Part 57
4000 words, for those who adore them.
***
Ada bermacam-macam pemandangan indah untuk Aryo Kusuma. Misal, saat melihat Lia tertawa bahagia. Atau ketika Max dan Dony duduk di sebelahnya sambil mengobrol ringan dan bercanda. Atau, saat dia melihat Fayadisa tersenyum lebar dengan perut hamilnya. Juga, saat dia melihat keluarga Daud berkumpul dan tertawa. Tapi pemandangan indah yang satu ini tidak ada tandingannya.
Tubuh polos Janice hanya tertutup selimut satin setengah bagian. Berbaring miring dengan rambut yang tergerai berantakan, juga bibir Janice yang kemerahan karena dia gigiti semalam. Punggung indah Janice terbuka lebar hingga bagian belakang tungkai kaki. Mata indah Janice terpejam dan Janice tertidur pulas sekali. Kelelahan. Satu yang menyempurnakan semua, cincin sederhana di jari manis Janice tersemat di sana. Penanda bahwa wanita ini adalah miliknya.
Dia sendiri duduk di sofa satu dudukan dekat tempat tidur dengan mengenakan boxer hitam saja. Berusaha menahan keinginan untuk merokok sekarang. Mata gelapnya diam menetap pada sosok Janice. Terpesona dengan keindahannya. Karena seluruh pemandangan itu dia sedang nikmati bersama dengan semua ingatan apa yang sudah mereka lakukan tiga belas hari ini.
Ponsel yang bergetar membuat dia menoleh memeriksa asal suara. Ingin memastikan bahwa ponsel itu tidak mengganggu waktu tidur wanitanya. Dia menoleh ke arah meja nakas, lalu menyadari bahwa salah satu laci sedikit terbuka. Karena penasaran dia membuka laci itu. Lalu menemukan kotak hitam yang sudah ada di genggaman tangannya.
Kotak hitam itu dia pangku dan buka. Isinya adalah foto-foto lama. Foto Janice ketika kecil dengan Edward. Foto ibu Janice yang wajahnya cantik sekali. Juga foto-foto saat Janice berlatih bersama empat saudara. Mereka dididik bersama, itu yang Aryo tahu. Tapi pelatihan untuk Janice dan Arsyad selalu lebih banyak intensitasnya.
Aryo terus melihat foto-foto itu. Sambil sesekali tersenyum karena Janice kecil bahkan wajahnya sudah galak sekali dan minim ekspresi. Kemudian dia berhenti pada tiga lembar foto Janice dan si empat saudara. Foto pertama normal saja. Janice berada di tengah yang dirangkul ole Arsyad dan Hanif. Tapi wajah Hanif ditandai dengan spidol berbentuk hati. Kemudian foto kedua, adalah foto Janice berdua dengan Hanif saja. Mereka masih sangat muda, mungkin SMP. Dan foto terakhir adalah foto saat Hanif menggendong Janice yang kakinya terluka. Dengan Arsyad berjalan di sebelahnya.
Ingatan Aryo terbang saat mereka di pemakaman. Hanya kepada Hanif Janice menangis tergugu seperti itu. Atau saat di hutan, Janice ditemukan oleh Hanif dan mereka berdua jalan bersama. Apa Janice suka Hanif dulu? Ah, sial. Dia benar-benar dikutuk. Dasar Hanif sialan.
Pikirannya terpaku di sana hingga tidak sadar ponsel yang terus bergetar. Sampai akhirnya Janice bangun dan mengambil ponsel dari atas meja.
"Halo, Bang?" tubuh Janice duduk di tempat tidur sambil satu tangan Janice menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Selama beberapa saat Janice diam mendengarkan. "Oke, baik. Saya ke sana." Ada jeda sejenak. "Nggak apa-apa, Aryo akan mengerti."
Sambungan Janice sudahi lalu wanitanya itu menatap dia. "Faya melahirkan."
Dia yang masih kesal karena foto-foto tadi hanya duduk diam tidak merespon.
"Aku harus ke MG," tubuh Janice sudah berdiri lalu melangkah menuju kamar mandi. "Hanif butuh aku."
"Hanif butuh kamu. Bagaimana dengan saya?" dia juga sudah berdiri mengikuti Janice masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya menggenggam satu foto Janice dan Hanif tadi.
"Kamu tunggu di sini. Aku hanya sebentar." Dua tangan Janice mengangkat tinggi rambutnya dan bersiap masuk ke area pancuran.
"Atau kamu mau ikut? Faya yang melahirkan," tanya Janice sambil menyalakan pancuran.
"Kamu nggak cemburu lihat saya sama Faya?"
Dahi Janice mengernyit lalu menatapnya. Air pancuran sudah membasahi tubuh Janice. "Cemburu itu tidak efisien, buang-buang waktu."
"Bagaimana kalau Faya menerima saya dulu?"
"Bagus, berarti kalian jodoh," jawab Janice singkat sambil menyabuni tubuhnya.
"Bagaimana dengan kamu?"
"Saya akan baik-baik saja. Karena saya belum punya perasaan apa-apa kecuali kesal denganmu," ujar Janice sambil membilas tubuh.
"Kamu dekat dengan Hanif dulu?'
"Sangat dekat. Waktu kecil kita berlatih bersama." Dua tangan Janice mengusap air pancuran pada wajahnya.
"Kamu suka Hanif?"
Janice diam sejenak seperti berpikir. "Ya, mungkin saja. Hanif baik sekali."
"Arsyad menghubungimu dua kali dan kamu abaikan. Saat Hanif yang memanggil kenapa kamu datang?"
"Karena Hanif butuh saya. Abang besar selalu bisa mengurus urusannya sendiri. Biasanya Arsyad hanya memeriksa, bukan membutuhkan sesuatu," pancuran Janice matikan lalu dia menghentikan langkah Janice yang ingin keluar.
"Saya kesal sekali melihat foto ini dan kenyataan dulu kamu menganggumi Hanif," Aryo menyodorkan foto yang dia genggam.
"Jadi?" dengan sigap Janice melepaskan cengkraman tangannya dan berhasil melepaskan diri.
Nafas Aryo tarik dalam. "Jen..."
"Cemburu itu tidak efisien. Aku tadi sudah bilang kan? Kenyataannya kamu menikahi saya dan kita menghabiskan waktu yang luar biasa tiga belas hari ini. Kecuali kamu tidak setuju soal itu," jelas Janice cuek sambil mengenakan pakaian.
"Berhenti dulu bisa?"
Tubuh Janice berhenti lalu berdiri menatap Aryo. Janice baru selesai mengenakan pakaian dalam saja.
"Saya berhenti karena mau mencoba memahami sikap kamu yang aneh sekali, bukan karena kamu perintah saya untuk berhenti. Ada apa dengan kamu? Cemburu? Ingin mendominasi? Kendalikan ego dan emosimu sendiri karena saya tidak suka buang-buang waktu."
"Kamu tetap harus tahu kalau gue kesal!" dia memaksa.
"Itu terlihat jelas, tidak perlu berteriak. Kamu pikir aku akan bilang 'oh you're so cute when you're jealous with me' dengan ekspresi manja? Sayangnya kamu menikahi saya, bukan Alexandra."
"Apa kamu nggak bisa punya ekspresi lain, selain...hrrrghhh...datar aja?"
"Ekspresi cemburu maksud kamu? Karena kamu tahu benar saya punya banyak ekspresi lain ketika saya bersama kamu," tubuh Janice mendekat lalu Janice berbisik di telinganya. "You tell me that I was pretty when 'I come' last night. Did you forget it?"
"Gue tambah kesal karena kamu mengalihkan pembicaraan begini," dia mencoba bereaksi biasa-biasa saja, padahal yang mau dia lakukan dan menarik Janice kembali ke tempat tidur.
Kemudian Janice melirik jam sesaat sambil tertawa kecil. "I'll give you 10 minutes, setelah itu aku pergi membantu Hanif." Satu tangan Janice mulai membuka kembali apa yang wanita itu sudah kenakan.
"Dan lo pikir semua bisa lo compensate dengan s*x? Lo benar-benar menyebalkan, Jen."
"Dan kamu pikir saya bisa putar balik waktu dan nggak jatuh cinta sama Hanif dulu?" Janice sudah tidak mengenakan apapun sambil bertolak pinggang.
"Jatuh cinta? Kamu jatuh cinta sama Hanif?"
"Mungkin aja. Aku nggak tahu. Aku masih sangat muda." Janice tertawa kecil lagi sambil menggelengkan kepala. "Kamu sangat lucu karena terjebak pada masa laluku. Aku bahkan sudah nggak mikirin itu. Apa semua laki-laki selalu begini? Senang dengan superioritas, sangat egosentris dan ingin dipuja-puja wanita? Apa wanita tidak boleh memiliki masa lalu? Ketika laki-laki bisa punya banyak wanita yang selalu berganti-ganti?"
"Bukan itu. Gue mau lo bersikap normal, sesekali mengalah ketika gue marah, atau paling enggak sedikit menunjukkan kalau lo butuh gue."
"Itu ego-mu sendiri, Aryo. Ego-mu yang bilang kamu membutuhkan semua itu. Padahal kamu enggak butuh. Paham nggak?" Wajah Janice berubah kesal. Wanitanya itu mulai mengenakan pakaian lagi. "And I don't feed your ego!"
"Aku terlambat. Mama Trisa pasti mencariku," dengan cepat Janice bersiap-siap.
"Kamu bilang kamu wanita bebas, kamu sudah tidak bekerja dengan mereka. Tapi ketika mereka memanggil, kamu meninggalkan segalanya juga."
"Aku membantu, bukan bekerja. Mereka keluargaku!!" Kepala Janice gelengkan sambil berdiri dengan pakaian lengkap dan heels. "Aku tidak meninggalkanmu. Aku akan kembali pulang, Aryo. Dimanapun kamu berada, aku akan mencari dan kembali. Oke?"
Janice sudah pergi meninggalkannya yang berdiri di kamar sendiri. Ini bukan hanya soal cemburu, dia benci diabaikan, dia benci jika tidak dibutuhkan, dia benci dibuang. Dia selalu dibuang. Sikap Janice yang terlalu mandiri mengusik egonya. Membuat dia berpikir bahwa dia selamanya akan menjadi orang kedua. Tidak penting, tidak perlu ada.
Ya, itu namanya ego, Yo.
Nafas dia hirup dalam lalu dia masuk ke dalam kamar mandi, berusaha mendinginkan kepala dan membungkam ego-nya sendiri.
***
Mata Bapak Besar berbinar bahagia saat menggendong bayi laki-laki mungil itu. Janice sendiri baru selesai membantu Hanif dengan semua urusan penempatan kamar untuk keluarga yang letaknya harus persis di sebelah kamar Faya. Tidak tanggung-tanggung, Hanif meminta Janice untuk membooking seluruh lantai ini. Selain itu, Janice harus memastikan Elena, si asisten pengganti dirinya bekerja dengan baik.
"Siapa namanya?" tanya Iwan yang sedang menimang bayi.
"Armandhala Muhammad Daud," jawab Hanif yang duduk di pinggir tempat tidur merangkul Faya.
Iwan tersenyum. "Nama yang bagus. Gagah. Mungkin karena ayahmu begitu mencintai hutan, alam dan bumi," gumam Iwan pada sang bayi.
"Hanif tenang sekali, dan sabar. Aku sangat berharap sikap Arman akan seperti ayahnya." Faya menoleh lalu menatap suaminya sayang.
"Ouw, dia akan sekuat kakeknya, pemberani seperti om dan ibunya, tapi bijaksana seperti ayahnya. Ya kan, Arman?" seluruh aura bahagia dan bangga terpancar dari wajah Iwan Prayogo. Janice sendiri baru pertama kali melihat ekspresi Bapak besar yang seperti ini.
Pintu diketuk dua kali lalu Ibrahim dan Trisa masuk, disusul dengan Brayuda, Arsyad-Sabiya, juga Mahendra dan Alexa. Mareno dan Antania akan sedikit terlambat. Seluruh keluarga tersenyum lebar dan bahagia. Satu demi satu mengucapkan selamat dan langsung mengantri untuk menggendong bayi tampan bermata coklat terang itu. Janice sendiri berdiri di pinggir ruangan ikut tersenyum bahagia.
"Mahen lihat, dia tampan sekali. Matanya coklat terang," ujar Alexa sambil melihat sang bayi yang sedang digendong oleh Trisa Daud.
"Arsyad, kapan kamu dan Sabiya berangkat?" tanya Ibrahim sementara Arsyad sudah menggeleng kesal.
"Ayah dan Mama sudah punya Armand dan Reya untuk ditimang-timang. Aku dan Sabiya tidak terburu-buru," Arsyad duduk bersender sambil merangkul Sabiya.
"Biya?" Ibrahim menoleh pada Sabiya.
"Mmmm...sebenernya aku pingin sekali punya gadis kecil. Tapi aku takut Arsyad jadi freak-out dan mengurung anakku nanti," jawab Sabiya sambil tersenyum.
"Kayak Mareno sekarang ya? Jadi posesif banget sama Reya. Nggak boleh gendong, nggak boleh cium. Belum gede aja udah diposesifin," timpal Mahendra.
"Anak perempuan selalu menantang untuk dijaga. Tapi saya punya seluruh sumber daya untuk menjaga gadis-gadis kecil Daud nanti. Tenang saja," ujar Arsyad.
"Tuh kan bener..." Sabiya memutar matanya.
Mereka tertawa. Suasana hangat itu berlangsung lama, ditambah dengan kedatangan Mareno-Tania, keluarga Sanjaya Darusman dan kolega-kolega lain. Ram dan Leo mengatur seluruh pengamanan serta memeriksa tamu. Sementara dia membantu memastikan segalanya berjalan dengan lancar.
"Dimana Aryo, Jen?" tanya mama Trisa saat hari sudah malam.
"Aryo kirim salam. Dia akan datang besok," jawab Janice sambil tersenyum.
"Sudah malam. Pulang, Jen. Ada seluruh keluarga di sini yang membantu. Ingat? Kamu adalah keluarga, bukan lagi sekretaris kami."
Kepala Janice mengangguk kecil. "Apa Elena bekerja dengan baik satu minggu ini?"
Trisa tersenyum. "Elena baik-baik saja. Nanti dia akan terbiasa. Pulang, Jen. Kamu punya suami sekarang."
Akhirnya dia pamit pergi pada seluruh keluarga, setelah memastikan segalanya dan meninggalkan banyak pesan untuk Elena. Sudah terlalu lama dia mengurus keluarga Daud, jadi ketika dia menatap keluarga itu dari pintu, ada perasaan aneh yang dia rasa. Apa ini rasanya bebas? Setara? Tidak bekerja pada mereka? Dia merasa sedih sekaligus lega. Karena di matanya keluarga Daud akan selalu menjadi keluarganya sendiri. Kerabat terdekat karena ayah sudah tidak ada.
"Jen, jangan lupa datang ke acara syukuran kami ya. Kalau mau bulan madu bilang-bilang," ujar Tania padanya dari sofa.
"Kita punya janji belanja bareng kan, Jen? Lidya akan menghubungi kamu, oke." Kali ini Alexa.
"Ck, Jen. Saya masih kesel kamu dipegang-pegang sama Aryo. Cari yang lain aja lah," Mareno selalu menjadi yang paling konyol.
"Mareno. Ma, lihat tuh Ma. Mareno nggak pernah berubah kelakuannya. Jen, jangan dengerin Mareno," timpal Mahendra.
Dia tersenyum lebar melihat itu semua. "Semua, saya pamit dulu."
Pintu kamar rawat besar itu dia tutup lalu dia melangkah di koridor. Elena dan Ram berdiri sambil mengobrol di sana. Manggala baru tiba dan keluar dari arah lift bersama Rajata. Aura Manggala berbeda. Diam, sedikit sekali bicara, namun matanya memancarkan sesuatu yang Janice tidak suka. Dendam, ada banyak dendam dan luka yang dipendam di sana.
Manggala hanya menganggukkan kepala saat mereka berpapasan. Lalu Rajata bicara padanya. "Hubungi Aryo, dia terlibat perkelahian di bar."
Kepalanya hanya mengangguk sesaat lalu dia sudah melangkah lagi sambil mengangkat ponsel untuk menghubungi Aryo. Perasaan cemas mulai merayap naik. Perkelahian? Bar? Apa yang terjadi?
Sambungan ponselnya tidak diangkat, lalu dia mulai menghubungi Dony. Tubuhnya sudah berada di dalam mobil ketika akhirnya Dony mengangkat.
"Don, dimana Aryo?"
"Lo berantem sama Abang?"
"Dimana Aryo?" dia memilih untuk abai pada pertanyaan Dony tadi.
Dony mendengkus kesal. "Di rumah, baru gue antar."
"Oke," sambungan dia sudahi.
Janice melangkah terburu-buru dan langsung memacu kendaraannya menuju rumah Aryo.
***
Apa kamu tahu rasanya dibuang? Tidak diinginkan? Semua itu terasa menyesakkan. Tumpukan rasa kecewa berpadu dengan kemarahan yang ditahan, juga sedih hebat karena kondisi yang sebatang kara membuat akumulasi rasa mengendap dan berubah menjadi perasaan insecurity. Insecurity itu seperti bersemayam di dalam diri dan hal-hal yang bersinggungan akan membuat perasaan insecurity itu meledak lalu menimbulkan kekacauan.
Selama ini Aryo percaya bahwa ayahnya pergi dan membuangnya. Kemudian ibunya juga meninggalkan dia. Ya, dia ditinggalkan. Bukan ditinggal mati atau apapun. Tapi orangtuanya memilih untuk pergi, tidak peduli padanya. Walaupun akhirnya dia tahu bahwa ibunya pergi karena terpaksa melalui Edward, tapi tetap saja kepercayaan bahwa dirinya sudah dibuang telah mengakar begitu lama.
Aryo berpikir saat Janice sudah dengan resmi bersamanya, maka tidak ada kemungkinan bahwa Janice bisa pergi meninggalkannya. Seperti orangtuanya sendiri. Tapi lagi-lagi, pergi adalah sebuah pilihan dan siapapun bisa memilih untuk pergi.
Pertama kali Janice pergi Aryo bisa mengerti, Janice tidak ingin dia terluka. Tapi saat ini, kenapa Janice lebih mementingkan orang lain daripada dirinya. Orang lain itu adalah saingan terbesarnya sejak dulu perihal hati. Ya, jika dia lawan seimbang Arsyad urusan berkelahi, maka Hanif adalah musuh bebuyutannya soal wanita sejak dulu. Lihat saja Faya yang tidak bisa dia goyahkan sama sekali, dan sekarang Janice? Janice-nya?
Seluruh insecuritynya seperti terpicu. Bayangan tentang Faya yang lebih memilih Hanif, kemudian berganti dengan Janice yang diam-diam mencintai Hanif dulu. Ditambah dengan semua orang yang dia pedulikan tapi kemudian orang-orang itu juga pergi. Ah, sialan.
Jadi Aryo pergi ke salah satu bar milik temannya dulu ketika hari sudah menjelang sore. Seluruh rasa kesal dan marah serta kecewa membuat dia membiarkan setan-setan berpesta pora. Dia butuh menghilangkan seluruh bayangan kelam yang terus menari-nari, juga perasaan ditinggalkan yang membuat ego-nya terluka, atau kemarahan yang terpendam lama meledak ke angkasa. Biar saja, dia tidak ingin menjadi baik hari ini. Karena dia bukan Daud, dia Aryo Kusuma.
Dua orang laki-laki berbisik dan tertawa di belakangnya saat dia dan Dony sedang berada di meja bar. Dony sendiri datang dan menemani karena si pemilik bar menghubungi Dony. Sejak datang dan duduk dia hanya diam. Berusaha menghilangkan gusar dengan bergelas-gelas bir. Dony berusaha membuka pembicaraan tapi dia sedang tidak ingin bicara. Jadi kemudian Dony juga diam. Duduk dan minum di sebelahnya.
Saat bar mulai ramai dia mulai merasa terganggu. Kemudian dia memanggil bartender untuk mengusir semua keluar. Dia akan membayar. Dua orang laki-laki tadi mendengar lalu mulai mendorong tubuhnya marah. Tersinggung karena merasa sikapnya berlebihan. Hey, tapi gue memang kaya.
Dony berusaha melerai. Tapi lagi-lagi karena dia sudah lama tidak menghantam. Jadi tanpa pikir panjang dia mulai melakukan sesuatu yang dulu dia selalu lakukan. Menghajar orang. Kemudian pengunjung lain saling membantu, keributan besar pun terjadi hingga dia sendiri tidak tahu yang mana kawan yang mana lawan. Dia hanya terus bergerak dan menghantam. Sampai akhirnya si pemilik bar mengeluarkan senjata lalu memberikan tembakan peringatan.
Dony sudah menyeretnya keluar bar lalu memaksa agar dia masuk ke dalam mobil. Kesadarannya hanya tinggal setengah jadi dia tidak bisa menjatuhkan Dony. Brengsek.
"Apa-apaan sih, Bang. Lo kenapa?" teriak Dony marah sambil berkendara.
Dia hanya tertawa sambil menatap keluar jendela, membiarkan Dony memaki sepuasnya. Punggung dan kepala dia sandarkan. Tidak ada perasaan lega, hanya pahit di mulutnya, juga nyeri di dada. Hanya Dony yang ada, sedari dulu. Hanya Dony saja yang selalu peduli.
***
Lemari pendingin Aryo buka lalu dia mengambil bir kaleng dingin. Berjalan ke luar teras dan duduk tidak mempedulikan Dony yang masih marah. Dony duduk di sebelahnya sementara dia sudah menenggak kaleng tadi sambil bersender menatap ke langit malam.
"Lo berantem sama Janice, Bang?" tanya Dony.
Dia diam, hanya menyesap minumannya.
"Udah lama gue nggak lihat lo begini. Terakhir waktu Faya..."
"Sssst..." dia menghentikan Dony karena benci dengan ingatan itu. "Pergi, Don. Gue mau sendiri." Minuman dia sesap lagi.
Gue selalu sendiri.
Dony diam sesaat lalu mengangguk dua kali. "Gue ke sini besok pagi."
"Nggak perlu. Tolong ambilin kaleng-kaleng ini lagi dari dalam kulkas. Itu aja." Kaleng yang dia genggam sudah dia tenggak habis.
Tubuh Dony berdiri. "Ambil sendiri. Gue telpon lo besok pagi. Obatin luka-luka lo sendiri tuh."
Kaleng bir dia remas hingga remuk lalu dia lempar saat Dony pergi. Dengan malas dia berdiri untuk mengambil kaleng-kaleng tadi dari dalam kulkas. Sudah ada dua kaleng dalam genggamannya saat dia bicara pada dirinya sendiri.
Heh, setan. Ini bukan karena elo yang menang. Gue memang selalu begini sedari dulu. Sendiri. Mangkanya kita temenan.
Pintu depan terbuka dan dia sudah tahu siapa. Janice berdiri sejenak menatapnya tanpa kata-kata. Dia sendiri juga hanya diam menatap Janice datar saja. Kecewa karena hari ini dia menjadi nomor dua. Lalu dengan santai dia meletakkan satu kaleng bir di counter dapur dengan gesture menawarkan kaleng itu ke Janice. Kemudian dia melangkah lagi ke teras belakang.
Kaleng ke dua Aryo teguk sambil duduk bersender malas. Beberapa saat kemudian Janice muncul dari arah dalam dengan kotak perak P3K, dan kemeja yang lengannya digulung setengah. Janice menggeser bangku agar berada tepat di sebelahnya lalu Janice mulai membuka kotak perak itu.
"Duduk, Jen," ujar Aryo.
Janice tidak bergeming dan malahan mulai mengulurkan tangan yang sudah memegang cairan pembersih untuk membersihkan luka-luka pada wajah Aryo.
"Duduk di situ, saya bisa bersihkan luka saya sendiri." Wajah Aryo jauhkan dari tangan Janice kemudian dia mulai menyalakan rokok.
Kepala Janice miring sedikit ketika tangannya sudah meletakkan kembali cairan pembersih pada koper tadi. Janice mendengkus kesal tapi lalu duduk di salah satu sofa juga. Ikat rambut Janice lepas hingga rambutnya lepas tergerai. Punggung Janice sandarkan santai, duduk diam menatap ke langit malam.
Rokok terus dia hirup dalam sambil sesekali menenggak bir kaleng. Campuran rasa marah yang ditahan, juga gemas, dan sedikit sesak membuat dia ingin sekali berteriak. Janice benar-benar kaku jika tidak berada di tempat tidur. Ekspresi Janice yang datar dan tidak bisa dia tebak membuat dia tambah...hrrrghhhh. Ponsel Janice bergetar kemudian Janice mencermati isi pesan. Sementara dia menduga-duga, apa itu pesan dari Hanif?
Bir kaleng Janice ambil dari meja di sebelahnya lalu Janice membuang semua ke tempat sampah terdekat. Setelah itu Janice duduk lagi.
"Tolong ambilkan saya yang baru, di kulkas."
Tubuh Janice berdiri lalu pergi ke dalam. Janice kembali dengan seluruh sisa bir kaleng di tangan. Satu demi satu bir kaleng Janice buka dan tumpahkan isinya ke tanah. Semua Janice lakukan di hadapannya. Karena benar-benar emosi, dia berdiri lalu menangkap tangan Janice.
"Saya minta kamu ambilkan untuk saya."
Kaleng bir kosong Janice berikan. "Sikapmu, mengecewakan."
"Oh ya? Jadi? Kamu mau meninggalkan saya?" tantangnya sambil meremas dan membuang kaleng tadi sembarangan.
Janice menatap dengan ekspresi tidak percaya. "Kalau saya mau meninggalkanmu, saya pergi ke pengadilan agama. Bukan berlari ke sini dan membawa koper P3K!"
Sebelum sempat dia menjawab, ponsel Janice lagi-lagi berbunyi. Karena sangat emosi dia mengambil ponsel itu dari tangan Janice dan membantingnya ke lantai hingga hancur.
"Edward sudah beristirahat. Harusnya tidak ada lagi yang lebih penting daripada saya. Atau saya salah?" Mereka berdiri berhadapan dekat sekali.
Emosi jelas mulai terlihat di mata Janice. Nafas Janice hirup dalam. "Ada apa sebenarnya denganmu? Mabuk? Membuat kerusuhan? Apa begini caramu menyelesaikan masalah? Apa kamu selalu begini dulu?"
"Jangan hakimi saya!"
"Tapi ini cara yang salah!"
"Berlari ke tempat orang lain dan membuat marah pasanganmu juga salah!"
"Saya pergi karena membantu Hanif, bukan mabuk-mabukan di bar dan membuat kerusuhan!" nafas Janice tersengal marah.
"Karena setiap kali saya ingin bicara, kamu pergi meninggalkan saya!!" nada Aryo tidak kalah tinggi. "Atau kamu bahkan pergi tanpa bilang apapun ke saya. Kamu seperti bayang-bayang yang kadang ada, kadang hilang."
Rahang Aryo mengeras, matanya menggelap karena benar-benar emosi. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang dia sesali kemudian. "Lebih baik kamu pergi saja. Jangan pernah kembali."
Ekspresi Janice terkejut sekali. Saliva Janice loloskan perlahan. Bibir Janice yang bergetar terkatup rapat. Janice diam sejenak, berusaha mencerna atau bahkan mengerti apa alasan sikap Aryo yang aneh sekali.
"Baik," Janice tersenyum miris. "Sepertinya pernikahan memang bukan untuk saya. Terimakasih karena membuat saya sadar tentang itu."
Janice mundur dua langkah, kemudian tubuh Janice berbalik melangkah pergi.
Ah, sh*t. Alkohol sialan!! Saat itu, Aryo tahu dia keluar batas dan melukai Janice karena insecurity-nya sendiri. Kali ini dia benar-benar akan kehilangan Janice jika Janice berhasil keluar dari rumahnya.
"Jen..." dia melangkah terburu-buru mengejar Janice yang hampir sampai pintu.
"Saya akan urus segalanya cepat. Besok Pak Lukman akan datang menemuimu," ujar Janice sambil terus melangkah.
Lengan Janice dia tarik dan tubuh Janice berbalik menghadapnya. Kemudian hantaman rasa bersalah dengan cepat memenuhi dada. Janice menangis. Oh, no. Begooo banget lo, Yoo.
"Tanda tangani suratnya, oke," Janice membersihkan dua titik air mata sambil mengulurkan tangan untuk membuka pintu.
Lalu dengan dua gerakan dia sudah menggendong tubuh Janice yang meronta kuat. Membawa wanita keras kepala dan kaku luar biasa ini masuk ke dalam kamar dan menguncinya di sana.
***
Laki-laki adalah spesies yang aneh sekali. Sangat-sangat aneh. Mereka diciptakan khusus untuk memperumit hidup dan mengacak-acak hati wanita. Sebelumnya Janice sangat yakin Aryo mencintainya, apa adanya. Karena dia tahu dia bukan jenis wanita biasa. Tapi entah karena apa, tiba-tiba Aryo memintanya pergi. Setelah akhirnya dia mau mencoba untuk mengerti apa arti pernikahan itu sendiri. Bayangkan, Aryo Kusuma mengusirnya pergi hanya karena dia membantu Hanif dan Faya.
Lalu seluruh praduga sudah menari-nari di kepala. Mungkin Aryo tidak serius, atau tidak benar-benar mencintainya. Atau mungkin konsep pernikahan yang aneh ini memang bukan untuk mereka. Atau lebih buruk lagi, mungkin Aryo baru sadar bahwa laki-laki itu tidak mau berkomitmen, komitmen itu membosankan. Kebutuhan dasar laki-laki bisa sangat tinggi dan mungkin saja dirinya sendiri tidak cukup untuk seorang Aryo Kusuma. Apapun itu dadanya terasa sangat sakit mendengar kalimat Aryo tadi.
Lebih baik kamu pergi saja. Jangan pernah kembali.
Jika ada satu hal yang dia akan selalu pilih apapun kondisinya, hal itu adalah harga diri. Sekalipun dia akan selalu mencintai Aryo, dia tidak akan sudi mengemis rasa yang sama. Lebih baik dia mati. Pernikahan memang bukan untuk mereka, atau paling tidak bukan untuk dia. Keputusan sudah dia ambil saat dia melangkah pergi. Tapi lalu apa? Makhluk hidup ini malahan menguncinya di kamar entah kenapa. Brengsek sekali, kan?
Saat tubuhnya sudah diturunkan dia langsung berdiri tegak. Satu tangannya melayang cepat ke arah wajah menyebalkan itu. Hrrghhh, dia tidak tega karena bahkan wajah Aryo penuh dengan luka baku hantam di bar tadi. Tapi kecepatan emosi dan refleks bertahan diri membuat satu pukulannya sudah mendarat di wajah Aryo.
'PLAK!'
Bibir Aryo pecah dan berdarah. Saliva dia loloskan karena sungguh dia tidak mau berkelahi. Tapi seluruh emosi benar-benar membutakan mata dan pikirannya. Aryo mengusap darah yang menetes dari bibir lalu menatapnya, dengan luka yang sama. Kenapa mereka begini?
"Komunikasi kita di luar dari tempat tidur buruk sekali, Sayang."
Nafasnya masih tersengal dan air matanya jatuh satu. Dia benci dan cinta di saat yang bersamaan dengan makhluk jadi-jadian ini. Tubuh Aryo mulai melangkah mendekatinya dan dia tahu apa yang Aryo akan lakukan.
"Brengsek!!" teriaknya murka lalu ingin beranjak pergi.
Aryo tidak melepaskannya mudah. Tapi oh, Aryo lupa bahwa dia adalah Janice Kaliani Katindig. Jadi ketika dua tangan Aryo ingin meraih tubuhnya, dia sudah mulai menyerang. Ya, dia akan menjatuhkan Aryo hingga dia bisa keluar dari sini.
'BUAK!' tubuh Aryo mundur tiga langkah karena dia tendang.
Kemudian dengan dua gerakan yang tidak bisa dia baca Aryo dengan cepat ingin menangkapnya. Sama sekali tidak membalas, hanya berusaha bertahan dan menangkap tubuhnya.
"Stop!!" dia menjerit frustasi karena dia hanya ingin pergi. Dia tidak ingin menyakiti Aryo begini.
"Saya bilang saya akan selalu membiarkan kamu menang. Kali ini, saya tidak mau kalah, Jen," ujar Aryo sambil terus bergerak.
Aryo terus mendekatinya dan dia tidak suka. Mungkin karena dia tahu dia akan mudah luluh begitu saja. Dimana harga dirinya? Gerakan Aryo sempurna, padahal manusia ini sudah menenggak lebih dari 10 botol bir. Dasar gila!
Saat Janice mengira dia sudah bisa lolos karena tubuh Aryo jatuh ke lantai, dia salah besar. Kaki Aryo mengait tungkai kakinya hingga dia kehilangan keseimbangan lalu jatuh. Entah bagaimana tangan Aryo sudah menangkap tubuhnya hingga posisi mereka miring berhadapan di lantai kamar. Matanya yang basah membuat pandangannya kabur hingga Aryo dengan cepat membalik tubuh hingga posisi Aryo berada di atas, mengunci kaki dan tangannya.
Wajah dia tolehkan karena terlalu marah. Seluruh campuran emosi membuat dia bingung sendiri. Dia tidak mau menatap mata Aryo karena nanti Aryo tahu bahwa dia punya banyak rasa untuk laki-laki brengsek ini.
"Kita bicara dengan cara yang lain. Karena cara konvensional tidak berhasil."
Aryo melepas kaus yang dikenakan, sementara dia masih menolehkan kepala. Menangis seperti perempuan. Ah, dia benci dirinya sendiri.
"Jen, look at me." Aryo menggeram. "Janice, lihat gue."
Wajahnya sudah lurus dengan wajah Aryo kemudian dia meledak marah. "You, a**hole!! Manusia brengsek, nggak tahu aturan. I will kill you..." tangannya memukul tubuh Aryo yang tidak bergeming.
Aryo hanya diam saja menatapnya. Membiarkan dia memukul, dan mencakar tubuh Aryo yang telanjang dada di atasnya. Seluruh makian dari segala bahasa yang dia tahu sudah dia gunakan. Air matanya terus meluncur. Dia tidak pernah menangis sebanyak ini. Aryo tetap tidak melepaskannya.
Nafasnya tersengal kelelahan lalu tangisnya yang tadi sudah berhenti sejenak dimulai lagi. Dia benci menjadi lemah begini. Dia sakit hati karena diusir pergi oleh laki-laki pertama yang sungguh-sungguh dia cinta.
Wajah Aryo mendekat perlahan. Lalu dia bisa merasakan anyir darah pada bibir Aryo yang pecah karena dia pukul tadi. Ciuman Aryo lembut dan perlahan sekali. Seperti ingin bilang bahwa Aryo menyesal dan meminta maaf padanya. Tangisnya belum pergi saat tubuh hangat Aryo memeluknya.
"Jangan menangis. Please..." bisik Aryo sambil terus menciumnya lembut. "Saya hanya benci ditinggal pergi." Aryo berhenti sejenak lalu menatapnya. "Saya selalu ditinggal pergi. Karena itu saya takut kamu juga akan meninggalkan saya."
Ada luka yang dalam dan menganga lebar pada mata hitam Aryo Kusuma. Luka yang dia baru lihat kali ini.
"Gue nggak lebih baik dari Daud. Gue preman dan penjahat, Jen. Gue jahat." Saliva Aryo loloskan. "Kamu pantas dapatkan seseorang yang lebih baik da..."
Leher belakang Aryo dia tarik cepat. Tubuhnya sedikit terangkat ketika dia mencium bibir Aryo dalam. Sekarang dia mengerti. Aryo memiliki insecuritynya sendiri dan saat ini seluruh trauma hidup Aryo dulu sedang menghantam hebat.
"Do you love me?" bisiknya saat ciuman mereka berhenti.
"Sampai mati. Akan selalu begitu."
Kemudian dia menarik tubuh Aryo mendekat lalu berbisik di telinga laki-lakinya itu. "I will kill you if you leave me."
Dia ingin Aryo tahu, bahwa dia memiliki ketakutan yang sama. Ketakutan akan sendiri, atau perasaa ditinggalkan. Sama seperti apa yang Aryo rasakan. Aryo mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Lihat, kita jauh lebih baik berkomunikasi dengan cara ini."
Senyum Aryo mengembang lalu mereka mulai bergerak bersama, saling mengisi.
***
Hadeeeh pasangan ini memang yaa. Sedikit lagi selesai ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro