereal yang sudah kosong.
"Kamu yang nggak mau Mama les-in berenang," sahut Audra.
"Aku nggak mau kalau gurunya perempuan."
"Yara, guru perempuan yang mama panggil sama baiknya dan lebih aman..."
"Om Niko mau ajarin aku?" potong Yara menatapnya.
Matanya menatap Audra meminta persetujuan. Audra mendengkus kesal tapi menganggukkan kepala.
"Oke, ganti baju sana," ujarnya.
"Kok Om Niko boleh?" tanya Yara sambil berdiri.
"Karena Om Niko nggak akan aneh-aneh sama Yara."
"Aneh apa sih Ma? Aku nggak ngerti. Mama selalu punya pikiran jelek sama semua teman laki-laki Yara. Padahal aku cuma main atau ngerjain PR."
"Yara, ganti bajunya sekarang atau mama cabut ijinnya," ancam Audra lalu Yara melesat naik ke atas.
Dia tersenyum melihat tingkah Yara sambil setengahnya bersyukur karena keberadaan Ayyara bisa menjadi penetralisir suasana antara dia dan Audra. Ya, dia bisa merasakan atmosfir yang berbeda ketika mereka berdua berada di ruangan yang sama sejak kemarin. Tubuhnya berdiri membereskan mangkuk sereal Ayyara dan cangkir kopinya sendiri.
"Nggak perlu selalu beres-beres, Nik. Kamu komandan tertinggi di ADS. Ada banyak pelayan di sini," ujar Audra.
"Justru karena saya komandan tertinggi di ADS, akan sangat lucu kalau membersihkan cangkir kopi sendiri saya tidak bisa." Cangkir kopi dan mangkuk sereal sudah dia letakkan di kitchen sink lalu dia mulai mencucinya.
"Perspektif terbalik. Kamu kuliah psikologi?" tanya Audra sambil berdiri menatapnya dan menghirup kopi.
"Enggak. Saya kuliah teknik, dan lanjut ke akademi militer karena teknik bukan passion saya. Membersihkan segalanya sendiri nggak ada hubungannya dengan saya kuliah dimana. Orangtua saya mengajarkan saya untuk mandiri sejak kecil."
"Orangtua saya mengajarkan nilai suku bunga dan pengaruhnya pada pasar saham sejak saya umur 12, Nik. Hadiah ulang tahun saya ke tujuh belas adalah salah satu anak perusahaan Sanggara Buana untuk saya kelola. Tiga bulan pertama, perusahaan itu merugi hingga lima ratus tiga puluh lima juta. Ayah memotong seluruh asset atas nama saya untuk mengganti kerugian itu. Satu tahun kemudian usaha yang saya kelola berkembang, saya belajar dari kesalahan. Saya bisa membeli asset saya kembali dan bahkan menambah beberapa asset lainnya." Audra menatapnya tegas. "Bukan berarti, kalau saya tidak bisa beres-beres rumah, atau cuci piring jadi saya tidak bisa apa-apa."
Dia tersenyum lagi sambil mengelap cangkir yang sudah dia cuci. "Audra, kamu tersinggung lagi." Tubuhnya dia hadapkan pada Audra. "Saya tahu kamu luar biasa. Bukan hanya saya, enam bulan lalu saya baca artikelmu di The Harvard Journal. Kamu bahkan diundang untuk mengisi online seminar mereka. Mungkin tahun depan Forbes akan meliputmu. You are a great woman, no question."
"Tapi?" tanya Audra dengan banyak praduga di matanya.
"Tidak ada tapi. Hanya itu saja. Sebaiknya saya berhenti bicara atau kamu nanti tersinggung lagi. Padahal saya nggak pernah bermaksud begitu."
"Aku sudah siap!!!" Ayyara berlari masuk ke area dapur lagi sambil menatap mereka berdua. "Kalian kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa. Yuk," ujarnya sambil membalik tubuh menghadap Ayyara.
Dia melangkah keluar teras lalu membuka kausnya dan menyusul Ayyara yang sudah melompat masuk ke dalam kolam renang.
***
Mata Audra mengikuti sosok Niko dan Ayyara yang berada di kolam renang, dan benar-benar heran karena bahkan hubungan Ayyara dan Evan tidak sedekat itu. Ya, sesekali Evan masih minta bertemu dengan Ayyara. Tapi tidak ada wajah ceria seperti apa yang dia lihat saat Ayyara bersama Niko. Sedikitnya dia merasa cemburu. Tapi apa dia cemburu karena perhatian Ayyara yang berkurang untuknya, atau justru karena....
Audraaaaa...stop it. Dasar gila. Apa-apaan sih!
Dia dan Niko baru berinteraksi kurang lebih satu setengah minggu. Tapi, entah kenapa rasanya berbeda. Niko konyol, lucu, menyebalkan karena kalimatnya yang benar, dan...tampan. Goooddd...I'm totally insane. Kepalanya dia pijit perlahan. Dia butuh pengalihan.
"Nyonya, orang-orang dari spa sudah datang. Ruangan sudah saya siapkan," ujar salah satu asistennya.
Perfect.
"Oke, saya segera ke sana." Tubuhnya melangkah menjauhi sosok sempurna Niko dan Ayyara yang sedang tertawa di kolam renang. Kemudian satu ide terlintas di kepala. Tubuhnya berbalik dan menatap asistennya.
"Saya ingin masak makan malam. Tolong siapkan semua."
"Baik, Nyonya."
Senyumnya mengembang. Dia akan menunjukkan ke Niko bahwa dia bisa banyak hal dan memasak adalah salah satunya.
***
Malamnya.
Sejak siang tadi Niko pergi ke luar. Entah kemana. Dia sendiri benar-benar menikmati spa mingguan dan memulai masak sedikit terlambat. Tapi melihat hasil masakannya sendiri, dia benar-benar puas. Sudah pukul tujuh tiga puluh malam, dan Niko belum tiba. Masakannya baru dia keluarkan lima menit yang lalu, tapi dia mulai tidak sabar.
"Ma, baunya enak banget. Aku lapar. Kita makan sekarang aja," ujar Ayyara.
"Kamu tahu Om Niko kemana nggak?" tanyanya.
"Enggak. Katanya ada urusan. Gitu aja tadi." Ayyara terus menatap masakan di tengah meja. "Maaa...aku lapeerr."
Belum sempat dia berkata-kata, sosok itu muncul dari arah ruang tengah.
"Malam, kalian sudah makan?" tanya Niko.
"Mama nggak bolehin aku makan karena Om belum pulang."
"Yara!" Matanya mendelik memperingati anaknya yang sedang mencebik kesal.
"Oh, maaf. Saya nggak tahu kalau kalian tunggu saya. Oke, saya mandi dulu ya," ujar Niko salah tingkah.
"Maaa...aku lapaar," rengek Ayyara.
"Yara boleh makan duluan. Om hanya mandi sebentar," Niko tersenyum pada Yara kemudian berlalu ke lantai atas.
Ayyara sudah dengan sigap mengambil makanan di atas meja.
"Makan pelan-pelan, Ayyara. Jangan seperti orang bar-bar," dia memperingati.
"Aku lapar, Ma. Berenang sama Om Niko, terus main basket sama Om Dado. Aku capek dan lapar." Yara asyik mengunyah makanan. "Tumben Mama masak. Terus mama lebih wangi daripada biasanya."
"Sssstt...Yara jangan usil. Makan aja."
"Ma, aku mau Om Niko tinggal sama kita terus. Om Niko pinter banget, dia ngerjain soal matematika-ku cepat banget dan aku ngerti kalau diajarin sama Om Niko. Terus, tadi Om Niko ajarin aku berenang. Aku udah bisa sedikit. Besok aku mau belajar lagi. Kata Om Niko, berenang itu salah satu skill to survive. Damar aja udah jago karena diajarin sama Ayahnya. Jadi Om Niko di sini terus ya Maa...pleaseee."
Dia diam, kalimat Yara barusan sedikit mengganggunya. Niko itu tamu, sementara saja. Bukan seseorang yang akan tinggal lama. Tapi sikap dirinya sendiri berlebihan begini. Memasak? Berdandan rapih? Untuk siapa? Dia konyol sekali.
"Ma, kok nggak makan?" tanya Ayyara.
Nafas dia hembus perlahan sambil meraih piring. Dia tidak mau Niko tahu bahwa dia menunggu Niko untuk makan. Karena itu dia akan mulai makan saja. Tubuhnya sudah berdiri untuk memotong beef wellington yang terhidang di meja saat wangi samar sehabis mandi Niko menguar dan sosok itu masuk ke ruang makan.
"Om Niko wangi, kayak masakan mama. Aku seneng," Ayyara menatap Niko yang tersenyum lebar.
Laki-laki itu mengenakan celana training hitam dan kaus abu-abu yang pas. Tidak ketat, tidak terlalu besar. Bayangan tubuh liat dan sempurna Niko tadi pagi melintas tiba-tiba, membuat dia menggelengkan kepala cepat.
"Wow, beef wellington. Apa kalian sedang merayakan sesuatu?" ujar Niko sambil mengambil piring kosong.
"Tahu nggak Om. Mama itu masak satu tahun satu kali doang, dan biasanya cuma masak pasta. Mana pernah mama masak yang model begini."
"Yara..." dia sudah kembali duduk dan siap untuk makan.
"Mama masak dari jam 3 sore. Lama, tapi enak," lanjut Ayyara tidak perduli.
"Yara, kalau makan nggak usah sambil ngomong." Sudut matanya mengawasi Niko yang ekspresinya biasa saja.
"Terus Om. Mamaku cantik banget kan? Aku selalu pingin jadi kayak Mama. Baju-baju mama banyak banget. Mamaku kayak Barbie. Dia punya lemari besar di dalam kamarnya. Kita punya baju samaan, tapi aku pendek, nggak tinggi kayak Mama..."
Kepala Niko mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil mendengar celotehan Ayyara. Laki-laki itu mulai menyuap makanannya, dia sendiri juga melakukan hal yang sama. Tapi kemudian...Oh my Goood. Ini bukan dijon mustard. HHrrgghhh...
"Ini enak sekali," ujar Niko tersenyum padanya.
Matanya menatap Niko dan Ayyara yang masih asyik makan. Untuk dia, salah satu bahan wajib untuk resep beef wellington adalah dijon mustard, tidak bisa mustard biasa. Rasanya akan berbeda. Dia tadi terburu-buru jadi tidak mencicipi bahan utamanya. Sejak kecil dia sulit sekali menerima ketidak sempurnaan, kesalahan, apalagi yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Selera makannya tiba-tiba hilang.
Tubuhnya tegak kaku, tiba-tiba dia merasa marah sendiri. Kenapa dia seperti ini? Bertingkah laku kekanakkan, bertindak terburu-buru, lalu berusaha mencari perhatian pada laki-laki yang dia baru kenal satu minggu.
"Aud, ada apa?" tanya Niko sambil menatapnya.
Piring sudah dia geser menjauh sambil menatap jijik pada kesalahannya sendiri. Audra Daud adalah perempuan dengan harga diri yang tinggi, Audra Daud tidak tertawa sembarangan, berteriak sembarangan, dan selalu menjaga sikapnya. Satu lagi yang paling penting, Audra Daud tidak pernah mengejar laki-laki. Semenjak Niko Pratama ada di sini, dia kehilangan dirinya. Seperti terbuai dengan angan-angan semu karena selama ini tidak ada satu laki-laki pun yang dekat dengannya dan membuatnya nyaman.
Nyaman, Aud? Oh God. Virus itu mulai menjangkiti. Ingat Evan dulu, Aud. Semua laki-laki sama saja.
"Saya ingin keluar," ujarnya kaku.
"Keluar? Kemana?" tanya Niko heran.
"Bukan urusanmu." Kepalanya menatap Ayyara. "Sayang, jangan tidur terlalu malam, oke." Serbet makan dia letakkan di atas meja lalu dia berlalu ke kamarnya. Bersiap-siap.
Lima belas menit kemudian dia mematut dirinya di cermin puas. Lalu dia menghubungi salah satu temannya. Helena, si ratu pesta.
"Helena..."
"Hai, Darling. Gue kangen sama lo, kita kangen sama lo." Helena menyahut sedikit berteriak di seberang sana. Suara musik berdentum di belakang Helena. "Gue di club langganan, lagi ada DJ favorit gue di sini. Gilaaa...lo ke sini ya. Gue info Ron kalau lo ke sini."
Dia tertawa. "Ya, gue ke sana sekarang," sahutnya sambil melangkah ke luar kamar.
Sudah ada Niko menunggu di depan kamar dengan kaus tadi, celana jins gelap dan menggenggam jaket kulit hitam. Tangan Niko bersedekap di depan dengan ekspresi yang ditahan.
Hah, not my business. Langkahnya panjang-panjang menuju lantai bawah.
"Mau kemana, Aud?" Niko berada di sebelahnya.
"Bukan urusanmu," sahutnya sinis.
"Saya nggak suka campuri urusan kamu. Tapi sekarang, urusan kamu adalah urusan saya juga."
Kalimat Niko tidak dia perdulikan. Kakinya terus melangkah ke arah teras depan rumah. Mobilnya sudah menunggu di sana.
"Aud, di luar berbahaya. Club langganan kamu sedang ramai-ramainya karena ada acara. Itu tempat umum, ya Tuhan!" tangan Niko menahan lengannya.
Dia melepaskan tangan Niko kasar. Tidak heran bahwa Niko dengan mudah bisa tahu kemana tujuannya malam ini. Ya, laki-laki ini adalah Niko Pratama si pencari jejak. "Nik, saya bisa jaga diri saya sendiri."
Pintu mobil dia buka dan dia duduk di kursi belakang. Niko masuk ke belakang kemudi dan mulai menjalankan mobil.
"Ada apa, Aud? Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah?" ujar Niko perlahan.
"Saya nggak berubah. Ini adalah saya. Dari dulu begini."
"Bukan, ini bukan kamu. Menyelesaikan masalah dengan pergi ke klub malam dan memakai pakaian yang setengah terbuka? Itu bukan kamu."
"Jangan sok tahu."
"Saya tahu, bukan sok tahu." Niko berdecak kesal sambil menatapnya dari spion tengah. "Jangan bertindak gegabah, Aud. Jangan turuti emosimu. Kamu bisa menyesal. Kamu punya Ayyara di rumah yang menunggu kamu. Ayolah, Aud."
Dia tertawa kecil. "Nik, saya hidup sendiri bertahun lamanya. Hanya bersama Ayyara. Menurut kamu, sepanjang waktu itu saya nggak bisa jaga diri? Wow, that's insulting."
"Aud, saya nggak paham kenapa kamu selalu tersinggung dengan saya. Kondisi dulu dengan sekarang berbeda. Apa perlu saya ingatkan kalau ADS dihancurkan, Darius dan Herman merajalela. Arsyad bahkan...hrrrghhh. Di luar berbahaya, Audra. Kamu sangat paham itu. Jadi saya nggak paham alasan kamu emosi berlebihan dan mulai bertingkah begini." Nada Niko mulai naik tinggi.
"Because of you!! Dasar laki-laki menyebalkan. Can you just go? Jaga orang lain aja sana. Leave me and Ayyara alone. Leave us alone. We don't need you!!" teriaknya emosi dari kursi belakang. Seluruh ketakutan karena menyadari pertahanan dirinya mulai terkikis saat dia bertemu laki-laki ini membuat dia meledak juga.
Rahang Niko mengeras, tangan laki-laki itu menggenggam setir lebih kuat. Tapi mulut Niko bungkam.
"Just get me to the club, and you can go to hell," desisnya marah.
Mobil melaju lebih cepat dengan dadanya yang masih berdentum seru. Karena seluruh sensor tanda bahayanya berbunyi saat rasa nyaman mulai merayapi. Karena malamnya yang mulai terganggu dengan bayangan laki-laki ini. Karena rasanya sakit ketika tahu dia mulai berharap pada laki-laki yang dia baru kenal satu minggu. Karena seluruh kegagalannya dulu seperti kembali menghantui. Tindakan yang paling benar, adalah mendorong seluruh rasa itu pergi.
***
Wanita yang duduk di belakangnya ini benar-benar menguras habis seluruh emosinya sendiri. Sikap Audra Daud berubah-ubah tidak menentu. Tadi pagi mereka berinteraksi biasa saja. Lalu malamnya dia hanya pulang dan makan malam bersama saja.
Pulang? Kamu bertugas di sana, Nik. Itu bukan rumahmu. Hhhh...ada apa dengan dirinya.
Lalu tiba-tiba Audra seperti terluka, entah karena apa karena dia sendiri hanya bicara pada Ayyara. Ah, dia bahkan memuji masakan Audra. Sekarang permintaan Audra benar-benar absurd. Pergi ke club dengan kondisi banyak bahaya. Oh, tentu tidak selama dia ada. Pedal gas dia injak dalam-dalam sambil menghubungi salah satu timnya.
"Martin..."
"Yes, Bos?"
"Tempat yang saya periksa siang ini, apa sudah siap?" tanyanya. Siang tadi dia memeriksa salah satu rumah peristirahatan milik Ardiyanto Daud yang akan dia gunakan sebagai back up jika rumah Audra diserang.
"CCTV lantai bawah belum semua menyala. Besok baru kita pasang."
"Saya yang akan pasang besok. Kirim dua orang untuk berjaga. Nyonya besar saya tempatkan di sana malam ini."
Hubungan dia sudahi dengan Audra yang sudah protes lagi.
"Nik, kamu mau bawa saya kemana?"
"Tempat untuk mendinginkan pikiranmu yang entah kenapa buruk sekali, Aud."
"Get me to the club, Brengsek!!" teriak Audra lagi.
"I swear I will not."
"Niko Pratama, kamu pikir kamu siapa huh?"
Dia tersenyum kesal. "Kamu baru menyebut nama saya, jadi harusnya kamu tahu siapa saya."
Bahunya dipukul dari belakang. "Get me to the club and I will fire you."
"I'm not working for you, Aud."
Selama beberapa saat Audra masih memakinya, lalu diam mungkin karena lelah sendiri.
Empat puluh menit kemudian mereka tiba dan Audra sudah turun sambil membanting pintu mobil. Dia menyusul masuk. Tempat peristirahatan keluarga Ardiyanto Daud besar, lebih besar dari rumah Audra. Mungkin karena memang tempat ini disiapkan untuk kumpul keluarga. Martin sudah mengurus segala kebersihan tempat ini karena memang sudah lama tidak ditinggali. CCTV lantai atas dan luar sudah menyala, tersisa CCTV lantai bawah yang besok akan dia benahi. Rumah ini kosong, hanya ada dua penjaga di gerbang depan yang dia panggil tadi.
Tubuhnya berhenti saat Audra masuk ke dalam ruang tengah dan berbalik menatapnya murka. Audra mengenakan pakaian yang...ya Tuhan, Audra. Jadi dia menatap lurus ke mata Audra saja.
"Silahkan berteriak. Tidak ada Ayyara di sini. Maki-maki saya sepuasmu."
"Manusia brengsek!! Saya akan bilang ke Hanif dan Mareno atas kelakuanmu ini," teriak Audra marah.
Audra melepas satu sepatu heelsnya dan melemparkan pada tubuhnya. "Kamu pikir kamu siapa bisa atur-atur hidup saya?"
Satu lagi sepatu mendarat di dadanya sementara dia berdiri menatap Audra saja.
"Jangan pikir karena kamu sahabat dekat Arsyad jadi kamu bisa begini. Saya tidak terima!! Antar saya ke club. Apa kamu nggak punya telinga? Manusia bodoh!! Saya pikir ibu kamu nggak pernah..."
Tubuhnya melesat dan wajahnya dia dekatkan pada Audra. "Stop, jangan menghina ibu saya. Jangan pernah berani." Dia tidak main-main kali ini.
'PLAK!' Audra menampar pipinya kuat. "Atau apa huh? Saya ingin kamu pergi, jadi saya akan menghina siapa saja yang ada di dalam hidupmu..."
Tubuh Audra dia angkat di bahu dan bawa ke teras belakang. Audra menjerit terkejut dan masih memaki. Dia tidak perduli, tidak ada satu orang pun di seluruh dunia yang akan dia ijinkan menghina keluarganya, apalagi ibunya. Tidak ada. Jadi wanita ini akan dia beri pelajaran berharga.
"Niko!! Turunkan saya. Nik!!"
Tubuhnya sudah berada di pinggir kolam renang. "Oke, saya turunkan."
Dia melempar tubuh Audra ke dalam kolam renang. Menikmati ekspresi terkejut wanita itu sambil berdiri melipat tangannya di pinggir kolam. "Dinginkan kepalamu dulu di situ, Aud."
Kemudian dia melangkah ke kamar mandi dalam untuk mengambil handuk besar yang bersih. Saat dia kembali ke luar, tubuh Audra sudah berada di pinggir kolam renang terbatuk-batuk kuat. Dia mendekati Audra lalu berjongkok dekat dengan wanita itu.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya datar. Dia yakin Audra baik-baik saja karena Audra mahir berenang. Wanita ini benar-benar menguji emosinya dan dia kelepasan.
Wajah Audra yang murka menatapnya, tapi Audra diam saja. Satu tangan dia ulurkan untuk membantu Audra naik. Wanita itu berhasil naik sendiri dan menepis tangannya kasar.
"Don't touch me," desis Audra.
"Never insult my family, and I'm not joking."
Handuk dia berikan ke Audra kemudian dia berlalu dari situ.
***
Ini lagu paaas bangeet buat Mba Audra yang lagi galau. Kalian jangan galau juga, part berikutnya ada si Tuan gadungan nih.
https://youtu.be/Mi6I5fWQbXE
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro