Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 53

Suasana rumah sakit MG di lantai khusus sore itu sedikit lebih ramai. Sudah ada Ibrahim yang datang sebagai saksi ditemani dengan Trisa yang sedang mengobrol riangan di koridor depan kamar rawat Edward dengan Arsyad dan Hanif. Sedangkan para wanita, Sabiya, Antania, Alexandra dan Fayadisa sedang membantu Janice bersiap-siap di ruang kerja Antania.

Janice mengenakan blazer berwarna putih tulang yang cantik juga rok pinsil berwarna senada yang membalut tubuhnya sempurna. Tanpa make up dan perhiasan yang berlebihan, tanpa buket bunga tangan, tapi Janice mengenakan sepasang sepatu terbaiknya. Mata Janice menatap ke luar jendela, menerawang. Sementara para wanita sedang duduk di sofa mengobrol ringan.

Dia akan menikah hari ini padahal dia tidak mengerti apa arti pernikahan itu sendiri. Didikan ayahnya sangat keras perihal disiplin dan komitmen dalam hidup. Jadi prinsip hidupnya berbeda dari orang kebanyakan. Pernikahan itu hanyalah simbolis saja. Komitmen kuat tidak perlu diucapkan dengan kata-kata atau ditulis di atas kertas. Janji pada Tuhan bisa disebut dalam hati, dalam setiap doa.

"Apa pernikahan itu perlu?" tanpa sadar Janice bersuara.

Para wanita berhenti mengobrol dan menoleh padanya.

"Penting, karena dengan begitu kita memiliki hak dan kewajiban yang jelas. Ditambah lagi itu komitmen hidup yang memang harus dijalani," jawab Tania.

Tubuh Janice berbalik menatap para wanita Daud. Dahinya mengernyit dalam. "Saya bisa berkomitmen seumur hidup saya tanpa menikah."

Fayadisa terkekeh sambil menganggukkan kepala. "Gue setuju sama lo, Jen. Tapi Hanif itu manusia taat aturan dan gue selalu jadi tim Hanif. Lagian, menikah itu nggak semenyebalkan yang gue bayangkan. Paling enggak waktu suami gue terkenal kayak sekarang, cewek-cewek itu tahu kalau Hanif punya istri."

"Apa dengan begitu para wanita akan berhenti mengejar laki-laki yang bersuami? Atau para suami itu akan berhenti selingkuh? Kayaknya enggak. Kebutuhan dasar laki-laki atas nafsu dan ego sangat tinggi. Mereka tidak mudah puas," pungkas Janice.

Sabiya tersenyum kecil. "Jen, tidak banyak orang yang berkomitmen tinggi seperti keluarga Katindig. Aku yakin kamu bisa setia sampai mati. Tapi, lebih banyak orang yang nggak setia dan nggak bisa berkomitmen. Pernikahan adalah untuk menjaga itu semua. Kalau enggak, tatanan hidup nggak stabil. Laki-laki bisa naik ke tempat tidur dengan siapa saja, berganti-ganti. Penyakit-penyakit akan bermunculan. Populasi meledak tidak bisa dikontrol. Masalah ekonomi bisa terjadi. Menikah adalah salah satu tindakan bijaksana untuk menyeimbangkan itu semua."

Antania, Faya, dan Alexandra menatap Sabiya kagum. "Wooow...luar biasa."

"Hey, hey, suamiku itu Arsyad Daud yang koleksi buku ekonomi, strategi dan filsafatnya banyak sekali," kekeh Sabiya. "Lagian ya, menikah itu sebagian dari agama. Jika sudah Allah yang meminta, kamu mau menolak? Yakin? Nggak perlu ragu untuk menjalani sesuatu yang jelas tertulis di aturan agama. Nanti kamu juga mengerti apa arti pernikahan untuk kamu. Sekalipun sekarang kamu nggak mengerti itu," tutup Sabiya.

Seluruh kalimat Sabiya masuk ke dalam otaknya dan berproses di sana. Sabiya menjelaskan dengan cara yang lebih mudah dia pahami.

"Gimana menurutmu, Lexa?" tanyanya penasaran sambil menatap Alexa.

"Aku? Hmmm..." Mata Alexa berputar ke atas sejenak sebelum menjawab. "Aku nggak punya jawaban pintar, Jen. Yang jelas, aku cinta Mahendra dan mau terus hidup dengannya. Aku bahkan jatuh cinta pada semua sikap canggung dan semua kekurangannya. Aku nggak bisa kalau nggak ada Mahendra. Jadi aku harus menikahi dia, karena aku nggak mau yang lain. Itu yang aku rasa." Alexa memberi jeda. "Yang paling penting, Mahendra melengkapi aku. Kalian merasa juga begitu nggak sama suami kalian masing-masing? Kayak pas aja, perfect fit for me sekalipun kita dua orang berbeda."

"Kalau berbeda tapi melengkapi yang kamu maksud itu adalah aku sibuk menyelamatkan nyawa sementara Mareno Daud sibuk wawancara sana-sini, ya, aku dan Mareno perfect fit," Antania terkekeh geli.

"Atau, gue suka sekali menghantam. Bahkan ayah gue itu Bapak Besar dan abang gue itu psycho gila. Tapi suami gue hatinya seperti dewa, baik banget. Ya, Hanif is perfect fit for me also. He balanced me well," Faya tersenyum membayangkan suaminya.

Lalu mereka menatap Sabiya dan serempak berkata. "Jangan comment, kamu dan Arsyad itu pasangan dari dunia lain."

Kemudian mereka tertawa.

"Lagian kalau kamu nggak mau nikah sama Aryo nanti laki-laki itu bisa disambar Lidya yang nge-fans berat lho," timpal Alexandra polos.

Tawa mereka lepas lagi. Para wanita Daud memang istimewa. Wanita dengan pribadi yang berbeda-beda. Kuat, keras, pintar, anggun, lembut, naif dan polos untuk Alexandra, tapi juga jujur tanpa pura-pura. Satu persamaan mereka, yaitu bisa bertahan bahkan menyukai dunia keluarga Daud yang keras dan terkadang kejam. Janice harus mengakui bahwa para wanita ini benar-benar sempurna untuk pasangan mereka masing-masing.

Sedikit banyak dia belajar sesuatu hari ini dari para wanita Daud. Sabiya benar, mungkin saat ini dia tidak mengerti apa arti pernikahan untuk dirinya sendiri. Tapi dia seseorang yang selalu ingin mencoba hal baru yang menantang, kan? Anggap saja seperti itu. Jadi ragu itu hilang, pergi.

Janice juga duduk di sofa dan tersenyum karena para wanita mulai membicarakan seluruh tingkah konyol para suami mereka. Terutama Alexandra yang baru saja menikah dan menemukan banyak perilaku unik Mahendra. Mereka saling menggoda dan tertawa. Hati Janice menghangat, karena tahu mereka adalah keluarga yang akan selalu ada untuk satu sama lainnya. Dia tidak sendiri.

***

Tepat pukul empat sore waktu setempat, Aryo Kusuma mengucap janji. Wajah Edward berbinar sekalipun pucat sekali. Senyum Edward lebar dan lega jelas terpancar. Setelah banyak menghabiskan waktu bersama Edward, Aryo sungguh sayang pada laki-laki tua ini. Menikah atau tidak menikah dia dengan Janice, Edward sudah menjadi seseorang yang berarti untuknya.

Janice duduk di sebelahnya dengan kepala setengah menunduk. Aryo tahu ada tetes air mata saat Janice meminta restu kepada Edward. Dia pun hampir menangis kalau tidak melihat cengiran konyol Mareno dan Mahendra di sudut ruangan. Dasar begundal-begundal kecil. Perusak suasana.

Tidak ada acara mewah, tamu yang hadir benar-benar keluarga saja. Keluarga Daud maksudnya, juga Dony dan Sharon. Bapak Besar, Manggala dan Brayuda. Niko Pratama dan Ram Paradin. Dokter Reyn juga hadir dan langsung berdiri mengucapkan selamat padanya. Tapi ternyata, bukan pernikahan yang membuat Aryo bahagia. Lebih kepada kehadiran orang-orang terdekat, orang-orang yang memaafkan dan memberikan dia kesempatan, orang-orang yang sangat berarti untuknya. Sungguh dia tidak menduga bahwa semua orang ini akan datang dan bersikap bahwa dia adalah anggota keluarga lama yang tidak pernah menjadi musuh mereka. Seluruh rasa bahagia itu membuat dadanya terasa hangat, membuat dia selalu ingin tersenyum dan tertawa.

Trisa Daud berjalan mendekatinya untuk mengucapkan selamat, lalu dia membungkuk karena Trisa ingin berbisik padanya.

"Kamu tidak dinilai dari apa yang pernah kamu lakukan. Tapi dari apa yang akan kamu lakukan setelah ini. Selamat datang di keluarga Daud, Sayang." Kemudian Trisa mencium pipinya lembut.

Refleks dia membungkuk dan memeluk Trisa karena sangat bahagia. Sungguh, dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. "Terimakasih."

"Hey, hey. Itu mama gue. Lepas-lepas," ujar Mahendra yang tidak terima.

Dia tertawa lalu melepaskan pelukannya.

"Ayo-ayo, keluar dulu. Edward harus istirahat," dokter Reyn mengingatkan.

Tamu-tamu sudah keluar saat dia duduk di pinggir tempat tidur Edward. Mata Edward menatapnya dalam.

"Saya titipkan Janice padamu, Aryo Kusuma," senyum Edward mengembang lebar.

Saliva dia loloskan karena sungguh dia ingin menangis. Tangan Edward yang dingin dia genggam kuat.

"Saya akan jaga Janice dengan hidup saya." Senyum konyolnya mengembang untuk menutupi sedih yang menghantam hebat di dada. "Nanti, kalau kamu sudah masuk surga, bilang pada Lia saya sudah menemukan pasangan hidup saya, dan saya bahagia. Harusnya Max juga ada di sana."

Edward terkekeh sambil mengangguk. "Kalau saya nggak lupa ya."

Mereka berdua tertawa kecil. Dia memeluk tubuh Edward sesaat lalu pamit ke luar ruangan.

"Istirahat, Edward. Besok pagi kita bertemu lagi, oke?"

Edward hanya tersenyum tanpa membalas kalimatnya.

***

Dokter Reyn mempersiapkan salah satu ruangan hall yang biasa digunakan untuk seminar, agar bisa difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga setelah hari bahagia. Mereka semua ada di sana.

"Luar biasa. Satu-satunya pengantin yang pakai jins dan kaus. Pakai jas sih, tapi tetep aja aneh. Selera berpakaian lo buruk banget, Yo. Lo mau nikah apa mau nonton konser Nirvana?" Mareno memulai.

"Mana bisa Nirvana konser, Curt Cobainnya udah meninggal, bego," sahut Mahendra.

"Emang iya? Bukannya Nirvana itu vokalisnya Chester Bennington?"

"Itu mah Linkin Park, dan udah mati juga orangnya. Elo kalau mau ngeledekin orang mikir sedikit dong," ujar Mahendra kesal.

"Kenapa lo sewot sih, Hen? Kurang main kuda-kudaannya sama Alexa ya?"

"Lo bisa nggak, nggak usah ngomongin ranjang. Norak dasar," balas Mahendra.

Duo konyol mulai berdebat seru dengan Niko yang menimpali. Dia dan Arsyad hanya menggeleng sambil tertawa. Hanif dan Faya berjalan ke arah mereka. Perut Faya yang semakin besar membuat Faya terlihat lucu. Dia menjauh dari Arsyad, Mareno dan Mahendra untuk menghampiri Hanif dan Faya. Sementara Janice masih asyik berbincang dengan Ibrahim dan Trisa.

"Hai, Yo. Selamat ya," senyum tulus Faya mengembang lebar. Wanita itu mengulurkan tangan.

Aryo menoleh pada Hanif, "Ini boleh nggak nih gue? Jangan sampe salah paham nanti," ujarnya konyol.

Hanif hanya tersenyum sambil menarik nafas kesal. Tangan Faya dia jabat hangat. "Gue pingin peluk elo, tapi Hanif kayaknya nggak ijinin kalau kita peluk-pelukan." Dia memberi jeda. "Terimakasih, Fa. Untuk segalanya selama ini."

"Kayaknya lo dulu salah sangka deh sama gue. Mungkin lo nggak suka beneran sama gue, Yo," kekeh Faya.

"Hey, gue bukan anak kecil yang nggak tahu cara bedainnya," balasnya.

"Jangan mulai reunian dan bahas itu lagi. Apa bisa?" timpal Hanif dengan nada serius.

Jabatan tangan dia lepas lalu dia menatap Hanif tidak percaya. "Lo tuh yang mulai. Gue udah punya bini. Enak aja lo. Jagain Faya baik-baik."

Mereka tertawa. Trisa memanggil Hanif yang langsung berjalan menjauhi mereka. Dia menatap Faya lagi.

"Lo tambah cantik waktu hamil. Serius. Tapi jangan bilang-bilang Hanif," bisik Aryo.

Faya terkekeh kesal. "Dasar Tuan Gadungan. Gue laper. Temenin gue makan."

"Oke." Dia berjalan mengikuti Faya menuju meja prasmanan. "Kapan lahirannya?"

"Harusnya dalam waktu dekat ini," jawab Faya sambil mengambil piring dan mulai memilih menu.

"Lo deg-degan nggak?"

"Banget. Gue lebih takut nggak bisa jadi ibu yang baik daripada proses melahirkannya."

"Lo pasti bisa. Lagian Hanif itu...haaah...manusia menyebalkan yang terlalu sempurna. Bikin iri hati," ujarnya konyol. "Fa, gue ambilin sini. Lo duduk aja."

"Baik banget," Faya tersenyum lebar. "Nanti Janice cemburu lagi."

"Gue harap dia bisa cemburu. Janice itu setengah ninja, setengah robot. Parah. Mana bisa Janice cemburu," keluh Aryo sambil mengambil piring makan Faya yang masih belum terisi.

Faya tertawa. "Gue duduk situ yah. Gue pemakan segala. Pilihin apa aja boleh. Ambilin gue minum juga."

"Iya, Nyonya," dia mendengkus sebal sambil terkekeh juga.

Tubuh Faya berjalan menuju kursi terdekat. Dia mengawasi hingga Faya duduk kemudian mulai mengambil makanan. Antania menyusul dan berada di sebelahnya.

"Baik banget mau ngambilin Faya makan. Hanif nggak cemburu?"

"Hanif the Brengsek itu selalu cemburuan. Nanti anaknya mereka mirip gue. Biar tahu rasa."

Antania tertawa sambil mulai mengambil makan. Aryo melihat Mareno sudah berjalan ke arah mereka.

"Ayamnya enak itu, Faya pasti suka," ujar Tania.

Dia mengangguk dan mengambil menu yang Tania tunjuk saat wajah Tania berubah pucat.

"Hhhhmmmmpp..." Ekspresi Tania berubah.

"Tan?"

Piring Tania terlepas dari tangannya saat refleks Aryo juga melepas piring yang dia pegang. Suara dua piring yang beradu dengan lantai membuat semua orang menoleh pada mereka. Dengan sigap Aryo menangkap tubuh Tania yang limbung ingin jatuh. Mereka sudah berada di lantai dengan tubuh Tania yang sudah dia tahan agar tidak membentur lantai.

Air? Mata Aryo menatap kaki Tania yang basah sementara Tania masih merintih. Mareno yang berlari sudah tiba di tempat mereka.

"Beiby!! Ada apa?" suara Mareno panik.

"Dokter, cepat panggil dokter," ujar Aryo.

Wajah Tania makin pucat saat Mareno ingin mengangkat dan menggendong Tania.

"Jangan gendong begini. Ambil tempat...hhhh...tidur, Ren," ujar Tania sambil menahan sakit.

Arsyad dan Mahendra sudah berlari ke luar ruangan memanggil dokter. Sementara Mareno memeluk tubuh Tania di lantai setelah menyelimuti istrinya dengan jas yang dia pakai.

"Tapi kamu kenapa?" tanya Mareno.

"Kontraksi mau melahirkan. Cepetaaan....hhrgghh..."

"Kok bisa tiba-tiba kontraksi? Gara-gara liat muka jelek Aryo apa gimana?" tanya Mareno masih panik.

"Dasar gila masih sempet becanda," sahut Aryo dengan wajah kesal. Dia sudah berdiri membuat perimeter bersama Hanif agar Tania tidak sesak.

"Mareenooooo...hmphhhh...cepetaaan," Tania berusaha bicara.

"Tenang, Sayang. Tarik nafas lalu hembuskan. Atur nafas, Tania. Kamu pasti tahu caranya," Trisa sudah berjongkok sambil menggenggam tangan Tania. "Hitungan juga bisa membantu."

"Mama gimana sih malah nyuruh Tania berhitung," ujar Mareno kesal.

Trisa menggeleng dan menatap Mareno tidak percaya. "Kamu pasti nggak pernah nemenin Tania ke dokter, Anak Bandel."

"Masalahnya Tania itu dokter, Ma. Kan lucu dokter ketemu dokter," sahut Mareno.

"Marenoooo...hrrghhh..hmmmph..." tangan Tania meremas kuat tangan Mareno.

"Iya, iya, Beiby. Sabar dulu."

Keringat dingin sudah membasahi wajah Tania ketika tempat tidur rumah sakit datang bersama dua dokter dan dua perawat. Tubuh Tania diangkat lalu diletakkan hati-hati di atas tempat tidur beroda. Mareno terus menggenggam tangan istrinya dengan wajah sama pucat. Ibrahim Daud sudah menghubungi Bayu Tielman sementara Janice berada di sisi Aryo ketika seluruh keluarga mengiringi Tania ke luar ruangan.

"Aku harus ke sana, mereka pasti butuh sesuatu," ujar Janice.

"Luar biasa, bahkan di hari pernikahan kita kamu malah ngurusin orang lain," dengkusnya kesal. Tapi kemudian dia merangkul dan mencium pipi Janice sayang. "Silahkan ke sana. Rekamin muka panik Mareno buat gue, oke?"

Janice membalas dengan merangkulkan satu tangan ke bahunya, lalu berbisik mesra di telinga. Mengatakan hal-hal yang Aryo suka. Senyum Aryo mengembang mendengar itu semua, lalu dia mencium rahang Janice sesaat. "Gue tunggu di ruangan Edward, Istri."

Tangan Aryo melepas Janice yang pergi ke luar ruangan saat Hanif dan Faya berjalan perlahan melewati dia.

"Yah kan, gue lupa, Fa. Lo udah makan belum?" ujarnya sambil mensejajari langkah Faya dan Hanif.

"Udah, tenang aja."

"Lo nggak takut kan lihat Antania tadi?" tanyanya.

"Faya kok takut," Hanif terkekeh sambil merangkul istrinya.

"Takut sih, sedikit. Tapi ada Hanif," kepala Faya menoleh menatap Hanif sayang.

Aryo tersenyum ikut bahagia. "Kok Antania yang lahiran duluan ya? Bukannya elo yang hamil duluan, Fa?"

"Itu anaknya Mareno, nggak sabaran kayak Bapaknya. Kan anak gue anak Hanif Daud," kekeh Faya.

Mereka tertawa. "Iya juga ya."

"Selamat, Yo. Soal pernikahan lo," Hanif menoleh sambil masih berjalan perlahan dan merangkul Faya.

Kepala Aryo mengangguk satu kali. "Thanks juga. Karena sudah datang. Gue ke ruangan Edward dulu."

"Kita mau nemenin Mareno sambil ngeledekin dia," kekeh Faya usil.

"Semoga semua lancar dan anaknya Mareno nggak kayak bapaknya," dia juga terkekeh lalu berhenti melangkah karena arah yang berbeda.

Matanya menatap sosok Hanif dan Faya yang berjalan perlahan berangkulan dengan perasaan bahagia. Akhirnya dia punya keluarga, orang-orang yang akan selalu ada di sekelilingnya.

***

"Dok, dok, apa ini wajar? Kenapa istri saya pucat banget?" tanya Mareno panik.

Dia sedang mengenakan jubah steril dan segala perlengkapannya.

"Ini proses yang wajar. Dokter Antania sepertinya sudah merasakan kontraksi sedari tadi, tapi diam saja karena dia ingin menunggu hingga kontraksi sempurna."

"Maksudnya?"

Dahi dokter senior itu mengernyit. "Kamu nggak pernah nemenin Tania ke dokter. Lain kali jangan hanya mau berbuat, tapi juga bertanggung jawab."

Rahang Mareno mengeras sebal. Dokter tadi sudah masuk ke dalam ruang persalinan dan sudah ada pemandangan Antania di sana dengan posisi siap melahirkan dan sedang menjerit kesakitan. Wajahnya langsung pucat pasi melihat itu semua. Apalagi segala perlengkapan dokter termasuk gunting, pisau bedah dan lain-lain. Tubuhnya langsung berbalik ke luar karena rasa cemas yang menyergap cepat dan mengaduk perutnya.

Bayu Tielman belum datang saat dia sudah berada di luar ruang persalinan. Seluruh keluarga yang sedang menunggu cemas langsung menatapnya.

"Gimana, Ren? Udah selesai?" Arsyad bertanya.

"Gue...gue nggak sanggup, Bang. Antania...di dalam..." jawabnya terbata-bata.

Mahendra sudah berdiri, "Lo gimana sih, Ren. Ngehamilinnya sanggup tapi sekarang..."

"Mahendra, stop Sayang. Biar Mama yang bicara," ujar Trisa.

Lengan Mareno digenggam dan ditarik kembali untuk masuk ke ruang persalinan. Mamanya sudah mulai mengenakan jubah sambil bicara.

"Apa yang kamu takutkan, Ren?"

Tubuhnya mondar-mandir tambah kalut. "Antania...aku nggak sanggup melihat Antania...bagaimana kalau..."

Mama menghentikan tubuhnya lalu berdiri berhadapan. Mata mama menatapnya dalam. "Apa kamu tahu bahwa proses melahirkan adalah proses yang paling menyakitkan dari seluruh proses yang ada di dunia? Kamu bisa bertanya pada Mahendra tentang itu."

Saliva dia loloskan. Bayangan Antania menjerit tadi memenuhi ingatannya.

"Saat kamu terluka dulu, bukankah kamu senang jika orang yang kamu cinta ada disebelahmu? Sekalipun dia juga akan tersiksa melihatmu terluka. Tapi keberadaan orang itu, akan banyak mengurangi luka yang kamu rasa." Mama memberi jeda. "Mareno, kita tidak punya banyak waktu..."

Seluruh kalimat mama mulai dia cerna.

"...apa Antania pernah meninggalkanmu selama ini?" ujar Trisa lembut.

Satu detik setelah pertanyaan itu terlontar tubuhnya langsung bergegas masuk ke dalam ruangan persalinan. Antania tidak pernah meninggalkannya. Sekalipun sikapnya buruk sekali, sekalipun dia kekanakkan dan konyol, sekalipun dia berbuat kesalahan, Antania tidak pernah pergi. Jadi, dia tidak akan pernah meninggalkan Antania lagi.

"Dorong lagi, Tania. Dorong..." suara dokter menyemangati.

"Reeennnnnooo...hmmpphhh..."

"I'm here, Beiby. I'm here."

Dia mencium pipi Tania yang berkeringat lalu menggenggam tangan satu-satunya wanita yang memiliki seluruh hatinya. Detik dan menit terasa begitu lama, menyiksa. Apalagi melihat Tania yang sudah hampir tidak berdaya. Tapi ketika suara tangis itu pecah memenuhi ruangan, Mareno tidak bisa menahan titik air mata.

"Selamat, Ren. Anak kalian perempuan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro