Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 50

Kediaman Aryo Kusuma

Motor Aryo parkir di garasi lalu dia masuk dan menemukan Janice keluar dari kamar mandi ruang tengah. Senyumnya mengembang lebar. Kunci dan jaket dia letakkan sembarangan lalu dia berjalan ingin memeluk Janice karena rindu. Betapa tidak, sejak mereka kembali ke kota ini, Janice malah sibuk dengan Edward dan kembali bekerja lagi. Ditambah seluruh persiapan pernikahan Mahendra yang akan berlangsung sore ini. Janice tidak punya waktu untuknya dan bodohnya dia tidak tahu Janice tinggal dimana. Hhh, Edward benar. Pengetahuannya tentang Janice parah sekali.

"Wow, gue dikunjungi sama pacar gue si Ninja Hattori," dia menyindir kesal sambil memeluk tubuh Janice.

Janice tersenyum lebar. "Kondisi ayah nggak bagus, kita selalu ketemu di MG kan?" Mereka sudah berpelukan.

"Ya, untuk nemenin kamu makan di kantin rumah sakit dan ngeliatin kamu telponan dan meeting setiap waktu," dia menggelengkan kepala kesal karena sibuknya Janice hingga bahkan sekalipun bersama tapi mereka tidak benar-benar bersama. "Apa kamu selalu sesibuk itu? Kamu sadar nggak kalau gue bukan patung-patungan dan bisa kamu cuekin seenaknya?"

"Jadi mau marah-marah terus sekarang?"

Dia menggeram kesal lalu memiringkan wajahnya untuk mencium bibir Janice. "Aku mau kamu."

Mereka saling menikmati selama beberapa saat. Lalu Janice menjauhkan dirinya. "Aku ke sini mau antar jas kamu untuk acara Mahendra sore ini, Tuan Gadungan. Pesan dari Arsyad kamu harus datang."

"Gue nggak mau datang." Tubuh Janice dia lepas lalu dia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas minum.

"Kenapa?"

Air putih dalam gelas dia tandaskan. Hhhh, Janice seksi banget lagi. Kepala dia gelengkan untuk mengusir keinginannya yang mulai merayap naik.

"Banyak alasan. Pertama, gue benci pesta resmi seperti itu. Kedua, seluruh keluarga Daud ada di sana dan mereka akan menatap gue aneh. Ketiga, makanannya pasti nggak enak. Keempat, kamu pasti bakalan kerja dan ninggalin gue bengong sendiri. Gue bisa sebutin seratus alasan lagi. Mau dengar?"

"Ayah akan datang dan dia akan senang kalau kamu bisa menemani dia. Ayah juga tidak suka pesta. Sebenarnya aku juga nggak suka. Kami berdua terlalu terbiasa bekerja di balik layar. Kami nggak suka keramaian. Tapi ini pesta Tuan Muda Mahendra, kesayangan ayah sedari dulu."

Dia terkekeh geli. "Gue pikir Arsyad yang jadi favorit Edward."

"Mahendra muda benar-benar unik dan lucu. Jadi ayah langsung sayang padanya."

Tawanya makin lebar. "Gedenya nyebelin. Usil, tukang ngeledek, bikin iri karena dapat calon istri cantiknya kayak bidadari."

Janice melangkah menuju sofa mengambil jas dengan penutup bertuliskan Armani dan menyodorkan padanya. "Ini dipesan khusus untukmu."

"Jen, ini bukan ide bagus. Sekalipun gue sangat ingin nemenin kamu dan Edward di sana. Serius. I'm not belong there."

"Kamu sama Daud-nya, Aryo Kusuma. Mama Trisa juga menanyakanmu dan memintamu datang. Aku sudah mengatur agar Jessica Sharon dan Dony datang. Semua perlengkapan Dony sudah aku siapkan dan antar ke apartemennya."

"Kamu sangat perhatian tapi..."

"Oke, aku siap-siap dulu." Tubuh Janice sudah berjalan mengambil perlengkapannya yang dia letakkan di ruang tengah. "Aku pinjam kamar kamu."

"Jen, jangan marah." Dia mulai mengikuti Janice masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar Janice langsung melepas pakaiannya untuk berganti dengan gaun yang Janice bawa. Sementara dia mati-matian menahan nafsu yang sudah sampai kepala. Janice kesal, dia tahu sekalipun wanitanya itu diam saja.

"Jen..." dia mulai mendekati Janice yang masih belum selesai berpakaian.

"Keluar, aku mau siap-siap."

"Jangan marah begini. Gue sudah mencoba mengerti dengan segala kesibukan kamu, dan sekarang kamu nggak ngerti kalau pesta jenis itu benar-benar bisa membuat gue nggak nyaman."

Janice sedang menjejerkan senjata di atas tempat tidur setelah dia keluarkan dari dalam koper. Lalu mulai mengambil gaun hitam panjangnya dan sepatu heels senada. Itu semua membuat Janice terlihat tambah seksi. Apalagi rambut Janice yang sebahu memiliki kesan yang berantakan tapi jatuh natural begitu saja.

Fokus, Yo, Fokus.

"Apa kalau gue ikut kamu berhenti marah?"

"Aku buru-buru. Keluar sekarang. Kamu menghalangi jalanku," tubuh Janice sibuk menyiapkan macam-macam entah apa.

Satu tangannya menarik tubuh Janice agar berhenti. Mereka berdiri berhadapan, bertatapan dalam.

"Tolong mengerti," ujarnya sambil menatap Janice.

Dengan satu gerakan Janice menghentak tangannya lalu mengambil salah satu senjata dan mengokangnya cepat.

"Jen?"

"Keluar, Aryo. Kamu menghalangiku," mata Janice menatapnya tajam. "Saya tidak minta baik-baik dua kali."

"What? Kamu serius mau..."

Tangan Janice bergerak untuk membidiknya. "Saya bisa memberikan tembakan peringatan, tapi mood saya buruk sekali. Tolong keluar."

"God..." dia berjalan keluar sambil memaki. Lalu pintu bedebam di belakangnya dan dikunci.

Tubuhnya berjalan mondar-mandir sambil mencoba menghubungi Dony di ruang tengah. Membiarkan kepala Janice dingin dulu di dalam kamar. Dony mengangkat setelah dua kali tidak ada jawaban.

"Lo datang, Don?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ya. Sharon datang, jadi gue datang. Gue nggak mau para laki-laki kaya itu seenaknya sama Sharon. Mereka harus tahu Sharon sudah tidak available."

"Wuooo, lo serius? Itu pesta Daud, Don. Gue nggak nyaman."

Dony tertawa di sana. "Bang, elo itu Daud juga. Ini gimana sih? Lo amnesia apa gimana? Denial kok tingkat dewa."

Tubuhnya masih bergerak gelisah. Dia tidak suka keramaian, jenis keramaian seperti pesta maksudnya. Pesta para orang kaya yang kaku, formil dan pasti sangat aneh. Dulu dia sering menemani Herman pesta, tapi tidak ada orang yang akan peduli dengannya. Dia hanya penjaga. Tapi kali ini berbeda.

Orang-orang sudah tahu bahwa dia anak dari Herman Daud. Berita tersebar cepat. Semua orang akan memandangnya aneh, menyalahkannya atas apa yang Herman lakukan dulu, lebih buruk lagi mereka akan memicingkan mata, meremehkan dan mengolok dia. Dan dia tidak akan bisa berbuat apa-apa karena di sana ada Trisa Daud dan Arsyad yang berharap dia tidak akan mengacau. Belum lagi Edward dan Janice. Orang-orang yang bertaruh besar untuknya dan dia tidak mau mengecewakan mereka semua.

"Datang, Bang. Tunjukkan pada mereka siapa Aryo Kusuma Daud sesungguhnya. Semua orang selama ini hanya berbisik dan berspekulasi."

"Gue penjahat, Don." Satu tangan memijit dahi. Ini membingungkan.

"Kita berdua penjahat, jangan lupa. Tapi gue nggak peduli. Gue lebih nggak rela Sharon digangguin cowok-cowok kaya itu."

Dia makin gelisah lagi karena merasa Dony ada benarnya. Pintu kamarnya terbuka dan dia menyudahi sambungan dengan Dony. Tubuhnya diam terpaku melihat Janice yang sudah rapih. Janice terlihat...luar biasa.

"Ya Tuhan, Jen. Apa kamu selalu begini kalau datang ke pesta?" bisiknya.

Janice menghirup nafas dalam lalu berjalan mendekatinya. Gaun Janice berwarna hitam tanpa lengan dan panjang hingga ke lantai. Belahan gaun Janice tinggi di bagian samping. Karena Janice harus bisa leluasa bergerak jika dibutuhkan. Rambut Janice tata tidak berlebihan, dengan make up yang menonjolkan tulang wajah dan matanya yang hijau gelap. Wangi tubuh Janice mewah dan samar-samar. Saliva dia loloskan.

"Aku tidak akan bekerja di pesta. Sudah ada tim yang menangani. Apa kamu mau datang ke pesta yang membosankan itu sebagai pasanganku? Jadi kita bisa berdiri di pinggir dan bisik-bisik menertawakan tamu?" ujar Janice perlahan padanya.

Jantungnya mulai berulah. Berdentum keras berisik sekali.

"Jadilah dirimu sendiri, Aryo Kusuma Daud. Because I like you just the way you are. Jangan pernah jadi orang lain." Dua tangan Janice berada di dadanya.

Dia merengkuh Janice perlahan, tidak mau merusak seluruh penampilan wanitanya ini. Tubuh Janice dia peluk hangat, lalu dia mencium bibir Janice sesaat.

"Setelah itu aku mau kamu," bisiknya.

"Nanti, setelah ayah mengijinkan."

"Hah, Jeeen. Edward sudah mengijinkan dan kamu yang nggak mau nikah. Kita bahkan nggak pernah lagi tid...hrrrgh. Jen, aku serius!"

"Ganti baju cepat, atau aku datang sendiri."

"No, no. Kamu nggak bisa keluar dengan pakaian seperti itu tanpa aku." Dia sudah bertolak pinggang kesal. Sementara Janice melenggang menuju pintu depan.

"Janiceee..."

***

Pesta hari pertama adalah untuk ijab kabul dan acara ramah tamah khusus keluarga. Tamu-tamu bisnis dan kenegaraan akan datang di acara hari kedua. Alexandra akan mengenakan kebaya rancangan Sabiya saat ijab kabul berlangsung, lalu berganti dengan gaun Vera Wang yang dipesan khusus untuknya. Hari kedua sudah ada gaun pengantin Dior yang sudah menanti.

Mahendra Daud berdiri menatap dua kotak besar yang memenuhi ruangan Hanif dan Mareno berdiri di sebelahnya.

"Kita harus buka dan pastikan nggak ada bomnya," kekeh Mareno menggoda. Kemudian Hanif tertawa.

"Jangan bilang-bilang abang berapa harganya. Dia bisa ngamuk nanti," Mahendra tidak menghiraukan Mareno yang selalu menyebalkan.

"Belum seharga Shelby gue, santai aja. Lagian lo banyak duit kan. Pulau gimana tu pulau. Udah beres?" ujar Mareno.

"Lagi disiapkan," jawab Mahendra.

"Lo beneran mau tinggal di sana, Hen?" tanya Hanif.

"Mungkin, kita lihat nanti. Habisnya ke safe house juga selama ini pakai heli kan, jadi sama aja. Malah lebih private dan..."

"Menyusahkan adik kecil. Lo nggak bisa datang cepat kalau kita butuh. Nanti abang marah lho," timpal Mareno.

"Gue masih pikirin. Sementara gue tinggal di apartemen gue." Mahendra mempersilahkan Deana masuk dan beberapa tim ADS yang perempuan untuk memeriksa gaun-gaun itu.

"Lo punya apartemen? Sejak kapan?" tanya Mareno.

"Gue punya banyak hal yang lo nggak tahu. Biar lo nggak bawel dan ribut. Dasar nyebelin," sungut Mahendra.

"Kalian berdua bisa nggak jangan ribut terus. Heran gue," Hanif bersuara. Kepala Hanif menoleh ke Deana. "Aman?"

"Aman," jawab Deana singkat.

Kotak sudah terbuka dan gaun megah itu terlihat menyembul keluar.

"Wow, gue nggak mau tahu harganya." Arsyad masuk dari arah pintu. "Siap-siap, Hen. Alexandra sudah mau selesai kata Sabiya."

Mereka berempat ke luar ruangan dan menuju kamar hotel khusus untuk calon pengantin pria. Di dalam Mahendra berganti pakaian dibantu dengan kedua abangnya, Hanif dan Mareno. Sementara Arsyad menatap tajam ke arah luar jendela. Ya, memang acara diadakan di taman cantik hotel Emperor milik keluarga Darusman. Niko mengetuk pintu dan masuk. Bersiul melihat Mahendra yang tampak gagah mengenakan setelan jas resmi dari Armani.

"Ck, gue benci pesta," keluh Mahendra.

"Mau gue gantiin? Jadi gue yang nikah dan kawin sama Alexa?" sahut Mareno konyol sambil membetulkan jas Mahendra.

"Kampret emang mulut lo. Taniaaa...Taaaan. Gue aduin lo," ancam Mahendra sambil mendorong bahu Mareno yang terkekeh geli.

Kepala Hanif hanya menggeleng saja namun tersenyum juga.

Arsyad menatap Niko. "Semua sudah siap, Nik?"

"Insya Allah, siap. Kecuali Mahendra cold feet dan berubah pikiran. Hati-hati, Hen. Banyak yang mau gantiin lo," kali ini Niko juga usil.

"Bung Nik, kenapa lo ketularan Mareno?" protes Mahendra kesal.

"Hey, hey." Arsyad memperingati. "Gimana Edward? Pastikan Edward nyaman, dan sediakan tempat khusus."

"Juga sudah siap. Aryo akan datang menemani Edward," jawab Niko.

Arsyad menghirup nafas panjang dan matanya menoleh ke arah Mahendra yang sudah selesai berpakaian. Mareno, Hanif dan Niko juga melakukan yang sama. Mahendra berdiri gugup sekali. Mereka semua tahu bahwa Mahendra akan sangat tidak nyaman dengan semua pesta ini.

"Muka lo pucat, Hen. Lo nggak apa-apa?" tanya Arsyad.

"Tarik nafas, Hen. Everything will be okey," suara Hanif menenangkan.

Mareno malah terkekeh geli. "Jangan salah sebut nama nanti. Nama calon istri lo itu Alexandra Amandari Walton, bukan Angel, bukan Alexandria a.k.a Lexy, atau Carol. Salah sebut nama tiga kali langsung gue gantiin."

"Lo pikir main bola ada pemain cadangan," timpal Niko.

Mereka terkekeh juga. Sikap Mareno yang konyol terkadang berguna untuk memecah kekakuan suasana. Hanif sudah mendekat dan merangkul Mahendra. Paham benar Mahendra butuh seluruh dukungan dari mereka.

"Ini kacau, Bang. Gue nggak nyaman. Terlalu banyak tamu," keluh Mahendra lagi.

"Kita semua tahu dan sudah siapkan segalanya. Jadi nggak ramai ketika ijab qabul berlangsung," jawab Hanif.

"Beneran?" tanya Mahendra.

"Iya," jawab Hanif.

"Kepala gue nanti nongol aaah, ngintip. Biar Mahendra nggak konsen," Mareno masih meledek saja.

"Bang, bisa dituker nggak sih si Mareno ini? Bikin gue kesel terus," timpal Mahendra.

Arsyad menepuk pundak Mareno memperingati. Kemudian mama dan ayah masuk setelah mengetuk dua kali.

"Anak Mama tampan sekali hari ini," Trisa yang terharu langsung menghampiri Mahendra dan memeluknya hangat.

"Haduh Maa, aku bukan anak kecil," Mahendra balas memeluk Trisa.

Mareno dan Hanif terkekeh geli.

"Setelah ini kamu cuti?" tanya Ibrahim pada Arsyad.

"Ya, saya ingin berlibur dengan Sabiya. Setelah Antania dan Faya melahirkan. Niko dan Audra juga akan menikah. Setelah itu semua saya pergi," jawab Arsyad.

"Bagus. Istirahatlah dulu." Ibrahim menepuk pundak Arsyad kemudian menoleh kepada Niko. "Saya sudah dengar dari Ardiyanto. Acaranya akan sederhana, apa benar begitu, Nik?"

"Ya, Om. Ini yang kedua untuk Audra. Tidak perlu berlebihan dan saya setuju," ujar Niko.

Ibrahim mengulurkan tangan pada Niko Pratama. "Kalau begitu, selamat datang di keluarga Daud. Kamu bukan anggota baru pastinya. Tapi kamu akan resmi menjadi bagian dari kami."

Niko menjabat tangan Ibrahim erat. "Terimakasih, Om. Doakan semua lancar."

"Dimana Aryo Kusuma?" kali ini Trisa.

"Mungkin sebentar lagi sampai," sahut Niko.

"Arsyad, pastikan Aryo merasa nyaman. Dia sama Daudnya seperti kalian semua. Beri dia kesempatan," ujar Trisa.

"Aku nggak suka Mama perhatian sama dia," Mareno sudah mendekati Trisa dan memeluknya.

"Setuju. Mama punya kami," Mahendra kali ini.

Trisa tertawa sambil menggelengkan kepala. "Apa Mareno Mahendra selalu manja begini?" tanya Trisa pada Hanif dan Arsyad.

Hanif menghembuskan nafas panjang. "Andai Mama tahu."

Kemudian Arsyad, Niko dan Hanif tertawa.

***

Saat akad nikah berlangsung, benar-benar hanya keluarga dekat saja yang menghadiri. Mahendra terpana melihat Alexandra yang melangkah menuju ke arahnya, digandeng oleh ayah Alexa, Harold Walton. Hingga Hanif harus menepuk pundak Mahendra dengan Mareno yang terkekeh geli di sebelahnya,

Bukan hanya pemandangan Alexandra saja yang membuat hati menghangat. Tapi seluruh kakaknya ada, terilhat gagah beserta pasangan mereka. Lalu ayah dan mama yang menatapnya penuh haru. Niko, Audra, Erick yang masih harus menggunakan tongkat karena proses pemulihan belum selesai, juga Edward yang didampingi oleh Aryo dan Janice. Lidya juga datang dan Jovanka Walton duduk di bangku tamu. Keluarganya tersenyum behagia, dan itu semua adalah karunia yang tidak ternilai harganya.

Seluruh prosesi berjalan lancar. Ya, dia salah satu kali karena Mareno yang tiba-tiba terbatuk seperti sengaja mengganggunya. Kemudian Arsyad memperingati Mareno dan akhirnya fokusnya bisa kembali. Dasar manusia menyebalkan! Apa menikah selalu terasa sebahagia ini? Ah, jika iya harusnya dia melakukannya sedari dulu saja.

"Hey, Tuan Muda Mahendra, selamat!" Aryo terkekeh sambil menjabat tangannya erat. "Sumpah lo beruntung parah. Bini lo..."

"Aryo..." dehem Janice sambil menatap Aryo galak.

Dia tertawa kecil. Janice mengulurkan tangan pada Alexandra yang berada disebelahnya lalu kemudian Alexa memeluk tubuh Janice erat.

"Aku benar-benar beruntung memiliki kamu, Jen. Jika tidak ada kamu, Lidya bisa mengacaukan segalanya. Kamu bahkan masih membantu sekalipun kamu jauh kemarin itu," ujar Alexa dengan polosnya.

Aryo menoleh menatap Alexa. "Maksudnya, kemarin Janice masih bantuin acara kamu, Lexa?"

Pelukan Alexa sudah terlepas lalu Alexa menjawab lugas. "Iya, semua yang urus Janice dan Lidya. Ya, sekalipun Janice jauh, tapi kita tetap telponan."

"What? Jen, kamu harus jelasin ke gue. Bisa-bisanya kamu menghubungi Alexa, sementara kamu..." Aryo sudah mengomel sementara Janice menarik lengan Aryo untuk menjauh.

"Aku salah ngomong ya, Hen?" bisik Alexa tidak mengerti dan itu membuat dia tertawa.

"Kamu terlalu jujur. Kemarin Janice kan lagi ngumpet dari Aryo, Lex. Masa kamu lupa?" jawabnya.

"Ya, ampun. Harusnya aku nggak ngomong dong. Mereka berantem itu gara-gara aku. Kalau mereka putus gimana?"

Deheman Edward membuat Mahendra menoleh. Tubuh Mahendra berlutut karena Edward berada di kursi roda.

"Halo, Tuan Muda," bisik Edward yang tampak lebih pucat.

"Apa kabarmu, Paman?" Mereka berjabat tangan kemudian dia memeluk Edward karena benar-benar khawatir dengan kondisinya. Alexandra sudah berjalan menjauh membiarkan dia dan Edward berdua.

"Saya sudah berusaha menemukan penyembuhnya, tapi tidak cukup waktu. Maafkan saya, Paman," dia melanjutkan.

Edward terkekeh kecil. "Hey, saya tidak mau disembuhkan. Saya ingin istirahat total. Semua manusia akan mati pada akhirnya, Tuan."

"Jangan panggil saya Tuan. Tolong."

Pelukan mereka lepas.

Kepala Edward mengangguk. "Tugas saya sudah selesai. Kalian semua sudah mandiri sekarang. Benar-benar bisa melakukan segalanya sendiri, bahkan sudah memiliki pasangan sendiri."

"Belum, Paman. Jangan pergi dulu. Kami akan sedih sekali. Lagian Janice belum resmi menikah."

"Hah, menunggu Janice ingin menikah mungkin bisa-bisa saya kehabisan nafas duluan. Janice keras kepala sekali." Edward menghirup nafas panjang. "Jaga dirimu, Tuan."

"Paman, tolong jangan panggil saya Tuan," protes Mahendra lagi.

"Jaga dirimu, anak muda. Pastikan tidak ada insiden celana lagi, juga sekali-kali kamu harus keluar untuk bersosialisasi. Melihat dunia, menemani istrimu," pesan Edward.

Dia mengangguk sambil menggenggam tangan Edward yang dingin sekali. "Paman sebaiknya segera kembali ke MG. Jangan dipaksakan."

Hanif, Arsyad, Mareno dan Aryo sudah berdiri melingkari Edward.

"Ya, ya. Kalian luar biasa cerewet seperti Ibrahim dan Reyn." Kepala Edward mendongak menatap seluruh anak-anak keluarga Daud.

Senyum Edward terkembang dan matanya berbinar bangga. Bagaimana tidak, mereka semua ditempa oleh Edward selama ini.

"Kalian adalah Daud." Dua tangan Edward mengulur untuk menggenggam tangan-tangan para laki-laki dari keluarga Daud. "Aryo boleh datang paling akhir, tapi dia sama Daud-nya seperti yang lain." Mata Edward menatap Aryo yang diam saja.

"Hah, itu kenyataan yang menyebalkan," kekeh Mareno.

Tangan-tangan mereka masih menggenggam erat yangan Edward.

"Hey, hey. Lo pikir gue juga nggak kesal soal itu. Nama Kusuma sudah paling bagus. Ini pake ketambahan Daud," sahut Aryo tidak mau kalah.

Edward tertawa kecil. "Saya selalu keras selama ini, sehingga saya lupa bahwa dengan tertawa, energi yang dihasilkan bisa lebih banyak. Bukan begitu, Mahendra?"

"Saya bisa sebutkan teorinya, Paman." Mahendra tersenyum juga.

"Maafkan saya, karena tidak bisa menjaga kalian lagi. Juga Janice yang mungkin tidak bisa bertugas seperti dulu," Edward melanjutkan.

"Ayolaaah, Ed. Kenapa bahas itu lagi," tubuh Arsyad juga berlutut agar sejajar dengan Edward.

"Kalian adalah sebaik-baiknya penjaga, untuk seluruh keluarga. Selalu ingat, bahwa keluarga..."

"...di atas segalanya," bisik mereka.

Senyum Edward lebar sekali. Pandangan Edward terilhat lebih tenang, sekalipun wajahnya pucat.

"Saya benar-benar bangga..."

Hanif yang lebih dulu memeluk Edward. Mereka tidak bisa menahan tetes air mata. Mereka tahu waktu Edward tidak akan lama lagi. Mungkin ini kali terakhir mereka bisa melihat Edward.

Untuk mereka Edward adalah sosok yang mereka kagumi, dan hormati. Seluruh pengetahuan non-akademis yang mereka terima, adalah warisan dari Edward yang tidak ternilai harganya. Kekuatan, ketangguhan, kesabaran, kebersamaan, dan ikatan persaudaraan yang ditanamkan kuat sejak dini. Semua yang membentuk mereka dan akan mereka bawa hingga habis waktu nanti.

Setelah Hanif, Arsyad yang berlutut dan memeluk tubuh Edward. Arsyad adalah satu-satunya yang tidak menangis, sekalipun mata Arsyad menggelap karena duka di dalam hati. Kemudian Mareno juga memeluk Edward hangat. Lalu membisikkan salah satu gurauan konyol dan membuat Edward tertawa.

Aryo maju lalu berlutut sambil menatap Edward. "Hey, Ed. Kamu harus membuat Janice mau menikahi saya, Ed. Ayolah, Ed. Jangan pergi dulu. Saya akan benar-benar merindukan tatapan galakmu."

Satu tangan Edward menepuk pipi Aryo perlahan sambil tersenyum. "Kamu selalu menjadi wild card. Sesuatu yang tidak akan dikira oleh musuh-musuh Daud yang lain. Bergeraklah di belakang layar, di dalam bayang-bayang. Keluar ketika dibutuhkan. Jadilah elemen kejutan untuk membalik situasi. Ingat itu, Aryo Kusuma Daud. Karena itulah kamu."

"Tenang saja, Ed. Tuan Narsis itu julukan untuk Mareno si begundal menyebalkan. Saya tetap Aryo Kusuma yang sama. Yah, lebih baik sedikit karena sudah di upgrade," ujar Aryo konyol lalu mereka berpelukan kuat.

Kemudian Edward pamit pergi karena dokter Reyn sudah berjalan menghampiri. Setelah itu semua kepala menatap Mahendra.

"Jadi, adik kecil?" Mareno melirik konyol.

"Salah, tapi Tuan Muda yang terhormat," ledek Aryo.

"Jangan mulai," Mahendra menyahut galak menatap abang-abangnya.

Niko sudah menyusul berdiri dekat dengan Arsyad dengan wajah sama menyebalkannya.

"Ciyeee yang nanti malam udah nggak perjaka lagiiii..." Mareno dan Niko meledek berbarengan dan itu membuat wajah Mahendra merah.

"Bisa diem nggak?" bisik Mahendra kesal.

"Mau gue ajarin caranya?" Mareno tertawa.

"Mahendra itu udah jago. Lha wong udah banyak nonton kama sutra. Iya kan, Hen?" tambah Niko.

"Hen, itu semua insting. Kenapa pada berlebihan sih? Namanya laki-laki pasti pada akhirnya akan bisa," timpal Aryo.

"Heh, nggak ada yang nanya sama kalian. Bang, bantuin gue dong." Mahendra menoleh ke arah Arsyad yang sedang menahan tawa.

Mahendra yang kesal pergi meninggalkan mereka.

***

Siap-siap buat manisnya Mahen-Lexa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro