Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 51

Pesta berjalan meriah dan lancar. Resepsi pertama diadakan malam hari setelah akad di sore hari tadi. Tamu-tamu undangan di hari pertama adalah dari kalangan keluarga. Seluruh keluarga besar Daud datang membaur dengan tamu. Mahendra dan Alexandra berdiri berdampingan di depan pelaminan dengan ekspresi bahagia yang kentara sekali.

Kali ini keluarga Daud benar-benar merayakan hari bahagia mereka. Masa dimana seluruh rintangan telah mereka jalani. Sudah pasti jalan dihadapan mereka masih panjang. Restu yang sudah diberikan yang akan diiringi dengan pernikahan selanjutnya. Lalu babak baru dalam kehidupan perkawinan yang satu demi satu akan tiba pasti.

Janice berdiri di sudut setelah mengantarkan Edward kembali ke MG. Edward yang memaksa Janice untuk kembali karena Edward khawatir keluarga Daud membutuhkan sesuatu darinya. Ah, ayah memang selalu begitu.

Padahal lihat, semua Tuan sedang beramah tamah dengan tamu dan keluarga. Sabiya yang sibuk karena ingin memastikan penampilan Alexandra sempurna. Arsyad yang mengobrol dengan para orangtua sambil sesekali melirik pada Sabiya. Atau Hanif yang malam ini terlihat tampan sekali. Mengobrol ringan dengan Iwan Prayogo dan Brayuda. Sementara Faya sedang tertawa dikelilingi Leo dan tim taktis ADS yang sedang tidak bertugas.

Mareno? Hah, The Don Juan itu malam ini terlihat sempurna. Mareno memang selalu mahir membawa diri padahal Janice tahu sikap usil dan kekanakkan Mareno saat bersama saudara-saudaranya benar-benar...hhh. Hanya Aryo yang bisa menyaingi ketidak-dewasaan Mareno. Antania adalah wanita yang sangat sabar menghadapi perilaku Mareno. Sementara sikap dia pada Aryo jauh dari itu. Hah, jangan coba-coba.

Kemudian Janice sadar sendiri, dimana Aryo? Matanya menatap berkeliling grand ballroom hotel The Emperor. Selama ini dia terbiasa sendiri. Berdiri di balik bayang-bayang diam mengawasi. Jadi dia benar-benar lupa bahwa setelah dia kembali ke tempat ini, dia belum bertemu Aryo lagi.

"Hello, can I get you a drink?" seorang laki-laki muda menghampirinya.

Janice diam saja. Dia pikir sikapnya memiliki arti yang jelas bahwa dia tidak tertarik. Bukannya laki-laki itu pergi, malahan ada laki-laki lain yang menyodorkan gelas berisi minuman padanya.

"Drink?"

"No, thanks."

Seluruh informasi tentang ke dua laki-laki yang sedang tersenyum padanya sudah Janice tahu. Anak-anak konglomerat yang merasa mereka bisa mendapatkan apa saja. Jenis laki-laki yang dia tidak suka. Daud bersaudara sangat berbeda, juga Aryo Kusuma yang saat ini sudah berjalan menghampirinya. Diam-diam dia tersenyum lega.

"Hai Sayang. Ternyata kamu sudah kembali?" Aryo berdiri persis di sebelahnya, menatap lapar laki-laki di hadapan mereka.

Salah satu laki-laki tersenyum kecil. "Aryo Kusuma. Bodyguard dan ternyata anak haram dari Herman Daud," ujar laki-laki itu sinis.

Laki-laki kedua tertawa. Lihat betapa brengseknya mereka. Janice diam saja ingin tahu bagaimana Aryo menghadapi itu semua.

"Bagus, kalian sudah tahu saya. Jadi kalian tahu apa yang saya bisa buat pada kalian di luar sana."

Khas Aryo sekali.

"Hey, Bung. Kamu pikir kami tidak punya kuasa? Kamu salah karena sudah berani-beraninya mengancam kami," balas salah satu laki-laki.

"Kenapa? Kamu mau mengadu pada Daud yang lain? Anak haram, parasit."

"Janice, kamu terlalu sempurna untuk seseorang seperti Aryo Kusuma."

Mereka berdua menyerang Aryo membabi buat dengan kata-kata dan tatapan sinis serta menghina. Sementara Aryo berusaha kuat menahan diri. Ketika sedang emosi, aura kuat Aryo benar-benar terasa. Panas tubuh Aryo bahkan bisa Janice rasakan karena mereka berdiri berdekatan begini. Dia tahu laki-lakinya itu sebentar lagi akan meledak.

Arsyad melihat itu semua dari ujung ruangan dan sudah bersiap untuk datang dan melerai. Kepala Janice menggeleng memberi isyarat perlahan. Aryo harus bisa menangani manusia-manusia jenis ini.

Satu tangan Aryo mengambil gelas tinggi dari seorang pelayan yang melewati mereka. Kemudian Aryo menyesap minuman itu perlahan sambil masih memandang tajam pada kedua laki-laki tadi. Ayolah, Yo. You got this.

"Saya tahu kamu. Herman beberapa kali memiliki meeting penting dengan ayahmu. Nama kamu, Hendrick Alteja. I will call you Dick," kekeh Aryo sesaat.

Laki-laki tadi ingin maju lalu ditahan oleh temannya.

"Hey, Dick. Satu-satunya hal yang menyenangkan karena sudah menjadi anak haram Herman, adalah saya mewarisi seluruh hartanya..."

Laki-laki kedua menoleh pada Aryo kesal.

"...oh, bukan hanya hartanya. Tapi juga seluruh perusahaan yang Herman kendalikan. Great Giant Apple misalnya. Begitu ya namanya, Sayang?" Aryo menoleh pada Janice yang mengulum senyum sambil mengangguk. "Keluarga Alteja adalah salah satu vendor, kalau tidak salah? Ah, gue nggak jago hitungan matematika. Tapi kalau perusahaan papamu itu selalu rutin mengirimkan perempuan untuk Herman, itu berarti Herman penting sekali kan untuk kalian?"

Hendrick menatap Aryo benci, tapi juga pucat di saat yang bersamaan.

Aryo menyesap minumannya lagi. "Jangan kirimi saya perempuan, Dick. Saya sudah punya yang terbaik dan dia cemburuan," kekeh Aryo sambil menggandeng tangan Janice.

Kepala Aryo menoleh pada laki-laki kedua. "Kamu, siapa nama kamu? Nanti saya periksa. Apa papamu berhutang sesuatu juga dengan Herman? Kita cari tahu nanti." Gelas minuman yang sudah kosong diambil oleh salah satu pelayan. "Oh, indahnya menjadi anak haram Herman."

Kedua laki-laki itu pergi dengan wajah pucat dan muka masam. Janice terkekeh geli saat Aryo mencium pipi kanannya. "Gue keren nggak?"

"Good, akhirnya kamu belajar untuk tidak selalu membalas dengan pukulan," suara besar Arsyad sudah berada di dekat mereka.

Hanif, Mareno dan Niko juga berjalan mendekat. Mahendra turun dari pelaminan untuk menyapa tamu.

"Lumayan lah, buat pemula di keluarga Daud," timpal Mareno.

"Mareno masternya kalau soal mulut berbisa mah," Niko tertawa.

"Kalian nguping?" dahi Aryo mengernyit heran.

"Itu namanya saling menjaga," bisik Janice pada Aryo. "Seluruh Daud bisa terpisah jarak tapi mereka akan saling memeriksa."

"Aaah...menyebalkan. Gue nggak suka diperiksa," keluh Aryo.

"Hidih, siapa juga yang mau periksa elo," Mareno lagi.

Niko tertawa kecil sambil mengawasi Audra dan Ayyara. "Lo nggak tahu Mareno dipasangin chip kemana-mana biar Arsyad bisa cek dia bikin ulah atau enggak."

"Serius?" Aryo langsung memeriksa jasnya. "Jen, kamu nggak pasang aneh-aneh di jas gue kan? Sumpah gue nggak mau dicek-cek begitu."

"Abang emang kebangetan." Mareno menggeleng kesal. "Aryo, khusus buat lo kayaknya chipnya ditanam di dalam badan. Mungkin pas kalian lagi dirawat barengan dulu. Arsyad bisa se-control freak itu."

"Lo udah gila ya, Syad?" Aryo makin panik. "Jen, kamu tahu nggak soal ini? Waktu itu kamu selalu kasih gue obat. Apa jangan-jangan..."

Wajah panik Aryo membuat mereka tertawa bersama. Mahendra yang melihat keseruan itu berjalan mendekati mereka. Bergabung dengan saudara-saudaranya untuk merayakan hari bahagia. Sementara Alexandra menyapa tamu-tamu yang lain.

Diam-diam para tamu melihat kagum pada sosok mereka. Arsyad, Hanif dan Mareno yang terlihat sempurna dengan setelan jas resmi. Berdiri berdampingan sambil tersenyum dan tertawa kecil. Mahendra si pengantin pria yang terlihat benar-benar bahagia. Lalu Aryo Kusuma yang mengenakan setelan Armani tanpa dasi. Juga tato pada setengah lengan yang terkadang menyembul keluar. Niko Pratama tidak mau kalah, penampilannya malam ini tidak bercela.

Bukan hanya sosok fisik mereka saja. Tapi jalinan kuat tali persaudaraan dan persahabatan yang sudah mengakar lama. Terpancar jelas dari seluruh aura mereka. Semua tamu tahu dan mengerti bahwa mereka adalah sang penjaga dari keluarga Daud. The Men from the Daud family.

***

Apartemen Mahendra berada di pusat kota. Dia membeli apartemen itu sejak berhasil mendapatkan penghasilan pertamanya membuat sistem keamanan sederhana untuk salah satu bank swasta ketika dia masih kuliah dulu. Mahendra terkejut dengan bayaran yang dia terima karena menurutnya sistem keamanan yang dia rancang tidak rumit. Akhirnya dia memutuskan untuk membeli property pertama.

Setelah lulus dan bekerja, dia menjual unit itu untuk membeli penthouse pada apartemen yang sama. Seluruh sistem yang terbaik Mahendra pasang sekalipun tempat itu jarang ditinggali. Terkadang Mahendra datang hanya ketika dia bosan dan merasa ingin keluar dari laboratorium untuk berhibernasi.

Sejak Mahendra menjalin hubungan serius dengan Alexa, dia sudah menyiapkan segalanya. Termasuk merubah beberapa area agar sesuai dengan kebutuhan Alexa. Satu bulan sebelum pernikahan berlangsung dia mengajak Alexandra bertandang. Seperti biasa, Alexa mudah sekali kagum. Senyum Alexa lebar karena melihat walk in closet besar berserta segala isinya yang sudah diatur oleh Lidya. Belum lagi ruang rias khusus dan kamar mandi mewah dengan dua bathtub untuk mereka masing-masing. Saat melihat Alexa melompat kecil kegirangan, sungguh seluruh upayanya seperti terbayar lunas.

Hari pertama setelah resepsi mereka berdua menginap di hotel untuk bersiap resepsi hari berikutnya. Sungguh jika ada yang bilang pada Mahendra bahwa malam pertama itu nyata, dia tidak percaya. Karena mereka berdua lelah sekali hingga hanya sanggup sikat gigi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka berdua tertidur pulas. Ketika pagi tiba, Mahendra bangun kesiangan dan tidak menemukan Alexa yang ternyata pergi ke spa. Siang hari terlewati dengan kesibukan untuk persiapan resepsi kedua. Intinya, mereka belum melakukan apapun. Malam ini seluruh pesta sudah selesai dan Mahendra memutuskan untuk membawa Alexa ke apartemennya yang diiringi dengan tatapan usil Mareno saat dia pamit pergi.

Alexa sudah berada di kamar mandi tiga puluh menit lamanya. Sementara dia baru saja selesai membersihkan diri di kamar mandi lain. Matanya menatap isi lemari pakaian dan bingung sendiri.

Ini gue pake piyama aja kan? Ya iya, Hen.

Nggak usah pake apa-apa, Hen. Basa-basi banget lo. Marenoooo keluar dari kepala gueee.

Dengan cepat dia mengambil kaus abu-abu dan celana training berwarna hitam lalu mengenakannya. Tanpa sengaja dia melihat pantulan dirinya di cermin.

Penampilan apaan tuh? Kayak lo mau kerja seharian di lab safe house. Ini malam pertama, Hen.

Terus gue pake apa, bego?

Lepas kaus lo, kan perut lo six-pack tuh. Terus pastiin rambut lo setengah basah sambil pegang handuk. Biar kayak lo habis keluar kamar mandi.

Kenapa gue jadi kayak lo sih, Ren? Gila dan suka ngomong sendiri. Get out from my head.

Sebelum dia bisa berdebat sendiri lagi Alexa sudah memanggil dari kamar mandi.

"Maheen, aku minta tolong bisa nggak?"

Langkahnya panjang menuju kamar mandi lalu tiba-tiba berhenti.

Alexa bisa jadi nggak pakai... saliva dia loloskan karena ingatannya sudah terbang saat Alexa pertama kali tiba di safe house, dan sebuah insiden membuat Alexa hanya mengenakan pakaian dalam saja.

"Minta tolong apa?" tanyanya memastikan.

"Masuk aja dulu, nanti aku kasih tahu," jawab Alexa.

Seluruh hormon cemas sudah mulai bekerja berpadu dengan testosterone yang naik tinggi membayangkan sosok Alexa yang selalu terlihat sempurna. Bagus Lexy sudah dia non-aktifkan sementara atau jika tidak Lexy pasti sudah buka suara soal kadar hormonnya. Malam ini dia benar-benar ingin privasi.

Masuk, Hen. Ronde pertama di kamar mandi juga asik. Cepetan, jelek. Suara Mareno si menyebalkan datang lagi.

"Heeen...kok lama? Kamu nggak lagi kerja kan?"

Dia berdehem sebelum menjawab. "Aku ada telpon penting," dalihnya.

"Mahendraaa, kamu tega banget siiih. Masa kerja terus. Aku keluar ya," protes Alexa.

"Eh jangan, jangan, jangan. Oke aku masuk ke dalam."

Handle pintu dia putar perlahan, debar pada jantungnya tidak mau pergi sedari tadi. Ah, kenapa suasananya jadi tegang begini.

Tirai pembatas menutupi sebagian area bathtub. Mahendra menghela nafas lega. Entah kenapa sikapnya kikuk begini, persis seperti dulu saat mereka pertama bertemu. Itu lucu kan?

"Ada apa, Lex?" dia berdiri diam membiar tirai pembatas menghalangi pemandangannya. Alexa masih berada di dalam bathtub sedang bersandar santai. Rambut Alexa dibungkus handuk dan dinaikkan ke atas agar tidak basah.

Masih di dalam bathtub Alexa menolehkan kepala dan menyibak tirai agar bisa bicara padanya. Setengah tubuh Alexa tertutup busa-busa, tapi bahkan melihat Alexa setengah basah begitu membuat pikirannya melanglang buana.

"Maaf, aku lama ya? Sebenarnya aku bingung mau pakai yang mana?" senyum Alexa terkembang lalu menunjuk pada 5 lingerie seksi yang digantung pada dinding di hadapan Alexa.

Sedari tadi fokus Mahendra pada Alexa saja, jadi tidak sadar bahwa sudah ada lingerie mewah yang Lexa gantung di sana. Nafasnya tertahan melihat lingerie yang seperti dibuat khusus untuk memuaskan mata Mareno Daud.

Kok Mareno si, Hen?

"Hen, kamu suka yang mana? Aku mau pakai yang kamu suka," tanya Alexa manja masih berada di dalam bathtub. "Aku selalu suka hitam, klasik dan selalu terlihat sempurna. Tapi merah itu juga seksi. Atau babypink yang bisa membuat aku terlihat lebih muda..."

Dia tidak mendengar seluruh kalimat Alexa dengan benar karena berusaha menahan diri.

"Sayang, kamu nggak suka ya? Atau aku nggak usah pakai aja?" ujar Alexa polos sambil tersenyum malu-malu.

Ya Tuhan.

"Semuanya bagus," tubuhnya sudah berbalik ingin pergi untuk menutupi gugupnya sendiri.

"Hen, beri aku lima menit lagi."

"Jangan terburu-buru," dia menutup pintu tanpa menoleh ke belakang.

Di luar kamar Mahendra berjalan mondar-mandir gelisah. Kenapa juga harus gelisah? Alexandra istrinya kan. Tapi dia tetap gelisah. Lebih tepatnya gugup karena dia sangat tidak berpengalaman jika dibandingkan dengan abang-abangnya yang lain.

Bagaimana jika Alexandra kecewa? Dan itu semua membuat hubungan mereka setelah ini bermasalah? First impression itu penting. Juga menurut data yang dia baca, penyebab perceraian diakibatkan karena seks dan penampilan ada di angka 32 persen. Bayangkan, 32 persen? Angka itu tinggi untuknya.

Sementara dia hanya jatuh cinta satu kali. Pada Alexandra saja. Ya mereka berciuman tapi...hrrrghh. Kenapa saat berpacaran dulu seolah dia bisa langsung menggendong Alexa naik ke tempat tidur karena nafsu? Sementara ketika sudah menikah begini dia justru ragu-ragu. Ada apa dengan dirinya?

Tenangkan diri lo, Hen.

Matanya menatap ke sekeliling ruangan kamar besar mereka. Cepat-cepat dia mengambil remote untuk membuka seluruh tirai jendela. Mungkin pemandangan kota bisa mengalihkan dia dari rasa gugup. Lampu juga dia redupkan, karena dia khawatir Alexa akan tahu betapa gugupnya dia. Pintu kamar mandi terbuka perlahan lalu langkahnya berhenti. Nafas dia tarik perlahan.

Alexa keluar dengan lingerie berwarna hitam klasik. Tidak terlalu mencolok seperti warna lain, tapi justru membuat Alexa terlihat tidak berlebihan dan sempurna. Rambut Alexa yang bergelombang panjang tergerai indah. Sementara Alexa hanya mengusapkan lip balm pada bibir dan membuat efek setengah basah. Senyum Alexa mengembang dan mata Alexa hanya menatap matanya saja.

Hembuskan nafas lo, Hen. Jangan ditahan terus.

Nafas dia hembuskan dan Alexa menyadari hal itu. "Kamu nggak suka sama pilihan aku ya?" tanya Alexa polos. "Atau kamu marah karena aku terlalu lama?"

Bagaimana bisa dia tidak suka. Alexa benar-benar seperti bidadari yang jatuh ke bumi dan bertemu dengan kutu buku seperti dirinya.

"Aku ganti ya." Sudah ada semburat panik di raut wajah Alexa.

"Alexa...sini dulu."

"Hmm?" Alexa berjalan perlahan sambil berjinjit tinggi menuju Mahendra.

Lihat, bahkan cara berjalan Alexa sempurna. Ya iya, Hen. Alexa itu model kelas dunia.

Dia berdehem. "Kamu nggak perlu jalan jinjit begitu, nggak pegal apa?"

Alexa tersenyum lebar dan itu membuat pipi Alexa merona. Ya Tuhan.

"Maaf, kebiasaan."

Mereka berdiri berhadapan. Saat Mahendra berpikir bahwa pemandangan malam yang indah dari atas penthouse mewah bisa mengalihkannya dari sosok Alexa, dia salah besar. Seluruh pemandangan indah itu dia abaikan karena dunianya sendiri seperti berhenti berotasi dan berpindah orbit dengan Alexa sebagai mataharinya.

"Ada apa? Aku mau ganti dulu apa boleh?" tanya Alexa lagi.

Mata biru Alexa terlihat bercahaya. Juga harum lembut tubuh Alexa, dia bisa hirup samar-sama.

"Hen?"

"You are perfect already. Too perfect for me."

Merah pada pipi Alexa terlihat jelas. Tubuh mereka dekat sekali, hanya berjarak dua senti. Lengannya bahkan bergesekan dengan lingerie satin Alexa.

"Kamu gugup?" mata Alexa mengerjap dua kali. Bibir Alexa basahi. "Aku juga gugup, aku ingin terlihat istimewa untukmu," bisik Alexa.

Perlahan sekali Mahendra memiringkan kepala sementara dua tangannya diam. Tubuhnya perlahan menghangat dan dadanya berdentum hingga ke telinga. Seluruh hormone bahagia bekerja optimal hingga rasanya sedikit melayang.

"You are more than special for me," dia balas berbisik.

"I love you, Mahendra. Only you," entah karena refleks Alexa juga memiringkan kepalanya perlahan.

Mahendra berhenti sesaat. "I will give the universe for you, Lexa. Only for you."

Mata biru Alexa tertutup perlahan saat ujung hidung mereka bersentuhan. Sepersekian detik kemudian bibir mereka tiba. Keduanya bergerak perlahan karena ingin menikmati apa yang mereka sudah tunggu selama ini. Waktu yang sudah mereka lalui, keberadaan satu sama lain yang melengkapi, juga besar perasaan mereka pada satu sama lain. 

***

Ciyeee Mahendraaaa...

https://youtu.be/bZYPI4mYwhw




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro