Part 58
Satu tangan Aryo membetulkan letak rambut Janice yang sedang berbaring miring di sebelahnya. Setelah bertengkar hebat kemarin, mereka terus melakukannya lagi dan lagi. Jadi sekarang mereka masih berada di tempat tidur. Jika dia bisa dia tidak ingin beranjak kemanapun. Mata hijau Janice menatapnya dalam sementara dia masih membelai bingkai wajah wanitanya perlahan.
"Aku tetap ingin membatalkan pernikahan," ujar Janice.
Kepalanya langsung menggeleng keras.
"Aku pikir pernikahan tidak cocok untuk kita berdua. Apa kamu tidak berpikir begitu?" tanya Janice.
"Nggak tahu, saya nggak pernah nikah sebelumnya." Aryo menggendikkan bahu. "Tapi yang saya tahu dengan menikah kita bisa lebih paham ada batasan-batasan di luar sana. Misal, saya jadi nggak bisa tidur dengan sembarang wanita."
"Jadi kamu tetap akan tidur dengan siapa saja sekalipun sudah berkomitmen dengan saya?" dahi Janice mengernyit.
"Nggak begitu, Jen. Maksud saya...hrrghhh. Nggak tahu lah, yang jelas saya suka panggil kamu istri saya. Saya nggak suka jauh-jauh dari kamu, saya benci kalau ada yang dekat-dekat kamu sekalipun itu Daud, dan ketika saya pulang saya mau kamu selalu ada. Dengan menikah harusnya semua itu bisa tercapai."
"Nggak perlu menikah. Aku bisa kasih kamu itu semua tanpa pernikahan. Buatku kamu saja sudah cukup. Tidak perlu ikatan basa-basi seperti ini."
Dia tersenyum kecil. "Saya bukan orang baik, tapi saya tetap orang kolot. Saya suka old style way. Menikah adalah salah satu yang ingin saya capai dalam hidup." Dia memberi jeda. "Kamu tahu? Sekalipun saya preman, impian saya adalah hidup stabil, tenang. Memiliki istri yang selalu menunggu saya pulang, atau yang mengkhawatirkan saya ketika saya terluka. Punya beberapa sahabat, lalu menua bersama mereka semua. Itu mimpi saya dulu. Tapi sejak bekerja dengan Herman, mimpi itu terasa makin nggak mungkin. Mangkanya saya lupakan."
Nafas dia hirup panjang. "Sekarang, saya sudah memiliki istri yang ajaib banget. Mungkin sama ajaibnya seperti saya. Cocok. Jadi demi apapun saya nggak akan lepaskan ini semua. Mimpi saya jadi nyata."
"Tadi kamu minta aku pergi."
"Saya emosi, dan alkohol merusak semua. Saya nggak sungguh-sungguh." Jari-jarinya menyusuri bahu Janice.
"Apa yang membuat kamu berubah pikiran lagi?"
"Saya nggak pernah berubah pikiran. Sikap saya kemarin adalah karena saya emosi. Itu bukan keinginan saya yang sebenarnya."
Janice diam sejenak. "Mungkin kamu bosan setelah..."
Dia tertawa. "Saya bosan? Dengan kamu?" nafas dia hela. "Kamu tahu berapa banyak perempuan saya?"
"Aku hafal dengan semua korban kamu, bukan perempuan kamu."
"Karena nggak ada. Mangkanya nggak ada catatannya. Hanya Lia dan Lia-pun sakit dan meninggal dunia sebelum saya bisa menikahi dia. Kami masih terlalu muda dulu. Setelah itu Nafa, atau Fayadisa. Cewek keras kepala yang terus-terusan nolak saya. Habis itu cewek cantik, sexy, keterlaluan pintarnya, galak luar biasa, juga kaku kayak Arsyad Daud. Oh, bahkan lebih parah dari Arsyad terkadang."
Tawa Janice sudah di sana. "Kamu nggak pandai bermulut manis."
"Karena saya bukan Mareno Daud yang punya banyak mantan pacar dan gampang bosan. Bahkan Mareno juga kena karma sama Tania kan." Bibir Janice dia cium sesaat. "Ada saatnya, semua laki-laki bahkan yang terpintar, tertampan, ternarsis, atau yang terkuat, membutuhkan satu orang wanita. Nggak ada yang suka sendiri, Jen. Termasuk saya."
"Satu saja?"
"Ya, dua kebanyakan. Emangnya keluarga berencana dua anak aja cukup. Satu istri aja bikin pusing kepala."
Lagi-lagi Janice tertawa dan itu membuat dadanya menghangat karena rasa bahagia.
"Saya nggak bermaksud sakitin hati kamu kemarin. Saya hanya marah..."
"Insecure."
"Yah apalah bahasa kerennya."
"Sikapmu buruk sekali kalau kamu sedang emosi."
"Saya belajar, nggak akan saya ulangi lagi." Dia diam. "Semua orang yang penting dalam hidup saya pergi meninggalkan saya, Jen. Mereka pergi karena mereka memilih untuk pergi. Terus kamu suka menghilang. Saya takut kamu juga pergi."
"Aku sudah bilang kalau aku nggak akan tinggalin kamu. Kamu yang nggak ingat atau nggak mau dengar..."
"I love you, and don't you ever dare to leave me...please," potongnya.
Hijau pada mata Janice meredup sayu, mencair. "Kamu harus berjanji untuk hal yang sama padaku."
Lalu dia mencium Janice lembut, lama-lama. Dia ingin Janice tahu bahwa Janice adalah dunianya. Dia membutuhkan Janice seperti dia membutuhkan udara. Tubuh Janice bergerak maju, menempel sempurna pada tubuhnya yang sudah menghangat. Seberapa beratpun kondisi, mereka akan saling melengkapi, dan memiliki.
***
Gedung kantor milik Herman berdiri tegak seperti tidak ada apapun yang terjadi. Seluruh kegiatan bisnis Benang Sutra dan PT Padi & Kapas dialihkan pada perusahaan induk, yaitu Sanggara Buana. Karena Herman yang mangkat sementara pimpinan yang baru atau penerus Herman belum ditentukan juga.
Sudah ada suara-suara sumbang yang menginginkan jabatan itu. Siapa yang tidak mau memiliki salah satu lini bisnis keluarga Daud. Bahkan hanya dengan menjabat saja, pembagian hasil usaha setiap tahun membuat yang menjabat bisa berfoya-foya. Aryo sudah bicara pada pimpinan sementara tentang pengalihan kuasa kembali padanya. Ya, Aryo akan menjalankan rencana.
Jika dulu Herman akan datang dengan sedan mewah hitam lengkap dengan supir dan pengawal, lalu turun di depan lobby, maka tidak begitu dengannya. Pagi itu dia datang menggunakan motor besarnya sendiri lalu parkir di depan lobby. Pakaiannya bukan setelan jas Armani. Tapi jins gelap dengan kaus abu-abu dan jaket kulit favoritnya. Nelly sudah menyambutnya di pintu lalu dia memberikan helm yang dia kenakan pada Nelly tapi tidak membuka kacamata hitamnya.
"Selamat pagi, Pak."
Dia tertawa mendengar Nelly menyapanya.
Selain Bapak, apalagi enaknya? Mas? Janice bisa marah. Atau nama aja? Nanti mereka nggak hormat lagi. Bodo lah.
"Pagi Nelly," dia mulai melangkah masuk ke lobby. Resepsionis sudah berdiri dan mengangguk padanya.
"Rapat masih empat puluh lima menit lagi, semua yang Bapak minta sudah disiapkan oleh Ibu Janice dan ada di dalam ruangan. Bapak sudah sarapan?"
"Kopi," dia memijit lift untuk naik ke lantai atas.
"Sudah ada di ruangan. Ibu Janice sudah memberi tahu apa kopi kesukaan Bapak. Pak Lukman sedang dalam perjalanan, juga Pak Rian. Mereka akan tiba sebelum meeting dimulai."
Senyumnya terbit lagi. Istrinya memang wanita jadi-jadian, control freak seperti Arsyad. Padahal pagi tadi Janice masih berada di kamar mandi saat dia pergi ke kantor.
"Kalau istri saya juga sudah ada di ruangan lagi jangan-jangan?"
"Yang itu nggak ada, Pak."
Dia tertawa kecil. "Saya bercanda. Apa semua sekretaris selalu kaku? Kamu sudah kenal saya dari jaman dulu kan, Nel."
Nelly diam saja.
Pintu lift terbuka dan para karyawan yang masih berdiri mengobrol santai, atau minum kopi langsung bergegas duduk di kursi mereka masing-masing. Dengan cuek dia berjalan saja sambil melepas kacamata hitamnya. Hhh, dia tidak nyaman dengan semua tatapan itu. Ini bukan dunianya.
Fokus Yo, fokus.
Matanya memandang ruangan besar Herman yang dia hafal benar. Jika dipikir-pikir, ruangan ini terlalu membosankan. Segelas kopi panas sudah ada di meja. Bersama dengan stealth Macbook Pro, dan juga ponsel terbaru.
"Semua data-data sudah ada di sana. Agenda Bapak akan diatur oleh Ibu Janice sendiri. Tapi kalau Bapak membutuhkan sesuatu di sini, Bapak bisa panggil saya."
Dia melangkah menuju meja kebesaran Herman. Menyentuh alat-alat kerja yang Janice siapkan untuknya.
"Saya butuh sesuatu sekarang juga."
"Ya, Pak?"
"Saya butuh istri saya. Panggil Janice ke sini dan bilang padanya rapat tidak akan saya mulai tanpa dia."
"Tapi, Pak..."
"Bilang aja begitu. Nanti kalau dia marah-marah kamu bilang saya."
Nelly mengangguk kecil, ragu-ragu. "Baik. Saya hubungi Ibu Janice."
Tubuhnya sudah duduk lalu dia menyesap kopi. Satu tangannya memijit ponsel untuk menghubungi seseorang. "Pagi, bapaknya Reya."
Mareno tertawa di sana. "Meeting udah mau mulai emang?"
"Sebenernya gue lebih suka urusan sama Audra daripada elo. Masih ada cantik-cantiknya dan nggak narsis. Tapi gue kepepet karena Nyonya Audra lagi enak-enakan sama Niko."
"Nggak usah bawel. Butuh tapi belagu. Gue sebentar lagi sampai. Arsyad dan Mahendra akan gabung pakai con-call. Hanif masih cuti. Rian si pimpinan sementara udah sampai? Audra minta dia datang juga."
"Nggak tahu, udah kali," jawabnya cuek.
"Yo, kalau lo mau dihargai orang, lo harus bersikap..."
"Hey anak kecil. Nggak usah ngajarin gue. Buruan aja ke sini, gue mau ini cepat selesai. Thanks." Aryo menutup ponsel.
Lalu benda itu berdering lagi. Nama Janice terpampang di sana. Panggilan dia rubah menjadi video call karena ingin melihat Janice sedang apa.
"Pagi, cantik. Kamu udah jalan ke sini?" sapanya sambil menatap Janice yang sudah tampak paripurna sedang mengendarai Porsche silver miliknya.
Janice mendengkus kesal. "Aku ada urusan lain. Kamu undang seluruh Daud, mereka sudah ada di sana. Kenapa masih butuh aku?"
"Saya selalu butuh kamu, nggak pernah enggak," senyumnya konyol.
"Dasar menyebalkan," Janice tidak bisa menahan senyuman kecilnya.
"Tolong ke sini dulu. Saya nggak bisa mulai apapun tanpa kamu."
"Kamu nggak bisa seenaknya main bikin jadwal begini dong. Tadi pagi kamu nggak bilang apa-apa," protes Janice.
"Karena tadi pagi kita sibuk yang lain, cantik. Saya baru ingat waktu sampai lobby. Eh iya, saya ketinggalan istri saya di rumah," timpalnya santai.
"Aryo, kamu benar-benar menyebalkan," senyum kesal Janice mengembang lagi.
"Saya tahu, tapi saya tetap akan tunggu kamu atau rapat direksi saya batalkan." Dia bisa mendengar Janice menggeram marah. "Please," bujuk Aryo lagi.
"Tapi Rian bisa menjelaskan semuanya soal perusahaan, bukan aku."
"Saya butuh kamu, bukan Rian. Saya tunggu, oke. Drive safe." Sambungan dia putus sebelum Janice mendebatnya lagi.
Punggungnya bersender santai, lalu matanya menatap ke sekeliling ruangan. Mengingat bayangan Herman yang dulu ada di sini. Bagaimanapun kejamnya Herman, Aryo tetap harus mengakui bahwa Herman adalah pebisinis yang sangat handal. Darimana dia tahu? Dari seluruh rasa hormat dan takut orang-orang di sekitarnya. Baik itu kolega bisnis, atau pesaing Herman. Perhitungan Herman selalu cermat, hingga laki-laki itu bisa menjabat sebagai Menteri. Herman adalah sosok yang cerdik dan handal, tapi bukan sosok ayah yang baik. Sama sekali bukan.
Waktu berlalu tanpa dia sadari, karena pintunya sudah diketuk dan Nelly masuk untuk memberi tahu bahwa Mareno Daud sudah datang. Dia berdiri saat Mareno masuk. Terkadang dia berpikir bahwa sedikit banyak sikap Mareno dalam berbisnis mirip sekali dengan Herman.
"Sudah siap?" ujar Mareno.
"Gue nggak pernah nggak siap."
"Trust no one."
"Termasuk elo," timpalnya singkat.
Kepala Mareno mengangguk lalu tersenyum tipis. "Termasuk gue."
Lalu Rian mengetuk masuk. "Pagi."
Dia dan Mareno menoleh pada sosok muda itu.
"Saya bisa jelaskan semua kondisi sebelum meeting," Rian menawarkan.
"Nanti," elaknya.
Mareno terkekeh. "Siap-siap disuruh tidur di luar sama Janice," ledek Mareno padanya.
Mereka bertiga melangkah menuju ruang meeting. Janice tiba lima belas menit setelah meeting dimulai. Benar-benar tepat ketika seluruh basa-basi pembuka meeting sudah selesai. Kemudian dia mengumumkan sesuatu yang membuat para serigala lapar di dalam ruangan kecewa. Dengan dukungan penuh dari empat bersaudara. Keputusannya tidak tergoyahkan.
***
Mareno dan Rian, juga Pak Lukman sudah pergi sepuluh menit setelah meeting selesai. Lalu kemudian Aryo meminta seluruh karyawan pulang padahal waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang. Hitung-hitung hadiah darinya sebelum semua orang sibuk dengan Direktur Utama baru perusahaan ini. Juga dia tidak mau diganggu karena paham benar Janice akan mengamuk marah padanya. Setelah seisi kantor pergi, dia masuk ke dalam ruangan dengan murka Janice yang sudah menunggu.
"Kamu nggak bisa seenaknya begini, Aryo Kusuma!!" tubuh Janice berjalan mondar-mandir karena benar-benar marah.
"Saya nggak seenaknya. Saya sudah pikirkan..."
"Kamu bahkan nggak bilang apa-apa, dasar brengsek!!" tatap Janice kesal.
"Surprise?" dia tersenyum konyol. "Jangan marah-marah, Jen. Nanti saya pingin."
Satu tangan Janice memukul dadanya. "Kamu pikir saya bercanda?"
"Enggak begitu. Kamu marah, saya paham. Tapi ini adalah keputusan terbaik. Seluruh Daud setuju."
"Bagaimana kalau aku tidak mau, hah?"
"Saya akan bujuk kamu sampai kamu mau."
Rahang Janice mengeras dan Janice tampak seksi sekali.
"Kamu adalah wanita yang paling pintar yang pernah saya kenal. Kamu hafal seluruh angka dan data dari semua perusahaan Daud. Kamu dulu kuliah jurusan bisnis, master degree. Kamu kayak Angel si A.I buatan Mahendra tapi dalam bentuk manusia. Kamu sepintar itu, Jen."
Satu tangannya menyentuh bahu Janice lalu wanitanya itu menepis kasar. Nafas dia hirup perlahan.
"Saya tiba-tiba diberikan semua ini, Jen." Dua tangannya membuka lebar. "Kamu lihat saya dan ruangan ini. Apa cocok? Ini bukan tempat saya."
Janice masih diam dan marah.
"Saya hanya percaya kamu aja. Seluruh keluarga Daud juga begitu. Kamu mampu, mungkin lebih mampu dari Herman dulu." Dia mendekati Janice lagi yang masih berdiri sambil bersedekap. "Tolong saya, Istri. I need you."
Tubuh Janice masih terus bergerak gelisah. Perpaduan terkejut dan Janice seperti sedang mencerna segalanya.
"Terus kamu mau apa?" nada Janice masih kesal.
"Mau santai kayak di pantai," kekehnya konyol lalu Janice menggeleng tambah kesal. "Bercanda ya ampun." Janice masih tidak mau dia dekati. "Pak Lukman sudah urus pembelian saham saya di ADS. Anak-anak buah gila saya sebentar lagi masuk ke kamp militer pelatihannya Niko dan Ram. Saya harus jagain mereka biar nggak disiksa sama dua manusia itu."
Dia mencoba peruntungannya lagi. Mendekati tubuh Janice perlahan. "Jangan marah, please. Biarkan saya menghadapi serigala lain di habitat saya. Kemungkinan saya menang tinggi. Tapi kalau saya menghadapi serigala lapar yang berdasi, kemungkinan besar saya kalah."
"Dan menurut kamu saya bisa menang?" ujar Janice. Mereka sudah berdiri berhadapan.
"Kamu itu spesialis penakluk serigala. Serigala yang berdasi atau yang nggak pakai apa-apa," bisiknya. "Jadi kamu pasti menang."
"Saya masih kesal, jangan dekat-dekat."
"Kamu pikir saya minta semua orang pulang buat apa?" dua tangannya melingkari pinggang Janice. "Di balik tembok itu, ada ruangan Herman. Saya harus periksa sebelum kamu menempati ruangan ini."
Bibirnya sudah menjelajah ke leher jenjang Janice. Wanitanya itu diam saja.
"Kamu adalah spesies yang paling menyebalkan di dunia," bisik Janice.
"Saya itu spesies langka, cuma satu-satunya."
Ketika dia berpikir Janice akan luluh begitu saja, dengan cepat Janice mendorong tubuhnya lalu berkelit melepaskan diri. Tubuh Janice berbalik menuju pintu.
"Keluar."
"Apa?"
"Saya Direktur Utama, kan? Jadi keluar. Saya punya banyak pekerjaan."
Pintu lift terbuka dan Nelly serta Rian sudah berjalan ke arah mereka. Dia menghirup nafas panjang. Kenapa juga sih, ini orang dua pakai balik.
"Saya tunggu di rumah," ujarnya.
"Saya akan pulang malam," balas Janice.
"Kalau gitu saya jemput."
Rian berdehem dan kepalanya langsung menoleh pada Rian kesal.
"Jam 4 sore, karena jam 5 saya sudah lapar. Kamu pasti paham maksud saya lapar apa kan?" Aryo mengedipkan satu matanya. "Bye, istri."
Tubuhnya melangkah lalu berbalik sejenak menoleh pada Nelly. "Nelly, kamu harus terus ada di sini. Rian dan Janice nggak boleh berduaan."
Janice mendengkus kesal sambil melipat kedua tangan di depan, sementara Rian menatapnya tidak percaya.
"Hey, laki-laki dan perempuan nggak boleh berduaan. Karena yang ketiga setan. Kasus kamu, setannya baru jemput jam 4 sore nanti," ujarnya asal.
"Iya, Pak." Nelly tersenyum geli.
Lalu Aryo melangkah dari sana sambil tersenyum juga. Kali ini dia punya keluarganya sendiri. Seorang istri yang ajaib, tapi dia cinta.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro