Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 59

Benar-benar baru selesai tulis pagi ini. Info kalau ada typo yah. Enjoy!

***

Mareno menatap sarangnya saat ini. Penthouse mewah yang dulu tidak terjamah tangan wanita. Sejak dia menikah dengan Tania dia harus siap berbagi. Mulai dari walk-in-closet, kamar mandi dan ruangan pribadi yang lain. Dia tidak masalah, malahan merasa senang melihat seluruh barang pribadi Tania yang tersebar di sarangnya.

Sekarang, lagi-lagi dia harus berbagi. Dengan bayi kecil bermata hitam gelap, dan berambut curly, juga hidung yang mancung sekali. Andrea Tamara Daud mewarisi sebagian besar struktur wajahnya, serta mata dan rambut Tania. Reya bahkan sudah tampak mempesona saat dia gendong bayi mungil itu di tangannya.

Sejak saat itu pusat dunianya berubah. Reya seperti penyihir kecil yang membuat dia bertekuk lutut karena sungguh dia akan memberikan apa saja agar Reya tertawa. Bayi kecilnya akan tumbuh menjadi gadis kecil yang pintar seperti Tania, kemudian bertransformasi menjadi wanita dewasa yang mempesona. Bahaya, bahaya. Bahkan dia sudah mulai berdiskusi dengan Arsyad dan Mahendra bagaimana cara melindungi Reya nanti.

Satu hal yang dia belum terbiasa, adalah berbagi Tania. Selama ini Tania adalah istri yang cekatan dan sangat teratur. Kapasitas otak Tania tidak main-main, karena Tania bahkan lebih hafal jadwalnya daripada dia sendiri. Semua hal pribadinya diurus oleh Tania. Selera pakaian Tania juga hebat, karena dia tidak pernah mengeluh dengan apapun yang Tania siapkan untuk dia pakai.

Urusan ranjang, itu adalah urusannya. Dia yang akan menyenangkan Tania sekalipun terkadang Tania melakukan hal-hal yang tidak dia duga. Intinya, Antania Tielman adalah istri yang sempurna. Masakan Tania enak, Tania selalu meluangkan waktu untuknya sesibuk apapun Tania, mengatur segala urusan pribadinya, Tania juga sangat pintar membawa diri. Mereka serasi. Jadi ketika Reya muncul di bumi, dia harus rela berbagi Tania. Ya, dia punya dua penyihir sekarang.

Tangan Mareno menggapai Tania yang tidak ada di sisinya. Dia bangun dan menatap jam yang menunjukkan angka empat pagi. Kamar Reya terpisah dari kamar mereka. Karena dia tidak mau Reya mendengar apa yang dia lakukan pada mamanya ketika malam tiba. Tapi saat ini seluruh kegiatan itu tidak bisa dia lakukan. Tania masih dalam masa nifas setelah persalinan. Ah, menyebalkan.

Sedikit terhuyung dia berjalan menuju kamar Reya. Tania pasti ada di sana. Pintu kamar Reya sedikit terbuka dan Tania sedang menggendong Reya sambil bersenandung. Dia tergila-gila dengan pemandangan baru ini. Tubuhnya bersender pada pintu yang sudah terbuka. Tania menoleh dan tersenyum padanya.

"Good morning, Daddy." Pagi ini Tania mengenakan pakaian tidur berenda yang ditutupi dengan jubah satin panjang berwarna pastel. Tania terlihat bahagia dan seluruh kebahagiaan itu membuat Tania terlihat berlipat cantiknya.

"Halo anak Daddy. Daddy pinjam Mommy dulu ya. Masa Reya doang yang deket-deket Mommy, Daddy kan juga mau," ujarnya sambil tersenyum dan menghampiri Tania.

Tangan Tania langsung memukul lengan Mareno sebal. Yang dipukul hanya terkekeh konyol. "Aku serius, Beiby."

"Jangan dengerin Papa ya, Reya." Tania berujar pada Reya.

"Tan, nanny-nya Reya disuruh menginap aja deh."

"Nggak mau. Kan ada aku kalau malam."

"Ya, justru itu. Aku nggak kebagian kamu," keluhnya.

"Mareno, jangan kekanakkan."

"Aku nggak kekanakkan, aku emang begini. Butuh kamu sayang-sayang juga," sahut Mareno manja.

"Tuh, Papa kamu mulai kumat, Re."

"Jangan ngadu sama Reya. Ini urusan kita. Lagian Reya pasti setuju."

Tania terkekeh geli.

"Kamu pagi sampai sore sudah sama Reya di rumah. Karena kamu masih cuti. Masa malamnya aku ditinggalin juga."

"Mareno, aku kan masih nifas. Nggak bisa diapa-apain juga."

"Siapa bilang." Mareno tidak peduli jika dia kekanakkan. Kepada siapa lagi dia bisa kekanakkan selain pada istrinya. Iya, kan?

Kepala Tania menggeleng sambil tertawa kecil. "Ssst, sebentar lagi Reya tidur. Barusan aku susuin. Nanti kita bicara, ok?"

Tubuh Mareno sudah berada di belakang Tania yang masih menimang Reya. Puncak kepala Tania dia cium lembut. Lalu rambut Tania dia angkat sedikit saat dia mencium leher belakang Tania. Menghidu wangi milik wanitanya.

"Sayang, sebentar lagi," ujar Tania.

"Gawat, aku punya dua penyihir sekarang." Dua tangannya mulai memeluk Tania dari belakang. "Penyihir-penyihir cantik yang bisa minta apa saja."

Senyum Tania terkembang saat dia menunduk dan mencium pipi Tania sambil memeluk tubuh istrinya itu. "Sini aku gantiiin."

"Nggak usah, Reya udah tidur tuh."

Bayi kecil mereka sudah pulas tertidur. Tania meletakkan Reya pada ranjang bayi perlahan. Sementara dia memastikan seluruh kamera dan sistem keamanan menyala. Jadi ketika Reya bangun, mereka diberi tahu.

"Jangan cantik-cantik kalau sudah besar ya, Re. Papa kamu posesif dan cemburuan," bisiknya sambil menatap Reya.

"Kok ngomong begitu sih," Tania menahan tawa.

"Aku serius, Beiby. Aku nggak akan rela kalau Reya nanti punya pacar." Dia sudah menggandeng Tania keluar kamar Reya yang pintunya hanya ditutup setengah bagian.

"Punya pacar? Reya masih bayi, Mareno."

"Ya kan nggak selamanya jadi bayi."

Tania tertawa lagi. "Takut Reya dikejar playboy kayak kamu dulu ya?"

"Oh, jangan berpikir ada laki-laki yang bisa dekat-dekat Reya. Playboy atau bukan playboy. Laki-laki tetap laki-laki. Aku udah minta Mahendra upgrade tracker device terbaru."

Tawa Tania lepas saat mereka sudah masuk kamar. Kemudian dia menatap istrinya sayang. Wajah Tania lalu menunduk, menatap pada dadanya sendiri.

"Ren, kayaknya aku harus mompa asi dulu deh."

Senyumnya makin lebar. "Aku punya cara yang lebih baik." Matanya sudah turun ke dada Tania yang makin besar setelah melahirkan.

"Marenooo...kamu bikin males banget sih. Dasar mesum..."

Dia berjalan perlahan mendekati Tania, sementara Tania sudah menghindar cepat sambil tertawa.

"Aku serius, Mareno Daud. Behave."

"Beiby, sini dulu. Aku kasih tahu caranya..."

***

Natabumi mulai banyak memiliki kegiatan yang didukung oleh pemerintah dan menjadi sorotan banyak orang. Ya, jaman sekarang makin banyak orang yang sadar dengan lingkungan. Hal ini baik dan buruk di saat yang bersamaan. Karena Hanif Daud bukanlah tipe laki-laki yang nyaman dengan sorotan. Tapi Hanif tidak punya pilihan karena harus memastikan proyek-proyek lingkungan itu berjalan.

Kesibukan Hanif juga menjadi tidak main-main. Jika biasanya dia bisa dengan mudah pulang jam 4 sore, saat ini jam 7 malam biasanya pekerjaan baru selesai. Masalahnya, dia selalu rindu dengan Faya dan Armand di rumah. Ya, akhirnya dia memiliki jagoan kecil yang lucu sekali.

"Hi Carol, hubungi Faya di rumah," pintanya ketika baru saja masuk ke ruangan. Jam makan siang sudah tiba.

"Baik, Tuan. Menghubungi."

Nada sambung terdengar dan dia sudah menatap layar besar pada salah satu dinding ruangan. Menunggu kamera menampilkan dua sosok yang selalu dia rindu. Lalu wajah Faya sudah ada di sana. Sedang berjalan sambil membawa tablet dalam apartemen mereka.

"Hanif, kamu baru aja telpon aku lho. Kamu nggak kerja apa?"

Dia tersenyum. "Aku kangen terus, mau gimana?"

Faya tertawa kecil. Kebiasaan lama Faya yang mengenakan kaus miliknya tidak berubah. Biasanya Faya akan pasangkan dengan celana longgar yang nyaman. Rambut Faya diikat tinggi. Dia suka, dia selalu suka.

"Jagoanku mana?" tanyanya.

"Armand ada di kamar sama suster. Tadi aku pipis sebentar."

Dia bisa mendengar suara lantang Armand yang sedang menangis. Faya bergegas masuk ke dalam kamar Armand dan itu dia. Jagoannya sedang digendong oleh suster. Menangis karena haus.

"Bu, ini Arman harus disusui. Sudah jadwalnya," ujar si suster.

Faya meletakkan tablet di salah satu meja. "Carol, sambungkan dengan kamera dan audio di kamar Armand," ujar Faya.

Layarnya sejenak berubah hitam dengan tulisan loading. Lalu layar kembali menampilkan kamar Armand dengan Faya yang sudah duduk bersiap menyusui Armand. Si suster kemudian ke luar ruangan.

"Hai, Ayah. Aku haus terus nih..." Faya berujar sambil mulai mengatur posisi. "Kamu beneran mau lihatin kita begini?"

Tubuhnya bersender pada meja dengan dua tangan bersedekap. Dia tersenyum lebar. "Aku benci nggak ada di sana bareng kamu."

Kaus Faya naikkan lalu Armand sudah mulai menyusu. Sementara dahi Faya mengernyit terkejut, sedikit menahan sakit. Dia mengerti bagaimana pengorbanan seorang ibu untuk anaknya. Hal itu membuat dia makin mencintai Faya. Mata Faya sudah menatap layar TV besar di kamar Armand yang menampakkan sosoknya di kantor.

"Maafin aku, aku belum bisa cuti lagi," ujarnya.

Faya tersenyum mengerti. "Cuti seminggu sudah cukup. Sisanya aku bisa kok. Lagian tiap malam kamu tidur bareng Armand. Ayah kerja aja yang benar. Mama sama Armand di rumah berduaan." Lidah Faya menjulur meledeknya.

Dia terkekeh geli. "Aku usahakan pulang jam 5 hari ini. Jadi..."

"Hanif, aku nggak apa-apa. Serius."

"Tapi aku yang apa-apa. Harusnya aku bisa lebih banyak meluangkan waktu dan bantu kamu di rumah."

"Nif, proyek kantor kamu lagi jalan semua begitu. Pemberitaannya udah dimana-mana. Kamu memang harus ada di sana."

"Semakin perhatian kamu semakin aku pingin pulang, Fa."

"Kamu pasti pulang. Rumah kamu di sini. Lagian aku nggak ada rencana kabur bareng Armand kok." Faya terkekeh sendiri.

Dia diam menikmati pemandangan itu lama-lama. "Aku yang masak malam ini. Kamu mau makan apa?"

"Indomie?" mata Faya berbinar konyol.

"Nggak boleh, Mama. Masa Armand dikasih susu rasa Indomie."

Mereka tertawa. Sejenak dia diam lagi. "I miss you two."

Senyum Faya merekah lebar. "We love you, Daddy. Selamat bekerja. Sampai bertemu lima jam lagi."

"I love you two, so much."

Hanif masih berdiri menatap layar yang sudah mati. Ada banyak rasa. Rindu, cinta, bahagia, juga merasa bersalah karena dia tidak bisa selalu ada. Tapi untuk tahu bahwa selalu ada seseorang yang menunggunya pulang, sungguh itu adalah hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

***

Suasana salah satu hotel di kepulauan Karibia itu ramai. Mahendra dan Alexa baru saja tiba di lobby. Dahi Mahendra mengernyit tidak suka dengan pilihan Alexandra kali ini. Bukan karena fasilitas hotelnya, tapi lebih kepada ramainya suasana.

"Alexa, kenapa ramai begini?" bisiknya pada Alexa yang mengenakan topi lebar hingga wajahnya tertutup sebagian, juga kacamata hitam bergaya retro.

"Ya ini kan tempat umum, Hen. Yang penting, nggak ada paparazzi. Kamu sudah buat pengalihan kan? Lagian, ini hotel nomor 1 di sini," dalih Alexa.

Mereka sedang berjalan ke meja resepsionis hotel. Alexa dengan cepat mengurus proses check-in saat sang resepsionis wanita itu membelalak terkejut melihat ID card Alexa.

"Alexandra Walton? Kamu Alexandra beneran?" gadis itu sedikit memekik sambil menatap Alexa.

Satu tangan Mahendra Daud sudah mengambil ID Alexa dan mengganti dengan ID miliknya. "Bukan. Karena kalau wanita ini benar Miss Walton pasti sudah banyak paparazzi. Kebetulan nama istri saya sama. Gunakan ini."

Wajah gadis itu kecewa tapi masih penasaran. Jadi sambil mengurus proses check-in mereka, si gadis tetap saja melirik berkali-kali pada Alexa yang Mahendra balik tubuhnya agar menghadap dia.

"Sayang, pengalihan apapun akan percuma kalau kamu dengan mudahnya memberikan ID card ke sembarang orang," bisiknya di telinga Alexa.

"Maaf, aku lupa. Itu refleks," sahut Alexa perlahan.

Setelah selesai gadis resepsionis itu malah bersikeras mengantarkan mereka ke kamar, padahal itu bukan tugas seorang resepsionis. Tangan Alexa sudah dia gandeng dan dia berjalan cepat-cepat di depan sang gadis tadi. Beberapa tamu laki-laki yang berpapasan dengan mereka tetap saja melirik Alexa penasaran.

Kamar mereka berada di lantai atas. Kamar terbaik di hotel ini. Mereka sudah tiba di depan pintu saat Mahendra menatap heran pada gadis resepsionis yang tidak mau pergi.

"Kamu mirip sekali dengan Alexandra Walton sang super model. Cantik sekali. Pemilik hotel ini pasti akan sangat senang untuk tahu jika saja kamu benar-benar Alexandra Walton yang asli." Gadis itu tersenyum penuh arti. "Koper-koper akan diantarkan sebenar lagi. We hope you will enjoy your stay."

Mahendra hanya mengangguk kecil dan menutup pintu kamar. Topi dan kacamata hitam Alexa buka lalu berdiri menatapnya.

"Kenapa?" tanya Alexa.

"Lex, hotel ini terlalu ramai."

"Karena lagi musim liburan. Tapi ini hotel terbaik, Hen."

"Harusnya aku yang urus semua," sahutnya.

"Kok kamu begitu ngomongnya? Jadi selera-ku nggak bagus?"

"Aku nggak mengeluh soal fasilitas, tapi ini tetap terlalu ramai."

"Mahendra, masa kita mau liburan ke gua biar sepi? Aku suka di sini. Audra sudah ke Maldives bareng Niko. Aku nggak mau nanti kamu ketemu sama Niko di Maldives dan malah jadi kerja. Aku mau sama kamu aja. Jadi aku ganti tempatnya. Lagian kamu yang suruh aku pilih hotelnya, kan?" Alexa menjelaskan panjang lebar.

Nafas dia hirup panjang. Sepertinya dia akan enggan sekali keluar kamar karena dia selalu tidak nyaman dengan keramaian dan sorotan berlebih.

Yak, dan istri lo Alexandra Walton. Di bagian mana dari Alexa yang nggak meneriakkan sorotan, Hen? Hrrghhh.

"Jangan marah-marah, nanti kamu keriputan..." Alexa menggigit bibir sambil perlahan berjalan ke arahnya. "Aku mau mandi, apa kamu..."

"Sebentar lagi koper kita sampai. Aku mau bereskan dulu. Silahkan mandi..."

Ekspresi Alexa tiba-tiba berubah menjadi sangat kesal. "Oke, aku berenang aja. Di bawah." Tubuh Alexa berbalik lalu berjalan menuju kamar mandi sambil membuka pakaian dan meletakkannya di lantai. Di balik pakaian Alexa sudah mengenakan bikini hitam yang cantik sekali.

"No, no, no..." kepala Mahendra menggeleng keras. "Pakai pakaian yang benar."

Alexa berbalik menghadapnya lalu menjulurkan lidah. "Nggak mau. Kamu mau apa?" ujar Alexa sambil berpose menantang.

"Lexaa, nanti banyak yang lihat."

"Biar aja. Biasanya juga begitu kalau aku di catwalk."

Sebelum sempat protes pintu kamar mereka diketuk. Dengan cepat dia melangkah mengambil selimut di atas tempat tidur dan menutupi tubuh Alexa lalu membuka pintu. Seseorang dari hotel mengantarkan koper-koper mereka. Dan koper Alexa berjumlah dua belas. Hhhhh...

Setelah selesai dia memberikan tip pada petugas hotel yang terus melirik ke arah Alexa. Ini tidak bisa dibiarkan. Pikir bagaimana caranya, Hen. Para petugas hotel sudah pergi. Dia menghirup nafas panjang lalu menatap Alexa yang masih berdiri tapi sudah melepas selimut yang dia sampirkan tadi. Gadis bandel.

"Kamu suka di sini?" tanyanya.

Alexa mengangguk.

Dia menggandeng tangan Alexa dan mereka berjalan ke arah balkon. Pintu balkon dia buka dan mereka berdiri menatap pemandangan kolam renang megah di bawah.

"Lihat betapa ramainya di bawah, Lex. Apa kamu nyaman? Semua orang akan menatap dan bertanya-tanya. Apakah kamu benar Alexandra Walton? Lalu orang-orang itu akan mulai mengambil foto tanpa kamu tahu, atau menyapa padahal kamu nggak kenal mereka. Dan hey, ini bukan negara Asia berarti bisa saja beberapa laki-laki akan berusaha menggoda." Tubuh Alexa dia rengkuh dari belakang.

"I love you, kamu istriku. Aku tidak akan sudi berbagi dengan mereka. Sekalipun mereka hanya bisa memandang seluruh tubuh kamu. Aku tetap tidak mau," bisiknya.

Dia melanjutkan. "Kalau bukan hanya aku yang bisa melihatmu dengan pakaian dalam. Lalu buat apa aku jadi suamimu. Apa istimewanya aku? Laki-laki lain yang bahkan kamu tidak kenal bisa melihat segalanya tanpa menjadi suamimu. Kemudian mereka akan mulai menjadikan kamu fantasi mereka. Atau berusaha menyentuhmu karena bernafsu..."

"Mahen, stop."

Pelukan dia eratkan. "Aku akan sangat sedih dan sakit hati sekali kalau kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri. Aku tidak akan selalu ada di sisimu, Lexa. Aku mengerti soal pekerjaanmu. Terkadang kamu harus berpegian sendiri tanpa aku. Tapi aku ingin jadi yang paling istimewa diantara jutaan laki-laki di luar sana. Aku ingin jadi satu-satunya yang bisa melihat kamu. Karena demi Tuhan aku tidak pernah melihat wanita manapun sebelum dan sesudah aku bertemu kamu. Karena kamu istimewa untukku, Alexandra."

Air mata Alexa jatuh satu.

"Apa aku istimewa untukmu, Lex?"

Lalu tangis Alexa pecah. "Maheeen...aku nggak bermaksud begitu. Aku cinta kamu aja. Kenapa kamu nggak percaya? Aku nggak mau sakitin hati kamu. Iya iya, aku nggak pakai baju sembarangan lagi. Tapi jangan bilang begitu. Aku jadi sediiiihhh...."

Dia tertawa kecil melihat Alexa sungguh-sungguh menangis. Tubuh Alexa sudah dia balik lalu dia mengusap air mata Alexa yang masih jatuh bercucuran. "Hey, jangan menangis."

Dua tangan Alexa sudah melingkari lehernya saat hidung mereka bersentuhan. "Sekarang aku mengerti kenapa kamu melarang aku berpakaian sembarangan..." ujar Alexa sambil masih terisak. "Aku nggak tahu kalau hal itu begitu penting..." Alexa masih menangis. "...kamu adalah laki-laki pertama yang benar-benar menjagaku dengan baik...menghargaiku dan tidak melihat masa laluku yang buruk." Air mata Alexa belum berhenti turun. "Andai kamu tahu betapa buruknya perangaiku dulu, mungkin kamu akan sangat membenciku, Hen."

"Andai kamu tahu betapa culunnya aku dulu, kamu pasti tidak akan jatuh cinta padaku. Kamu akan malu bahkan hanya berjalan di sebelahku," timpalnya.

Tangis Alexa tambah keras. "Jangan bilang begitu."

Dia tertawa sambil memeluk tubuh Alexa, si wanita cengeng-nya. "Sudah-sudah. Jangan menangis." Pipi Alexa dia cium satu-satu.

Berangsur-angsur tangis Alexa pergi. Lalu mata indah berwarna biru telaga itu menatapnya.

"Kamu istimewa, Mahendra. Kamu sangat-sangat istimewa untukku."

Perpaduan hidung merah Alexa karena baru menangis, juga mata biru yang masih menyisakan tetes air mata, juga pipi Alexandra yang kemerahan, membuat dia menggendong tubuh Alexa lalu masuk ke dalam kamar mereka. Mengunci Alexa di sana karena Alexa adalah miliknya. Hanya miliknya saja.

***

Malam tiba dan Alexa tertidur lelap karena kelelahan. Mereka belum keluar kamar sejak mereka tiba tadi. Ya, Mahendra belum rela berbagi Alexa. Dia mengambil ponsel dan menghubungi sekertaris keluarga mereka yang baru sambil berjalan menjauh karena tidak mau menggangu tidur Alexa.

"Hai, Elena. Saya ingin minta tolong."

"Ya, Pak?"

"Alexandra ingin ke pantai dan sekarang kami ada di Bahama. Tolong carikan hotel yang bisa di booking seluruh kamarnya. Jika perlu carikan di kepulauan lain. Saya tidak mau ada siapapun di hotel itu kecuali para petugas hotelnya." Dia berpikir sejenak. "Resort mewah juga tidak masalah, tidak perlu hotel."

"Ya, Pak. Saya carikan dan hubungi Bapak secepatnya."

"Satu lagi. Bagaimana perkembangan The Home Island?"

"Tujuh puluh persen."

"Hubungi Lydia dan minta dia siapkan segalanya untuk Alexa di sana. Pastikan tidak ada yang terlewat."

"Baik, Pak."

"Terimakasih, Elena."

Ponsel dia tutup lalu dia kembali beringsut di dekat tubuh polos Alexa. Tubuhnya berbaring miring dengan satu tangan menelusuri bahu Alexa. Lalu tanpa dia duga Alexa menggeliat lalu tersenyum.

"Apa ini sudah pagi?" mata Alexa masih terpejam tapi wanitanya itu sudah mendekat padanya.

"Belum," pipi Alexa dia cium, lalu berpindah pada mata Alexa yang terpejam. "Istirahat. Besok kita makan es krim di pinggir pantai," bisiknya di telinga Alexa.

Senyum Alexa makin lebar lalu mata indahnya terbuka perlahan.

"Aku belum selesai denganmu, Professor. Benar-benar belum selesai."

***

Detik-detik penghabisan. Mau ketemu siapa di part berikutnya hayo. Nikmati mereka saat mereka masih terus ada ya. Enjoy while it last.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro