Part 52
Pagi itu Audra sedang duduk di belakang meja kerja kantor Sanggara Buana, sambil menatap gambar-gambar yang Sabiya kirimkan padanya. Dia sibuk sekali dengan jadwal-jadwal bisnis yang padat, juga persiapan pernikahannya.
"Aud, kamu harus tentukan sekarang atau gaunmu nggak akan jadi," ujar Sabiya melalui sambungan telepon yang terhubung.
Tubuh Audra berdiri melihat screen show yang terpantul pada layar besar di hadapannya. Gaun-gaun rancangan Sabiya kali ini cantik dan elegan, tidak besar berlebihan. Tapi panjang, sopan dengan detail di bagian kerah dan bahu. Satu tangan Audra memegang remote dan memindah-mindah pantulan gambar itu.
"Nomor dua," Audra menyuarakan keinginannya.
"Yakin?"
"Biyaa...kenapa kamu nanya begitu?" keluh Audra kesal karena dia jadi mempertanyakan keputusannya tadi.
Sabiya tertawa kecil di sana. "Oke, oke."
"Aku nggak yakin akan semua hal sekarang, Bi. Niko...." Tubuh Audra berjalan mondar-mandir gelisah. "...apa aku pantas untuk Niko. Laki-laki itu belum pernah menikah, sedangkan aku...wanita yang gagal dalam berumah tangga."
"Aud, tarik nafas dulu. Kamu berlebihan," sahut Sabiya dengan nada tenang.
"Biya, I wish you know how I feel."
"I know how you feel, Aud. Aku punya sejarah yang lebih buruk darimu, ingat? Dan Arsyad, itu sempurna," bisik Sabiya dengan nada sedih tiba-tiba.
"Arsyad itu tergila-gila sama kamu dari dulu, Bi. Beda," timpalnya.
"Niko jatuh cinta sama kamu dari dulu, Aud. Dia hanya diam saja selama ini."
"Maksudnya?"
Sabiya tertawa. "Jadi kamu nggak tahu? Aku dengar saat Niko ke rumah dan ngobrol sama Arsyad. Kamu tanya dia sana. Anyway, semua akan baik-baik saja. Aku pun panik sekali saat mau menikah dulu. Tapi setelah itu, rasanya seperti berjalan di taman, menyenangkan."
Kali ini Audra yang tertawa. "Berjalan di taman tidak semenyenangkan itu untukku. Mungkin aku akan menggunakan perumpamaan seperti saat koleksi tas-tas terbaru dari Paris tiba di rumahku."
Mereka tertawa bersama.
"Bi, aku suka semua yang kamu desain. Kamu pilihkan satu. Aku akan mengenakan apapun pilihanmu karena kamu lebih mahir untuk melihat gaun yang cocok dengan kepribadian orang yang mengenakan," dia memutuskan.
"Kamu berlebihan."
"Gaun Alexandra, Antania, dan terutama Fayadisa sangat sesuai dengan mereka. Jadi aku percaya padamu, oke?"
"Oke. Aku pilihkan," pungkas Sabiya.
Layar dia matikan setelah dia pamit pada Sabiya untuk menghadiri meeting yang lain. Lisa mengetuk pintu dua kali lalu masuk.
"Ya, ya. Saya tahu, Lis. Meeting direksi lima menit lagi," ujarnya sambil melangkah ke meja untuk mengambil ponsel.
"Bukan itu, Bu."
"Selamat pagi, Ibu Direktur. Apa aku mengganggu?"
Audra tersenyum dan membalik tubuhnya. "Majaa, kamu udah balik?"
"Aku kembali karena aku dengar kamu mau menikah," sosok Admaja berdiri sempurna di dekat pintu.
Refleks Audra adalah merentangkan tangan dan berjalan ke arah Maja lalu mereka berpelukan hangat. Sejak kejadian terror dari Jodi Hartono, Admaja dan dia mulai dekat.
"Aku benar-benar senang mendengar seluruh keluarga Daud yang menikah massal," Maja meledek Audra.
Audra tertawa. "Ya, bagaimana lagi. Sudah saatnya kami off-the market. Sold out as a rare item."
Maja juga tertawa mendengar perumpamaan Audra. "Bahkan jokes kamu nggak jauh-jauh dari pekerjaan."
"Maaf Bu..." Lisa memotong.
"Lis, minta Fikri gantikan saya dulu. Jalankan meetingnya."
"Tapi ada satu lagi, Bu..."
"Lisa, please," dia menatap Lisa dengan isyarat.
"Baik." Kemudian Lisa keluar dan menutup pintu.
Mereka duduk di sofa.
"Aku dengar soal Abimana. Bagaimana kabarnya Mami Tantri?" Admaja memulai.
"Membaik. Tapi masih sedih sekali karena Abi dan Wisnu saling tidak bicara. Mami Tantri masih di MG," jawabnya.
"Lalu Abi?"
"Dia tidak menghubungiku lagi. Mungkin sibuk," Audra menyahut.
"Ya, perusahaannya berada di ujung tanduk."
Kepala Audra mengangguk perlahan dan tidak memberi respon yang lain. Berusaha menutupi kenyataan tentang sesungguhnya dia dan Abi masih berhubungan karena dana bantuan dari Sanggara Buana.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Aku baik, hanya sedikit kesal karena orangtuaku mulai meneror tentang pernikahan. Bagaimana tidak? Keluarga Daud tiba-tiba membuat banyak pesta dan membuat iri banyak orang. Your family set a new trend," jawab Abi sambil terkekeh.
"We are always a trend setter," Audra menggendikkan bahu. "Kamu akan datang ke pestaku kan?"
"Ya. Aku datang," tubuh Abi berdiri. "Aku hanya ingin menyapamu, Aud. Aku harap semua lancar.
Audra tersenyum lebar lalu mereka saling menempelkan pipi. Pintu diketuk dua kali dan Niko melangkah masuk.
"Selamat..." Niko berdehem sejenak melihat pemandangan Audra dan Maja yang dekat sekali. "...pagi."
"Nik? Kok?" dia menjauh dari Maja karena tidak mau Niko salah paham.
"Pagi, Nik. Pas sekali. Saya mau pamit. Nice to see you, Aud," Maja pamit lagi padanya lalu berjalan ke luar ruangan.
"Kamu tumben ke sini pagi-pagi begini," ujar Audra sambil melangkah mendekati Niko yang terlihat kesal.
"Kamu sepertinya sibuk. Aku kembali lagi nanti," tubuh Niko berbalik menuju pintu.
"Niiik..." dia tersenyum geli melihat tingkah Niko sambil menahan lengan Niko yang ingin pergi. "Jangan cemburu begitu."
Rahang Niko mengeras. "Aku serius, nanti saja. Maaf karena datang tiba-tiba."
"Aku senang kamu datang," Audra melingkarkan lengannya di pinggang Niko. "Biasanya kamu sibuk dan aku yang selalu menghubungimu duluan."
Dada bidang Niko tertarik perlahan saat Niko menghembuskan nafas.
"Kamu masih kesal," tebak Audra.
"Sedikit. Ada Naya di luar. Untung tadi aku yang masuk jadi Naya nggak punya pikiran aneh tentang calon kakak iparnya."
"Naya di sini? Dari kapan?" dia menjauhkan tubuh dari Niko untuk membuka pintu ruang kerja.
Niko menarik lengannya lagi dengan cepat lalu tangan Niko melingkari pinggangnya sambil menunduk dan mencium bibirnya.
"Nik, ada Naya di luar," bisiknya disela ciuman mereka.
Protesnya tidak dipedulikan Niko karena Niko makin memperdalam ciumannya. Sedangkan dia? Oh, dia tergila-gila jika Niko sedang mendominasi seperti ini. Niko benar-benar seksi. Jadi mereka hanyut sesaat.
Setelah itu Niko menyudahi sambil masih menatap matanya. "Do you love me, Aud?"
Dia terkekeh dan balas menatap mata Niko. "Sekarang aku tahu bagaimana membuatmu terlihat seksi. Aku akan membuatmu selalu cemburu, Nik." Kemudian dia mencium Niko lagi, kali ini lembut dan tidak tergesa. "Yes, I love you. Everything about you."
Hidung mereka bersentuhan ketika mereka berhenti.
"Nanti malam Mama mengundang makan," bisik Niko.
"What?" Audra melepas pelukan mereka dan menatap Niko marah. "Kamu kebangetan karena kamu baru bilang sekarang. Aku harus bersiap-siap dan kamu...aku butuh waktu untuk bersiap-siap."
Kali ini gantian Niko yang tertawa. "Sekarang, temui Naya dulu?"
"Ini nggak lucu, Nik," ujarnya kesal.
"Sekarang aku tahu bagaimana membuat The Great Audra Daud salah tingkah dan terlihat seksi sekali. Aku akan lebih sering mengundangmu untuk makan dengan Mama," bisik Niko di telinganya sambil melangkah menuju pintu.
Dua tangannya memukul bahu kokoh Niko sebal. Makin kesal karena Niko malah tertawa.
***
Suasana kantin rumah sakit MG sore itu tidak terlalu ramai. Aryo duduk berhadapan dengan Janice yang sedang sibuk menghubungi seseorang. Kesabaran Aryo benar-benar diuji oleh wanita seksi di hadapannya ini. Melihat Janice sedekat ini dengan blouse satin berwarna abu-abu muda dan rok pinsil berwarna biru gelap yang terlihat pas membalut tubuh sempurna Janice membuat pikirannya melanglang buana. Bayangan dia menarik Janice paksa dan mendudukan Janice pada meja di depan mereka lalu membuka apa yang dia mau buka sungguh membuat dia makin emosi. Karena ini tempat umum, dia tidak bisa...
Kenapa tidak? Silahkan saja. Palingan lo ditangkap satpam terus jadi kentang, Yo...Sial.
Lebih menyebalkannya lagi, sikap Janice acuh sekali. Seolah tidak butuh dirinya. Ya, dia tahu Janice wanita yang kelewat mandiri. Tapi apa Janice tidak rindu dengannya? Atau rindu dengan kebutuhan dasar manusia yang dulu saat mereka pergi bersama sering mereka lakukan? Mereka berdua hebat di ranjang. Partner serasi. Apa Janice lupa?
Sekarang Janice bicara dengan bahasa Jerman yang fasih sekali, entah dengan siapa. Dan Janice terlilhat lebih....hrrrghhhhhhhh. Tanpa sadar dia menggebrak meja dan berdiri. Dua pengunjung di dekatnya menatap pada mereka sedikit takut. Mungkin karena dia mengenakan kaus hitam dengan tato pada tangannya yang terlihat begitu saja.
Cepat-cepat Janice menyudahi telpon karena dia sudah berjalan menjauh. Dia butuh rokok dan keluar dari ruangan ini.
"Aryo..." Janice melangkah panjang di belakangnya dan dia terus berjalan ke arah lobby. Dia benci adegan sinetron seperti ini.
"Aryo, stop."
Langkah Aryo berhenti lalu tubuhnya berbalik menatap Janice marah. Satu tangannya mengacung dan rahangnya mengeras. "Berminggu-minggu, kamu..."
"Sssst, jangan di sini. Ikut aku," bisik Janice.
"Nggak akan. Gue mau pergi," dengkusnya marah.
Tangan Janice bersedekap lalu wanita itu balas menatapnya lebih galak lagi. "Silahkan pergi. Jangan kembali lagi."
Kali ini Janice gantian membalik tubuh dan berjalan menjauh. Dia tambah kesal karena refleks tubuhnya adalah mengikuti kemana Janice pergi.
Dasar cowok lemah lo.
"Jen..." bisiknya sambil mensejajari langkah Janice.
Janice terus melangkah menuju lift dan dia masuk ke lift yang sama. Ada dua dokter di sana yang akhirnya membuat mulutnya bungkam. Padahal dia sudah marah, kesal, bernafsu, dan gemas sekali sekarang. Lift berhenti satu lantai sebelum kamar Edward kemudian mereka ke luar. Janice masih diam saja dan tetap melangkah di koridor.
Kamar 121, Janice berhenti dan memasukkan kode akses agar pintu terbuka. Dia masuk dan mereka berdiri berhadapan ketika pintu tertutup.
"Kamu benar-benar keterlaluan!! Kamu anggap gue ini apa?" nadanya tinggi sekali.
"Kamu Aryo Kusuma," jawab Janice tenang.
"Setiap hari gue datang ke sini. Menemani Edward sampai Edward tidur, memastikan kamu makan dan nggak sakit. Tapi kamu nggak pernah anggap gue ada. Kamu sibuk dengan semua telpon sialanmu itu. Bersikap seolah gue setan yang nggak kasat mata. Mau lo apa, Jen?"
"Saya mau kamu berhenti tantrum. Bisa?" wajah Janice yang datar membuatnya tambah geram.
"Kamu pikir saya bercanda? Ilmu sosialmu payah sekali, Jen."
"Sama buruknya dengan empatimu, Aryo," suara Janice mulai bergetar.
Rahangnya mengeras, emosi sudah berada di atas kepala. Tambah emosi karena Janice terlihat lebih marah dari dirinya.
"You want to have sex with me, right? Apa kamu punya hati?" Janice meledak marah. "Ayah saya sakit keras. Kamu pikir saya bisa having sex with you dengan semua kondisi ini? Iya?" Air mata Janice jatuh satu. "F**k you, Aryo. Pergi."
Saliva dia loloskan perlahan melihat ekspresi Janice yang tenang berubah tiba-tiba menjadi murka hebat. Hijau pada mata Janice berubah menggelap. Duka hebat yang Janice tutupi dengan datar ekspresi tiba-tiba terlihat jelas. Menghisap kuat hingga dia bisa merasakan seluruh nyeri yang Janice tahan.
You really f**k up, Yo.
"Hah..." Janice mengapus titik air matanya cepat. "...saya lupa saya bicara dengan Aryo Kusuma yang kekanakkan sekali. Kamu pasti nggak bisa mengerti."
"Jen..."
"Maaf, saya sedang tidak punya waktu. Ada obat yang harus saya datangkan dari Jerman malam ini."
Sesal menghantam hebat melihat Janice berjalan melewatinya. Dengan satu tangan dia meraih pinggang Janice lalu memeluknya dari belakang. Kepala dia surukkan di leher jenjang Janice.
"Jangan marah," bisiknya.
Selama beberapa saat Janice bungkam, diam. Tubuh Janice yang bergetar emosi dia peluk dan tidak lepaskan. Kemudian Janice berujar, "Ayah adalah satu-satunya yang aku punya. Dia keras sekali tapi dia sangat sayang padaku."
Janice melanjutkan, "Aku tahu aku harus merelakan dia pergi...aku tahu. Tapi tetap saja, rasanya salah kalau aku tidak berusaha semampu yang aku bisa."
Nafas Aryo hirup panjang. Dia mengerti, karena dia sudah kehilangan Lia dan Max. Sakitnya akan hebat sekali. Tubuh Janice berbalik lalu dia memeluk Janice hangat. Menyesal atas segala ketidaksabarannya dan juga setan yang selalu ada.
"Saya rindu kamu, dengan cara yang berlebihan," bisiknya. "Saya akan coba mengerti...dan nahan-nahan sendiri...yah mau bagaimana lagi," lanjutnya konyol.
Janice terkekeh dalam pelukannya.
"Menikah saja dengan saya, Jen. Jangan pisah rumah begini. Sesibuk apapun kamu, paling enggak kita ketemu di rumah. Jangan jadi Ninja Hattori. Paling enggak kalau kamu capek kita bisa bertengkar sepuasnya kan?" pelukannya semakin erat. "Please."
"Oke, besok di sini. Aku akan atur..."
Pelukan mereka terlepas karena dia terbatuk sangat terkejut. "Apa? Besok?"
"Iya, besok," jawab Janice ringan.
"Kamu bercanda apa gimana?" dia mulai panik. "Ya nggak besok juga, Jen."
Ekspresi Janice berubah kesal. "Ya udah, batal."
Janice melangkah cepat meninggalkannya.
"Jen, bukan begitu maksudnya. Janice, berhenti dulu."
Aryo sudah menyusul Janice untuk mengajaknya bicara. Niatnya untuk menikah lebih karena dia akan selalu punya alasan untuk dekat dengan Janice si wanita bebas itu. Mereka akan tinggal bersama dan setiap malam dia bisa melihat pacarnya yang seperti ninja berada di dalam kamarnya, nyata. Juga, karena dia ingin semua tahu bahwa Janice miliknya saja.
Niat lo nggak benar, Yo. Ada suara Arsyad di kepala.
"Jen, bisa berhenti dulu nggak?" dia masih mensejajari Janice yang menuju ke lift. "Ayolah, Jen."
Karena kesal langkahnya berhenti. Sementara Janice terus berjalan tidak peduli. Wanita yang satu ini luar biasa sekali.
"Oke, gue pakai jins besok" ujarnya.
Janice berhenti melangkah. Mereka masih berada di koridor rumah sakit yang sepi. Tubuh Janice berbalik menghadapnya.
"Jam empat sore, di kamar rawat Ayah. Kalau kamu tidak datang, jangan pernah berani untuk kemba..."
"Saya nggak takut dan saya pasti datang. Setelah itu, kamu harus tinggal sama saya. Titik."
"Saya akan pikirkan nanti." Janice tersenyum kecil lalu berbalik pergi.
"Kamu akan pikirkan? Wow, luar biasa," dia menggelengkan kepala dan menggigit kepalan tangannya karena benar-benar gemas dan kesal.
***
Ciyeee...yang besok married.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro