Part 56
Hari sudah larut ketika Audra dan Niko tiba di kediaman Audra. Malam ini Ayyara menginap di rumah Brayuda bersama Nanda. Semua pelayan Audra berikan cuti satu minggu penuh, hanya menyisakan pekerja yang akan datang di siang hari untuk membereskan rumah kemudian pergi.
Niko diam saja sejak pesta pernikahan mereka berakhir tadi. Sekalipun di pesta sikap Niko baik-baik saja. Mesra dan hangat padanya. Entah kenapa saat ini aura Niko berbeda.
"Nik, kamu mau kita balik ke apartemen kamu aja?" tanya Audra perlahan.
"Nggak ada baju kamu di sana," jawab Niko sambil memarkirkan mobil masuk ke dalam garasi.
"Itu urusan gampang. Aku hanya tinggal telpon Lisa. Lagian masih ada baju kamu, atau nggak usah pakai baju sekalian," godanya.
Mesin mobil dimatikan lalu Niko menoleh sambil tersenyum menatapnya. "Ide yang sangat baik, Nyonya. Tapi aku nggak mau buat kamu nggak nyaman. Lagian, mama dan Naya kayaknya ada di sana. Mereka nggak terlalu suka menginap di hotel. Karena mereka nggak bisa masak sendiri."
"Mama dan Naya bisa aku minta pindahkan ke suite yang ada dapurnya. Aku hanya tinggal telpon El Rafi," ujar Audra spontan.
Niko tersenyum lagi. "Terimakasih, tapi tidak perlu. Turun?"
Mereka turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah melalui pintu di garasi yang menyambung ke koridor ruang tengah. Niko mengamati sekeliling.
"Kemana semua orang?" tanya Niko.
"Semua pekerja aku liburkan. Biar mereka istirahat, dan aku nggak mau diganggu," Audra melepas sepatu dan meletakkan tas sembarangan.
Seharusnya mereka mengadakan after party, jadi mereka bisa berdansa bersama teman-teman dekat saja semalaman. Tapi Arsyad dan Niko tidak suka ide itu. Akhirnya setelah pesta berakhir, Audra mengganti pakaian dengan gaun cantik dan pulang bersama Niko.
"Aku mandi dulu," Niko berjalan menuju lantai atas.
"Nik..."
Langkah Niko berhenti.
"Are you oke?" tanyanya perlahan.
"What makes you think I'm not oke?"
"I don't know. You're so quiet. Aku nggak paham kenapa. Tadi di pesta kamu baik-baik aja. Ada apa, Nik?"
Tubuh Niko sudah berada di tangga, sementara Audra berdiri di tengah ruangan. Niko diam sejenak seperti berpikir.
"Aku jetlag, dengan semuanya. But I'm oke, Aud." Niko sudah mulai melangkah lagi.
"Ini pasti karena perjanjian pra-pernikahan sialan itu, iya kan?" tebaknya.
Langkah Niko melambat lalu laki-lakinya itu menoleh lagi. "Aku baik-baik, Aud. Dan aku yang meminta perjanjian itu ada. Sekalipun aku kaget dengan efeknya. Maksudku, aku hanya belum biasa."
"Aku akan meminta Pak Lukman batalkan semua," timpalnya.
"Aud, jangan begitu."
"Aku tidak bertanya padamu, Nik," kali ini dia yang membalik tubuh dan berjalan ke arah dapur.
"Ya, kamu selalu tidak pernah bertanya padaku, Aud. Mungkin aku tidak layak untuk didengarkan. Kemarin dulu, sekarang..."
Tubuhnya langsung berhenti dan berbalik sempurna. "Maksudnya?"
Niko melangkah naik lagi.
"Niko, are you seriously gonna do this to me? We fight just right after we got married?" dia menggeram marah.
"Kita tidak sedang bertengkar, Aud. Aku hanya ingin mandi, please," Niko masuk ke dalam kamar tamu.
"Hrrrghhh..." dia melangkah menyusul Niko naik ke atas dan masuk ke kamar yang sama.
Jas sudah Niko lepas dan laki-lakinya itu sedang membuka kancing kemeja.
"Talk to me, Nik."
"I am talking to you, Aud. What do you want me to say?"
"Aku serius."
"Aku juga serius, Aud," Niko berhenti lalu menatapnya dalam.
Nafas Niko hirup panjang. "Aku akan perjelas kenapa aku marah, Aud. Pertama, Sabiya memilihkan gaun yang sopan untukmu. Karena Sabiya bilang kamu yang memintanya. Itu bagus. Tapi kemudian apa, kamu mengganti gaun dengan yang kamu suka. Apa kamu tahu gaun itu terlalu terbuka? Kedua, kamu persiapkan semua fasilitas mewah untuk adik dan mamaku. Sampai mengirim beberapa pelayan untuk melayani mereka, tanpa bertanya padaku. Aku paham maksudmu baik, Aud. Tapi bukan begitu caranya. Ketiga, kamu tidak pernah bertanya apa pendapatku. Dalam hal apapun. Tidak pernah sama sekali. Bahkan ketika kamu mengganti jas yang aku beli. Hey, Aud. Aku bisa beli sepuluh Armani, tapi aku memilih tidak membeli pakaian berlebihan hanya karena aku mau menikah."
Saliva Audra loloskan. Niko benar-benar marah padahal dia tidak bermaksud jahat seperti yang Niko pikirkan. Apa dia berlebihan jika dia ingin memberikan yang terbaik untuk seseorang yang dia cinta?
"Aku Niko Pratama, suamimu sekarang, Aud. Bukan masalah siapa yang punya apa. Aku tidak peduli bahkan jika kamu memiliki seluruh harta di dunia atau tidak punya sepeserpun. Tapi bisakah kamu bertanya padaku lebih dulu?" nada Niko naik tinggi.
"Aku tidak bermaksud apapun. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik..." sahutnya perlahan.
"...dan yang terbaik adalah bertanya. Mendengarkan apa pendapat suamimu."
Refleksnya adalah mengangkat kepala tinggi dan menatap Niko kesal. Setiap kali dia merasa terancam, itulah yang dia lakukan.
Hah, Aud. Kenapa refleks kamu jelek banget sih.
Niko membaca gelagatnya dengan asumsi yang salah. Sungguh itu hanya refleks saja karena seumur hidupnya dia sudah terbiasa melakukan itu. Kepala Niko menggeleng keras tambah marah. Respon Niko hanya diam dan berjalan menuju kamar mandi sambil menutup dan mengunci pintu.
Bagus, Aud. Bagus sekali. Kenapa jadi begini sih?
Dia menggigit bibir kesal sambil meneteskan air mata. Marah pada dirinya sendiri.
***
Audra tertidur di tempat tidur kamar tamu karena kelelahan menangis dan menunggu Niko yang marah keluar dari kamar mandi. Dia mengira dia tidak akan menemukan Niko di sebelahnya ketika pagi tiba. Tapi saat dia bangun dan mengerjapkan mata, ada tangan kuat Niko yang melingkari tubuhnya dari belakang.
Kemudian hantaman rasa bersalah datang. Diiringi dengan pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba muncul begitu saja.
Apa karena sikapnya ini juga, dulu Evan mencari wanita lain?
Ya, aku memang membiarkan Evan membeli rumah dan tetap memberikanku uang. Tapi sejak dulu aku jarang sekali bertanya apa yang Evan mau atau suka.
Hah, Aud. Evan memang brengsek. Pikirkan Niko saja. Apa yang Niko mau dan butuhkan. Kompromi, Aud.
Tubuhnya berbalik perlahan tidak ingin membangunkan Niko. Mereka sudah berhadapan dengan mata Niko yang masih terpejam. Niko begitu sabar menghadapinya. Sikap Niko sopan, konyol terkadang hingga selalu membuatnya tertawa. Di hadapan Niko dia bisa bersikap apa adanya. Tanpa mempedulikan image yang biasanya selalu harus dia jaga.
Satu tangannya menyentuh rambut Niko perlahan, lalu turun ke arah telinga. Menyusuri bingkai wajah Niko yang dia suka. Lalu tangan Niko bergerak menggenggam tangannya, lalu mencium jari-jarinya.
"Selamat pagi," mata Niko membuka lalu menatapnya.
"Kamu sudah bangun ternyata," ujarnya.
"Aku orang pagi."
Audra diam sejenak, mendengarkan debaran dadanya sendiri. Dalam hati dia khawatir Niko masih marah padanya. Juga tatapan mata Niko yang...entah. Dia kehabisan kata.
"Kenapa nggak bangun kalau begitu?" tanyanya.
"Aku tidak mau kamu bangun dan merasa sendiri seberapapun kita bertengkar kemarin. Itu bukan gayaku," jawab Niko.
Dia makin merasa serba salah. "Apa kamu masih marah?"
"Apa kamu siap berkompromi, Aud?"
"Aku mau, hanya tidak biasa," jawabnya.
"Anggap saja kita sedang melakukan merger dua perusahaan besar. Kompromi itu krusial. Bukan begitu ibu Presiden Direktur?" Niko tersenyum padanya.
"Compromise, commitment, and trust. Yes, that's crucial," jawabnya.
Kepala Niko mengangguk perlahan. "Jadi? Will you spend the rest of your life to compromise, to commit and to trust me, Audra?"
"I will. Sekalipun aku tetap akan belikan kamu Armani."
"Aud..."
"Tapi kamu harus punya satu pasang paling enggak..."
"Oke, done."
"Aku belum selesai, maksudnya satu pasang setiap warna dasar yang ada."
Niko menggelengkan kepala sambil terkekeh tidak percaya. "Kamu lebih cinta dengan Giorgio Armani rupanya."
"Nggak gitu, Nik."
"Dua pasang dan aku yang beli. Deal?"
"Tiga pasang. Hitam, biru, krem. Hhhh, Nik. Hitam bahkan punya banyak model. Lima pasang ya?"
"Dua pasang atau aku nggak akan pakai, titik."
"Tapi, Nik..."
"Titik, Aud. Bukan koma," tegas Niko.
"Hrrrgh," dia memutar mata.
Sebelum dia sempat mendebat Niko ponsel Niko berbunyi tanda pesan masuk. Niko mengambil ponsel dari meja nakas lalu membaca pesan itu. Nafas Niko tarik dalam lalu Niko menatapnya lagi.
"Apa ini, Aud?" ponsel Niko sodorkan ke hadapannya.
Ada gambar tas Hermes Kelly berwarna hitam dan merah yang memang dia minta petugas hotel untuk meletakkannya di dalam kamar Naya dan mama Niko.
"Itu welcome gift buat mama dan adik kamu," jawabnya.
"Berapa harganya, Aud?"
"Itu cuma Kelly, bukan Birkin, Nik."
Entah sudah berapa kali Niko menghela nafas dalam. "Kamu tahu apa pekerjaan Naya?"
"Tahu, Naya bekerja sebagai dokter dan aktivis di WHO."
"Naya sedih sekali melihat tas-tas itu. Yang ada di pikiran Naya, harga dua tas itu bisa menghidupi tiga desa di daerah konflik atau terpencil sana."
"Aku bisa kasih lebih dari itu untuk donasi ke WHO. Langsung ke sub-bagian dimana Naya bekerja. Sanggara Buana punya program yang..."
"Sayang, ya Tuhan. Tolong coba untuk mengerti."
"Kamu panggil aku apa?"
"Aku sedang sangat kesal dan marah, karena itu aku panggil kamu sayang."
Matanya mengerjap heran. Dia dipanggil sayang karena berbuat salah?
"Aku hanya ingin memberikan hadiah pada keluargaku yang baru. Aku memberikan yang terbaik karena untukku Hermes adalah pembuat tas terbaik. Dan itu investasi, Nik. Setiap tahun harganya naik, lagian..."
"I will repeat again. Will you spend the rest of your life to compromise, to commit and to trust me, Audra Daud?"
Dia langsung diam dan menarik nafas juga. "Jadi aku harus apakan tas itu?"
"Jual, dan berikan dananya untuk donasi. Naya akan sangat senang sekali. Lagian, tas-tas itu sudah akan dikirim ke sini."
"Jadi Naya dan mama menolak karena tidak suka?"
Niko diam sejenak lalu dua tangan Niko membingkai wajahnya. "Naya dan mama mencintai kamu apa adanya. Sama seperti aku. Tidak perlu tas harga ratusan juta. Cukup menemani beliau belanja, masak bersama dan makan malam ketika mama ada di sini. Cukup mengobrol santai dengan Naya, mungkin sedikit memberinya tips ala wanita. Naya cuek sekali dengan penampilannya. Jadilah anak dari mama dan kakak dari Naya-nya Niko Pratama. Aku bukan Tanadi, atau Hadijaya."
"Aku tidak pernah menyamakanmu dengan mereka. Kamu Niko Pratama, aku mengerti. Tapi sikapmu aneh. Karena bahkan dulu Evan dan keluarganya tidak keberatan. Jadi aku pikir keluargamu juga tidak keberatan," bisiknya mengalah.
Senyum Niko mengembang. "Terimakasih karena sudah mengerti dan mau berkompromi, Audra."
"Sepatu-sepatumu akan datang besok," ujarnya lagi.
"Ya Tuhan, Aud. Apalagi itu?"
"Aku mau membuatmu selalu marah, jadi aku terus dipanggil sayang, Sayang," dia tersenyum lebar penuh arti.
Niko tertawa lalu mencium bibirnya.
"Banyak yang harus kita bicarakan, Nik," ujarnya disela-sela.
"Hmm...aku setuju." Bibir Niko berpindah ke leher jenjangnya. "Tapi aku sedang sibuk sekarang, kamu harus bikin janji."
"Oke, aku akan minta Lisa buatkan janji untuk bertemu dengan suamiku sendiri." Dia tersenyum kecil. Matanya sudah terpejam menikmati apa yang Niko lakukan.
"Maaf, jadwalku penuh sampai minggu depan," tangan Niko sudah mulai membuka risleting gaunnya.
"Oh ya? Meeting dengan siapa?" dia sendiri membuka kaus abu-abu polos yang Niko kenakan. Lalu menatap tubuh sempurna Niko dengan pandangan menggoda.
"Hanya Audra Daud. Businesswoman nomor satu di negeri ini," gaunnya sudah Niko buka.
"Hanya?" alisnya naik satu. "Audra Daud tidak pernah menjadi 'hanya'."
"Audra Daud selalu menjadi hanya untukku. Hanya satu-satunya," Niko meneruskan apa yang tadi dia lakukan.
Sementara Audra tersenyum sambil menatap mata Niko Pratama. Dahi mereka bersentuhan saat Niko berhenti lagi. Tubuh polos mereka menempel berdekatan.
"Jadi Nyonya Pratama, apa kita bisa memulai bulan madu kita sekarang?"
Senyum Audra mengembang lebar. "Beberapa kali di sini lalu kita pindah ke Maldives. Semua sudah disiapkan di sana."
"Maldives?"
"Bulan madu di rumah itu bukan gayaku, Sayang. Sama sekali bukan gayaku."
"Hhhh...Sayang, kamu mulai lagi buat aku kesal," nafas Niko hirup dalam.
Audra tidak peduli dengan protes suaminya dan langsung membungkam Niko dengan ciuman dalam.
"Sepatu-sepatu untukku itu hanya bercanda kan, Aud?" tanya Niko sambil terus mencium tubuhnya.
Matanya terpejam, saliva dia loloskan. Berusaha fokus pada jawaban saat Niko membawanya terbang tinggi. "Ya, aku hanya bercanda."
Dalam hati dia berjanji bahwa dia akan menghubungi Lisa untuk membatalkan semua yang dia beli untuk Niko sore nanti. Dia tidak boleh lupa.
***
Apa persamaan Janice dan Audra? Ada yang tahu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro